Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Berbicara tentang cinta dan benci tentu setiap manusia telah merasakannya. Cinta dan benci merupakan sebuah naluri manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. Tidak heran jika Agama islam memberikan petunjuk menyangkut hal tersebut.  Dengan suatu nasihat yang nilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Muhammad SAW.: “Cintailah kekasihmu secara wajarnya saja, siapa tahu suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu”.  Sebagaimana petunjuknya menyangkut cinta dan benci tesebut bahwa jelas manusia memiliki potensi-potensi untuk berfikir dalam memahami petunjuk itu. Dalam hal memahami dan mengaplikasikan makna cinta dan benci dalam kehidupannya.

Nasihat di atas tentunya ditujukan kepada manusia, cinta dan benci tidak terlepas dari hati yang dimiliki manusia, hati yang sering di sebut kalbu. Memiliki makna dalam bahasa aslinya berararti,”bolak-balik”.  Manusia yang hatinya sangat mudah terbolak-balikkan, bahkan berubah-ubah, terkadang ke kiri dan sekali-kali ke kanan. Tentunya apabila manusia tidak memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang pasti, manusia akan terombang-ambingkan oleh pengaruh dunia yang fana.

Cinta dan benci yang sudah ditakdirkan akan selalu mengisi suatu waktu pada sesi kehidupan manusia, sedangkan waktu itu akan selalu terus belalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Hal itu perlu dipahami sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya adalah salah  satu yang “ada”. Tetapi, ketika bercinta, ia dapat merasa mimiliki segala yang “ada” atau tidak menghiraukan yang “ada”. Dalam puisi cinta yakni “dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak”. Nah, hal inilah membuat manusia selalu lupa akan segalanya, jika di eramilenial sekarang sering kita dengar sebutan bucin. Setelah itu berlalu, ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” bahkan “hampa”. Akibatnya prustasipun ia rasakan pahitnya putus cinta, dan hilang secercah harapan. Demikianlah cinta mempermainkan manusia.

Cinta dan persahabatan sekarang yang terjalin oleh anak—muda menurut sebagian pakar—didorong oleh usaha memperoleh kelezatan semata atau bahkan kesenangan dunia. Karenanya, ia serba cepat, yaitu cepat terjalin dan cepat pula putus, lihatlah contoh lingkungan anda untuk saat ini. Sedangkan cinta dan persahabatan orang dewasa adalah demi memperoleh manfaat, yaitu memperoleh keuntungan atau beragam hal lain yang dimaksud. Hal itupun, bersifat sementara. Kemudian Abu Hayyan At-Tauhidy menulis: “perjalanan yang paling panjang adalah perjalanan mencari sahabat”. Sahabat, menurut Aristoteles, adalah anda sendiri, hanya saja dia orang lain.

Dia adalah Anda sendiri, dan ingatlah anda memiliki kalbu yang sering kali berubah-ubah. Karenanya tidak ada persahabatan yang kekal, apalagi dalam dunia kelezatan dan kepentingan dunia. Karenanya sebagai muslim perlu ketakwaan kepada Allah SWT agar memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang  pasti dalam menjalani kehidupan dunia yang sementara ini.

Lihatlah peristiwa pertumpahan darah antara Irak dan Iran delapan tahun lamanya mereka berperang. Selama delapan tahun juga Kuwait memberikan bantuan dana yang tidak sedikit kepada Irak demi kelanjutan perangnya. Tetapi, dengan serta-merta, teman yang dielu-elukan kemarin, berubah menjadi musuh. Musuh kemarin dirangkul agar menjadi teman, sementara penyesalan dan permohonan maaf pun mengalir dari mereka yang kemarin mengutuknya. Julukan saudara bekas musuh pun terdengar. Demikianlah yang didasari oleh “kepentingan sementara” yang senantiasa berubah. Ambillah hikmah dari peristiwa tersebut.

Dalam agama Islam, Allah SWT memberikan petunjuk yakni Al-Quran untuk menjadi pedoman hidup manusia, agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk itu, Al-qur’an mengingatkan kita: janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil ! Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS 5:8). Sungguh banyak pelajaran yang dapat kita petik dari berbagai peristiwa masa kini yang dapat menjadikan kita semakin peracaya akan kebenaran petunjuk-petunjuk agama.[]

Sumber: M.Quraish shihab, Lentera Al-Quran, kisah dan hikmah kehidupan

By: Muhammad Syaprul Alamsyah (Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU)

Leave a Reply