“MENGGUGAT ANTI KEMAJEMUKAN”

“MENGGUGAT ANTI KEMAJEMUKAN”

Ahir-ahir ini, di Indonesia telah sering terjadi konflik antar agama yang berujung pada kekerasan beragama. Sebut saja misalnya konflik beragama di Ambon. Konflik antar saudara yang saling menolak berada dalam satu tempat dengan kaum yang berbeda keyakinan, berujung pada pertumpahan darah. Kaum muslim dan kristen saling melempar  batu, merusak kendaraan di sejumlah titik kota di Ambon, memblokir jalan bahkan rumah warga dibakar. Akibat peristiwa ini, banyak korban berjatuhan, anak anak memiliki trauma dan memiliki anggapan bahwa kaum yang berbeda keyakinan memiliki niat yang buruk terhadap mereka.

Persekusi terhadap seorang biksu dan pengikutnya di tangerang adalah contoh lain dari kekerasan beragama yang terjadi. Sekelompok orang yang tiba tiba mendatangi kediaman biksu tersebut dan menuding adanya praktek yang mengajar warga sekitar untuk brpindah agama. Sekelompok orang ini bahkan meminta biksu tersebut meninggalkan rumahnya dan menyetujui surat pernyataan akan di proses secara hukum jika tidak pergi dari tempat itu dalam tenggat waktu yang telah ditentukan.

Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah seorang warga yang ditolak dari desa karena memiliki agama yang berbeda. Sebuah desa di Bantul memiliki aturan yang melarang umat non muslim untuk tinggal di dusun tersebut. Ini adalah contoh masyarakat yang mempunyai pola pikir anti kemajemukan. Mereka tidak bisa menerima perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Kasus kasus kekerasan beragama dan intoleransi yang terjadi di Indonesia adalah bentuk dari sikap masyarakat yang anti akan adanya keberagaman beragama. Tingkah laku masyarakat yang seperti ini didasari oleh pola pikir yang tidak dapat mentoleransi ajaran lain dan kekekliruan dalam menafsirkan ajaran yang mereka anut. Jika hal ini terus berlangsung, perdamaian antar umat beragama sangat sulit untuk dicapai.

Diantara sebab lahirnya kondisi ini adalah pola pikir masyarakat yang anti kemajemukan, sebuah model cara berfikir yang menolak keragaman. Padahal keragaman ini merupakan keniscayaan. Ia mutlak ada. Ia merupakan pemberian mutlak dari Tuhan, yang tidak bisa tidak harus kita terima.

Sejak kecil kita dihadapkan oleh model berfikir yang tidak beragam. Kita selalu dihadapkan pada pilihan yang tunggal atau monokultural. Orang yang berbeda dengan kita dianggap sebagai bukan dari bagian dari kita. Sehingga di kepala kita, yang ada adalah diri kita sendiri. Sesuatu yang benar adalah kita sendiri atau yang sama dengan kita, sementara yang berbeda dianggap bukan kita, yang harus dihindari atau dilawan.

Mengubah pola pikir masyarakat yang sudah terbentuk sejak dulu merupakan suatu hal yang sulit. Namun, setiap warga negara yang beragama hendaknya menyadari bahwa sikap menerima satu sama lain adalah jalan terbaik demi mewujudkan perdamaian. Menjadi kaum yang tidak menyalahkan ajaran agama manapun dan tetap yakin pada keyakinan yang dianutnya dapat menghindari ekstrimisme ini.

Diantara upaya menghilangkan cara piker di atas adalah dengan terus melakukan perjumpaan dengan yang lain, yang berbeda dengan kita. Perjumpaan dengan yang berbeda ini, menjadi penting agar terjadinya pengenalan. Dalam bahasa agamanya, proses ini disebut dengan silaturrahmi. Proses saling menjaga silaturahmi antar umat beragama ini, merupakanupaya agar tidak muncul sikap saling curiga. Sehingga akan melahirkan sikap saling berkomunikasi antar satu umat Bergama satu dengan umat beragama lainnya.

Dengan melakukan perjumpaan, juga akan menggiring seseorang untuk saling berdiskusi. Aktivitas ini, menjadi penting agar kita tahu seperti apa ajaran dari agama-agama lainnya. Dari situ wawasan dan pikiran kita terbuka luas. Dengan begitu, rasa saling curiga, perilaku menghakimi orang atau kelompok lain, serta sikap intoleransi tak terjadi.

Sejatinya, setiap agama memiliki ajaran yang mulia, yaitu tidak ada satu agamapun yang menyebutkan bahwa agama lain adalah ajaran yang salah dan pantas untuk di tolak dengan kekerasan. Jika seorang umat mengaku beragama, pastinya akan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya dan menghindari penolakan keyakinan lain dengan cara kekerasan. Orang yang melakukan kekerasan beragama, merupakan umat yang tidak memahami ajaran keyakinannya dengan baik.

by: Rahmi Putri Nanda, Mahasiswi Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

Leave a Reply