Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan

Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan

by: Nurhayati Nupus.

Saat ini, bangsa Indonesia disuguhkan permasalahan besar. Salah satunya radikalisme yang telah menyebar dimana-mana, -bahkan hingga ke pelosok negeri–. Masalah yang menyangkut kehidupan berbagai khalayak ini, mulai berkembang membabi buta. Sejak dahulu kala, permasalahan radikalisme tak pernah usai. Berawal sejak zaman Rasulullah saw yang ditandai dengan kemenangannya atas peperangan, saat itu Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan perang (hanya kepada muallaf). Hal tersebut menimbulkan kecemburuan dari pihak lain yang memicu tumbuhnya bibit radikalisme.

Seseorang penghafal al-quran yang tak mengerti isi kandungannya itu, justeru menganggap perbuatan Rasulullah salah. Ia memberikan perlawanan dan meminta agar harta rampasan perang dibagikan secara adil. Kisah terbunuhmya Ali bin Abi Tholib pun dilakukan oleh seseorang yang berasal dari kelompok Khawarij yang juga terkenal sebagai ahli ibadah, penghafal al-qur’an serta sering berpuasa. Banyak kekerasan yang terjadi dengan mengatasnamakan agama.

Seiring berkembangnya teknologi, radikalisme dan ekstrimisme kekerasan semakin marak terjadi. Kebermanfaatan teknologi dipandang sebelah mata. Terlebih oleh pemuda bangsa yang terombang ambing dalam dunia fatamorgana. Pendidikan yang rendah, minat baca yang tak lagi membara serta karakter yang semakin hari kian menyusut menjadi akar dari permasalahan pemuda bangsa.

Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumber secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks al-Quran dan hadist, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non Islam termasuk menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada al-Quran dan hadist. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah.[1]

Sedangkan terjadinya kekerasan biasanya merupakan interaksi proses psikologis yang melibatkan banyak unsur: sugesti, imitasi dan tekanan emosi. Gustave le Bon, seorang pakar sosiologi kerusuhan sosial, menyatakan bahwa manusia seperti binatang yang memiliki kecenderungan untuk ikut-ikutan. Seperti kawanan kuda, ada yang patuh, ada pula yang melawan tuannya tatkala mau dikandangkan. Le Bon tidak percaya bahwa para pelaku kekerasan itu bergabung karena didorong oleh pilihan yang benar-benar rasional, dengan emosi yang terkontrol, atau tindakan sadar (reflexive behavior).[2]

Semakin candu dengan kecanggihan teknologi, mengakibatkan banyak manusia yang lupa diri. Mengatasnamakan agama (khususnya Islam) kezaliman dilakukan, tak perduli seberapa banyak yang merana. Secara otomatis, ujaran kebencian pun tak dapat terhindarkan. Padahal Islam sangat menjunjung toleransi, hal ini ditegaskan dalam beberapa hadis, yang artinya:[3]

“Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan kaum muslim dari (gangguan) lisan dan tangannya. Orang mukmin adalah orang yang dipercaya oleh orang lain atas darah dan harta mereka. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah” (HR Ahmad dari Abu Hurairah).

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Ia tidak berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh pula menyerahkannya (kepada musuh); barang siapa mengusahakan keperluan saudaranya, maka Allah selalu berada dalam keperluannya. Dan barang siapa menolong orang Islam dari suatu bencana, maka Allah akan menolongya dari suatu bencana besar kelak dihari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka niscaya Allah akan menutupi (aib)-nya kelak di hari kiamat” (HR Bukhari-Muslim).

Dari hadis tersebut sudah jelas bahwa Radikalisme dan Ekstrimisme kekerasan bukan berasal dari ajaran Islam. Tidak ada satu pun agama maupun keyakinan yang memperbolehkan menzholimi sesamanya. Agama (khususnya Islam) sudah seharusnya tak menjadi kambing hitam lagi untuk kepentingan perorangan maupun kelompok.

Banyak tindakan maupun ucapan yang bebas disebarkan oleh siapa saja dengan kecanggihan teknologi. Tercantum pada pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini bukan berarti bangsa bebas tanpa batas, melainakan bebas yang bertanggung jawab.

Dalam Islam dikenal beberapa macam kebebasan yaitu kebebasan jiwa, kebebasan tempat tinggal, kebebasan memiliki, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpikir dan kebebasan belajar. Islam memiliki ketetapan yang menjaga seseorang dari segala bentuk permusuhan. Oleh sebab itu segala bentuk perilaku yang membuat rusak dan permusuhan sangat dilarang oleh Islam. Perlindungan jiwa dan kebebasannya ini mendapat tempat yang terhormat, sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Baqarah [2]: 194. [4]

Hiruk pikuk pemuda bangsa Indonesia terfokus pada radikalisme dan ekstrimisme kekerasan. Paham yang berkonotasikan negatif tersebut beredar meluluh-lantakkan negeri ini. Kekerasan, pengeboman, penganiayaan terjadi dimana-mana. Kedamaian yang hanyalah angan berusaha dibuktikan menjadi kenyataan. Terutama oleh pemuda bangsa sebagai kelompok yang berperan penting mengalihkan tanggung jawab atas negara.

Pemuda cerdas mulai mengembalikan fungsi teknologi sesungguhnya, sebagai sarana mempermudah mendapatkan informasi (bukan hoax), menjalin silaturahmi (bukan ujaran kebencian) serta memberi bantuan mereka yang terkena bencana (bukan dalang terjadinya bencana). Banyak organisasi mulai aktif dan gencar memberikan sosialisasi radikalisme, ekstrimisme kekerasan, pentingnya toleransi serta bekerjasama dalam menciptakan perdamaian.

Kedamaian termasuk salah satu fokus perhatian organisasi internasional UNESCO. UNESCO dalam Declaration of a Culture of Peace menyebutkan sejumlah karakteristik perdamaian: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial sehingga manusia hidup dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila ada kekerasan, tidak aka nada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan kebebasan; (7) bila ada ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada perdamaian.[5]

Berantas segala permasalahan, jauhi permusuhan dan mulailah menebar benih perdamaian. Mari bekerjasama musnahkan hiruk pikuk dikalangan pemuda bangsa mengenai radikalisme dan ekstrimisme kekerasan. J J

Daftar pustaka

Abdurrahman, Moeslim, Islam sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2003.

Budhy Munawar-Rachman, Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan Living Values Education, Jakarta: The Asia Foundation. 2019.

Rubaidi, A, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogykarta: Logung Pustaka. 2010.

 

[1]A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdhatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka. 2010), h.63

[2]Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: Erlangga. 2003), h.60-65.

[3]Budhy Munawar-Rachman, Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan Living Values Education, (Jakarta: The Asia Foundation. 2019), h.8

[4]Ibid, h. 416

[5]Ibid, h. 17

Leave a Reply