Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

“TAWḤID ḤUSŪNIYYAH:
Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi
(Kamis, 23 Maret 2017)

Negeriku, negerimu, dan negeri kita, Indonesia tidak pernah berhenti dirundung malang masalah korupsi. Belakangan ini, berita paling hanyar diramaikan dengan kasus korupsi e-KTP. Sayangnya, kebanyakan para “tikus-tikus” penguras “lumbung padi” negeri ini adalah ber-e-KTP (kolom agama): Islam. Barang kali ini adalah konsekwensi wajar dari Islam sebagai agama yang dianut mayoritas oleh warga negeri ini.

Akan tetapi, kalau kita mau “berjujur-jujur” pada diri sendiri, bahwa ini adalah indikasi, sepertinya doktrin Islam belum bisa “diandalkan” oleh penganutnya sebagai pembedung dalam mencegah prilaku korupsinya. Dapat dikatakan bahwa manusia semacam ini seperti orang Arab Badui, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, mengaku-ngaku telah beriman, padahal baru dalam kategori Islam sebab iman belum meresap dalam hatinya (QS. Al-Hujurat [49]:14-15).

Orang Islam nominal yang tidak beriman akan menjadi “benalu”, dan bahkan bisa menjadi “racun” dalam kehidupan berbangasa. Dengan demikian, sebagai agama yang paling banyak/terbesar dianut, bagaimana Islam bisa mengantar negara mencapai tujuannya. Padahal, Cak Nur pernah berkata bahwa “Kemenangan Islam adalah kemenangan bagi semua golongan.” Artinya, kalau idealitas ajaran Islam tidak dipahami, dihayati dan diamalkan dengan penuh keimanan, maka kemenagan Islam dalam memberantas korupsi, layaknya seperti “panggang jauh dari api”.

Parahnya masalah korupsi di negeri ini, sepertinya sulit untuk mencegah/mengatasinya kalau kita hanya mengandalkan dua tawhid dalam doktrin Islam, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah”. Untuk mencegah maraknya korupsi itu, karenanya, perlu di buat tawhid “baru”, yaitu “Tawḥid Husūniyyah”. Mohon maaf kelancangan pemikiran ini, sekali berharap saran, koreksi atas kekeliruan, kesalahan tulisan tentang tawhid dimaksud, berikut ini.

Pengertian “Tawḥīd Ḥūsūniyyah

Kata “tawḥīd”, menurut Nurcholish Madjid (Islam, Doktrin dan Peradaban, 1992: 72), secara harfiah tidak terdapat dalam kitab suci al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an ialah kata “aḥad” dan “wāḥid” ). Kata “tawḥīd” adalah istilah teknis dalam Ilmu Kalam (yang diciptakan oleh para mutakallimīn [atau ahli theologi dialektis Islam]). Term “tawḥīd” termasuk dalam kata benda kerja (aktif) yang merupakan derivasi dari kata “waḥīd” yang artinya “satu” atau “esa”. Jadi, makna harfah “tawḥīd” ialah “menyatukan” atau “mengesakan”. Dalam konteks ini, kata “tawḥīd” dimaksudkan sebagai paham “me-Maha Esa-kan” Allah atau paham “Monotheisme”, yaitu bahwa Allah (hanya) satu-satunya Wujud; tidak wujud, selain Allah (lā wujūd illa Allah).

Term ḥusūniyyah adalah derivasi dari kata dasar “ḥasana” yang bermakna “baik”; atau satu akar kata dengan “iḥsan” yang berati “berbuat terbaik”. Dan pada tingkatan lebih tinggi, iḥsan berarti bahwa seseorang akan berbuat yang baik dan bahkan yang terbaik karena ia selalu (merasa) dalam pengawasan dan bimbingan Allah dan, karenanya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, pengertian tawḥīd ḥusūniyyah adalah sebuah “kesadaran ketuhanan” (God-consciousness), yaitu bahwa Allah satu-satunya Pencipta Yang Terbaik dan satu-satunya Pengawas Yang Maha Hadir agar manusia senantiasa (pula) berbuat yang terbaik.

Term “tawḥīd ḥusūniyyah ” dimaknai sebagai kelanjutan logis dan hirarkis dari dua jenis tawhid yang telah dirumuskan oleh ulama salafiah sebelumnya, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah”. Term tawḥīd ḥusūniyyah sendiri dimaksudkan sebagai pengganti dari term “asmā’ wa sifāt” yang telah diciptakan sebagai bagian tak terpisahkan dari doktrin tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah. Ada dua pertimbangan, setidakanya, kenapa term asmā’ wa sifāt perlu diganti dengan term tawḥīd ḥusūniyyah.

Pertama, secara etimologis (lughawi [bahasa]) term asmā’ wa sifāt tidak satu “timbangan” (wasan) dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah. Tambahan pula, berbeda dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah, term asmā’ wa sifāt sulit untuk ditambahkan di depannya kata “tawḥīd”. Maka dengan sendirinya akan sulit dipahami kalau kita menuliskan/ mengatakan “tawḥīd asmā’ wa sifāt”

Kedua, secara terminologis (istilāḥ) term asmā’ wa sifāt memiliki konsep dan kandungan pemahaman yang terlalu luas, dan pada gilirannya tidak gamblang, sebagaimana tercemin dari term-term itu sendiri. Kata asmā’ mengandung makna konotasi pada nama-nama baik (asmā’ al-ḥusnā) Allah yang jumlahnya 99; dan kata sifāt boleh jadi mengacu kepada sifat-sifat Allah yang jumlahnya 20, sebagaimana diajarkan dalam doktrin teologis Asy’ariyah (Ahl Sunnah wa al-Jamā‘ah).

Latar BelakangTawḥīd Ḥusūniyyah

Latar belakang lahirnya istilah tawḥīd ḥusūniyyah –sebagai kelanjutan dari dua tawhid sebelumnya– karena konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” melulu pada konsep hubungan manusia dengan Tuhan (ḥabl min Allāh) yang bersifat ukhrawi dan bermuara semata-mata pada keshalehan individual. Kemudian, kedua jenis konsep tawh}id itu, sepertinya tidak (atau kurang) menekankan kaitannya dengan hubungan dengan manusia (ḥabl min al-nās) dan terlepas dari konteks kehidupan duniawi serta mengabaikan kesalehan sosial. Pernyataan ini sesuai dengan pengertian “tawḥīd rubūbiyyah” itu sendiri, yaitu seorang berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Pemelihara; dan pengertian tawḥīd ulūhiyyah itu sendiri, yaitu seorang berkeyaninan bahwa Allah adalah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian.

Pada dasarnya, tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah meskipun berhirarkis, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan dan jalin-berkelindan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” dipahami secara terpisah dan terlepas (tidak ada hirkisitas yang berkesinambungan) satu dengan yang lainnya, maka konsep tawhid itu menjadi tidak utuh dan salah. Dalam kenyataan hidup, misalnya, orang-orang kafir Quraish (hanya) memiliki tawḥīd rubūbiyyah (meyakini bahwa Allah adalah satu-satu Pencipta dan Pemelihara. Q.s. al-Zumar [39]: 38]; atau Q.s. al-Ankabu>t [26]: 63). Namun, mereka tidak memiliki tawḥīd ulūhiyyah (bahwa Allah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian), sehingga mereka menyembah selain Allah. Bahkan sesembahan mereka itu, diyakininya juga diciptakan Allah (Q.s. al-Zukhruf [43]:87), yaitu al-Lāt, al-‘Uzza al-Manāt (Q.s. al-Najm [53]: 19-22).

Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, bagi siapapun baik masyarakat manusia pada umumnya, maupun masyarakat yang bercampur kepercayaannya kepada Allah pada khususnya, mereka harus melakukan proses pembebasan, yaitu pemurnian kepercayaan kepada Allah dengan dua cara. Pertama, dengan pemusatan keperacayaan hanya kepada Allah dengan penegasan bahawa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak dan transendental. Menurut Ibn Taymiyyah, cara pemurnian kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd rubūbiyyah yang terangkum dengan baik dalam Q.s. al-Ikhlās [112].

Kedua, dengan melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu dengan penegasan bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak jadi sesembahan. Sekali lagi, menurut Ibn Taymiyyah, cara pembebasan kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd ulūhiyyah yang terangkum dengan tepat dalam Q.s. al-Kāfirūn [109]. Sedemikian penting kedua surah pendek itu, maka, menurut sejumlah hadis, Rasulullah saw. paling sering membacanya dalam shalat. (Islam, Doktri dan Peradaban: 80)

Proses pemurnian kepercayaan kepada Allah, karenanya, tidak boleh berhenti hanya sampai pada “tawḥīd rubūbiyyah” dan tawḥīd ulūhiyyah, tetapi harus pula diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tawhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa Hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik. Kalau tawḥīd ulūhiyyah tidak diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah, maka seseorang hanya memiliki kesalahan individual yang berorientasi ukhrawi, tanpa memiliki kesalehan sosial yang berorientasi duniawi.

Islam memang mengajarkan bahwa sesorang Muslim dituntut untuk mengejar kebahagian hidup di akhirat. Akan tetapi, Islam segera mengajarkan bahwa jangan sampai melupakan kebahagian hidup di dunia ini. (Q.s. al-Qasās [28]: 77). Dengan demikian, seseorang niscaya memaknai kehidupan di dunia ini sebagai “jembatan” menuju akhirat (al-dunyā masra‘ah al-ākhirah). Artinya, untuk bahagia di akhirat (dengan modal kes}alehan individual) terlebih dahulu harus bahagia di dunia (dengan modal keshalehan sosial).

Untuk itu, kebahagian yang paling hakiki di dunia ini adalah yang beralaskan pada kecerdasan emosional dan spritual, yaitu ketika kita bermafaat (memberi kebahagian) bagi sesama manusia. Sehingga, karenanya, Nabi saw. menyebut manusia itu: “Khayr al-nās yanfa‘u li al-nās” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermafaat kepada manusia). Makanya, manusia tawḥīd ḥusūniyyah semacam ini akan merahi kebahagian di dunia (fi al-dunyā hasanah) dan sekaligus akan menggapai kebahagian di akhirat (fi al-ākhirah hasanah), sebagaimana sering dipanjatkan kepada Allah di setiap akhir doa [pemungkas] seusai melaksanakan s}alat.

Landasan Tawḥīd Ḥusūniyyah

Konsep tawḥīd ḥusūniyyah dibangun beralas pada asas-asas doktrin Islam, yaitu Firman Allah dan Hadis Nabi. Pertama, salah satu sifat Allah ialah ih}san, yaitu membuat semua ciptaan-Nya baik, dan sebaik-baiknya. Di antara Firman Allah tentang ini: “Dialah yang membuat semua yang diciptakan-Nya baik” (Q.s. al-Sajadah [32]:7); “Dan Dialah yang memberi bentuk kepadamu sekalian, kemudian Dia membuat bentukmu baik” (Q.s. al-Ghafīr [40]: 64; juga Q.s. al-Taghābun [64]:3).

Kemudian, Allah mempertegas ayat-ayat ini dengan memerintahkan manusia sebagai khalifah di bumi (khalīfah fī al-arḍ) agar meneladani Allah, firman-Nya: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allah ilayka wa la tabghi al-fasād fi al-arḍ inna Allah la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” (Q.s. al-Qasās [28]: 77).

Berikutnya, ayat-ayat tersebut ditopang hadis Qudsi yang menganjurkan: “takhallaqū fī akhlaqi Allāh (berakhlaklah engkau sebagaimana akhlaknya Allah). Diantara perbuatan iḥsan (kebajikan) itu adalah berinfak (apalagi dalam kondisi kurang punya), mampu manahan amarah dan sekaligus memberi maaf. (Q.s. ‘Ali Imrān: [3]: 134. Pada ayat lain, Allah berulang-ulang menyebutkan kaitan antara keimanan dan ketakwaan yang diringi dengan perbuatan kebajikan. (Q.s. al-Maidah [5]: 93).

Kedua, hadis Nabi [hadis nomor ke-2 dalam kumpulan hadis ‘Arba‘īn], terutama menyangkut pertanyaan malaikat Jibril tentang iḥsan: “Akhbirny ‘an al-iḥsan?” Kemudian, Nabi Muhammad saw. menjawab: “‘an ta‘bud Allah ka’annaka tarāh fa ‘illam takun tarāh fa innahū yarāka” (Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinilah bahwa Dia (yang) melihatmu. HR. Bukhari-Muslim). Pada hadis senada lainnya disebutkan: “‘An takhsya Allah ka’annaka tarāh fainnaka in la takun tarāhu fainnahū yarāk” (takutlah kepada Allah sekan-akan kamu melihatnya, maka sesungguhnya kamu tidak meliaht-Nya, maka sungguh Dia melihatmu. (HR. Bukhari-Muslim).

Term “iḥsan” itu, sebagaimana termaktub dalam rentetan hadis riwayat Bukhari-Muslim di atas, adalah kelanjutan hirarkis dan logis dari dua pertanyaan malaikat Jibril sebelumnya, yaitu: “mā huwa al-īmān” yang kemudian dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Iman”; dan “mā huwa al-islām” yang belakang dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Islam”. Artinya, kesadaran ihsan sejatinya baru bisa ada dalam diri seseorang kalau kesadaran iman dan islam sudah dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa inti nilai-nilai yang terdapat dalam konsep iman dan islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai iḥsan.

Demikian pula konsep simpul-simpul keagamaan pribadi, yaitu “taqwa”, “tawakal” dan “ikhlas” menjadi kualitas-kualitas seseorang yang beriman kepada Allah yang tidak bisa dilepaskan dari tawḥīd ḥusūniyyah. Jadi, manusia yang memiliki tawḥīd ḥusūniyyah, taqwa menjadi kesadaran berbuat baik demi ridha Allah; tawakal menjadi sumber kekuatan jiwa dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dan persoalan hidup, terutama dalam perjuangan memperoleh ridha-Nya; Ikhlas menjadi ruh segala amal ibadah yang sangat rahasia dalam diri seseorang, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan, terutama oleh Allah Yang Maha Tahu (al-‘Alīm).

Demikinan pula dengan simpul-simpul keagamaan sosial, misalnya, terutama keadilan (‘adl) juga memiliki hubungan erat dengan keimanan. Untuk itu, keadilan imani terkait erat dan jalin-berkelindan dengan iḥsan, sehingga Allah memeritahkan keduanya secara bersamaan untuk dilaksankan terhadap sesama manusia dengan setulus-tulus dan semurni-murninya (Q.s. al-Nahl [16]: 90), karena kita melakukan itu di hadapan Allah untuk menjadi saksi bagi-Nya (Q.s.al-Nisā [4]: 136). Bagi Allah segala perbuatan dan kenyataan serta detak hati nurani tidak akan pernah dapat di rahasiakan (Q.s. al-Māidah [5]: 8).

Signifikansi “Tawḥid Husūniyyah”

Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin s}alat lima waktu, naik haji ke Mekkah sampai dua-tiga kali serta ‘umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah ‘umrah, haji, dan terutama shalat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari tawḥīd ulūhiyyah. Akan tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga shalatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingukangannya.

Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu “kelihatan” shaleh secara individual sewaktu di masjid (salatnya begitu khusyu, berdoanya raja‘ wa khawf [harap dan cemas] kepada Allah) ; atau sewaktu di haramayn, Mekkah dan Madinah (seluruh rangkaian ibadah haji/’umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya). Namun, setelah pulang dari shalat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah”-nya di tinggal dalam masjid atau di depan Ka’bah. Artinya, ia tidak lagi memiliki tawḥid ḥusūniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung (kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok), kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

Seandainya, (sekali lagi, ini seandainya) orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau depan Ka’bah di Mekkah sana, dan dalam kalbunya tertanam tawḥid ḥusūniyyah, tentu ia selalu merasa diawasi Allah kapan, dimanapun serta bagaimanapun Allah senantiasa Hadir dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya; dan/ atau kalau mau disuap ia akan memenafikkan karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Sayangnya, ia hanya pengandaian, dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka penyegahan korupsi tinggal agan-angan yang absurd dan utopis.

Ironisnya lagi, lambat-laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” (hatinya tidak lagi “nurani” [bersifat cahaya-terang], tetapi sudah “zulmāni [bersifat gelap-gulita]). Dengan begitu, ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakuknannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi “baik” dan “halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang pergunkan naik haji dan ‘umrah berulang-ulang kali itu buat dirinya “halal-halal” saja.

Padahal, hakekat tujuan ibadah mahdah, terutama s}alat adalah agar manusia menjadi baik dan terhidar dari perbuatan keji dan mungkar (inna al-ṣalah tanhā ‘an al-fahshāi wa al-munkar [Q.s. al-Ankabut [29]: 45]). Bahkan bagi orang yang shalat sekalipun, tetapi tidak memiliki tawḥid ḥusūniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka (“wayl li al-muṣallīn; al-lathīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn; al-lathīna hum yurā’ūn; wa yamnā‘ūn al-mā‘ūn (maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang lalai terhadap s}alatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan. (Q.s. al-Mā‘ūn [107]: 4-7).

Seseorang yang tidak memililki tawḥid ḥusūniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khushu’ dalam salatnya, tetapi pada sisi lain rakus korupsi dalam jabatannya. Meskipun segara harus ditambahkan, bahwa “khushu’ dalam salat di sini bukan dalam makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekedar dipermukaan dengan motivasi ingin pamer, riyā (ingin dilihat orang lain). Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riyā.”

Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran tawḥid ḥusūniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam berbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang wartawan untuk konferensi press agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Dan sifat “kedermawannya” itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legeslatif dan eksekutif.

Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Q.s. al-Baqarah [2]: 271). Untuk itu, sesorang yang beriman dengan memiliki tawḥid ḥusūniyyah dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk merahi ridha atau “wajah” Allah. (Q.s. al-Baqarah [2]: 272; al-Insān [76]: 9). Konsekwensi logisnya, manusia tawḥid ḥusūniyyah tidak lagi berada pada tataran, meminjam term dalam tawasuf, “takhalli”, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran “taḥalli”, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (al-ma‘ruf dan al-khayr).

Akhir Kata

Dalam mencegah dan memberantas kejahatan korupsi, penegak hukum, khususnya lembaga KPK mesti tegas menjatuhkan hukuman seberat-beratnya, kalau perlu dengan hukuman mati. Meskipun demikian, seorang difigur intleketual Melayu-Riau, Raja Ali Haji menyarankan kepada penegak hukum agar lebih mengutama penyegahan kejahatan korupsi ketimbang pemberantasannya. Pencegahan yang dimaksud Raja Ali Haji adalah lewat pendidikan dan internalisasi nilai-nilai, seperti “bermalu” (etika-personal), “beradab-bersopan” (etika-sosial) dan “takut akan Allah” (etika-teologis).

Dengan internalisasi nilai-nilai ini terutama yang disebut terakhir (takut pada Allah) menjadikan manusia senantiasa berbuat benar dan baik lantaran ia selalu merasa dalam pengawasan Allah. Dan pada gilirannya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, orang bersangkutan telah memiliki “puncak” tawh}id, yaitu “tawḥīd ḥusūniyyah”, setelah tawḥīd ulūhiyyah dan tawh}id rububiyyah secara berturut-turut.

Tanpa pencegahan semacan itu kejahatan korupsi akan terus berulang dan merajalela. Pada gilirannya, para penegak hukum akan direpotkan penyengahan korupsi, terlebih-lebih pemberantasannya. Dalam konteks ini, mari kita tutup dengan mengutip penyataan Raja Ali Haji dalam Thamarāt al-Muhimmah: “… karena takut akan raja juga, bukannya karena takut akan Allah Ta’ala atau beradab dan bersopan dan bermalu, maka apabila alfa sedikit kawal raja dan jaga raja, kembali pula ia semula pada pekerjaannya demikian halnya.”

Sebaliknya, kalau mereka memiliki etika-personal, etika-sosial dan etika-teologis atau tawḥīid ḥusūniyah serta memiliki akal yang dapat mengetahui benar dan salah; dan memiliki hati nurani yang dapat membendakan baik dan buruk, niscaya mereka sendirilah yang akan mengontrol dan mencegah dirinya untuk melakukan kejahatan dan berpuatan tercela lainnya. Artinya, kata Raja Ali Haji, “tiada susuh dan payah atas raja-raja dan orang besar-besar membuangnya” — [memberantas kejahatan – penulis].

Wa Allah ‘alam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-hidayah illā bi Allah.

Si al-Fakīr

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Leave a Reply