ISAIS mengadakan Launching Website ISAIS dan Orasi Ilmiah pada tanggal 27 Maret 2019 di aula lt. 2 gedung Islamic Center UIN Suska Riau. Dengan mengangkat tema “Meredam Amarah dan Menebar Rahmah’, ISAIS menghadirkan 3 Narasumber yaitu (1) Prof. Dr. H. M. Amn Abdullah, MA.-Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, (2) Yunianti Chuzaifah – Komnas Perempuan RI, dan (3) Dr. H. Suryan A. Jmarah, MA. Dihadiri oleh lebih dari 450 peserta yang terdiri dari pimpinan UIN Suska Riau, pembina ISAIS, dosen, dan mahasiswa. Dengan dipandu oleh Bambang Hermanto, MA sebagai moderator, kegiatan orasi ilmiah berjalan lancar dan terlihat antusias mahasiswa dan dosen yang aktif berdiskusi langsung dengan ketiga narasumber.
Month: March 2019
Intoleransi Memicu Radikalisme
by Rahmi Putri Nanda
Masalah utama bangsa ini adalah radikalisme. Paham ini memiliki tujuan untuk melakukan perubahan dalam waktu yang singkat dengan menggunakan cara yang ekstrem. Hal yang sering dikaitkan dengan paham ini adalah terorisme.
Tindakan meneror kelompok yang tidak sesuai dengan paham yang mereka anut ini tak jarang menelan korban yang tak bersalah. Menurut sejarahnya, radikalisme bukanlah ajaran agama tertentu; ia hanyalah suatu bagian dari fenomena politik.
Radikalisme pertama kali dipaparkan oleh Charles James Fox pada akhir abad ke-18. Negarawan terkenal dari Inggris ini menyerukan “Reformasi Radikal” dalam sistem pemerintahan. Seruan perubahan terhadap suatu sistem yang telah ada ini dipakai untuk mendukung pergerakan revolusi parlemen di Britania Raya.
Dewasa ini, radikalisme sering dikaitkan dengan ajaran suatu agama, khususnya Islam. ISIS merupakan satu contoh kelompok yang dianggap sebagai gambaran dari paham keyakinan yang dibawa oleh rasul tersebut. Pasukan ini melakukan teror terhadap beberapa negara di dunia dengan membawa simbol-simbol keislaman dalam setiap aksi mereka.
Lalu, apakah benar tindakan teror merupakan gambaran dari ajaran yang dibawa rasul? Hal tersebut tidaklah benar.
Sebagian besar umat muslim mengutuk tindakan keji yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Di dalam tubuh ISIS tidak terdapat urusan Islam. Menurut seorang jurnalis muslim asal Prancis yang berhasil menyusup di antara simpatisan ISIS, ia hanya menemukan sekelompok pemuda yang tersesat, frustrasi, dan dengan mudah ditanamkan istilah jihad di dalam pikirannya.
Mirisnya, tak sedikit bangsa Indonesia yang berangkat ke Suriah demi menjadi “muslim yang berjihad di jalan Allah”. Pada umumnya, orang yang bertujuan memperjuangkan Islam tersebut terpengaruh oleh saudara yang telah dahulu bergabung. Mereka rela menghabiskan harta yang dimiliki hanya untuk bergabung dengan golongan itu.
Kelompok radikal menyebar dengan luas akibat kekecewaan terhadap pemerintah. Etika segelintir elite politik yang kurang terpuji menyebabkan mereka menjadi masa bodoh terhadap demokrasi, lalu berpikir bahwa menjadi radikal merupakan jalan terbaik.
Sebagian masyarakat berjuang untuk menegakkan keadilan. Mereka berpikir bahwa seorang pemimpin negara hanya berpihak pada satu golongan tertentu. Lalu, kelompok ini melakukan protes yang keras demi memperoleh persamaan hak yang diinginkan.
Faktor finansial adalah salah satu alasan mengapa masyarakat menjadi memberontak dan menuntut perubahan. Sebagian orang dengan kelas ekonomi lemah menjadi berfikiran sempit. Mereka mudah percaya pada tokoh-tokoh radikal yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik.
Pendidikan dapat memengaruhi bangsa untuk menjadi radikal. Cara mendidik dan pengajaran yang salah dapat mananamkan radikalisme di dalam diri masyarakat. Seseorang yang berguru kepada penganut radikalisme akan terpengaruh dan ikut-ikutan menjadi memaksakan perubahan sesuai dengan yang diinginkan.
Radikalisme juga dipengaruhi oleh wawasan yang kurang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagian masyarakat merasa tertindas dan kalah dalam persaingan di bidang politik dan ekonomi. Hal itulah yang mendasari mereka untuk menyelesaikan dengan cara kekerasan dan pengingkaran terhadap perbedaan-perbedaan.
Fenomena radikalisme yang sering terjadi di Nusantara adalah terorisme. Golongan yang tidak setuju dengan kondisi Indonesia saat ini memilih untuk melakukan pemberontakan dengan cara yang ekstrem. Banyak hal yang mereka lakukan, seperti meledakkan bom bunuh diri, melakukan teror di keramaian, dan menyebarkan berita yang merisaukan masyarakat.
Awal dari sikap radikal adalah bangsa yang tidak terbiasa menerima perbedaan. Banyak dari masyarakat yang memilih untuk memusuhi dan enggan untuk bergaul dengan orang yang berbeda dalam segi agama dan suku. Banyak dari mereka tidak paham manfaat dari perbedaan dan keberagaman. Anggapan bahwa suku dan agama merekayang yang paling baik mendasari sikap ini.
Hal lain yang juga kerap terjadi adalah penindasan golongan tertentu yang hidup sebagai minoritas di suatu daerah. Sebagian bangsa Indonesia tidak bisa menerima perbedaan. Mereka memilih untuk memusuhi, sinis, bahkan melakukan kekerasan terhadap golongan yang menganut paham yang berbeda.
Sejatinya, setiap orang memimpikan untuk hidup aman dan damai di tanah kelahiran mereka. Keinginan tersebut sering rusak akibat ketidakmampuan masyarakat untuk menerima perbedaan. Akibat adanya suatu perbedaan, tak jarang bangsa menjadi bermusuhan bahkan saling menyakiti.
Setiap masalah pasti memiliki jalan keluar. Begitu juga dengan hal yang terjadi di negara ini.
Apabila tidak setuju dengan keadaan dan keputusan yang dibuat, selesaikan dengan cara yang damai dan tanpa kekerasan. Jangan sampai mempertaruhkan jati diri bangsa yang merupakan sebuah negara demokrasi dengan menempuh cara ekstrem demi perubahan yang diinginkan.
Perbedaan merupakan suatu hal biasa. Dengan adanya perbedaan, bangsa dapat menjadi saling mengenal satu sama lain. Tak perlu menempuh jalan yang tak seharusnya hanya demi menghapuskan hal yang tidak sesuai dengan paham yang dimiliki. Perbedaan akan menjadi sangat indah apabila orang yang berbeda tersebut saling menghargai.
Moderasi Islam
by Siti Thohiroh
Akhir-akhir ini, ‘moderat’ menjadi istilah yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok yang lain. Tanpa disadari, istilah ini sering digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama dan tidak anti Barat (baca: anti kapitalisme). Sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan itu disebut radikal dan seolah menjadi antagonis moderat yang menolak ideologi kapitalisme, sekuler, anti demokrasi, dan tidak mau berkompromi dengan Barat.
Moderasi Islam?
Di antara karakteristik Islam yang secara eksplisit Allah sebut dalam al-Quran adalah al-wasathiyyah/moderat (lihat QS. al-Baqoroh: 143). Dr. Afrizal Nur, MIS dan Mukhlis Lubis, Lc., M.A. mendefinisikan al-wasathiyyah sebagai kondisi terpuji yang menjaga seseorang dari kecenderungan menuju dua sikap ekstrem; sikap ifrath (berlebih-lebihan) dan muqashshir (mengurang-ngurangi sesuatu yang dibatasi Allah SWT).
Dalam bahasa yang lebih sederhana, moderasi Islam dapat dipahami sebagai pandangan atau sikap berusaha mengambil jalan tengah. ‘Muslim moderat’ menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan seimbang, baik pada tataran hubungannya dengan Allah (hablun minallah) maupun kepada sesama manusia (hablun minannas).
Kehidupan muslim moderat cenderung fokus untuk meningkatkan mutu kehidupan manusia, baik yang berkaitan dengan pengetahuan, sistem ekonomi dan keuangan, politik, kebangsaan, pertahanan, persatuan, maupun persamaan ras.
Akidah
Moderasi di bidang akidah memiliki arti bahwa Islam tidak memaksakan akidahnya kepada agama lain. Seorang Muslim harus menghormati dan menghargai kelompok agama lain. Dalam konteks ke-Indonesia-an, sikap seperti ini disebut dengan istilah ‘toleransi’.
Konsep toleransi yang ditawarkan Islam sangatlah rasional dan praktis serta tidak berbelit-belit. Namun, dalam hubungannya dengan keyakinan, Islam tidak mengenal kompromi.
Toleransi merupakan pemberian kebebasan kepada sesama manusia untuk menjalankan keyakinan, mengatur hidup dan menentukan nasibnya masing-masing. Kebebasan ini dibatasi oleh syarat-syarat atas terciptanya ketertiban dan perdamaian dalam masyarakat.
Salah satunya, muslim milenial perlu memahami bahwa Islam melarang umatnya untuk ‘memaksa’ pemeluk agama lain memeluk agama Islam.
Toleransi dalam beragama bukan berarti bebas menganut agama lain atau dengan ‘sesuka hati’ mengikuti ibadah dan ritualitas semua agama tanpa adanya peraturan yang mengikat.
Toleransi beragama harus dipahami sebagai bentuk pengakuan akan adanya agama-agama lain selain Islam dengan segala bentuk sistem dan peribadatannya serta memberikan kebebasan untuk menjalankan keyakinan agama masing-masing.
Menghina Tuhan dan agama orang lain tentu suatu hal yang dilarang. Apabila hal ini dilakukan (baca: ‘menghina’) akan memicu masalah yang besar dalam kehidupan. Sejatinya Islam mengatur segala sendi kehidupan, termasuk larangan menghina, mengolok-olok dan mencaci sesembahan penganut agama lain. Demikianlah, Islam sangat menjunjung dan menghargai perbedaan.
Begitu juga dalam berhubungan dengan sesama masyarakat. Muslim harus berbuat adil walaupun terhadap non muslim dan dilarang untuk menzalimi hak mereka. Artinya umat Islam diperbolehkan berbuat baik kepada mereka.
Umat Islam juga diizinkan hidup bermasyarakat dan bernegara dengan orang-orang yang berbeda agama selagi mereka berbuat baik dan tidak memerangi umat Islam. Dengan demikian, kehidupan lintas agama dapat berdampingan secara harmonis.
Ibadah
Islam mewajibkan penganutnya untuk melakukan ibadah dalam bentuk dan jumlah yang sangat terbatas. Keterbatasan ini dapat dilihat dari beberapa ibadah yang diperintahkan; shalat lima kali dalam sehari, puasa sebulan dalam setahun, dan haji sekali dalam seumur hidup. Selebihnya, Allah SWT mempersilakan manusia untuk berkarya, bekerja dan mencari rezeki di muka bumi.
Wilayah ibadah memiliki cakupan yang sangat luas, meliputi seluruh aktivitas keseharian manusia. Sungguh, sangat sempit pemikiran sebagian kalangan yang menganggap bahwa ibadah hanya sekedar sholat, puasa, zakat, dan haji.
Bukankah syariat Islam tidak hanya berbicara tentang halal, haram, sunnah dan makruh? Masih ada perkara mubah yang dapat bernilai ibadah jika di dalamnya terdapat niat dan maksud yang baik.
Ulama salaf memiliki kebiasaan untuk tidur di awal malam. Mereka bangun cepat untuk melaksanakan sholat dan mengharapkan pahala dari tidurnya sebagaimana mengharapkan pahala dari sholatnya.
Kebiasaan mereka dapat dijadikan contoh bahwa ‘tidur’ pun dapat bernilai ibadah, jika sebelumnya telah diniatkan. Hal ini juga berlaku pada aktivitas keseharian lainnya.
Pemahaman di atas akan menjadikan seorang muslim dapat menghadapi kehidupan secara profesional, karena semua yang ia lakukan adalah ibadah kepada Allah SWT. Namun, pemahaman tersebut perlu didasari atas komitmen bahwa pekerjaan yang dilakukan sesuai dengan syariat Islam dan memiliki niat yang benar, tekun (profesional) dan ihsan, senantiasa menjaga aturan-aturan yang Allah SWT tentukan, dan pekerjaan tersebut tidak menghalangi dirinya untuk taat beragama.
Berdasarkan pemahaman di atas, seorang Muslim semestinya tidak hanya fokus dengan ibadahnya sendiri (hablunminallah), tetapi juga berusaha menyeimbangkan dengan ibadah sosial (hablunminannas). Dengan demikian, seseorang yang taat ber-ibadah pun dapat memberikan kontribusi dalam menunjang pembangunan nasional, baik di bidang pengembangan sumber daya manusia, finansial dan perokonomian maupun bidang-bidang lainnya.
Muslim Moderat
Berdasarkan ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa seseorang yang berusaha menerapkan prinsip moderasi Islam disebut muslim moderat. Mereka berusaha menjalankan Islam secara mendalam (kaffah) dan menyeimbangkan kehidupannya, baik pada tataran hablunminallah maupun hablunminannas. Konsep ini juga sesuai dengan cermin masyarakat muslim yang disebutkan al-Quran, muslim rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi alam semesta).
Kutipan www.qureta.com
Milenial Semesta
by Siti Thohiroh
Milenial Semesta
Teknologi digital saat ini dapat diakses oleh hampir semua kalangan. Informasi berkembang dengan pesat dan penyebarannya pun makin cepat. Kondisi ini membuat berbagai kalangan dapat melihat beragam informasi dari semua sudut pandang.
Sayangnya, mayoritas milenial cenderung malas untuk menvalidasi kebenaran informasi yang diterima. Mereka cenderung menerimanya hanya dari satu sumber, terutama media sosial.
Media sosial memiliki kredibilitas informasi yang sulit untuk diukur. Fenomena ini tidak jarang dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menyebarkan paham maupun informasi (hoaks/berita bohong) yang dapat mengancam solidaritas berbangsa dan bernegara.
Sebagai contoh, ‘peperangan istilah’ (liberal dan radikal) yang sering dimunculkan intelektual Barat, khususnya melalui media sosial.
Akhir-akhir ini, istilah “moderat” menjadi kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan kelompok yang lain. Tanpa disadari, istilah moderat sering digunakan untuk mengategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama dan tidak anti-Barat (anti-kapitalisme).
Sedangkan orang-orang yang berseberangan dengan itu disebut radikal. Paradigma ini seolah dijadikan antagonis moderat yang menolak ideologi kapitalisme-sekuler, anti -demokrasi, dan tidak mau berkompromi dengan Barat.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas ‘peperangan istilah’ di atas, namun lebih menitikberatkan pada bagaimana semestinya milenial berperilaku dalam menyikapi arus informasi yang makin tak terkendali.
Milenial seharusnya mampu merepresentasikan dirinya sebagai makhluk yang terus berupaya memperbaiki diri, senantiasa menambah keilmuan dan kebajikan, tidak berlebihan dalam segala hal, dan fokus berupaya menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan. Inilah yang penulis sebut milenial semesta (milenial rahmatan lil’alamin).
Generasi Milenial
Neil Howe dan William Strauss mendefiniskan generasi milenial adalah orang-orang yang terlahir pada tahun 1982 hingga kira-kira dua puluh tahun setelahnya.
Sebenarnya, di berbagai literatur belum ditemukan kesepakatan kapan generasi ini dimulai. Namun, hampir semua pendapat setuju bahwa generasi milenial—kadang disebut generasi Y—adalah sekelompok orang yang lahir setelah Generasi X—orang yang lahir pada kisaran tahun 1980-2000an. Dengan demikian, milenial adalah generasi muda yang berusia 19-39 pada tahun ini.
Generasi milenial lahir di era perkembangan teknologi. Intermet berperan besar dalam keberlangsungan hidup mereka sehingga televisi bukanlah prioritas untuk mendapatkan informasi. Generasi milenial lebih suka memperoleh informasi dari ponsel, dengan mencarinya ke Google atau perbincangan pada forum-forum yang diikuti supaya tetap up to date.
Milenial umumnya ‘merasa’ wajib memiliki media sosial sebagai wadah berkomunikasi dan berekspresi. Kebanyakan dari mereka kurang suka membaca secara konvensional. Mereka lebih menyukai melihat gambar apalagi jika menarik dan berwarna. Jika pun hobi membaca, mereka lebih memilih membaca online (e-book) agar tidak repot membawa buku.
Sebagian besar milenial cenderung mengalami ‘ketergantungan’ terhadap teknologi, informasi, dan komunikasi. Kecenderungan ini membuat mereka lebih mudah terpapar isu-isu yang beredar di dunia elektronik, khususnya media sosial.
Apalagi, saat ini fenomena hoaks (berita bohong) sudah tidak asing lagi, bahkan kerap menyulut perpecahan di antara sesama. Jelas, kondisi ini dapat memperburuk stabilitas keamanan bernegara.
Perilaku Milenial Semesta
Pertama, membangun budaya check and recheck (tabayyun) terhadap informasi apa pun yang diterima. Hal ini dibutuhkan untuk mengonfirmasi kebenaran suatu informasi.
Terlebih di era teknologi yang serba canggih, informasi dapat dengan mudah ditemukan dimana saja—koran, TV, media sosial, dan sebagainya—yang umumnya memiliki tingkat kebenaran yang masih perlu diuji. Budaya check and recheck harus dilakukan oleh si penyebar informasi maupun yang menerima agar tidak terjadi dampak buruk yang tak diinginkan.
Kedua, menghindari menuduh tanpa bukti. Budaya takfiri dan tudingan wahabi yang sedang viral saat ini dapat dikategorikan sebagai “fitnah” jika tidak disertai adanya bukti-bukti nyata.
Fitnah adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Ia tidak hanya merusak seseorang, tetapi juga merusak masyarakat sehingga tidak mengherankan jika disebut lebih kejam daripada pembunuhan.
Pembunuhan hanya memisahkan ruh seseorang dari jasadnya, setelah itu selesai. Sedangkan fitnah dapat merubah akhlak, akidah, bahkan agama seseorang. Tidak hanya itu, akibat dari fitnah dapat berdampak turun-temurun ke generasi berikutnya.
Ketiga, bijak dan kritis dalam bersosial media. Sejatinya setiap orang membutuhkan informasi untuk keberlangsungan hidupnya. Di antara penyebabnya adalah untuk meningkatkan wawasan, menambah edukasi, dan bermasyarakat.
Kondisi ini menuntut pengguna sosial media untuk bijak dan berpola pikir kritis agar mampu menyaring informasi—mana yang positif dan membuang informasi mana yang tidak layak untuk dikonsumsi.
Milenial semesta perlu memikirkan manfaat dan keburukan yang ditimbulkan media sosial. Sebaiknya media sosial hanya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat, seperti menambah pertemanan, mencari informasi, berbisnis, dan menebar kebaikan (berdakwah).
Kemudahan yang ada hendaknya tak hanya sekadar disyukuri dan dinikmati, karena dapat berdampak positif atau malah sebaliknya, tergantung pelakon yang berperan.
Kutipan www.qureta.com
Keberagaman yang Tak Lagi Menyatukan
Radikalisme Dalang Perpecahan
by Nurhayati Nupus
Indonesia terkenal dengan keberagamannya. Kekayaan budaya, bahasa maupun agama menjadi keunikan tersendiri –yang tak jarang membuat iri bangsa dan negara lain–. Perbedaan seakan menjadi kekuatan dalam persatuan antar bangsa. Sesuai dengan semboyan negara Indonesia, yaitu: “Bhinneka Tunggal Ika” yang maknanya “Berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.
Sangat disayangkan, di Indonesia kedamaian mulai memudar secara perlahan. Seiring berkembangnya zaman, penyalahgunaan teknologi menimbulkan masalah yang dapat memicu kehancuran. Sosial media contohnya, menjadi perantara dalam menyebar ujaran kebencian, intoleransi bahkan radikalisme. Keadaan tersebutlah yang mengakibatkan bangsa ini dijajah oleh teknologi modern –menjadi budak teknologi–.
Masalah utama bangsa ini adalah radikalisme. Sebuah paham yang dimaknai negatif oleh kebanyakan orang. Arus yang semakin deras dikhawatirkan dapat meluluhlantakkan Indonesia. Tak sekadar di kalangan mahasiswa, virus radikalisme juga menjadi buah bibir di antara tokoh politik, sosial dan agama. Paham ini juga mulai menyusup ke jenjang sekolah, baik sekolah menengah pertama maupun menengah atas.
Paham ekstrim seringkali dikaitkan dengan salah satu agama di Indonesia, yaitu Islam. Bangsa Indonesia adalah pemeluk Islam terbesar di Asia Tenggara bahkan dunia. Sebagai mayoritas yang memiliki pertahanan kokoh, Muslim dijadikan sasaran oleh golongan tertentu. Misi semacam ini mencoba melakukan pergerakan dari dalam untuk memecah belah keberagaman.
Tidak hanya Islam, radikalisme sebenarnya telah meracuni kepercayaan lainnya. Berlandaskan pemahaman yang dianggap benar dalam melakukan perubahan pada tatanan negara, -tidak menerima pendapat golongan lainnya–. Segala cara dilakukan demi mencapai suatu tujuan, -meski dengan tindak kekerasan yang tak jarang berujung kematian–. Fanatisme terhadap agama sangat berbahaya, sehingga dapat berdampak pada sikap intoleran antar bangsa.
Berbagai fenomena tragis mulai bermunculan. Pengeboman dilakukan di berbagai tempat, aksi teroris tiada henti serta pembantaian di mana-mana. Konflik sosial semakin memuncak ketika tindak kekerasan mengatasnamakan agama. Padahal kepentingan golongan-golongan tertentulah yang menjadi alasan utama. Setiap ajaran yang diterima penganut agama apa pun pastinya selalu mengedepankan sikap toleransi.
Tak sedikit tokoh ulama dan pendidikan yang dianggap sebagai penopang, justru menyesatkan pemikiran. Budaya membaca yang kian melemah adalah salah satu faktor mudahnya terpengaruh dalam berbagai hal. Kebanyakan bangsa Indonesia ingin dipandang cerdas dengan memberikan pemahaman maupun kritikan –walaupun dengan wawasan minim–.
Media massa memiliki peran yang sangat penting dalam pergerakan pesat radikalisme, tak hanya sebagai alat propaganda penyebar paham yang menyesatkan, tetapi juga sebagai senjata guna melawan aksi “kejahatan pemikiran”. Kecerdasan bermedia sosial, karenanya, sangat diperlukan oleh pengguna aktif internet (sering juga disebut netizen). Kelemahan dalam literasi penggunaan media sosial dapat memicu terjadinya pelecehan, pertentangan atau merusak identitas seseorang.
Sebagai salah satu wadah yang diguyuri informasi, media sosial mendorong seseorang untuk meningkatkan daya kreatifitasnya dan pengaktualisasian diri. Pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Bebas berpendapat bermedia sosial bukan bermakna bebas tanpa arah, melainakan bebas yang bertanggung jawab
Semakin mendekati pemilu, terlihat individu-individu maupun golongan berupaya dalam meraih kemenangan. Lagi-lagi, kecanggihan teknologi yang bernuansa media sosial maupun aplikasi pengeditan marak difungsikan secara optimal. Berbagai ujaran kebencian semakin memanas, perbedaan pendapat menjadi duri pemisah yang teramat menyakitkan.
Banyak laman berbasis Islam di media sosial yang khusus dibuat sebagai alat provokator. Portal-portal online serta penerbitan berpaham radikal yang bermunculan seakan menepis persatuan. Perbuatan semacam ini sangat merugikan Muslim karena Islam tak memuat ajaran tersebut. Bahkan Islam menjunjung tinggi sikap toleran serta sangat terbuka terhadap pokok pikiran modern.
Generasi muda seharusnya melakukan gerakan perubahan. Generasi penerus sangat disarankan menuangkan pemikirannya pada berbagai karya, salah satunya tulisan. Dalam melakukan pemberitaan, media massa harus lebih proaktif dan obyektif lagi, sehingga tidak menjadi alat propaganda.
Gunakanlah media sosial untuk menebar kebaikan; memberi motivasi kepada orang lain serta berupaya menggerakkan hati seseorang untuk menjadi lebih baik ketika membaca tulisan kita baik secara online maupun secara offline. Gerakan tersebut lebih baik dan mampu menjadi amal jariyah bagi penyebarnya.
Pemuda cerdas, akan selalu menggali dan memperluas wawasannya. Bisa dimulai dengan melakukan aksi tukar pikiran dalam sebuah kelompok, serta mengadakan sosialisasi maupun seminar. Berperan aktif dalam penanggulangan masalah agama, bangsa dan negara, -memberantas radikalisme–.
Indonesia haruslah kembali merajut persatuannya. Berhati-hatilah dengan ujaran kebencian yang menginginkan kehancuran. Radikal tak selalu berkonotasikan negatif, seperti halnya pemuda bangsa yang berfikir radikal dalam mewujudkan kemerdekaan.
Tidak ada yang sulit dalam melakukan perubahan, kita hanya membutuhkan niat, nekad, usaha dan doa. Keluarlah dari zona nyaman untuk merasakan indahnya perkembangan zaman. Perbedaan tak kan lagi menjadi boomerang, bahkan perbedaanlah yang menyatukan. Hidup toleran, ciptakan perdamaian.
Kutipan www.qureta.com