Multikultural Sebagai Penangkal Radikal

Multikultural Sebagai Penangkal Radikal

by: Nurhyati Nupus 

Hari ini ketidaknyamanan seolah menjadi bayang-bayang masa depan. Hiruk pikuk pemuda bangsa mulai terngiang di penjuru Indonesia. Kini, kerap kali perbedaan diupayakan menjadi keseragaman, -baik satu pemikiran, keyakinan bahkan golongan–. Padahal, kekuatan negeri ini berawal dari keberagaman yang melimpah ruah. Besarnya toleransi menjadi alasan utama terciptanya kedamaian dan kenyamanan saat itu.

Keberagaman yang dulunya menyatukan, kini seperti momok yang sangat mengerikan. Sangat disayangkan, secara perlahan pertikaian dan perselisihan mulai merajalela. Hal ini mengakibatkan retaknya persatuan Indonesia. Memberikan luka tidak hanya pada hati bangsanya melainkan juga fisiknya. Pemuda bangsa haruslah gencar melakukan perubahan. Beralih dari kawasan ancaman ke kawasan yang terjaga keamanannya.

Radikalisme menjadi masalah utamanya. Salah satu paham yang juga memicu maraknya terorisme. Bom silih berganti mengguncang negeri ini. Pertumpahan darah tak kenal lelah membuat Indonesia menghitam, -penuh kedukaan dan kekecewaan–. Semua kalangan menjadi sasaran. Hal ini hanya karena perbedaan paham dan keinginan kekuasaan yang membabi buta. Merugikan banyak pihak yang tak bersalah dan berdosa. Mereka yang tidak berkecimpung pun ikut merasakan kemirisan negeri ini.

Satu persatu konflik pun bermunculan, mulai dari hal kecil seperti konflik pada diri sendiri sampai kepada konflik besar yang terjadi antar golongan. Sudah terlalu banyak contoh kasus memilukan. Berbeda golongan menjadikan landasan permusuhan. Hal ini dikarenakan setiap golongan menganggap dirinyalah yang paling benar dan besarnya keinginan dalam gerakan perubahan dengan berbagai cara, -meskipun dengan cara ekstrim atau kekerasan–. tanpa memikirkan imbasnya kepada orang lain.

Lagi-lagi bidang pendidikan menjadi sorotan dan sasarannya. Tidak jarang pemikiran mereka merasuki setiap kalangan dari berbagai usia. Incarannya adalah mahasiswa yang lemah baca dan tidak memiliki wawasan yang luas. Pemuda yang putus sekolah atau berpendidikan rendah juga sangat mudah dipengaruhi. Boleh dikatakan strategi cuci otak adalah andalannya. Berbagai macam organisasi ataupun kelompok diperluas wilayahnya dengan mengatasnamakan agama. Bahkan memakai topeng dengan sebutan kajian ataupun diskusi ajaran agama.

Benih radikalisme mulai merambat secara berkesinambungan dalam segala aspek, terutama dalam bidang pendidikan. Hal ini mengakibatkan corak eksklusivisme beragama semakin pekat. Maknanya, semakin banyak golongan maupun individual yang mengklaim bahwa hanya agamanya sendirilah yang paling benar serta menjadi satu-satunya jalan keselamatan di dunia maupun akhirat. Sehingga mereka tidak menerima pendapat agama lain dan menganggap berada pada kekeliruan dan ketidakselamatan.

Radikalisme sangat sulit terpecahkan. Hal ini terbukti belum terberantasnya radikalisme dan terorisme yang sudah merajalela sejak puluhan tahu lalu. Piciknya, Islam menjadi kambing hitam atas segala permusuhan dan tindakan kekerasan. Radikal bukanlah semata-mata sebagai gerakan sosial, melainkan sudah merupakan ideologi yang tidak bisa diselesaikan sekaligus, melainkan harus secara perlahan dengan berbagai pendekatan.

Meskipun radikalisme tidak semena-mena berkonotasi negatif, -hanya sebatas pemikiran maupun ideologi saja–. Namun, paham yang bernilai ekstrim, terlalu fanatik serta menghalalkan segala cara dengan mengatasnamakan agama ini haruslah segera dibasmi hingga akarnya. Pemuda berperan penting dalam upaya menangkal paham radikal, -salah satu caranya adalah mengelola multikultural yang ada–.

Berbagai upaya haruslah gencar dilakukan sejak dini. Semakin berkembangnya zaman maka akan semakin sulit untuk memberantas radikalisme. Hal ini dikarenakan kecanggihan teknologi, tidak terbatasnya komunikasi dan ketidakberdayaan masyaakat dalam memilah-milah informasi maupun masuknya budaya luar, -yang dapat merusak kemurnian kebudayaan leluhur kita–. Tidak hanya pemuda yang mulai di incar kaum radikal. Para pelajar yang katanya anak milenial sudah mulai teracuni.

Sudahlah rusak akhlak, rusak pula keimanannya. Sungguh menakutkan generasi Indonesia masa depan jika tidak segera dibenahi. Pendidikan sangatlah berperan penting dalam memberikan pelajaran, makna hidup, penebar kedamaian, pertahanan keamanan, peningkat keimanan dan akhlak serta berbagi hal lainnya. Mudah saja untuk menyebarkan radikal dikalangan pelajar milenial. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi, motivasi, serta diskusi langsung bersama pakar ilmunya.

Indonesia merupakan negara kaya akan keberagamannya, -multikultural terbesar di dunia–. Sudah seharusnya pengelolaan multikultural diupayakan mampu meminimalisir paham radikal. Terdiri dari banyak pulau, suku, ras, bahasa maupun agama menjadi modal utama terciptanya kawasan inklusif. Bertolak belakang dengan eksklusif, dimana inklusif adalah sikap toleran yang tinggi, bersikap terbuka serta berupaya menghargai perbedaan, -perbedaan pemikiran, pendapat, budaya, ras, tradisi maupun agama–.

Pemuda bangsa Indonesia haruslah bekerjasama dalam mewujudkan kawasan inklusif. Hal ini dimaksudkan demi mewujudkan masa depan kawasan yang lebih menghargai keragaman identitas. Digalakkannya gerakan-gerakan perdamain akan meningkatkan rasa menghargai dan memiliki keberagaman di Indonesia tanpa mempertimbangkan identitas seseorang. Berada pada lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan individual bangsa akan membentuk pola pikir yang kaya akan wawasan nusantara.

Kawasan inklusif dan multikultural adalah dua hal yang berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan. Hal ini dikarenakan kawasan inklusif hanya akan mampu terwujud apabila Indonesia tetap kaya multikultural. Kemampuan mengelola, mengembangkan serta memberikan inovasi baru terhadap tradisi warisan nenek moyang adalah tugas besar para pemuda. Karena jika multikultural yang ada tidak mampu dikelola secara baik, maka lama-kelamaan akan segera punah dan tidak terealisasikan sebagaimana mestinya.

Kawasan impian masa depan tidak hanya kawasan inklusif saja, namun juga kawasan yang terbebas dari radikal, adanya kebebasan beragama dan kawasan yang selalu berpegang teguh pada pedoman ajaran agamanya yaitu al-qur’an dan al-hadits bagi penganut agama Islam. Indahnya keberagaman dan mampu menghargai suatu perbedaan akan membasmi radikal secara perlahan. Sehingga hanya aka nada kedamaian bukan lagi perdebatan maupun perpecahan.

Kedamaian termasuk salah satu fokus perhatian organisasi internasional UNESCO. UNESCO dalam Declaration of a Culture of Peace menyebutkan sejumlah karakteristik perdamaian: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial sehingga manusia hidup dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila ada kekerasan, tidak aka nada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan kebebasan; (7) bila ada ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada perdamaian.

Perdamaian harus selalu berusaha dikembangkan demi memberantas radikalisme, permusuhan, pertikaian serta permusuhan antar bangsa Indonesia. Penyesalan tidak akan menggelumuri perasaan bangsa Indonesia jika pemuda bersatu dan membangun kawasan inklusif, menyemai keberagaman dengan berbagai cara seperti adanya festival budaya, sosialisasi, seminar maupun pertukaran pemuda dalam mempelajari budaya yang berbeda.

Keberagaman tidak akan menjadi ancaman, bahkan mampu menjadi pengokoh persatuan. Indahnya keberagaman dalam perdamaian. Tidak akan terjadi perpecahan bahkan pertumpahan darah sebagai seleksi alam. Pertahankan multikultural sebagai penangkal radikal yang akan mengakibatkan munculnya kawasan-kawasan inklusif sebagai kawasan impian di masa depan. Semangat pemuda, semangat bangsa Indonesia. Kita bias jika bersama.

BERPONDASIKAN ISLAM, CIPTAKAN NETIZEN BERPENDIDIKAN

BERPONDASIKAN ISLAM, CIPTAKAN NETIZEN BERPENDIDIKAN

by: Nurhayati Nupus

Pada hakikatnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan antara satu sama lainnya. Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kelangsungan hidupnya. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Aristoteles bahwa manusia sebagai zoon politicon yang bermakna manusia ingin selalu berkelompok dan hidup bersama sebagai manusia yang bermasyarakat. Sebagai makhluk social, manusia memiliki hasrat dan naluri untuk saling bekerjasama membantu secara maksimal, toleransi, kesetiakawanan, merasa empati maupun simpati terhadap lingkungan sekitarnya. Keadaan tersebutlah yang diharapkan semakin hari semakin membaik agar terciptanya kehidupan yang rukun, aman dan nyaman.

Sebagai pemuda-pemuda pelurus bangsa, seharusnya kita memperhatikan permasalahan-pemasalahan yang terjadi pada saat ini serta ikut andil dalam penanggulangannya. Tidak ada yang sulit dalam melakukan perubahan, kita hanya membutuhkan niat, nekad dan selalu berusaha membiasakan. Keluarlah dari zona nyaman untuk merasakan indahnya peningkatan dalam kehidupan.

Semakin berkembangnya zaman dengan kemajuan di bidang teknologi tentunya memberikan dampak yang besar terhadap perubahan dunia, baik berdampak positif maupun berdampak negatif. Tanpa kita sadari di zaman millennial ini terjadi kemerosotan perilaku sosial. Hal ini dikarenakan oleh kecanggihan teknologi dimana setiap manusia lebih nyaman berada di dunia maya dibandingkan dunia nyata.

Pada zaman millennial atau yang biasa kita dengar abad ke-21 ini setiap kita adalah netizen yaitu seorang penduduk net yang dengan aktif menggunakan internet dalam berbagai keperluan. Interaksi antar manusia mengalami kemerosotan dengan munculnya internet, terlebih lagi ketika maraknya penggunaan media sosial. Media sosial berperan dalam memfasilitasi hubungan manusia yang satu dan manusia lainnya, dimana hubungan tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia menjadi kehidupan yang lebih baik, berkuantitas serta berkualitas. Media sosial mengakibatkan pengguna sulit melepaskan ponsel maupun gadgetnya. Bahkan tak dapat dipungkiri ketika berada di kalangan masyarakat, rasa peduli terhadap sesama sudah sangat menurun diakibatkan sibuk sendiri dengan gadgetnya. Salah satunya dapat dibuktikan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan dalam sehari untuk menggunakan media sosial.

Terlihat jelas bahwa di zaman millennial ini, memunculkan perumpamaan “orang yang jaraknya jauh namun terasa dekat sedangkan orang yang jaraknya dekat namun terasa jauh”. Contohnya saja ketika berkumpul dengan kelompok tertentu namun malah asik dengan gadget seolah kita tak menghargai kehadiran kelompok tersebut, sedangkan seseorang yang berjarak jauh dengan kita dapat terasa dekat dengan kecanggihan teknologi. Hal kecil lainnya yang sering terjadi yaitu ketika terjadi suatu bencana ataupun masalah pada diri seseorang, maka kebanyakan manusia lainnya bukan turut menolong melainkan mendokumentasikan dengan ponselnya dan merasa bangga karena menjadi orang pertama yang mendapatkan berita tersebut ataupun berada dilokasi kejadian itu.

Dimulai dari hal-hal kecil tersebut, perlahan masalah kian membesar. Kecerdasan dan kebijaksanaan mulai diabaikan. Inilah tugas besar para pemuda bangsa. Kita tidak boleh gagap teknologi namun ketika menggunakan teknologi pun kita harus mampu mengambil keuntungan secara maksimal, bukan malah menjadi budaknya teknologi. Hal yang sangat berpengaruh dan kian melejit adalah permasalahan oleh subjek maupun pengguna dalam media sosial. Padahal banyak pengaruh positif media sosial yang dapat diperoleh khususnya dalam mendapatkan informasi.

Namun, tak dapat dipungkiri, penyalahgunaan media sosial bagi netizen yang dianggap kurang berpendidikan perlahan akan menjadi penghancur generasi. Bagaimana tidak, media sosial digunakan sebagai penyebar kebencian, penyebar berita bohong dengan tujuan tertentu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri maupun kepentingan suatu golongan. Rendahnya toleransi serta tumbuhnya sikap-sikap intoleran dalam diri netizen benar-benar memprihatinkan. Jika netizen tidak mampu memfilter segala informasi yang telah menyebar pesat itu, maka berkemungkinan akan menjadi berita bohong dan ujaran kebencian secara berantai.

Sebagai Negara demokrasi, tercantum dalam pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Adapun bangsa Indonesia ini merasa bahwa hal yang sangat wajar jika mengekspresikan pendapatnya baik di media sosial maupun dalam bermusyawarah. Menyebarkan ujaran kebencianpun dianggap sebagai hal yang wajar dalam berpendapat di Negara Indonesia ini. Padahal bebas berpendapat disini bukan bermakna bebas semaunya saja akan tetapi bebas yang bertanggung jawab. Netizen yang juga disebut dengan masyarakat online itu seharusnya dapat bekerja sama dalam memajukan Negara ini seperti sering bertukar pikiran, ilmu pengetahuan serta saling membimbing menuju arah kebaikan.

Kebebasan berpendapat disini telah disalahartikan, dapat kita lihat dengan pernyataan yang diberikan oleh netizen, sebagian besar pernyataan terungkap seakan merasa paling sempurna, tanpa dicari kebenarannya, tanpa dipikirkan makna sebenarnya, serta  tidak adanya sikap menghargai antar sesama yang bahkan dapat menghancurkan nama baik seseorang.

Kurangnya wawasan intelektual serta rendahnya budaya membaca kebanyakan netizen mampu memperkeruh suasana, mengakibatkan banyaknya adu domba, pertikaian, pelecehan, bahkan tak jarang berujung pada pembunuhan. Kejadian yang viral belakangan ini ialah pencemaran nama baik melalui media sosial, setelah permasalahan tersebut diketahui banyak orang maka sang pelaku akan mengklarifikasi melalui video permintaan maafnya. Hal ini sangat jauh dengan dunia sosial yang sebenarnya, karena dalam pembuatan video belum tentu permintaan maaf tersebut tulus, berbeda halnya jika kita meminta maaf secara langsung kepada orang yang bersangkutan.

Tertanam dalam diri manusia millennial ini bahwa ia harus terlihat lebih baik daripada orang lain. Padahal sampai kapanpun setiap manusia tidak akan pernah menjadi sosok yang lebih baik daripada diri orang lain, faktanya kemungkinan yang akan terjadi hanyalah menjadi lebih baik daripada diri kita yang sebelumnya. Setiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing yang membuat ia akan bersinar dibidangnya.

Ujaran kebencian ini harus segera kita hentikan dengan tindakan preventif yang dimulai dari berbagai hal kecil yang bernilai positif, maka lambat laun netizen akan berubah dari penghancur generasi menjadi pemersatu bangsa. Kita harus memberi batasan-batasan dalam mengeluarkan pendapat dengan cara memperhatikan ras, agama, etnik serta menghormati dan menjaga reputasi seseorang. Netizen yang cerdas haruslah mampu membedakan serta memfilter informasi yang diterima maupun yang akan disebarluaskankan. Haruslah dapat menilai antara sisi yang benar dan sisi yang salah.

Adanya norma maupun aturan-aturan tata krama yang diberlakukan baik dalam masyarakat maupun hukum yang telah dicetuskan dalam perundang-undangan negara tentunya belumlah cukup, oleh sebab itu pondasi yang sesungguhnya mampu mencakup segala bentuk permasalahan dunia dan akhirat hanyalah pemahaman ajaran agama Islam. Pemahaman tersebut haruslah kita terapkan dalam kehidupan ini.

Ajaran agama Islam berlandaskan pada warisan rasulullah saw yaitu al-qur’an juga al-hadist yang sudah pasti dapat direalisasikan tidak hanya oleh penganut agama Islam itu sendiri, melainkan juga sesuai dengan ajaran agama lainnya. Sebagaimana dikatakan ajaran agama Islam merupakan penyempurna bagi agama lainnya. Jadikanlah Islam sebagai pondasi dalam hidup ini serta al-qur’an dan al-hadist menjadi petunjuk dan pedomannya.

Islam sebagai pondasi kita dalam kehidupan. Hal utama yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki akhlak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw. salah satunya dengan manjaga ucapan, pemikiran negative serta perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Jiwa-jiwa netizen haruslah selalu memupuk keimanan dan berpondasikan kepada ajaran Islam, maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada lagi ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan adu domba serta kejahatan-kejahatan lainnya. Hal ini dikarenakan karena di dalam Islam selalu diajarkan pada kebaikan bukan kejahatan. Jadilah netizen yang menerapkan amar ma’ruf nahi munkar. Maka secara tidak langsung kita telah dikatakan netizen yang berpendidikan. Bukan lagi menyebar kebencian tetapi menyebar kebaikan.

Sudah seharusnya kita melakukan perubahan dengan menggunakan media sosial yang tujuan memberi motivasi kepada orang lain, menggerakkan hati seseorang untuk menjadi lebih baik ketika membaca tulisan kita baik secra online maupun secara offline. Maka hal tersebut akan jauh lebih baik karena mampu menjadi amal jariah bagi kita ketika ada yang menerapkan serta menyebarkannya.

Berpondasikan Islam mengakibatkan kecanggihan teknologi terutama media sosial secara perlahan akan berupah menjadi alternatif mengasah kecerdasan intelektual, menggali pengetahuan agama secara mendalam serta perbedaan tak kan lagi menjadi boomerang, bahkan perbedaanlah yang menyatukan. Hal ini berdasarkan semboyan Negara Indonesia, yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Salam semangat J

Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan

Radikalisme dan Ekstrimisme Kekerasan

by: Nurhayati Nupus.

Saat ini, bangsa Indonesia disuguhkan permasalahan besar. Salah satunya radikalisme yang telah menyebar dimana-mana, -bahkan hingga ke pelosok negeri–. Masalah yang menyangkut kehidupan berbagai khalayak ini, mulai berkembang membabi buta. Sejak dahulu kala, permasalahan radikalisme tak pernah usai. Berawal sejak zaman Rasulullah saw yang ditandai dengan kemenangannya atas peperangan, saat itu Rasulullah membagi-bagikan harta rampasan perang (hanya kepada muallaf). Hal tersebut menimbulkan kecemburuan dari pihak lain yang memicu tumbuhnya bibit radikalisme.

Seseorang penghafal al-quran yang tak mengerti isi kandungannya itu, justeru menganggap perbuatan Rasulullah salah. Ia memberikan perlawanan dan meminta agar harta rampasan perang dibagikan secara adil. Kisah terbunuhmya Ali bin Abi Tholib pun dilakukan oleh seseorang yang berasal dari kelompok Khawarij yang juga terkenal sebagai ahli ibadah, penghafal al-qur’an serta sering berpuasa. Banyak kekerasan yang terjadi dengan mengatasnamakan agama.

Seiring berkembangnya teknologi, radikalisme dan ekstrimisme kekerasan semakin marak terjadi. Kebermanfaatan teknologi dipandang sebelah mata. Terlebih oleh pemuda bangsa yang terombang ambing dalam dunia fatamorgana. Pendidikan yang rendah, minat baca yang tak lagi membara serta karakter yang semakin hari kian menyusut menjadi akar dari permasalahan pemuda bangsa.

Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumber secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika al-Quran dan hadits hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks al-Quran dan hadist, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non Islam termasuk menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada al-Quran dan hadist. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah.[1]

Sedangkan terjadinya kekerasan biasanya merupakan interaksi proses psikologis yang melibatkan banyak unsur: sugesti, imitasi dan tekanan emosi. Gustave le Bon, seorang pakar sosiologi kerusuhan sosial, menyatakan bahwa manusia seperti binatang yang memiliki kecenderungan untuk ikut-ikutan. Seperti kawanan kuda, ada yang patuh, ada pula yang melawan tuannya tatkala mau dikandangkan. Le Bon tidak percaya bahwa para pelaku kekerasan itu bergabung karena didorong oleh pilihan yang benar-benar rasional, dengan emosi yang terkontrol, atau tindakan sadar (reflexive behavior).[2]

Semakin candu dengan kecanggihan teknologi, mengakibatkan banyak manusia yang lupa diri. Mengatasnamakan agama (khususnya Islam) kezaliman dilakukan, tak perduli seberapa banyak yang merana. Secara otomatis, ujaran kebencian pun tak dapat terhindarkan. Padahal Islam sangat menjunjung toleransi, hal ini ditegaskan dalam beberapa hadis, yang artinya:[3]

“Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan kaum muslim dari (gangguan) lisan dan tangannya. Orang mukmin adalah orang yang dipercaya oleh orang lain atas darah dan harta mereka. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang menjauhi hal-hal yang dilarang oleh Allah” (HR Ahmad dari Abu Hurairah).

“Seorang muslim adalah saudara muslim lainnya. Ia tidak berbuat aniaya terhadapnya dan tidak boleh pula menyerahkannya (kepada musuh); barang siapa mengusahakan keperluan saudaranya, maka Allah selalu berada dalam keperluannya. Dan barang siapa menolong orang Islam dari suatu bencana, maka Allah akan menolongya dari suatu bencana besar kelak dihari kiamat. Dan barang siapa menutupi (aib) seorang muslim, maka niscaya Allah akan menutupi (aib)-nya kelak di hari kiamat” (HR Bukhari-Muslim).

Dari hadis tersebut sudah jelas bahwa Radikalisme dan Ekstrimisme kekerasan bukan berasal dari ajaran Islam. Tidak ada satu pun agama maupun keyakinan yang memperbolehkan menzholimi sesamanya. Agama (khususnya Islam) sudah seharusnya tak menjadi kambing hitam lagi untuk kepentingan perorangan maupun kelompok.

Banyak tindakan maupun ucapan yang bebas disebarkan oleh siapa saja dengan kecanggihan teknologi. Tercantum pada pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Hal ini bukan berarti bangsa bebas tanpa batas, melainakan bebas yang bertanggung jawab.

Dalam Islam dikenal beberapa macam kebebasan yaitu kebebasan jiwa, kebebasan tempat tinggal, kebebasan memiliki, kebebasan berkeyakinan, kebebasan berpikir dan kebebasan belajar. Islam memiliki ketetapan yang menjaga seseorang dari segala bentuk permusuhan. Oleh sebab itu segala bentuk perilaku yang membuat rusak dan permusuhan sangat dilarang oleh Islam. Perlindungan jiwa dan kebebasannya ini mendapat tempat yang terhormat, sebagaimana diisyaratkan dalam QS al-Baqarah [2]: 194. [4]

Hiruk pikuk pemuda bangsa Indonesia terfokus pada radikalisme dan ekstrimisme kekerasan. Paham yang berkonotasikan negatif tersebut beredar meluluh-lantakkan negeri ini. Kekerasan, pengeboman, penganiayaan terjadi dimana-mana. Kedamaian yang hanyalah angan berusaha dibuktikan menjadi kenyataan. Terutama oleh pemuda bangsa sebagai kelompok yang berperan penting mengalihkan tanggung jawab atas negara.

Pemuda cerdas mulai mengembalikan fungsi teknologi sesungguhnya, sebagai sarana mempermudah mendapatkan informasi (bukan hoax), menjalin silaturahmi (bukan ujaran kebencian) serta memberi bantuan mereka yang terkena bencana (bukan dalang terjadinya bencana). Banyak organisasi mulai aktif dan gencar memberikan sosialisasi radikalisme, ekstrimisme kekerasan, pentingnya toleransi serta bekerjasama dalam menciptakan perdamaian.

Kedamaian termasuk salah satu fokus perhatian organisasi internasional UNESCO. UNESCO dalam Declaration of a Culture of Peace menyebutkan sejumlah karakteristik perdamaian: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial sehingga manusia hidup dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila ada kekerasan, tidak aka nada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan kebebasan; (7) bila ada ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada perdamaian.[5]

Berantas segala permasalahan, jauhi permusuhan dan mulailah menebar benih perdamaian. Mari bekerjasama musnahkan hiruk pikuk dikalangan pemuda bangsa mengenai radikalisme dan ekstrimisme kekerasan. J J

Daftar pustaka

Abdurrahman, Moeslim, Islam sebagai Kritik Sosial, Jakarta: Erlangga, 2003.

Budhy Munawar-Rachman, Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan Living Values Education, Jakarta: The Asia Foundation. 2019.

Rubaidi, A, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogykarta: Logung Pustaka. 2010.

 

[1]A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdhatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Logung Pustaka. 2010), h.63

[2]Moeslim Abdurrahman, Islam Sebagai Kritik Sosial, (Jakarta: Erlangga. 2003), h.60-65.

[3]Budhy Munawar-Rachman, Pendidikan Karakter Dengan Pendekatan Living Values Education, (Jakarta: The Asia Foundation. 2019), h.8

[4]Ibid, h. 416

[5]Ibid, h. 17