Multikultural Sebagai Penangkal Radikal

Multikultural Sebagai Penangkal Radikal

by: Nurhyati Nupus 

Hari ini ketidaknyamanan seolah menjadi bayang-bayang masa depan. Hiruk pikuk pemuda bangsa mulai terngiang di penjuru Indonesia. Kini, kerap kali perbedaan diupayakan menjadi keseragaman, -baik satu pemikiran, keyakinan bahkan golongan–. Padahal, kekuatan negeri ini berawal dari keberagaman yang melimpah ruah. Besarnya toleransi menjadi alasan utama terciptanya kedamaian dan kenyamanan saat itu.

Keberagaman yang dulunya menyatukan, kini seperti momok yang sangat mengerikan. Sangat disayangkan, secara perlahan pertikaian dan perselisihan mulai merajalela. Hal ini mengakibatkan retaknya persatuan Indonesia. Memberikan luka tidak hanya pada hati bangsanya melainkan juga fisiknya. Pemuda bangsa haruslah gencar melakukan perubahan. Beralih dari kawasan ancaman ke kawasan yang terjaga keamanannya.

Radikalisme menjadi masalah utamanya. Salah satu paham yang juga memicu maraknya terorisme. Bom silih berganti mengguncang negeri ini. Pertumpahan darah tak kenal lelah membuat Indonesia menghitam, -penuh kedukaan dan kekecewaan–. Semua kalangan menjadi sasaran. Hal ini hanya karena perbedaan paham dan keinginan kekuasaan yang membabi buta. Merugikan banyak pihak yang tak bersalah dan berdosa. Mereka yang tidak berkecimpung pun ikut merasakan kemirisan negeri ini.

Satu persatu konflik pun bermunculan, mulai dari hal kecil seperti konflik pada diri sendiri sampai kepada konflik besar yang terjadi antar golongan. Sudah terlalu banyak contoh kasus memilukan. Berbeda golongan menjadikan landasan permusuhan. Hal ini dikarenakan setiap golongan menganggap dirinyalah yang paling benar dan besarnya keinginan dalam gerakan perubahan dengan berbagai cara, -meskipun dengan cara ekstrim atau kekerasan–. tanpa memikirkan imbasnya kepada orang lain.

Lagi-lagi bidang pendidikan menjadi sorotan dan sasarannya. Tidak jarang pemikiran mereka merasuki setiap kalangan dari berbagai usia. Incarannya adalah mahasiswa yang lemah baca dan tidak memiliki wawasan yang luas. Pemuda yang putus sekolah atau berpendidikan rendah juga sangat mudah dipengaruhi. Boleh dikatakan strategi cuci otak adalah andalannya. Berbagai macam organisasi ataupun kelompok diperluas wilayahnya dengan mengatasnamakan agama. Bahkan memakai topeng dengan sebutan kajian ataupun diskusi ajaran agama.

Benih radikalisme mulai merambat secara berkesinambungan dalam segala aspek, terutama dalam bidang pendidikan. Hal ini mengakibatkan corak eksklusivisme beragama semakin pekat. Maknanya, semakin banyak golongan maupun individual yang mengklaim bahwa hanya agamanya sendirilah yang paling benar serta menjadi satu-satunya jalan keselamatan di dunia maupun akhirat. Sehingga mereka tidak menerima pendapat agama lain dan menganggap berada pada kekeliruan dan ketidakselamatan.

Radikalisme sangat sulit terpecahkan. Hal ini terbukti belum terberantasnya radikalisme dan terorisme yang sudah merajalela sejak puluhan tahu lalu. Piciknya, Islam menjadi kambing hitam atas segala permusuhan dan tindakan kekerasan. Radikal bukanlah semata-mata sebagai gerakan sosial, melainkan sudah merupakan ideologi yang tidak bisa diselesaikan sekaligus, melainkan harus secara perlahan dengan berbagai pendekatan.

Meskipun radikalisme tidak semena-mena berkonotasi negatif, -hanya sebatas pemikiran maupun ideologi saja–. Namun, paham yang bernilai ekstrim, terlalu fanatik serta menghalalkan segala cara dengan mengatasnamakan agama ini haruslah segera dibasmi hingga akarnya. Pemuda berperan penting dalam upaya menangkal paham radikal, -salah satu caranya adalah mengelola multikultural yang ada–.

Berbagai upaya haruslah gencar dilakukan sejak dini. Semakin berkembangnya zaman maka akan semakin sulit untuk memberantas radikalisme. Hal ini dikarenakan kecanggihan teknologi, tidak terbatasnya komunikasi dan ketidakberdayaan masyaakat dalam memilah-milah informasi maupun masuknya budaya luar, -yang dapat merusak kemurnian kebudayaan leluhur kita–. Tidak hanya pemuda yang mulai di incar kaum radikal. Para pelajar yang katanya anak milenial sudah mulai teracuni.

Sudahlah rusak akhlak, rusak pula keimanannya. Sungguh menakutkan generasi Indonesia masa depan jika tidak segera dibenahi. Pendidikan sangatlah berperan penting dalam memberikan pelajaran, makna hidup, penebar kedamaian, pertahanan keamanan, peningkat keimanan dan akhlak serta berbagi hal lainnya. Mudah saja untuk menyebarkan radikal dikalangan pelajar milenial. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi, motivasi, serta diskusi langsung bersama pakar ilmunya.

Indonesia merupakan negara kaya akan keberagamannya, -multikultural terbesar di dunia–. Sudah seharusnya pengelolaan multikultural diupayakan mampu meminimalisir paham radikal. Terdiri dari banyak pulau, suku, ras, bahasa maupun agama menjadi modal utama terciptanya kawasan inklusif. Bertolak belakang dengan eksklusif, dimana inklusif adalah sikap toleran yang tinggi, bersikap terbuka serta berupaya menghargai perbedaan, -perbedaan pemikiran, pendapat, budaya, ras, tradisi maupun agama–.

Pemuda bangsa Indonesia haruslah bekerjasama dalam mewujudkan kawasan inklusif. Hal ini dimaksudkan demi mewujudkan masa depan kawasan yang lebih menghargai keragaman identitas. Digalakkannya gerakan-gerakan perdamain akan meningkatkan rasa menghargai dan memiliki keberagaman di Indonesia tanpa mempertimbangkan identitas seseorang. Berada pada lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan individual bangsa akan membentuk pola pikir yang kaya akan wawasan nusantara.

Kawasan inklusif dan multikultural adalah dua hal yang berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan. Hal ini dikarenakan kawasan inklusif hanya akan mampu terwujud apabila Indonesia tetap kaya multikultural. Kemampuan mengelola, mengembangkan serta memberikan inovasi baru terhadap tradisi warisan nenek moyang adalah tugas besar para pemuda. Karena jika multikultural yang ada tidak mampu dikelola secara baik, maka lama-kelamaan akan segera punah dan tidak terealisasikan sebagaimana mestinya.

Kawasan impian masa depan tidak hanya kawasan inklusif saja, namun juga kawasan yang terbebas dari radikal, adanya kebebasan beragama dan kawasan yang selalu berpegang teguh pada pedoman ajaran agamanya yaitu al-qur’an dan al-hadits bagi penganut agama Islam. Indahnya keberagaman dan mampu menghargai suatu perbedaan akan membasmi radikal secara perlahan. Sehingga hanya aka nada kedamaian bukan lagi perdebatan maupun perpecahan.

Kedamaian termasuk salah satu fokus perhatian organisasi internasional UNESCO. UNESCO dalam Declaration of a Culture of Peace menyebutkan sejumlah karakteristik perdamaian: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial sehingga manusia hidup dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila ada kekerasan, tidak aka nada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan kebebasan; (7) bila ada ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada perdamaian.

Perdamaian harus selalu berusaha dikembangkan demi memberantas radikalisme, permusuhan, pertikaian serta permusuhan antar bangsa Indonesia. Penyesalan tidak akan menggelumuri perasaan bangsa Indonesia jika pemuda bersatu dan membangun kawasan inklusif, menyemai keberagaman dengan berbagai cara seperti adanya festival budaya, sosialisasi, seminar maupun pertukaran pemuda dalam mempelajari budaya yang berbeda.

Keberagaman tidak akan menjadi ancaman, bahkan mampu menjadi pengokoh persatuan. Indahnya keberagaman dalam perdamaian. Tidak akan terjadi perpecahan bahkan pertumpahan darah sebagai seleksi alam. Pertahankan multikultural sebagai penangkal radikal yang akan mengakibatkan munculnya kawasan-kawasan inklusif sebagai kawasan impian di masa depan. Semangat pemuda, semangat bangsa Indonesia. Kita bias jika bersama.

Leave a Reply