Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Berbicara tentang cinta dan benci tentu setiap manusia telah merasakannya. Cinta dan benci merupakan sebuah naluri manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. Tidak heran jika Agama islam memberikan petunjuk menyangkut hal tersebut.  Dengan suatu nasihat yang nilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Muhammad SAW.: “Cintailah kekasihmu secara wajarnya saja, siapa tahu suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu”.  Sebagaimana petunjuknya menyangkut cinta dan benci tesebut bahwa jelas manusia memiliki potensi-potensi untuk berfikir dalam memahami petunjuk itu. Dalam hal memahami dan mengaplikasikan makna cinta dan benci dalam kehidupannya.

Nasihat di atas tentunya ditujukan kepada manusia, cinta dan benci tidak terlepas dari hati yang dimiliki manusia, hati yang sering di sebut kalbu. Memiliki makna dalam bahasa aslinya berararti,”bolak-balik”.  Manusia yang hatinya sangat mudah terbolak-balikkan, bahkan berubah-ubah, terkadang ke kiri dan sekali-kali ke kanan. Tentunya apabila manusia tidak memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang pasti, manusia akan terombang-ambingkan oleh pengaruh dunia yang fana.

Cinta dan benci yang sudah ditakdirkan akan selalu mengisi suatu waktu pada sesi kehidupan manusia, sedangkan waktu itu akan selalu terus belalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Hal itu perlu dipahami sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya adalah salah  satu yang “ada”. Tetapi, ketika bercinta, ia dapat merasa mimiliki segala yang “ada” atau tidak menghiraukan yang “ada”. Dalam puisi cinta yakni “dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak”. Nah, hal inilah membuat manusia selalu lupa akan segalanya, jika di eramilenial sekarang sering kita dengar sebutan bucin. Setelah itu berlalu, ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” bahkan “hampa”. Akibatnya prustasipun ia rasakan pahitnya putus cinta, dan hilang secercah harapan. Demikianlah cinta mempermainkan manusia.

Cinta dan persahabatan sekarang yang terjalin oleh anak—muda menurut sebagian pakar—didorong oleh usaha memperoleh kelezatan semata atau bahkan kesenangan dunia. Karenanya, ia serba cepat, yaitu cepat terjalin dan cepat pula putus, lihatlah contoh lingkungan anda untuk saat ini. Sedangkan cinta dan persahabatan orang dewasa adalah demi memperoleh manfaat, yaitu memperoleh keuntungan atau beragam hal lain yang dimaksud. Hal itupun, bersifat sementara. Kemudian Abu Hayyan At-Tauhidy menulis: “perjalanan yang paling panjang adalah perjalanan mencari sahabat”. Sahabat, menurut Aristoteles, adalah anda sendiri, hanya saja dia orang lain.

Dia adalah Anda sendiri, dan ingatlah anda memiliki kalbu yang sering kali berubah-ubah. Karenanya tidak ada persahabatan yang kekal, apalagi dalam dunia kelezatan dan kepentingan dunia. Karenanya sebagai muslim perlu ketakwaan kepada Allah SWT agar memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang  pasti dalam menjalani kehidupan dunia yang sementara ini.

Lihatlah peristiwa pertumpahan darah antara Irak dan Iran delapan tahun lamanya mereka berperang. Selama delapan tahun juga Kuwait memberikan bantuan dana yang tidak sedikit kepada Irak demi kelanjutan perangnya. Tetapi, dengan serta-merta, teman yang dielu-elukan kemarin, berubah menjadi musuh. Musuh kemarin dirangkul agar menjadi teman, sementara penyesalan dan permohonan maaf pun mengalir dari mereka yang kemarin mengutuknya. Julukan saudara bekas musuh pun terdengar. Demikianlah yang didasari oleh “kepentingan sementara” yang senantiasa berubah. Ambillah hikmah dari peristiwa tersebut.

Dalam agama Islam, Allah SWT memberikan petunjuk yakni Al-Quran untuk menjadi pedoman hidup manusia, agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk itu, Al-qur’an mengingatkan kita: janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil ! Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS 5:8). Sungguh banyak pelajaran yang dapat kita petik dari berbagai peristiwa masa kini yang dapat menjadikan kita semakin peracaya akan kebenaran petunjuk-petunjuk agama.[]

Sumber: M.Quraish shihab, Lentera Al-Quran, kisah dan hikmah kehidupan

By: Muhammad Syaprul Alamsyah (Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU)

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

“TAWḤID ḤUSŪNIYYAH:
Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi
(Kamis, 23 Maret 2017)

Negeriku, negerimu, dan negeri kita, Indonesia tidak pernah berhenti dirundung malang masalah korupsi. Belakangan ini, berita paling hanyar diramaikan dengan kasus korupsi e-KTP. Sayangnya, kebanyakan para “tikus-tikus” penguras “lumbung padi” negeri ini adalah ber-e-KTP (kolom agama): Islam. Barang kali ini adalah konsekwensi wajar dari Islam sebagai agama yang dianut mayoritas oleh warga negeri ini.

Akan tetapi, kalau kita mau “berjujur-jujur” pada diri sendiri, bahwa ini adalah indikasi, sepertinya doktrin Islam belum bisa “diandalkan” oleh penganutnya sebagai pembedung dalam mencegah prilaku korupsinya. Dapat dikatakan bahwa manusia semacam ini seperti orang Arab Badui, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, mengaku-ngaku telah beriman, padahal baru dalam kategori Islam sebab iman belum meresap dalam hatinya (QS. Al-Hujurat [49]:14-15).

Orang Islam nominal yang tidak beriman akan menjadi “benalu”, dan bahkan bisa menjadi “racun” dalam kehidupan berbangasa. Dengan demikian, sebagai agama yang paling banyak/terbesar dianut, bagaimana Islam bisa mengantar negara mencapai tujuannya. Padahal, Cak Nur pernah berkata bahwa “Kemenangan Islam adalah kemenangan bagi semua golongan.” Artinya, kalau idealitas ajaran Islam tidak dipahami, dihayati dan diamalkan dengan penuh keimanan, maka kemenagan Islam dalam memberantas korupsi, layaknya seperti “panggang jauh dari api”.

Parahnya masalah korupsi di negeri ini, sepertinya sulit untuk mencegah/mengatasinya kalau kita hanya mengandalkan dua tawhid dalam doktrin Islam, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah”. Untuk mencegah maraknya korupsi itu, karenanya, perlu di buat tawhid “baru”, yaitu “Tawḥid Husūniyyah”. Mohon maaf kelancangan pemikiran ini, sekali berharap saran, koreksi atas kekeliruan, kesalahan tulisan tentang tawhid dimaksud, berikut ini.

Pengertian “Tawḥīd Ḥūsūniyyah

Kata “tawḥīd”, menurut Nurcholish Madjid (Islam, Doktrin dan Peradaban, 1992: 72), secara harfiah tidak terdapat dalam kitab suci al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an ialah kata “aḥad” dan “wāḥid” ). Kata “tawḥīd” adalah istilah teknis dalam Ilmu Kalam (yang diciptakan oleh para mutakallimīn [atau ahli theologi dialektis Islam]). Term “tawḥīd” termasuk dalam kata benda kerja (aktif) yang merupakan derivasi dari kata “waḥīd” yang artinya “satu” atau “esa”. Jadi, makna harfah “tawḥīd” ialah “menyatukan” atau “mengesakan”. Dalam konteks ini, kata “tawḥīd” dimaksudkan sebagai paham “me-Maha Esa-kan” Allah atau paham “Monotheisme”, yaitu bahwa Allah (hanya) satu-satunya Wujud; tidak wujud, selain Allah (lā wujūd illa Allah).

Term ḥusūniyyah adalah derivasi dari kata dasar “ḥasana” yang bermakna “baik”; atau satu akar kata dengan “iḥsan” yang berati “berbuat terbaik”. Dan pada tingkatan lebih tinggi, iḥsan berarti bahwa seseorang akan berbuat yang baik dan bahkan yang terbaik karena ia selalu (merasa) dalam pengawasan dan bimbingan Allah dan, karenanya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, pengertian tawḥīd ḥusūniyyah adalah sebuah “kesadaran ketuhanan” (God-consciousness), yaitu bahwa Allah satu-satunya Pencipta Yang Terbaik dan satu-satunya Pengawas Yang Maha Hadir agar manusia senantiasa (pula) berbuat yang terbaik.

Term “tawḥīd ḥusūniyyah ” dimaknai sebagai kelanjutan logis dan hirarkis dari dua jenis tawhid yang telah dirumuskan oleh ulama salafiah sebelumnya, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah”. Term tawḥīd ḥusūniyyah sendiri dimaksudkan sebagai pengganti dari term “asmā’ wa sifāt” yang telah diciptakan sebagai bagian tak terpisahkan dari doktrin tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah. Ada dua pertimbangan, setidakanya, kenapa term asmā’ wa sifāt perlu diganti dengan term tawḥīd ḥusūniyyah.

Pertama, secara etimologis (lughawi [bahasa]) term asmā’ wa sifāt tidak satu “timbangan” (wasan) dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah. Tambahan pula, berbeda dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah, term asmā’ wa sifāt sulit untuk ditambahkan di depannya kata “tawḥīd”. Maka dengan sendirinya akan sulit dipahami kalau kita menuliskan/ mengatakan “tawḥīd asmā’ wa sifāt”

Kedua, secara terminologis (istilāḥ) term asmā’ wa sifāt memiliki konsep dan kandungan pemahaman yang terlalu luas, dan pada gilirannya tidak gamblang, sebagaimana tercemin dari term-term itu sendiri. Kata asmā’ mengandung makna konotasi pada nama-nama baik (asmā’ al-ḥusnā) Allah yang jumlahnya 99; dan kata sifāt boleh jadi mengacu kepada sifat-sifat Allah yang jumlahnya 20, sebagaimana diajarkan dalam doktrin teologis Asy’ariyah (Ahl Sunnah wa al-Jamā‘ah).

Latar BelakangTawḥīd Ḥusūniyyah

Latar belakang lahirnya istilah tawḥīd ḥusūniyyah –sebagai kelanjutan dari dua tawhid sebelumnya– karena konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” melulu pada konsep hubungan manusia dengan Tuhan (ḥabl min Allāh) yang bersifat ukhrawi dan bermuara semata-mata pada keshalehan individual. Kemudian, kedua jenis konsep tawh}id itu, sepertinya tidak (atau kurang) menekankan kaitannya dengan hubungan dengan manusia (ḥabl min al-nās) dan terlepas dari konteks kehidupan duniawi serta mengabaikan kesalehan sosial. Pernyataan ini sesuai dengan pengertian “tawḥīd rubūbiyyah” itu sendiri, yaitu seorang berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Pemelihara; dan pengertian tawḥīd ulūhiyyah itu sendiri, yaitu seorang berkeyaninan bahwa Allah adalah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian.

Pada dasarnya, tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah meskipun berhirarkis, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan dan jalin-berkelindan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” dipahami secara terpisah dan terlepas (tidak ada hirkisitas yang berkesinambungan) satu dengan yang lainnya, maka konsep tawhid itu menjadi tidak utuh dan salah. Dalam kenyataan hidup, misalnya, orang-orang kafir Quraish (hanya) memiliki tawḥīd rubūbiyyah (meyakini bahwa Allah adalah satu-satu Pencipta dan Pemelihara. Q.s. al-Zumar [39]: 38]; atau Q.s. al-Ankabu>t [26]: 63). Namun, mereka tidak memiliki tawḥīd ulūhiyyah (bahwa Allah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian), sehingga mereka menyembah selain Allah. Bahkan sesembahan mereka itu, diyakininya juga diciptakan Allah (Q.s. al-Zukhruf [43]:87), yaitu al-Lāt, al-‘Uzza al-Manāt (Q.s. al-Najm [53]: 19-22).

Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, bagi siapapun baik masyarakat manusia pada umumnya, maupun masyarakat yang bercampur kepercayaannya kepada Allah pada khususnya, mereka harus melakukan proses pembebasan, yaitu pemurnian kepercayaan kepada Allah dengan dua cara. Pertama, dengan pemusatan keperacayaan hanya kepada Allah dengan penegasan bahawa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak dan transendental. Menurut Ibn Taymiyyah, cara pemurnian kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd rubūbiyyah yang terangkum dengan baik dalam Q.s. al-Ikhlās [112].

Kedua, dengan melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu dengan penegasan bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak jadi sesembahan. Sekali lagi, menurut Ibn Taymiyyah, cara pembebasan kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd ulūhiyyah yang terangkum dengan tepat dalam Q.s. al-Kāfirūn [109]. Sedemikian penting kedua surah pendek itu, maka, menurut sejumlah hadis, Rasulullah saw. paling sering membacanya dalam shalat. (Islam, Doktri dan Peradaban: 80)

Proses pemurnian kepercayaan kepada Allah, karenanya, tidak boleh berhenti hanya sampai pada “tawḥīd rubūbiyyah” dan tawḥīd ulūhiyyah, tetapi harus pula diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tawhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa Hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik. Kalau tawḥīd ulūhiyyah tidak diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah, maka seseorang hanya memiliki kesalahan individual yang berorientasi ukhrawi, tanpa memiliki kesalehan sosial yang berorientasi duniawi.

Islam memang mengajarkan bahwa sesorang Muslim dituntut untuk mengejar kebahagian hidup di akhirat. Akan tetapi, Islam segera mengajarkan bahwa jangan sampai melupakan kebahagian hidup di dunia ini. (Q.s. al-Qasās [28]: 77). Dengan demikian, seseorang niscaya memaknai kehidupan di dunia ini sebagai “jembatan” menuju akhirat (al-dunyā masra‘ah al-ākhirah). Artinya, untuk bahagia di akhirat (dengan modal kes}alehan individual) terlebih dahulu harus bahagia di dunia (dengan modal keshalehan sosial).

Untuk itu, kebahagian yang paling hakiki di dunia ini adalah yang beralaskan pada kecerdasan emosional dan spritual, yaitu ketika kita bermafaat (memberi kebahagian) bagi sesama manusia. Sehingga, karenanya, Nabi saw. menyebut manusia itu: “Khayr al-nās yanfa‘u li al-nās” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermafaat kepada manusia). Makanya, manusia tawḥīd ḥusūniyyah semacam ini akan merahi kebahagian di dunia (fi al-dunyā hasanah) dan sekaligus akan menggapai kebahagian di akhirat (fi al-ākhirah hasanah), sebagaimana sering dipanjatkan kepada Allah di setiap akhir doa [pemungkas] seusai melaksanakan s}alat.

Landasan Tawḥīd Ḥusūniyyah

Konsep tawḥīd ḥusūniyyah dibangun beralas pada asas-asas doktrin Islam, yaitu Firman Allah dan Hadis Nabi. Pertama, salah satu sifat Allah ialah ih}san, yaitu membuat semua ciptaan-Nya baik, dan sebaik-baiknya. Di antara Firman Allah tentang ini: “Dialah yang membuat semua yang diciptakan-Nya baik” (Q.s. al-Sajadah [32]:7); “Dan Dialah yang memberi bentuk kepadamu sekalian, kemudian Dia membuat bentukmu baik” (Q.s. al-Ghafīr [40]: 64; juga Q.s. al-Taghābun [64]:3).

Kemudian, Allah mempertegas ayat-ayat ini dengan memerintahkan manusia sebagai khalifah di bumi (khalīfah fī al-arḍ) agar meneladani Allah, firman-Nya: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allah ilayka wa la tabghi al-fasād fi al-arḍ inna Allah la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” (Q.s. al-Qasās [28]: 77).

Berikutnya, ayat-ayat tersebut ditopang hadis Qudsi yang menganjurkan: “takhallaqū fī akhlaqi Allāh (berakhlaklah engkau sebagaimana akhlaknya Allah). Diantara perbuatan iḥsan (kebajikan) itu adalah berinfak (apalagi dalam kondisi kurang punya), mampu manahan amarah dan sekaligus memberi maaf. (Q.s. ‘Ali Imrān: [3]: 134. Pada ayat lain, Allah berulang-ulang menyebutkan kaitan antara keimanan dan ketakwaan yang diringi dengan perbuatan kebajikan. (Q.s. al-Maidah [5]: 93).

Kedua, hadis Nabi [hadis nomor ke-2 dalam kumpulan hadis ‘Arba‘īn], terutama menyangkut pertanyaan malaikat Jibril tentang iḥsan: “Akhbirny ‘an al-iḥsan?” Kemudian, Nabi Muhammad saw. menjawab: “‘an ta‘bud Allah ka’annaka tarāh fa ‘illam takun tarāh fa innahū yarāka” (Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinilah bahwa Dia (yang) melihatmu. HR. Bukhari-Muslim). Pada hadis senada lainnya disebutkan: “‘An takhsya Allah ka’annaka tarāh fainnaka in la takun tarāhu fainnahū yarāk” (takutlah kepada Allah sekan-akan kamu melihatnya, maka sesungguhnya kamu tidak meliaht-Nya, maka sungguh Dia melihatmu. (HR. Bukhari-Muslim).

Term “iḥsan” itu, sebagaimana termaktub dalam rentetan hadis riwayat Bukhari-Muslim di atas, adalah kelanjutan hirarkis dan logis dari dua pertanyaan malaikat Jibril sebelumnya, yaitu: “mā huwa al-īmān” yang kemudian dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Iman”; dan “mā huwa al-islām” yang belakang dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Islam”. Artinya, kesadaran ihsan sejatinya baru bisa ada dalam diri seseorang kalau kesadaran iman dan islam sudah dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa inti nilai-nilai yang terdapat dalam konsep iman dan islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai iḥsan.

Demikian pula konsep simpul-simpul keagamaan pribadi, yaitu “taqwa”, “tawakal” dan “ikhlas” menjadi kualitas-kualitas seseorang yang beriman kepada Allah yang tidak bisa dilepaskan dari tawḥīd ḥusūniyyah. Jadi, manusia yang memiliki tawḥīd ḥusūniyyah, taqwa menjadi kesadaran berbuat baik demi ridha Allah; tawakal menjadi sumber kekuatan jiwa dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dan persoalan hidup, terutama dalam perjuangan memperoleh ridha-Nya; Ikhlas menjadi ruh segala amal ibadah yang sangat rahasia dalam diri seseorang, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan, terutama oleh Allah Yang Maha Tahu (al-‘Alīm).

Demikinan pula dengan simpul-simpul keagamaan sosial, misalnya, terutama keadilan (‘adl) juga memiliki hubungan erat dengan keimanan. Untuk itu, keadilan imani terkait erat dan jalin-berkelindan dengan iḥsan, sehingga Allah memeritahkan keduanya secara bersamaan untuk dilaksankan terhadap sesama manusia dengan setulus-tulus dan semurni-murninya (Q.s. al-Nahl [16]: 90), karena kita melakukan itu di hadapan Allah untuk menjadi saksi bagi-Nya (Q.s.al-Nisā [4]: 136). Bagi Allah segala perbuatan dan kenyataan serta detak hati nurani tidak akan pernah dapat di rahasiakan (Q.s. al-Māidah [5]: 8).

Signifikansi “Tawḥid Husūniyyah”

Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin s}alat lima waktu, naik haji ke Mekkah sampai dua-tiga kali serta ‘umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah ‘umrah, haji, dan terutama shalat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari tawḥīd ulūhiyyah. Akan tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga shalatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingukangannya.

Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu “kelihatan” shaleh secara individual sewaktu di masjid (salatnya begitu khusyu, berdoanya raja‘ wa khawf [harap dan cemas] kepada Allah) ; atau sewaktu di haramayn, Mekkah dan Madinah (seluruh rangkaian ibadah haji/’umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya). Namun, setelah pulang dari shalat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah”-nya di tinggal dalam masjid atau di depan Ka’bah. Artinya, ia tidak lagi memiliki tawḥid ḥusūniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung (kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok), kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

Seandainya, (sekali lagi, ini seandainya) orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau depan Ka’bah di Mekkah sana, dan dalam kalbunya tertanam tawḥid ḥusūniyyah, tentu ia selalu merasa diawasi Allah kapan, dimanapun serta bagaimanapun Allah senantiasa Hadir dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya; dan/ atau kalau mau disuap ia akan memenafikkan karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Sayangnya, ia hanya pengandaian, dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka penyegahan korupsi tinggal agan-angan yang absurd dan utopis.

Ironisnya lagi, lambat-laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” (hatinya tidak lagi “nurani” [bersifat cahaya-terang], tetapi sudah “zulmāni [bersifat gelap-gulita]). Dengan begitu, ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakuknannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi “baik” dan “halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang pergunkan naik haji dan ‘umrah berulang-ulang kali itu buat dirinya “halal-halal” saja.

Padahal, hakekat tujuan ibadah mahdah, terutama s}alat adalah agar manusia menjadi baik dan terhidar dari perbuatan keji dan mungkar (inna al-ṣalah tanhā ‘an al-fahshāi wa al-munkar [Q.s. al-Ankabut [29]: 45]). Bahkan bagi orang yang shalat sekalipun, tetapi tidak memiliki tawḥid ḥusūniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka (“wayl li al-muṣallīn; al-lathīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn; al-lathīna hum yurā’ūn; wa yamnā‘ūn al-mā‘ūn (maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang lalai terhadap s}alatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan. (Q.s. al-Mā‘ūn [107]: 4-7).

Seseorang yang tidak memililki tawḥid ḥusūniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khushu’ dalam salatnya, tetapi pada sisi lain rakus korupsi dalam jabatannya. Meskipun segara harus ditambahkan, bahwa “khushu’ dalam salat di sini bukan dalam makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekedar dipermukaan dengan motivasi ingin pamer, riyā (ingin dilihat orang lain). Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riyā.”

Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran tawḥid ḥusūniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam berbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang wartawan untuk konferensi press agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Dan sifat “kedermawannya” itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legeslatif dan eksekutif.

Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Q.s. al-Baqarah [2]: 271). Untuk itu, sesorang yang beriman dengan memiliki tawḥid ḥusūniyyah dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk merahi ridha atau “wajah” Allah. (Q.s. al-Baqarah [2]: 272; al-Insān [76]: 9). Konsekwensi logisnya, manusia tawḥid ḥusūniyyah tidak lagi berada pada tataran, meminjam term dalam tawasuf, “takhalli”, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran “taḥalli”, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (al-ma‘ruf dan al-khayr).

Akhir Kata

Dalam mencegah dan memberantas kejahatan korupsi, penegak hukum, khususnya lembaga KPK mesti tegas menjatuhkan hukuman seberat-beratnya, kalau perlu dengan hukuman mati. Meskipun demikian, seorang difigur intleketual Melayu-Riau, Raja Ali Haji menyarankan kepada penegak hukum agar lebih mengutama penyegahan kejahatan korupsi ketimbang pemberantasannya. Pencegahan yang dimaksud Raja Ali Haji adalah lewat pendidikan dan internalisasi nilai-nilai, seperti “bermalu” (etika-personal), “beradab-bersopan” (etika-sosial) dan “takut akan Allah” (etika-teologis).

Dengan internalisasi nilai-nilai ini terutama yang disebut terakhir (takut pada Allah) menjadikan manusia senantiasa berbuat benar dan baik lantaran ia selalu merasa dalam pengawasan Allah. Dan pada gilirannya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, orang bersangkutan telah memiliki “puncak” tawh}id, yaitu “tawḥīd ḥusūniyyah”, setelah tawḥīd ulūhiyyah dan tawh}id rububiyyah secara berturut-turut.

Tanpa pencegahan semacan itu kejahatan korupsi akan terus berulang dan merajalela. Pada gilirannya, para penegak hukum akan direpotkan penyengahan korupsi, terlebih-lebih pemberantasannya. Dalam konteks ini, mari kita tutup dengan mengutip penyataan Raja Ali Haji dalam Thamarāt al-Muhimmah: “… karena takut akan raja juga, bukannya karena takut akan Allah Ta’ala atau beradab dan bersopan dan bermalu, maka apabila alfa sedikit kawal raja dan jaga raja, kembali pula ia semula pada pekerjaannya demikian halnya.”

Sebaliknya, kalau mereka memiliki etika-personal, etika-sosial dan etika-teologis atau tawḥīid ḥusūniyah serta memiliki akal yang dapat mengetahui benar dan salah; dan memiliki hati nurani yang dapat membendakan baik dan buruk, niscaya mereka sendirilah yang akan mengontrol dan mencegah dirinya untuk melakukan kejahatan dan berpuatan tercela lainnya. Artinya, kata Raja Ali Haji, “tiada susuh dan payah atas raja-raja dan orang besar-besar membuangnya” — [memberantas kejahatan – penulis].

Wa Allah ‘alam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-hidayah illā bi Allah.

Si al-Fakīr

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Dari khalifah Rasul ke Khalifah Allah: Sebuah Anomali Gelar Kekuasaan dalam Sejarah Islam?

Dari khalifah Rasul ke Khalifah Allah: Sebuah Anomali Gelar Kekuasaan dalam Sejarah Islam?

Term khalīfah jamaknya adalah khulafā’, khalāif. Term ini secara leksikon dapat berarti “datang setelah” atau “menggantikan”. (Lihat, Luis Ma’luf Yusai, Al-Munjīd fī al-Lugha wa al-‘Alam, 1975: 192). Istilah khalīfah pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab pada abad ke-6 M. Pada prasasti itu tampak menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan bertindak sebagai pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain.

Kata khalīfah muncul dua kali dalam al-Qur’andalam dua konteks, yaitu pertama, mengacu kepada Nabi Adam (baca: surat al-Baqarah: 28); kedua, mengacu kepada Nabi Daud (baca: Q.s. [37]: 257). Adapun surat yang disebut belakangan, muncul dalam konteks dengan membawa kesan kuat mengenai kedaulatan, “Kami telah menciptakan khalīfah di atas muka bumi ini,” kata Allah kepada Nabi Daud, “hakimilah manusia secara adil.” Jika ditelusuri, bagi kaum Muslim, Daud adalah nabi sekaligus raja yang mengkombinasikan baik otoritas religius maupun otoritas politik.

Kata khalīfah juga muncul beberapa kali dalam al-Qur’an dalam dua bentuk pluralnya, yaitu khulafā’ dan khalā’if. Kedua bentuk plural tersebut muncul dalam konteks dimana keduanya dapat diterjemahkan menjadi “para pengganti”, kadang-kadang berarti “para ahli waris” dan “para pemilik” atau bisa juga menjadi “raja-raja muda”. Kekhalifahan historis Islam, muncul pertama kali dan sejauh ini yang paling besar dan penting dalam institusi kedaulatan, bermula setelah wafatnya Rasulullah, dan pengangkatan Abu Bakar sebagai penggantinya dalam komunitas Muslim di Madinah. Abu Bakar adalah merupakan khalifah pertama dari rangkaian panjang khalifah. (Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicaco: University Chicaco Press, 1989; 44).

Setelah ‘Umar ibn Khattab menggantikan Abu Bakar Shiddiq, ia tidak berkenan dipanggil khalifah Rasul Allah, apalagi khalifah Allah dalam pengertian menerima kekuasaan dari Allah. Namun, belakangan ia setuju dan senang dipanggil dengan sebutan ‘Amir al-Mu’minin”. Untuk itu, ada sebuah pembicaraan menarik yang direkam dalam sejumlah versi oleh penulis Arab belakangan, kurang lebih isinya seperti ini: “Sewaktu Abu Bakar menggantikan Nabi, ia dipanggil sebagai khalīfah Rasūl Allāh, wakil Rasul Allah. Kemudian ‘Umar ibn Khattab meneruskan [atau juga menggantikannya, dalam bahasa arabnya istakhlafāhu]. Seseorang datang menghampiri ‘Umar dan menyebutnya sebagai khalīfah Allāh, wakil Allah. Akan tetapi ‘Umar membentaknya, dan lantas berkata: “Itu Daud.” Orang itu kemudian menyebut ‘Umar khalīfah Rasūl Allāh, wakil Rasul Allah, dan ‘Umar berkata: “Tapi itu Abu Bakar, yang sekarang telah wafat.”

Kemudian, orang tersebut menyebutnya sebagai khalīfah khalīfah Rasūl Allāh, (wakil-wakil Rasul Allah). Lalu ‘Umar berkata, “Nah, itu baru tepat, tetapi itu akan berkembang lebih panjang lagi nantinya.” Orang itu berikutnya bertanya, “ Lalu kami harus menyebut anda apa?” ‘Umar menjawab, “Kau adalah orang yang beriman, dan aku adalah komandanmu, maka panggillah aku ‘komandan’ kaum beriman.” (Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicaco: University Chicaco Press, 1989; 44; Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press LTD, 1970: 179).

Dalam riwayat lain, menurut Imam al-Nawāwi, bahwa gelar Amīr al-Mu’minīn pertama kali diucapkan oleh Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah ketika mereka berdua datang menemui ‘Umar sebagai utusan dari Irak. Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah menuju Madinah dan sesaat setelah sampai di Masjid Nabawi, mereka bertemu dengan Amr bin ‘Ash. Salah seorang di antara mereka berkata, “Mintakan kami izin untuk menemuni Amirul Mukminin.” Amr bin ‘Ash berkata, “Demi Allah, nama yang kalian sebutkan sangat cocok untuk Umar.”

Kemudian, Amr bin ‘Ash masuk menemui Umar, dia berkata, “Assalamu ‘Alaikum, ya Amirul Mukminin.” Umar menjawab, “Apa yang terbetik di benakmu hingga kamu menyebutkan nama itu?” Beri tahukanlah kepadaku apa yang membuatmu memanggilku dengan nama seperti itu.” Amr bin ‘Ash memberi tahu prihal yang terjadi, lalu ia berkata, “Engkau adalah amir (pemimpin), adapun kami adalah kaum mukminin. Maka jadilah sebutan Amirul Mukminin bagi Umar. Sejak saat itulah, surat-surat yang dikirim Umar Ibn Khattab menggunakan gelar itu. (Lihat, Imam al-Sayuti, Tarikh al-Kulafā’, (Jakarta: Hikmah, 2010: 139-140).

Dalam tradisi politik Islam klasik terdapat gelar-gelar sanjungan berlebih yang disematkan kepada penguasa, yaitu: “khalīfah Allāh fī al–arḍ” (wakil Allah di bumi) dan “zil Allāh ‘alā al-arḍ” (bayang-bayang Allah di bumi) atau “zil Allāh ‘alā al-‘ālam”(bayang-bayang Allah di alam). Gelar-gelar yang berlebihan ini tidak pernah dipergunakan pada masa kekhalifahan Khulāfa al-Rashidūn. Bahkan ‘Umar Ibn Khattab, seperti disebut sebelumnya, menolak dengan membentak seseorang karena menyebutnya dengan gelar “khalīfah Allāh” (wakil Allah). Gelar khalīfah Allāh ini, seperti dikutip Philip K. Hitti dari al-Mas‘udi, disematkan untuk kali pertama pada khalifah al-Mutawakkil (847-861) dari Dawlah Abashiyah (lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs: 317). Akan tetapi, Lewis menyodorkan data berbeda lebih dini yang menyebutkan bahwa gelar khalīfah Allāh pertama kali digunakan oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan (687-705), khalifah kelima Dinasti ‘Umayyah (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam,45-46; Ovamir Anjum, Political, Law and Community in Islam Thought, 2012: 47).

Pada era sebelumnya, klaim khalifah sebagai amanah Allah disimbolkan dengan “khalifah Rasul” pada masa khulafa’ al-rasyidun, khususnya khalifah Abu Bakar Siddiq. Kemudian berubah/diganti menjadi “khalifah Allah” pada era Abashiyah atau pada era sebelumnya yang dapat disebut sebagai sebuah anomali dalam sejarah politik Islam dengan pengaruh yang sangat kental dari Persia (John L. Esposito, Islam the Straight Path, Oxford: 53). Sekiranya penguasa berdaulat tertinggi dalam politik kamunitas Muslim adalah khalifah, tetapi masalahnya adalah ia khalifah siapa: apakah khalifah Rasul atau Allah? Dalam literatur bidang hukum dan politik Sunni, menurut Lewis, tidak ada pernyataan resmi menyebutkan penguasa itu sebagai khalifah Allah. Dengan kata lain, pandangan ahli hukum dan pemikir politik Islam dengan tegas menyatakan bahwa penguasa yang berdaulat itu adalah khalifah Rasul, dan sama sekali bukan khalifah Allah (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam,44-45).

Gelar khalīfah Allāh (wakil Allah) itu, misalnya muncul dalam syair-syair puji-pujian yang ditujukan kepada khalifah-khalifah Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah. Begitu pula, Gelar khalīfah Allāh (wakil Allah) yang terdapat pada prasasti dan mata uang negara, misalnya di gunakan oleh khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul Malik (687-705, dan khalifah Abbashiyah, al-Ma’mun (813-833) digunakan secara tentatif dan tidak resmi. Dengan bahasa lain, prasasti dan mata uang dengan gelar kata khalīfah Allāh  itu digunakan secara umum hanya untuk menggambarkan bahwa penguasa sebagai khalifah, tanpa menyatakan dari apa dan siapa ia bertindak sebagai khalifah, dan untuk siapa ia menjalankan kekhalifahan tersebut (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam, 45).

Gelar untuk menopang “aurah ilahiah” seorang penguasa diberi pulah tambahan menjadi khalīfah Allah fī al-arḍ, dan atau penambahan gelar yang terinspirasi dari Persia, yaitu “zil Allāh ‘alā al-‘ālam” (bayang-bayang Allah”. Selain itu, menurut Abdullah Ahmad Al-Na‘im, Dinasti Umayyah juga menggunakan gelar “Amin Allāh” dan gelar “Nā’ib Allah”. Gelar-gelas itu semakin menunjukkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki  seorang khalifah. Untuk terus mengukuhkan tanda otoritas khalifah, gelar-gelar itu selalu diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah Jum‘at di semua wilayah yang mereka kuasai (Abdullah Ahmad al-Na‘im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah: 100).

Gelar khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam dengan jelas menandai suatu klaim terhadap semacam hak ilahiah dari kerajaan, yaitu sebuah otoritas yang diperoleh langsung dari Allah (Bernard Lewis, The Political Language of Islam: 46).  Dengan kata lain, penggunaan bahasa agama yang tercermin dari gelar-gelar khalifah tersebut menjadi bahasa politik, menurut Azra, tidak jarang oleh penguasa Muslim dimanipulasi dengan memberikannya muatan atau menyelubunginya dengan aura keagamaan. Dengan begitu, penguasa dapat memperoleh tambahan legitimasi dan otoritas keagamaan yang sering dipandang sakral oleh masyarakat pada umumnya (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis,  Bahasa Politik Islam: xix-xx).

Dalam konteks apa yang disebutkan Azra di atas, penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, selain ada yang bersifat despotik dan lalim –ada di antara yang menyebut dirinya khalifah lslam itu– tidak jarang dengan pongahnya melabrak doktrin-doktrin agama. Pada Dinasti  Umayyah dan Dinasti Abbasyiah, misalnya, sekedar menyebut beberapa prilaku bejat dan tidak senonoh, ada khalifah yang penggemar/kecanduan minuman arak; ada khalifah yang menjadi al-Qur’an sebagai sesaran tembakan anak panah; ada pula khalifah yang memiliki gundik sampai angka 4.000; dan ada khalifah yang memiliki prilaku homoseksual (Faraq Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim: 2003; Phillip K. Hitti, History of the Arab: 1970).

Gelar penguasa yang agung, seperti khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam, misalnya dengan protokol istana yang ketat, dan etika ketika akan menghadap penguasa, rakyat diharuskan menundukkan kepala, dan bahkan diharuskan mencium lantai sebagai simbol kekuasaan khalifah yang absolut (John L. Esposito, Islam the Straight Path, Oxford: Oxford University Press, 1991: 53). Begitu pula, persepsi anugerah “keilahian” penguasa sebagai khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam berlaku pada tradisi politik Melayu Nusantara, misalnya bahwa rakyat diharuskan mencurahkan seluruh “bakti” dan ketaatannya raja. Daulat raja harus dijunjung tinggi sebagai wujud ketaatan dan pengabdian rakyat kepada raja semata-mata.

Sebaliknya, rakyat jangan sekali-kali mendurhaka kepada rajanya kalau mereka tidak mau ditimpa tulah (kemalangan dan kebinasaan yang tragis) dalam hidup. (Lihat, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara,90; lihat juga, T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu:, 26). Berawal dari konsep “keilahian” penguasa sebagai khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam, sehingga dalam teks-teks Melayu Nusantara ada ungkapan-ungkapan bahwa dengan melihat wajah raja sama artinya dengan melihat “wajah” Tuhan; melayani raja sama artinya dengan melayani Tuhan; dan melawan raja sama artinya dengan mendurhakai Tuhan (Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu: 62).

Gelar “khalīfah Allāh al-arḍ” (wakil Allah di bumi) dan/atau “zil Allāh ‘alā al-ālam” (bayang-bayang Allah di alam) dalam kekhalifahan Islam berpengaruh luas pada masa-masa awal pemerintahan kesultanan Islam Melayu-Nusantara. Gelar “zil Allāh fī al-arḍ” atau “zil Allāh fī al-ālam” ini, menurut Azra, sedari awal telah dinisbatkan kepada penguasa kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara. Gelar-gelar tersebut, misalnya disandang oleh Merah Sulu, raja Pasai (dalam Hikayat Raja-raja Pasai); Muzaffar Syah, sultan Malaka (dalam Undang-undang Malaka dan Sulālat al-Salāṭīn); begitupun sultan-sultan Aceh menggunakan gelar itu (dalam Bustān al-Salāṭīn) (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, 91-97; Lian Yock Fang (ed.), Undang-Undang Malaka, 1976: 64).

Gelar dan entitas politik Melayu Nusantara seperti disebutkan di atas, menurut Azra, jelas dipengaruhi penguasa-penguasa dari Timur-Tengah. Kenapa sejumlah raja-raja di Melayu Nusantara mendambakan kuat untuk mendapatkan gelar “sultan” dari otoritas politik-keagamaan tertentu di Timur-Tengah? Azra menyebutkan bahwa para raja itu selain ingin mendapatkan legitimasi tambahan bagi kekuasaannya, mereka juga berhasrat untuk mensosialisasikan diri dengan pusat-pusat otoritas politik dan keagamaan lslam dari Timur-Tengah (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: 92).

Konsepsi tradisi pemikiran politik di alam Melayu tentang sebutan raja/ sultan sebagai “zil Allāh ‘alā al-arḍ” atau “zil Allāh fī al-ālam” tidak saja berlaku pada masa awal kerajaan Islam (abad ke-15). Akan tetapi, belakangan (awal abad ke-20) gelar itu masih dianut, misalnya Jurnal Al-Imām, jurnal menyuarakan pembaharuan di alam Melayu, tetap mengakui penguasa sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi (zil Allāh ‘alā al-arḍ). Jurnal ini mempublikasikan, umpamanya, sebuah artikel membincangkan teori “Raja sebagai Bayang-bayang Tuhan di Bumi”, meskipun dengan menambahkan beberapa kualitas kepemimpinan sangat ideal.

Jurnal Al-Imām yang terbit di Singapura selama rentang waktu 1906-1908 ini menyebutkan: “Sesungguhnya, memang benar, raja-raja adalah bayang-bayang Tuhan di bumi. Akan tetapi, doktrin ini ditujukan kepada sifat dan kualitas tertentu, yaitu ilmu pengetahuan, kecerdasan, keberanian, keadilan, kesabaran, tingkah laku baik, simpati pada yang lemah, cinta pada rakyat, tangkas dalam administrasi dan politik, memahami sejarah raja-raja masa lalu. Secara lahiriah, karena dunia ini adalah warisan dari kerajaan-kerajaan mereka, kemudian pergantian mereka tetap diingat oleh kerajaan berikutnya.”

Pandangan jurnal “pembaharuan” yang rada-rada “konservatif” ini, menurut Abu Bakar Hamzah, harus mempertimbangkan waktu, situasi dan lingkungan mengitari terbitnya jurnal ini. Misalnya, Al-Imām terlalu memuji raja-raja dan sistem pemerintahan monarkhi. Dalam prakteknya, jurnal ini mengulas secara khusus Sultan Abu Bakar, Sultan dan Raja dari Negeri Johor sebagai kerajaan ideal di antara pemerintah dan Raja-raja Melayu di kawasan ini (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam: Its Role in Malayu Society 1906-1908: 86-87).

Penggunaan gelar-gelar yang agung dan unsur-unsur tradisi agama dalam menyusun teori tentang “keilahian raja”, sejatinya tidaklah mencerminkan ajaran-ajaran agama. Akan tetapi, lebih tepat dikatakan sebagai penyalagunaan gagasan-gagasan agama itu sendiri demi kepentingan penguasa dan kekuasaan (Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu: 60-61). Dengan bahasa yang lebih tegas,  Azra mengungkapkan bahwa “…. Meskipun sistem dan perilaku politik yang mereka jalankan tidak selalu selaras dengan prinsip dasar al-Qur’an tentang politik.” (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis,  Bahasa Politik Islam: xix-xx).

Sikap dan pandangan mempergunakan gelar sanjungan yang berlebihan kepada penguasa (khalifah, sulthan dan raja), sebagaimana disebutkan di atas, adalah tidak berdasarkan dari doktrin agama pada umumnya, dan teladan dari Rasūl Allāh pada khususnya. Pemikiran semacam ini dianut oleh al-Ghazāli yang beralas dari hadith Nabi Muhammad saw. Dalam suratnya kepada Nizam al-Dīn Fakhr al-Mulk, al-Ghazāli menulis: “Ketahuilah bahwa gelar-gelar yang memuji yang dikenakan atas manusia adalah ciptaan setan, dan karenanya tidak seorang muslim pun yang saleh boleh menerimanya. Rasul Allah saw. bersabda: “Saya, sebagaimana juga orang-orang yang rendah hati dan takwa di antara ummatku, membenci gelar-gelar dan julukan-julukan yang muluk-muluk.” (Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazali kepada Para Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama Sezamannya: 1988: 37 dan 53).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Doktrin “Taskhir”: Keadaban Manusia Terhadap Alam

Doktrin “Taskhir”: Keadaban Manusia Terhadap Alam

Masih ingatkah kita tembang lagu gubahan group band fenomenal di era tahun 1970-an, Koes Plus? Lagu bertajuk “Lautan Susu”, satu di antara lagu-lagu Koes Plus sangat populer dan hampir setiap orang yang hidup masa-masa itu mampu melantukannya dengan baik. Syair lagu itu melukiskan dengan benar secara metafor, baik dan indah tentang negeri ini? Potongan syairnya itu masih tergiang-ngiang dalam benakku, begini:

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Namun, beberapa tahu belakangan ini, lirik syair ini layak dimodifikasi menjadi:

Bukan lautan hanya kolam lumpur,
kapal asing kini menghantui dirimu
banyak badai banyak teror kau temui
ikan dan udang menjahu dari dirimu.

Orang bilang tanah kita tanah …

Saya “tidak tega” untuk melanjutkan potongan syair lagu yang akan saya modifikasi. Saya “tidak tega” dan urung merangkai kata bernada negatif karena betapun saya tetap akan memiliki seonggok harapan positif pada ibu pertiwi ini. Negeri kepulauan nan elok-permai disebut-sebut sebagai gugusan zamrud khatulistiwa bagian dari potongan surga, kita telah berubah menjadi … Saya “tidak bisa ”melanjutkan kalimat karena saya masih memiliki setumpuk optimism pada tumpah darah ini. Betapapun, cinta kepada ibu pertiwi dan tumpah darah terkalahkan, layaknya ungkapan pribahasa: “hujan batu dinegari sendiri” lebih baik daripada “hujan emas di negeri orang”. Betapapun sikap optimis dan pandangan positif itu penting untuk mengokohkan langkah kedapan demi melihat hari-hari cerah dan ceria di masa-masa menjelang.

Tanpa sikap optimis dan pandangan positif semacam itu ke depannya, apa yang bisa saya banggakan dari negeriku di hadapan Tuhan? Tentu, saya akan tertunduk bukan saja takut, tetapi juga malu untuk menegadah melihat “Wajah” Tuhan. Dan Aku malu dan risih menatap mata cemehan malaikat, dengan katanya, “Benar ‘kan, apa yang aku katakan dulu (tatkala Adam [nenek-moyangmu] akan diciptakan). Kamu, bangsa manusia hanya tahunya melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi.” Tuhan, ampuni hamba dan tolanglah hamba dari “sindiran” malaikat, … Bukankah Engkau lebih mengatahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat itu. (Qs. al-Baqarah [2]: 30).

Mengemban amanah sebagai khalifah (penggati/duta) Allah dengan segenap tanggung jawab yang menyertainya, sungguh teramat berat. Amanah berat ini tampak ketika Allah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka semua pada enggan menerimanya/memikulnya. (Qs.al-Ahzab [33]: 72). Betapapun amanah itu teramat berat, tetapi Allah tidak akan membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya, “lā yukallif Allah nafsan illā wu’aha” (Qs. al-Baqarah [2]: 286). Dengan kata lain, Allah tidak akan pernah memberikan amanah dan tanggungjawab di luar ambang batas kesanggupan yang dimiliki manusia. Apalagi, Allah pasti tidak pernah akan menzalimi hamba-hamba-Nya.

Atas dasar pertimbagan itu, dan ditambah dengan kasih-sayang Allah yang meliputi segala sesuatu (“rahmatī wa si‘a kulla shay’), sehingga Allah “mewajibkan dirinya” untuk menolong manusia agar dapat menunaikan amanah itu dengan memberikannya akal pada (di dalam) diri dan doktrin “taskhir” pada (di luar) diri manusia. Anugrah akal dan doktrin taskhir ini jalin berkelindan pada diri manusia bagi kebutuhan dalam menunaikan amanah yang diembankan Allah kepadanya. Artinya, anugrah akal tanpa doktrin taskhir manusia menjadi pincang; sebaliknya, doktrin taskhir tanpa akal manusia menjadi buta.

Istilah taskhir berasal dari akar kata bahasa Arab tersusun dari huruf “sin”, “kha” dan “ra”, hingga terwujud kata “sakhkhara”. Makna “sakhkharah”, menurut Quraish Shihab, adalah Allah “menundukkan sesuatu agar dapat dimanfaatkan manusia”. Pada doktrin “sakhkhara” melibatkan Allah di dalamnya mengingat sesuatu itu menurut sifatnya atau keadaannya enggan tunduk, tanpa penundukan Allah. (Lihat, Quraish Shihab, “Tafsir al Misbah”, Vol 9, 2005: 115)

Sementara itu, Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa “sakhkharah” mengandung arti bahwa Allah “menundukkan” atau “membuat sesuatu lebih randah” (“taskhīr”) bagi manusia. Artinya, manusia tidak akan pernah mampu menundukkan langit dan bumi (jagad raya) dengan segala benda dan gejala alam –meskipun dengan kecanggihan akal yang dimilikinya– tanpa campur tangan langsung dari Allah. (Lihat, Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 2009), 146-147)).

“Alam” (al-‘ālam atau cosmos) terdiri dari: jagad (al-āfāq) [“alam besar” (‘ālam al-kabīr atau makrokosmos)]; dan manusia (al-insān) [“alam kecil” (‘ālam al-ṣaghīr atau mikrokosmos)]. Kedua jenis alam ini, menurut Cak Nur, berwujud “dengan hikmatnya” atau dengan istilah lain, “bereksistensi teleologis”, yakni diciptakan oleh Allah dengan “ḥaqq” (benar), “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar.” (Q.s. al-Zumar [39]: 5); diciptakan dengan tidak “lā‘b” (main-main), “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Q.s. al-Ambiyā [21]: 16); dan tidak pula diciptakan dengan “baṭīl” (palsu), “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan batil (Q.s. Ṣād [38]: 27)”.

Sebaliknya, alam semesta (lagit dan bumi beserta segala wujud/makhluk yang terdapat di dalamnya) diciptakan Allah swt. dengan penuh maksud dan tujuan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 289). Sekurangnya-kuranganya, maksud dan tujuan penciptaan alam semesta itu, di kalangan teolog (mutakallimīn) dimaknai sebagai argumentasi “ayat-ayat” adanya Allah (“cosmological argument”).Allah sendiri telah menegaskan dan menunjukkan bahwa pada makrokosmos lewat al-āfāq (cakrawala) dan pada mikrokosmos lewat al-anfus (jiwa) terdapat tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah dan sebagai penegasan bahwa al-Qur’an adalah benar. (Q.s. Fuṣṣilat [41]: 53).

Penciptaan alam semesta sebagai “cosmological argument” atas eksistensi Allah menjadi penting diperhatikan manusia yang memiliki akal, seperti memperhatikan penciptaan langit dan bumi (Q.s. Alu ‘Imrān [3]: 190); bintang-bintang (Q.s. al-An‘ām [6]: 97); binatang-bintang (,Q.s. al-Naḥl [16]: 79); dan tumbuh-tumbuhan (Q.s. al-A’rāf [7]: 58); serta fenemona alam (Q.s. Al-Rūm [30]: 24); dan entitas-entitas alam lainnya. (Q.s. al-Naḥl [16]: 13). Raja Ali Haji menyatakan bahwa “Semuanya itu jika dipikirkan dengan akal yang sempurna semuanya menjadi tanda Allah Ta’ala….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 23).

Makanya pemahaman terhadap alam semesta dan segala isinya sangat tergantung kepada bagaimana manusia menggunakan semaksimal mungkin akal yang dianugrahkan Allah. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam peredaran siang dan malam, terdapat tanda-tanda (sumber-sumber pelajaran) bagi mereka yang mempunyai akal budi.” (Q.s. Ālu ‘Imrān [3]: 190). Dan Firman Allah, “…. segala sesuatu ada disemua langit dan ada di bumi, semuanya dari Dia. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi kaum berpikir.” (Q.s. al-Jāthiyah [45]: 13). Dengan mempergunkan akal secara maksimal dalam merenungkan fenomema-fenomena alam akan membuat manusia takjub atas kebesaran Allah. Dan seyogyanya sujud-tersungkur di hadapan Allah, Sang Pemilik alam semesta disertai gumaman bibir: Subhan Allah, al-Hamd li Allah, dan Allah Akbar.

Mengandalkan kemampuan anugerah akal semata, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menjadikan manusia tidak kuasa sepenuhnya dalam mengelola alam semesta. Oleh karena itu, terdapat sejumlah ayat yang menegaskan bahwa Allah telah banar-benar “menundukkan dan merendahkan” alam semesta beserta isi dan fenomenanya bagi kepentingan dan keperluan manusia. Al-Qur’an menyatakan, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (Q.s. al-Jāthiyah [45]: 13).

Pada ayat lain Allah berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (Q.s. Luqmān [31): 20).

Dalam ayat lain juga dikemukan, “Apakah kamu tiada melihat bahwa Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Ny. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (Qs. al-Hajj [22]: 65).

Begitu pula pada ayat lain, ditegaskan, “Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. (Qs. Ibrahim [14]: 32-33).

Dari sejumlah ayat tentang taskhir tampak dengan jelas bahwa Allah telah menundukkan langit dan bumi beserta di antara kedunya dengan bebarapa perincian, mislanya, menundukkan matahari, bulan, bahtera, sungai-sungai, siang dan malam. Dalam penundukkan lagi dan bumi beserta di antara keduanya dimakani sebagai anugerah, rahmat dan nikmat serta sebagai wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Dan dari rentetan ayat tersebut perlu dicatat bahwa dalam penundukan alam semesta itu terdapat tanda-tanda dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal.

Doktrin taskhir dalam al-Qur’an mengandung tiga prinsip penting yang saling terkait satu dengan lainnya. Pertama, bahwa manusia adalah puncak ciptaan Allah, sehingga seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah daripada manusia. Kedua, karena alam memiliki martabat yang lebih rendah daripada manusia, sehingga manusia diberi wewangan untuk memamfaatkan alam demi kebutuhan manusia. Ketiga, wewenang manusia dalam memamfaatkan alam harus bertanggungjawab dengan tidak mengeksploitasi alam secara semena-mena.

Manusia sebagai khalifah (“duta” atau “pengganti”) Allah di bumi harus memperlakukan alam ini secara baik dan bertanggungjawab. Nurcholish Madjid menyatakan dengan gamblang: “Kekhalifahan manusia ini mempunya implikasi prinsipil yang luas. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai “duta” Tuhan di bumi, maka manusia akan dimintai tanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahan itu. Maka manusia diharapkan untuk senantiasa memeperhatikan amal perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Ilahi kelak. Kewajiban untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab ini merupakan titik mula moralitas manusia, dan membuatnya sebagai makhluk moral, yakni makhluk yang selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 2008: 297).

Adanya penekanan sebagai “pengganti” atau “duta” Allah di bumi maka setiap kali akan memulai amal ibadah manusia dituntun dan ditutut agar melafadzkan, “Bismi Allah al-Rahman al-Rahim” (“Atas nama [maaf, terjemahannya bukan dengan nama] Allah Yang Maha Pengasih dan Penyanyang). Begitu pula, hubungan manusia dengan alam ditekankan adanya tanggungjawab, sehingga manusia dituntut untuk memperlakukan alam layak seorang “istri” dengan penuh kasih sayang, baik (mu’asayarah bi al-ma’ruf), dan disertai tanggung jawab. Sebalinya, manusia seharusnya tidak memperlakukan alam bagaikan seorang “pelacur” dengan hanya modal uang, tanpa adanya kasih-sayang dan tanggung jawab.

Memperlakukan alam dengan tanpa “kasih-sayang” yang tidak diiringi tanggun jawab benar-benar-benar telah menjadi realitas hidup keseharian. Dengan demikian, sungguh nyata kerusahan baik di darat maupun di laut karena ulah manusia. Semoga, kerusakan yang telah dilakukan oleh manusia diperlihatkan Allah, sehingga manusia kembali ke jalan yang benar. (Qs. al-Rūm [30]: 41).Untuk itu, manusia dewasa ini harus semakin menyadari dan sekaligus menuruti perintah Allah,“Janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi ini ….” (Q.s. al-A‘rāf [7]: 56).

Lebih dari itu, manusia seyogyanya untuk mulai belajar meneladani Allah sebagai khalifah-Nya di bumi: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allāh ilayka wa la tabghi al-fasād fī al-arḍ inna Allāh la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” Q.s. al-Qaṣāṣ [28]: 77). Lagi pula, manusia harus mengisafi menurut ajaran al-Qur’an bahwa manusia dapat ditimpakan hukuman mati hanya pada dua kasus, yaitu membunuh dengan tanpa alasan dan melakukan kerusakan di bumi. (QS. al-Ma’idah [5]: 32)

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies], UIN Suska Riau).

Forgive, Yes; Forget, No

Forgive, Yes; Forget, No

Judul di atas spiritnya terambil dari pernyataan Nelson Mandela (18 Juli 1918 – 5 Desember 2013): “We forgive but not forgotten” (Kita memaafkan, tetapi tidak melupakan) dengan modifikasi merujuk pada susunan kata analogis dari jargon Cak Nur yang sangat populer, “Islam, Yes; Partai Islam, No?” (awalnya pakai tanda tanya, tetapi belakangan sudah teruji benar maka “tanda tanyanya (?)” dihilangkan (terhilang dengan sendirinya). Maka dari keduanya, Mandela dan Cak Nur, lahirlah judul: “Forgive, Yes; Forget, No”.

Pernyataan yang kemudian menjadi jargon dari Nelson Mandela itu sungguh memiliki resonansi mendunia (menyemesta). Pernyataan jitu Nelson Mandela itu terlontar dari mulutnya yang merupakan cerminan hatinya yang tulus-ikhlas untuk mengajarkan rekonsiliasi bagi bangsanya, Afrika Selatan bahkan kepada dunia. Kalau bukan lantaran manusia agung, kalimat “We forgive but not forgotten” tidak akan pernah terlontarkan. Betapa tidak, Nelson Mendela yang dipenjara selama 27 tahun dengan penyiksaan dan penderitaan yang tak terperikan, pada saat keluar penjara pada 1990 ia rela dan tulus memaafkan. Dan tidak terkecuali Nelson Mandela juga memaafkan prilaku bejat sipir penjara yang dulu pernah mengencinginya.

Kita di Indonesia juga memiliki manusia agung yang kita daulat secara “common sense” menjadi guru bangsa, yaitu Gus Dur (Allahumma yarham). Menurut Hermawi Taslim dalam karya Guntur Wiguna, “Koleksi Humor Gus Dur” (2010: 24-25), Gus Dur memiliki tiga prinsip hidup, yaitu (1) Akan selalu berpihak kepada yang lemah; (2) Anti diskriminasi dalam bentuk apapun; dan (3) Tidak pernah membeci kepada orang, sekalipun disakiti. Prinsip hidup Gus Dur yang terkahir ini diwujud-nyatakan dalam sikapnya, misalnya kepada Pak Harto. Gus Dur menyatakan dengan kebesaran jiwa dan ketulusan hatinya bahwa ia tidak pernah menaruh benci, meskipun Pak Harto memusuhi dan menyakitinya.

Lebih jelas sikap dan pendirian Gus Dur ini nyata sekali kalau kita ingat wawancara dengan Andy F. Noya dalam sebuah acara tayang TV swasta, Gus Dur menyatakan “Saya di dunia ini …, pemimpin di Indonesia ya, yang pantas jadi musuh saya cuma satu mas.” Siapa itu, tanya Andy F. Noya. Gus Dur menjawab, “Pak Harto Mas”. Gus Dur segera menambahkan, “tetapi itupun di hari raya saya masih ke sana, masih menjadi teman baik saya.” Artinya apa itu? Gus Dur menimpali, “Artinya, saya tidak punya musuh dong di Indoesia.” Ucapan luar biasa Gus Dur ini, bercampur dengan gaya homornya yang cerdas, disambut dengan tepuk tangan meriah oleh orang-orang yang hadir dalam tayangan acara “Kick Andy” itu.

Sikap Gus Dur terhadap Pak Harto –yang seharusnya dijadikan musuh, tetapi dengan akhlak yang demikian luhur dan agung malah dijadikan sahabat– terlihat dalam dua perspektif yang kelihatan konradiktif. Pertama, pada satu sisi Gus Dur menyerukan pengadilan sebagai bentuk untuk tidak melupakan “dosa-dosa” (kesalahan-kesalahan) Pak Harto sekaligus memberikan pembelajaran dalam menegakkan moral politik di Indonesia. Kedua, pada sisi lain, Gus Dur pulalah yang mengajarkan kepada bangsa ini agar memaafkan “dosa-dosa” (kesalahan-kesalahan) Pak Harto. Sikap dan pandangan Gus Dur yang “terkesan” kontradiktif ini, menurut Quraish Shihab dalam acara “Tahlil Akbar Haul 1000 Hari Gus Dur”, menunjukkan kejeniusan seseorang.

Dari pernyataan Gus Dur yang “terkesan” tampak bertolak belakang itu, sejatinya “menyatu”. Kalau pernyataan Gus Dur disingkat (“diperas”), intinya persis sama dengan pernyataan Nelson Mandela di atas. Malahan menurut saya, dua kalimat Gus Dur itu, sepertinya lebih “mulia” dari pernyataan Nelson Mandela. Mari kita bandingkan kedua pernyataan dari dua tokoh besar dunia ini dengan pertimbangan “analisis” bahasa secara sederhana. Pertama, pernyataan Nelson Mandela, “Kita memaafkan, tetapi tidak melupakan”, sepertinya mengisyaratkan bahwa dalam pemaafan yang diberikan itu “bersyarat”, yaitu agar tidak melupakan (dengan mendahulukan “memaafkan”, dan mengakhiri “tidak melupakan”). Kedua, pernyataan Gus Dur itu dapat disimpulkan, “Kita tidak melupakan, tetapi kita memaafkan”, sepertinya lebih tulus dalam memberi maaf, tanpa prasyarat (dengan mendahuluan “tanpa melupakan, dan mengakhirinya dengan “memaafkan”. (Maaf, sekiranya analisis bahasanya sangat tidak memadai, terlebih ini mempergunakan teori “belah bambu”, yaitu “menginjak” pernyataan Nelson Mandela, dan “mengangkat” pernyataan Gus Dur, meskipun saya tidak bermaksud demikian).

Agaknya, dalam soal memberi kemaafan, anak-anak bangsa ini seyogyanya belajar banyak kepada Guru Bangsa kita, Gus Dur. Kenapa Gus Dur sedemikian mudah memaafkan seseorang, hatta kepada orang yang memusuhi dan menyakitinya, sekalipun. Atas berbagai persoalan yang serius seperti ini, acapkali Gus Dur memberikan jawabanya kelihatan sederhana dan bernada guyon, yaitu “begitu aja kok repot”. Keseriusan dan kecandaan memang bertolak belakang, tetapi untuk pada diri Gus Dur, menurut Prof. Quraish Shihab, tidak harus dipertentangkan. Jadi, Gus Dur tidak pernah merasa “direpotkan” untuk memaafkan seseorang, lantaran hatinya begitu luas dan sarat untuk menampung kebajikan-kebajikan. Ketika waktunya tiba beliau dengan mudah mengeluarkan kebajikan-kebajikan dari dalam hatinya, di antaranya adalah kebajikan memberi maaf.

Berebeda dengan kebanyakan kita, amarah dan sakit hati itu tidak akan terpuaskan kalau kita belum selesai melempiaskan dengan cara membalas (dendam) melebihi perlakuan orang lain kepada diri kita. Sedemikian bernafsunya kita untuk melempiaskan dan membalas sakit hati ini, tak jarang musuh itu kita kejar-kejar sampai “ke ujung dunia” atau kita kejar sampai memasuki “lorong biawak” yang kita duga musuh itu berada di dalamnya. Setelah kita melempiaskan rasa amarah dan membalas kebencian tersebut: barulah kita senang, barulah kita bisa tidur nyenyak. Kesenangan dan tidur nyenyak kita, sungguh kita “gantungkan” pada orang lain. Dengan tidak bisa memberikan maaf, berarti kita jarang sekali bisa senang dan tidur nyenyak.

Selain Gus Dur, kita juga memiliki guru bangsa lainnya, yaitu Cak Nur (Nurcholish Madjid). Andaikan Nurcholish Madjid masih hidup (wafat 29 Agustus 2005), apakah dalam menyikapai status hukum dan kondisi kesehatan Pak Harto (wafat 27 Januari 2008), akan memberikan pernyataan dengan prentensi mengajak bangsa (umat) Indonesia: “Forgive, yes; Forget, no (“Maafkan, ya”; Lupakan, jangan). Dugaan kuat saya, sikap Cak Nur terhadap Pak Harto akan memaafkannya karena pertimbangan kemanusiaan dan mengenang jasa-jasanya, dan meskipun tanpa harus melupakan atas kesalahan-kesalahan kemanusiannya.

Kalau kita lihat kembali pernyataan sejumlah tokoh masyarakat, intelektual dan ulama pada masa itu hampir semua menyatakan keprihatinan serta berdoa agar Pak Harto segera pulih kembali. Bahkan, tak sedikit pula pihak yang menyatakan agar memaafkan kesalahan-kesalahan Pak Harto mengingat jasanya yang begitu besar bagi negeri ini. Dan tentu saja di antara tokoh masyarakat, intelektual yang bersikap sama adalah dua teman Cak Nur di Chicago, yaitu mantan-mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Amien Rais, dan Buya Ahmad Syafii Maarif.

Dalam mencermati kasus seperti Pak Harto, sikap kita sebagai anak bangsa ini relatif mengalami kesulitan, sehingga kasus hukumnya apakah perdata ataupun pidana tidak terselesaikan. Dan sikap sebagai umat Islam terasa lebih sulit lagi karena sebelum menjatuhkan sikap harus dipertimbangkan dengan adil dan hati-hati. Ajaran Islam mengajarkan bahwa dalam mengambil keputusan jangan lantaran kebencian kita membuat kita tidak berlaku adil (Q.s. al-Māidah [5]: 8). Begitu pula, kesulitan untuk mengambil sikap menjadi tidak mudah karena kita harus benar-benar hati-hati, apakah kita sudah menjadikan diri ini sebagai “umat wasathan”. (Q.s. al-Nisā [4]: 135). Maka sebagai umat penengah, umat Islam juga diharapkan sebagai umat yang senatiasa menjaga dan menegakkan keadilan sebab salah satu makna adil adalah “tengah” atau “wasaṭ”. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 2008: 514).

Kesulitan memberi maaf disebabkan karena memberi maaf manjadi bagian dari “al-khayr”, yaitu “kebajikan unversal”: nilai-nilai moral dan etis (akhlaq al-karīmah) yang merupakan tujuan Nabi Muhammad saw. diutus Allah kepada umat manusia. Dengan kata yang lebih umum bahwa “al-khayr” adalah suatu nilai yang menjadi titik temu semua agama yang benar. Kata “al-khayr” menempati tingkatan tertinggi (tepatnya paling sulit) untuk di amalkan di antara “tiga serangkai”, sebagimana dalam rentetan ayat: “Hendaknya di antara kamu ada umat yang menyeru kepada al-khayr, amar ma’ruf dan nahy munkar, dan itulah orang-orang yang bahagia.” (Q.s. Ālū ‘Imrān [3]: 104).

Dalam bahasa lain, Cak Nur menerjemahkan kata “al-kahyr” dan “amr ma’ruf” dalam istilah bahasa Inggris menjadi “fight for” (berjuang untuk) yang bersifat pro-aktif dan positif; sementara kata “nahy munkar” terjemahkan menjadi “fight against” (berjuang melawan) yang bersifat reaktif dan negatif. Cak Nur berpendapat bahwa kedua sikap itu sama-sama pentingnya, tergantung kondisi dan zamannya. Namun, Cak Nur menambahkan, untuk kondisi dewasa ini, jika secara analitis kita lakukan identifikasi tema perjuangan, jelas bahwa “fight for” lebih penting daripada “fight against”. (Lihat, Nurcholish Madjid, Cendikiawan & Religiusitas Masyarakat: 121-128; bandingkan, Nurcholish Madjid, Tradisi Islam, 94-97).

Kesulitan bagi umat Islam untuk memberi maaf lantara sebagai “ummah wasaṭ”, tercermin dalam dua ayat terakhir surah al-Fatihah, yaitu doa kita: “Tinjukkan kami jalan yang lurus. Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” Pada bagian akhir ayat ini sebagian umum ahli tafsir menyebut bahwa “mereka yang dimurkai” itu dikonotasikan kepada orang-orang yahudi. Sementara, potongan ayat “mereka yang sesat” diasosiasikan kepada orang-orang Nasrani. Kenapa akhir ayat yang menyebutkan dua golongan negatif ditafsirkan sebagai masing-masing orang Yahudi dan Nasrani? Jawabnya karena Yahudi dan Nasrani terjebak dalam dua kutup ekstrimisme: ekstrim kanan (keras) dan ekstrim kiri (lunak).

Ajaran Yahudi yang semula dibawa oleh Nabi Musa as. memang bersifat keras, yaitu mengandung hukum tegas. Sehingga, kata “Tawrāt” yang menjadi nama Kitab Suci Nabi Musa, menurut Cak Nur (maaf, saya tidak sempat mengidentifikasinya dalam referensi, tetapi saya pernah mendengarkan dalam ceramahnya/pengajian di Paramadina), berarti “hukum”. Hukum keras dan tegas itu penting bagi ummat Nabi Musa (Bani Israil) guna membangun kembali rasa harga diri mereka dan memperkuat jiwa mereka yang selama ini diperbudak oleh Fir‘aun. Sikap mental orang budak berbeda dengan sikap mental orang merdeka. Bagi orang budak sikap mentalnya adalah kalau “dipukul” baru mengerti (bergerak menjalankan perintah). Sementara sikap mental orang merdeka cukup dengan dengan “kerlingan mata” ia sudah mengerti (bergerak) atas perintah yang diberikan kepadanya.

Hukum yang keras yang diterima Nabi Musa untuk umatnya, misalnya tercermin dari firman Allah, “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Tawrat) bahwasanya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.” (Qs. al-Maidah [5]: 45). Sikap keras umat Yahudi ini berlanjut, misalnya teguran Allah kepada mereka, kenapa engkau mengharamkan sesuatu yang tidak di haramkan oleh Allah. Dan dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Yahudi itu tumbuh menjadi bangsa yang keras dan bengis, khasusnya setelah mereka mendapat pertolongan Allah mengalami banyak kemenangan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 315).

Belakangan, kehadiran Nabi Isa as. adalah untuk meneguhkan “hukum Tawrāt” itu dengan membuat beberapa perubahan, misalnya disebutkan bahwa Nabi Isa as. tampil “untuk mengalalkan sebagian dari apa yang diharamkan” atas orang-orang Yahudi. (Q.s. Ālu ‘Imrān [3]: 50). Dalam hukum secara umum ajaran Nabi Isa as. disebutkan bahwa “Kami buat dalam jiwa mereka yang mengikutinya ‘kesantunan dan kasih’ …” (Q.s. al-Ḥadīd [57]: 27. Demikian sentralnya kesantuan dan kasih ini, sehingga kaum Nasrani gemar mengatakan bahwa “syari’ah” Nabi Isa as dalam kitab Injil adalah “syari‘ah kemurahan” dari Tuhan. Sebaliknya, “syari‘ah” Nabi Musa as. dalam Kitab Tawrat adalah “syari‘ah keadilan”. Demikianlah kehadiran Nabi Isa adalah untuk mengajarkan kesantuan, kasih, kesabaran, dan ketabahan menderita. Namun, dalam perjalanan sejarahnya, pengikut Nabi Isa al-Masih menjadi terlalu lunak, dan mengabaikan ketegaran dalam berpegang kepada agama Allah. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 316).

Kemudian, setelah agama Yahudi dan Nasrani dengan ajarannya masing-masing tersebut di atas, Islam hadir “mendayung” di antara dua ekstrimisme ajaran “syari‘ah kemurahan” dan “syari‘ah keadilan”. Dengan latar belakang ini, menurut Ibn Taymiyah sebagaimana dikutip Cak Nur, bahwa syari‘at Islam titik beratnya adalah menggabungkan segi keadilan Tawrat dan kemurahan Injil. Lebih lanjutnya dijelaskan: “Sesungguhnya syari‘at Tawrat didominasi oleh kekerasan, dan syari‘at injil didominasi oleh kelunakan; kemudian syari‘at al-Qur’an adalah pertengahan dan bersifat mencakup antara satu dengan lainnya, sebagimana difirmankan Allah, “Demikianlah Kami jadikan kamu sekalian (orang-orang Muslim) umat pertengahan (wasath, wasith), agar supaya kamu menjadi saksi atas sekalian manusia.”” (Q.s. al-Baqarah [2]: 143).

Umat Islam dituntut untuk menjadi “ummah wasaṭ” dengan syari‘at al-Qur’an yang “tengah-tengah” ini, terkesan ambigiu dan sepertinya kesulitan mengambil keputusan tegas. Kembali misalnya untuk kasus Pak Harto: apakah dihukum/dibalas atau tidak dihukum/dimaafkan. Bagi orang Yahudi dengan ajaranya menjadi mudah, jawabannya adalah hukum/balas! Begitu pula, bagi orang Nasrani dengan ajaranya menjadi tidak sulit, jabawannya jelas adalah bebasakan/maafkan. Sekali lagi, bagi umat Islam tidak serta merta menghukum/membalas atau membesakan/memaafkan, terlebih dahulu harus dipertimbangkan unsur-unsur ketegaran dalam menegakkan keadilan, dan sekaligus kelembutan dan semangat prikemanusiaan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 317).

Kedua unsur ketegaran dalam menengakkan keadilan dan kelembutan dalam semangat kemanusiaan di atas, dalam pengajian di Paramadina yang pernah saya ikuti, Cak Nur mengutip al-Qur’an surah al-Syūrā dari ayat 39-43, saya kutipkan berikut ini: “Dan mereka itu, bila mengalami kezaliman, mereka membela diri. Dan balaslah kejahatan ialah kejahatan yang setimpal. Tetapi barangsiapa memberi ampun dan berdamai, maka pahalanya menjadi tanggungan Allah. Sesungguhnya Dia tidak suka kepada mereka yang zalim.” (Q.s. al-Syūrā [42]: 39-40).

Cak Nur menyebutkan bahwa seruan al-Qur’an pada masalah ini tidak berhenti pada ayat ini, dan Allah kembali menegaskan pada ayat selanjutnya: “Dan sesungguhnya orang-orang yang membela diri sesudah teraniaya, tidak ada satu dosapun terhadap mereka. Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. Tetapi orang yang bersabar dan mema’afkan, sesungguhnya perbuatan yang demikian itu termasuk hal-hal yang diutamakan.” (Q.s. al-Syūrā [42]: 39-40).

Akhirnya, rentetan ayat dikutip di atas ditutup Cak Nur dengan kalimat, “Maka sebenarnya kita tidak dapat melaksanakan “hukum” Allah dengan tepat tanpa menyadari semangat ajaran-Nya yang menyeluruh itu, yaitu inti pesan-Nya yang mendasari akhlaq atau etika yang benar dan utuh. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 317).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies], UIN Suska Riau).

Budak, Selir dan Kemewahan

Budak, Selir dan Kemewahan

Ciri-ciri Menonjol dalam Kekhalifah Islam

“Annual International Conference on Islamic Studies” (AICIS) diselenggarakan pada 2007 dengan “tuan rumah” UIN Sultan Syarif Kasim Riau. Dalam sebuah forum pleno ilmiah yang sangat berwibawa salah seorang pembicara utamanya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.Phil., MA. Pada saat sesi tanya jawab, seorang dosen Perguruan Tinggi di Pekanbaru –ada baik saya tidak sebut nama dan PT– mengajukan pertanyaan dan/ atau menyampaikan pikiran dan perasaannya yang ditujukan kepada Prof. Azra, kurang lebih begini: “Agak sulit kita untuk memperjuangan penekakan kekhalifahan Islam di Indoensia, karena seorang intelektual seperti Prof. Azra bukannya mendukung, tapi justru mempertanyakan kelayakan dan keberlangsungannya, sebagaimana tulisanya di Kompas (18/8/2007).” Pada gilirannya, Prof. Azra menjawab dengan memberikan menjelasakan sejumlah khalifah dari berbagai Dawlah Islamiyah yang penguasanya bersifat dispotik dan kerap kali menyalahgunakan agama demi melanggengkan kekuasannya. Di akhir jawabanya, Prof. Azra menyarankan agar dosen bersangkutan mempelajaran kembali sejarah kekhalifahan Islam.

Saran Prof. Azra di atas saya makanai berlaku untuk umum bagi siapapun yang melakukan kajian keilsamam, khusus bagi mereka yang bergelut dalam sejarah dan pemikiran Islam. Saya sebagai murid Prof. Azra di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyahuti himbauan Sang Guru Besar untuk (kembali) mempelajari sejarah kekhalifahan dengan sedikit kritis. Untuk itu, saya membaca di antaranya “melembar-lembar” buku “History of the Arabs” karya Phillip K. Hitti; “Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim” karya Farag Faudah; “Islamic History: New Interpretation” (2 Volome) karya M.A. Shaban, dan “Tārikh al-Khulafa’” karya Jalaluddin al-Suyūṭi. Di antara hasil dari bacaan saya itu, saya paparkan berikut ini.

Dalam kekhalifah Islam, khusus kekhalifahan pada masa Dawlah Umayyah dan Abbasyiah di kalangan penguasa/khalifah atau pangeran di istana memiliki dua ciri utama. Pertama, bahwa kehidupan istana diwarnai prilaku pesta pora dan foya-foya dengan bergelimang harta dan meteri melimpah serta makan dan minum yang bercita rasa lezat tiada tara. Kedua, bahwa kehidupan seksual di lingkungan istana dengan dikelilingi wanita-wanita muda serta cantik yang kadang jumlahnya tidak terkirakan banyaknya sejalan dengan era perbudakan dan perseliran pada masanya.

Dalam mengurai kehidupan seksul yang bebas ditopang tersedianya wanita yang dijadikan budak dan selir, Philip K. Hitti dan Farag Fauda merujuk kepada karya sejarawan Islam awal yang dipandang otoritatif dan terpercaya, seperti al-Mas’udi, ibn al-Atsir, al-Ṭabari, dan lainnya. Baik Hitti maupun Fauda menyebutkan betapa perseliran sebegitu dahsyat baik pada masa Bani Umayyah maupun Bani Abbasyiah, misalnya bahwa khalifah Harun al-Rasyid yang masyhur dengan kisah “alfu layl wa layl” (1001 Malam) memiliki selir 1.000 (seribu) orang. Dan belakangan lebih hebat lagi khalifah al-Mutawakkil, seorang khalifah Abbasyiah, diriwayatkan memiliki selir sebanyak 4.000 (empat ribu) orang kesemuanya telah diajak “menemaninya tidur” selama seperempat abad kekuasaannya. Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs 342; Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim (Jakarta: Dian Rakyat, 2003), 145.

Kehidupan mewah, bergelimang harta, perbudakan dan perseliran sedemikian marak pada kekhalifahan Islam, terutama pada masa Bani ‘Abbashiyah dan Bani ‘Umayyah. Sedemikian maraknya perbudakan dan perseliran pada masa Bani ‘Abbasyiah, sehingga hanya ada tiga orang khalifah lahir dari rahim ibu merdeka, yaitu: Abu Abbas, al-Mahdi dan al-Amin. Selain itu, khalifah-khalifah Abbasyiah adalah keturunan wanita-wanita budak dari berbagai daerah dan bangsa. Misalnya, ibu al-Mansur adalah budak Barbar; ibu al-Ma’mun adalah seorang budak Persia; ibu al-Watsiq dan al-Muhtadi adalah seorang budak Yunani-Abissinia; dan bahkan ibu Harun al-Rasyid adalah juga seorang budak dari negeri lain yang dikenal sebagai “al-khayuran”, seorang wanita pertama yang memiliki pengaruh penting dalam urusan kenegaraan/ pemerintahan Bani Abbasyiah.

Para khalifah sudah terbiasa dan menjadi tradisi menerima hadiah dari para gubernur dan para jenderalnya. Hadiah tersebut tidak saja berupa materi, tetapi juga hadiah berupa anak gadis-gadis cantik yang diambil baik secara suka rela maupun secara paksa di kalangan warga kerajaan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 332). Tradisi pemberian hadiah gadis-gadis cantik semacam ini pada khususnya dan pemberian budak-budak pada umumnya juga telah marak seiring dengan penaklukan Islam, terutama pada dinasti kehalifahan Bani ‘Umayyah. Philip K. Hitti menyebutkan, sebagimana ia kutip dari Maqqari dan Ibn al-Athir, bahwa Musa bin Nusayr menawan 300.000 orang di Afrika kecil, seperlima di antaranya diserahkan kepada al-Walid (meskipun angka-angka ini, sepertinya terlalu dibesar-besarkan); selain itu ia juga menawan 30.000 gadis dari kalangan bangsawan Gotik di Spanyol.

Bagi seorang bangsawan di kalangan Bani ‘Umayyah memiliki 1.000 budak bukanlah sesuatu yang terlalu istimewa. Bahkan Zubair bin Awwam, salah seorang di antara sepuluh sahabat yang dijamin Nabi saw. masuk surga, menurut al-Mas‘udi, mewariskan sebanyak 1.000 (seribu) orang budak laki-laki dan perempuan. (Lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs, 335). Selain mewariskan budak sedemikian banyak itu, Zubair bin Awwam –dan sejumlah sahabat yang dijamin surga lainnnya, yaitu Sa‘ad bi Abi Waqas, Talhah bin ‘Ubaidillah, dan ‘Abd Rahman bin ‘Auf — juga memiliki harta peninggalan begitu banyak dan melimpah.

Ibn Sa’ad dalam al-Ṭabaqāt al-Kubrā, seperti dikutip Farag Fauda, menyebutkan bahwa Zubair bin Awwam meninggalkan kekayaan (harta warisan kepada keluarganya) berupa: (i) uang dirham yang jumlahnya sangat fantastik, yaitu kira-kira 51 juta dirham (bandingkan dengan Ali bin Abi Thalib yang hanya meninggalkan sekitar 250 dirham serta mushaf dan pedangnnya); (ii) beberapa armada di Mesir, Aleksadria dan Kufah; (iii) angkutan darat dan hasil panen yang dipersembahkan kepadanya oleh penduduk di Basra. Prihal Sa‘ad bin Abi Waqas, di akhir hayatnya, putrinya A‘isyah bin Sa‘ad bin Abi Waqas mengisahkan bahwa: “Bapakku meninggal di istananya yang antik sekitar sepuluh mil dari Madinah.” (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, 64-65 dan 67).

Melihat praktek perseliran di istana disebgaian kekhalifah Islam, dapat diduga kuat bahwa penguasa menghabiskan waktu sampai larut malam bersama-sama istri dan gundik/selirnya dalam memuaskan hawa nafsu dan hasrat libido seksual mereka. Sementara pada siang harinya terlelap tidur karena semalaman, sebagaimna disebutkan tadi, bergadang (“berasyik-mausyuk” dengan istri dan gundik/selirnya). Tanpa bermaksud menafikan sejumlah khalifah yang memang baik dan bijaksana, tetapi mengingat gambaran nyata hampir merata prihal kehidupan penguasa nota bene muslim, tetapi prilakunya tidak bermartabat dan bermarwah. Ironisnya, sebagian mereka mengklaim dirinya sebagai “khalīfah Allāh fī al-arḍ” (“wakil Allah di bumi”) dan memproklamasikan kekhalifahan berasaskan Islam.

Padahal, dalam kenyataannya penguasa semacam itu acapkali tidak menjadikan dirinya sebagai wakil Allah. Dan klaimnya bahwa Islam sebagai asas kekhalifahannya hanya sekedar “alat” untuk menjastifikasi prilaku mereka yang tidak islami (praktek-praktek aspirasi jahiliyah). Dengan kata lain, klaim khalifah berasas Islam adalah demi melanggengkan kekuasaan dalam genggaman yang memang mengasayikkannya, sebagaimana bisikan syaithan kepada Adam: wa mulk lā yablā (dan kekuasaan yang tidak akan binasa). Firman Allah: “Kemudian syaitan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata: “Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi[948] dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Q.s. Ṭāhā [20]: 120).

Belakangan, sebagian umat Islam merindukan ingin menegakkan pemerintahan Islam di bawah bendera kekhalifahan. Apakah kekhalifahan dengan penguasa tidak memiliki rasa takut pada Allah, tidak taat beragama dan memiliki akhlak bobrok serta tidak cakap mengurus negara,berkuasa secara zalim dan sewenang-wenang itu yang, seperti kebanyakan dipraktek penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, kembali didambakan?

Nada pertanyaan “sarkesme” semacam itu terilhami dari pertanyaan-pertanyaan retorik dari Farag Fouda. Menurut Fouda, khalifah yang disematkan/ diselubungi dengan kata “Islamiyyah” dalam sejumlah besar sejarah umat Islam tidak lebih merupakan sistem kekuasaan monarki absolut yang totaliter dan disepotik.

Farag Fouda mempertanyakan lebel “Islamiyyah” di belakang penyebutan “khilafah”, ia berusaha menunjukan bahwa yang sering mencuat dalam pentas sejarah politik kekuasaan Islam justru praktek-prakter yang bertolak belakang dengan ajaran Islam. Karena penguasa khilafah Islam itu memisahkan ajaran Islam dari praktek kekuasaan, maka praktek khilafah dalam sejarah dapat dikritik, dicela. Untuk itu, Farag Fouda bertanya: Mengapa orang-orang yang menuntut kembalinya khilafah begitu membenci bar, mencela biduan, dan mengkafir-kafirkan para penarinya? Bukankah itu kelanjutan dari masa lalu dan bahkan bagian darinya? Mengapa saya harus menerima ajakan mereka untuk menegakkan negara agama, sementara mereka hanya berpegang pada kulit-kulit agama? (Lihat, Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, vi, vii, dan 35, 171).

Mohon maaf, karena tulisan sederhana dan terbatas ini hanya melihat sisi “kelam” sejarah kekhalifahan Islam, sementara sisi “gemilang”nya diabaikan. Bukan bermaksud mengangkat sisi buruk dan meninggalkan sisi baiknya, ini persoalan perspektif semata. Pertimbangannya adalah lantaran soal sisi baik dan gemilang sejarah kekhalifahan ini sudah menjadi pengetuhuan yang “mengarus-utama” (main stream).

Sementara soal sisi buruk dan kelam sejarah kekhalifahan Islam tidak/belum diketahui secara umum dan/atau baru menjadi pengetahun “pinggiran”, sehingga perlu ditarik agak sedikit “ke tengah” agar kita dapat melihat sejarah Islam lebih berimbang. Begitu juga, mohon maaf kepada penggiat “khilafah Islam”, kalau tulisan superficial (dangkal) ini sedikit mengganngu pikiran dan perasaan. Teruslah perjuangkan menghadirkan “khilafah Islam”, meskipun ada orang diseberang sana yang mengatakan bahwa menegakkan khilafah Islam di Bumi Pertiwa bagaikan menegakkan “benang basah”. Akan tetapi, bukan mustahil benang basah bisa ditegakkan.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

By: Alimuddin Hassan Palawa