26. PRESTISE, NO; PRESTASI, YES: Labora Ergo Sum (Saya Beramal, Maka Saya Ada)

26. PRESTISE, NO; PRESTASI, YES: Labora Ergo Sum (Saya Beramal, Maka Saya Ada)

Alimuddin Hassan Palawa*

 

Perumpamaan yang tepat untuk menjelasakan slogan “Prestise, No; Prestasi, Yes”dari judul di atas adalah: “al-i’tibâr fi al-Jâhiliyah bi al-ansâb, wa al-i’tibâr fî al-Islâm bi al-a’mâl” (Penghargaan di masa jahiliyah berdasarkan keturunan [prestise], dan penghargaan di masa Islam berdasarkan hasil kerja [prestasi]. (CN, “IDP”: 560). Lalu, bagaimana dengan praktek penghargaan kita sekarang, apakah “Jahiliyah” atau “Islam”? Apakah Islam tetap inspirasi kita atau Jahiliyah yang menjadi aspirasi kita?

Prinsip penghargaan atas prestasi dalam Islam tercermin dari penetapan penghitungan kalender dalam Islam guna menggatikan perhitungan kalender sebulumnya, Masehi.Momentum peristiwa Hijrah Rasul Allah dari Mekkah dan Madinah ditetapan sebagai titik awal sistem penghitungan kalender Islam. Keputusanini ditetapkan pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, yaitu17 tahun setelah peristiwa hijrah itu sendiri. Momentum hijrah ditetapkan sebagai titik awal kelender Islam adalah atas saran/usul dari Ali bin AbiThalib. Usul/saran yang tidak saja cerdas ini, tetapi tepat dan memiliki makna enssensi-simbolik dibandingkan dengan usulan-usulan lainnya.

Sebelum pilihan dan keputusan jatuh pada peristiwa hijrah –momen perpindahan Rasul Allah dari Mekkah ke Madinah– di kalangan sahabat utama mengesulkan bahwa awal penanggalan (kelender) dalam Islam sebaiknya berdasarkan dari peristiwa-peristiwa penting pada diri Nabi Muhammad saw. Misalanya, ada sahabat yang mengusulkan penanggalan Islam sebaiknya di mulai dengan merujuk pada hari kelahiran Nabi Muhammad (maulid); sahabat lain mengemukakan seharusnya pada hari diangkatnya Nabi Mahammad jadi Rasul Allah (al-ba’tsah); dan ada pula sahabat yang menyarankan dengan mendasarkan pada peristiwa penting, yaitu hari pembebasan kota Mekkah (Fath Makkah).

Namun, pada akhirnya pilihan dan keputusan Khalifah Umar bin Khattab jatuh pada peristiwa hijrah dengan argumentasi yang logis.
Khalifah Umar bin Khattab tidak memilih hari kelahiran karena Muhammad yang masih bayi, tentu saja tidak/belum bisa berbuat apa-apa, sehingga atas dasar pertimbangan prestasi,karenanya, terolak dengan sendirinya. Sementara peristiwa diangkatnya jadi Rasul (al-ba’tsah), Nabi Muhammad saw. baru saja memulai risalah al-nubuwwah, sehingga tidak/belum menampakan usaha dan hasil yang menggembiran. Begitu pula, peristiwa pembebasan kota Mekkah (Fath Makkah) merupakan satu titik penting dalam sejarah Islam, tetapi dapat dipastikan tidak akan pernah terjadi, tanpa didahulu adanya memontum sejarah penting, yaitu hijrah yang telah dilakukan oleh Rasul Allah.

Dari gambaran singkat sejarah penentuan dan keputusan titik awal kalender Islam, jelas menunjukkan dominasi persetasi mengatasi prestise. Artinya, keputusan menjadikan pristiwa hijrah sebagai awal kelender dalam lslam lebih didasarkan pada inspirasi Islam (prestasi-amal) ketimbang aspirasi jahiliyah (berdasarkan prestise-keturunan).Sikap dan padangan sahabat Rasul Allah, khususnya Ali bin Ab Thalib dan Khalifah Umar bin Khattab itu telah memberi contoh dan pelajaran dengan menjadi bahwa amal dan prastasi sebagai ukuran eksistensial manusia.

Dalam pandangan Nurcholish Madjid, oleh karenanya, Islam tidak terlalu menekankan prinsip “cogito ergo sum” (aku berpikir, maka aku ada), sebagimana dianut oleh filosuf rasionalis, Rene Descartes [bapak filosuf modern Barat]. (Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 418). Begitu pula, konsep Islam tentang eksistensi manusia tidak sama dengan, menurut Ali Syariati, misalnya pernyataan Andre Gide [intelektual Prancis, 1869-1951], “Saya merasa, maka saya ada”; dan ungkapan Albert Camus [intelektual Prancis, 1913-1960], “Saya memberontak, maka saya ada.”(Charles Kurzman [ed.]Wacana Islam Liberal: 303).

Namun, konsep Islam tentang esensi eksistensi manusia adalah menganut prinsip “labora ergo sum” (Saya beramal, maka saya ada). Dengan kata lain, dalam Islam esensi ukuran dan bentuk keberadaan (mode of existence) seseorang lebih ditentukan oleh amal-perbuatannya. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 418). Jadi keberadaan manusia bukan diukur dari yang lainnya, semisal ilmu (meskipun amal yang akan dilakukan meniscayakan adanya ilmu sebelumnya), dan bukan pula iman (meskipun amal dan ilmu meniscayakan landasan keimanan sebelumnya).

Artinya, kendatipun dalam Islam antara amal, ilmu dan iman tidak dapat dipisahkan, tetapi amal tetap menjadi “ukuran real” keberadaan manusia di dunia ini. Kalau iman dan ilmu saja tidak menjadi “ukuran real” keberadaan manusia, apalagi yang lainya, misalnya wajah dan harta serta kekuasaan. Rasul Allah saw. bersabda: “Inna Allah lā yanẓuru ilā ṣuwarikum wa amwālikum wa lakin yanẓuru ilā qulūbikum wa a‘mālikum” (Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk luarmu dan bukan pula hartamu, tetapi Allah melihat hatimu dan amal perbuatanmu). (H.R. Muslim dari Abu Hurairah).

Begitu pula, Allah mengegaskan bahwa kemulian seseorang itu adalah berdasarkan ketakwaannya, yakni “Inna akramakum ‘inda Allah atqakum” (Q.s. al-Hujurat [49]: 13). Dan defenisi takwa itu, sebagaimana secara lumrah disampaikan khatib di mimbar-mimbar khutbah Jum’at, adalah menjalankan apa yang diperintahkan Allah, dan meninggalkan apa yang dilarang Allah. Artinya, “menjalankan” dan “meninggalkan” adalah kata kerja yang harus diaplikasi dalam amal-perbuatan. Jadi, semakin tertegaskan bahwa amal lah yang menjadi ukuran essensi eksistensi manusia di dunia ini.

Kemudian, esensi eksistensi semacam itu ditegaskan dalam ajaran Islam bahwa manusia hanya mendapatkan sesuatu yang diusahakan. Allah berirman: “Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah danRasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Maha Mengetahhui yang gaib dan yang nyata, lalu diberikan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S. At-Taubah [9]: 105).

Pada lain tempat, Allah menyatakan dalam al-Qur’an bahwa manusia hanya akan memperoleh balasan apa yang telah diusahakannya. Dengan ungkapan berbeda bahwa manusia tidak akan mendapat pahala selain pahala amal yang telah dikerjakannya. Dan apapun amal ibadah yang telah diperbuat oleh manusia Allah akan memperlihatkannya, dan akan dibalas amal ibadah tersebut dengan balasan yang setimpal. (Q.s. al-Najm [53]: 39-42).

Padabagianlain, Allah berfirman: “Sesungguhnya kamu hanya diberi belasan menurut apa yang kamu kerjakan.”(Q.s. al-Taḥrīm [66]: 7). Begitu pula, balasan kedurhakaan; dan/atau azab yang ditimpakan kepada manusia hanya didasrkan atas perbuatannya. (Q.s. al-An’am [6]: 146; dan Q.s. Saba’ [34]: 17). Artinya, kebahagian (surga) dan kesengsaraan (neraka) manusia kelak di akhirat sangat tergantung dengan amal ibadah yang telah dilakukan di dunia saat ini.

Dalam pada itu, kalau seseorang berbuat baik berarti ia berbuat baik bagi dirinya sendiri, dan kalau berbuat jahat berarti ia telah berbuat jahat bagi dirinya sendiri.(Q.s. al-Isra’[17]: 7; dan al-Jāthiyah [45]: 15). Seseorang yang mengerjakan amal baik akan mendapat sebutan/nama terpuji (pahala) dan pada gilirannya memperoleh imbalan yang baik pula. Sebaliknya, seorang beramal jahat akan mendapat sebutan/nama terhina (dosa), dan pada gilirannya mendapat balasan yang jelek pula. (Q.s. Fuṣṣilat [41]: 46).

Perbuatan baik dan buruk itu akan dituai manusia tidak saja di dunia ini, tetapi terlebih-lebih di akhirat, kelak. Karenanya, Rasul Allah menegaskan bahwa “Aktsar al-nâs yadkhulûna ila al-jannah hiya taqwa wa husnul kuluq” (yang paling banyak memasukkan manusia di surga adalah takwa dan budi pekerti luhur). Lagi-lagi, takwa itu baru akan “tampak” (secara kasat mata) kalau diimplementasi dalam wujud amal perbuatan. Begitu pula, budi pekerti luhur meniscayakan pengejawantahan dalam kehidupan sehari-hari. Makanya budi pekerti luhur Rasul Allah yang agung dapat diteladani disebabkan telah manjadi inhairen dalam kehidupannya.

Hebatnya lagi, “Kâna khulquhû al-Qur’ân” (akhlak Rasul Allah adalah al-Qur’an) (HR. Muslim) sebagai jawaban dari Aisyah ketika ditanya oleh Sa’d bin Hisyam bin Amir, “apakah akhlak Rasul Allah”. Artinya, kehidupan Rasu Allah merupakan pengejawantahan nyata dari pesan-pesan al-Qur’an sebagai hudan li al-nâs (petunjuk bagi manusia).Karenanya, dalam konteks ini tidak berlebihan kalau ada yang mengakatan lebih tegas lagi bahwa Rasul Allah adalah al-Qur’an yang “berjalan”.

Dalam doktirn Islam bahwa penyempurnaan akhlak menjadi alasan utama misi keberadaan nabi-nabi, khususnya Nabi Muhammad saw. kepada umat manusia. Hadith Rasul Allah saw.: “Innamâ bu‘ithtu li utammima makârimah al-akhlâq” (Sesungguhnya saya diutus hanyalah untuk menyempurnaan budi-pekerti yang mulia).Sebelumnya Allah sendiri telah memproklamirkan bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad saw. patut dijadikan uswah al-hasanah sebab pada dirinya terdapat akhlak yang mulia dan agung, yaitu “Inna la’ala khuluqin ashim.” (Q.s. Qalam [68]: 4). Artinya, baik hadis maupun ayat ini secara langsung menekankan arti penting akhlak yang diwujudkan dalam amal shaleh.

Dalam konteks melakukan amal-perbuatan, manusia adalah makhuk merdeka yang dapat menentukan sendiri pilihannya, apakah: terpuji atau terhina. Dengan ungkapan lain, manusia memiliki kebebasan untuk memilih dua jalan yang telah ditentukan Allah: “Wa hadaynâhu al-najdayn” (Dan Kami telah tetapkan kepadanya dua jalan). (Q.s. al-Balad [90]: 10).Artinya, manusia sendirilah yang menentukan: apakah memilih “fujûrahâ” (kalau berbuat jahat ia akan dihina); atau “taqwâhâ” (kalau berbuat baik ia akan dipuja).Dengan kata lain, jalan menuju dosa atau jalan menuju pahala adalah pilihan yang ditandai dengan amal, yaitu amal baik dan buruk.

Terkait langsung dengan hal tersebut, dalam“Syair Nasehat” yang menjadi “epilog” dalam Thamarāt al-Muhimmah, Raja Ali Haji menyebutkan dengan bahasa puitis:

Jalan kehidupan ditunjukkan
Berkebun berladang disukakan
Berbuat baik dipujakan
Berbuat jahat dihinakan.

Untuk itu, dalam menjaga/memelihara nama baik, menurut Raja Ali Haji, sama pentingnya memelihara dan perpegang teguh pada agama. Sekali lagi, memelihara “nama baik” dan “agama” yang jalin berkelinda di sini –jika dan hanya jika– mutlak diwujudkan dalam amal-perbuatan. Dengan kata lain, orang yang memegang teguh agama berarti orang bersangkutan telah mengukir nama baiknya (kemuliaan). Sebaliknya, orang yang tidak berpegang pada agama, maka telah mengukuhkan nama buruknya (kehinaan). Dalam Gurindam Duabelas Raja Ali Haji menuturkan dengan indahnya:

Barangsiapa tiada memegang agama
sekali-kali tiada boleh dibilang nama.

Dalam pandangan Raja Ali Haji memelihara agama dan nama (baik) sangat penting dan utama. Walau kita dalam kemiskinan dan menjadi rakyat biasa, menurut pengakuan Raja Ali Haji, tidak masalah, asalkan kita mampu memelihara agama dan nama (baik). Sebaliknya, kalau kita tidak bisa memelihara kedua itu maka tidak ada gunanya kita berumur panjang. Karenanya, ia tandaskan, kita sama saja dengan binatang. Hal ini ditulis Raja Ali Haji dalam suratnya kepada sahabat berkekalannya, Von de Wall, bunyinya:

“Syahdan yang kita pegang selama2 ini, biaralah kita jadi orang miskin atau jadi orang kecil asal jangan kita cacat kepada agama dan nama. Karena apabila orang2 tiada memelihara yang dua perkara itu, tiada guna panjang umur di dunia karena sama juga dengan binatang.” (Puttendan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 43).

Umur panjang tiada artinya, demikian ungkap Raja Ali Haji, kalau tanpa menorehkan nama baik lewat prestasi dan amal saleh. Dengan melakukan amal saleh yang bermamfaat bagi sesama manusia, maka sepeninggalannya (setelah wafat) ia akan dikenang oleh orang lain karena (jasa) nama baiknya, seperti kata pribahasa “manusia mati meninggalkan nama”.

Sebaliknya, manusia yang tidak melakukan amal saleh dan tidak memelihara nama baiknya, menurut Raja Ali Haji, berdasarkan kutipan di atas, kedudukannya sama dengan binatang. Bahkan dalam kondisi tertentu, ketika manusia tidak mempergunakan potensi yang dimiliki, seperti panca indera, akal dan hati, al-Qur’an memandangnya “balhum aḍal ” (bahkan lebih sesat). Manusia semacam ini jauh lebih rendah dan hina daripada binatang. Untuk itu, manusia yang lalai semacam ini menjadi menghuni utama neraka jahannam. (Q.s. al-A‘rāf [7]: 179).

Sementara itu, bukankah binatang “dikenang” (dibutuhkan orang) karena sesuatu yang bermanfaat dan berguna pada binatang untuk keperluan manusia. Firman Allah “Dan (ada lagi) manfaat-manfaat yang lain pada binatang ternak itu untuk kamu [air susunya, kulitnya, bulunya dan sebagainya] dan supaya kamu mencapai suatu keperluan yang tersimpan dalam hati dengan mengendarainya. dan kamu dapat diangkut dengan mengendarai binatang-binatang itu dan dengan mengendarai bahtera.” (Q.s. al-Mu’min [40]: 80).

Kegunaan binatang itu, misalnya, kulit untuk harimau dan gading untuk gajah, sebagaimana ungkapan pribahasa: “harimau mati meninggalkan belang” atau “gajah mati meninggalkan gading”. Harimau diperlukan orang karena kulit belangnya yang bermanfaat; dan gajah dibutuhkan orang sebab gadingnya yang berguna.Lalu, kalau manusia sudah meninggal, seyogyanya dikenang oleh sesamanya lantaran jasa baikatau amal shalehnya. Karenanya, manusia yang paling baik adalah yang (paling) bermamfaat bagi manusia (khayr al-nās yanfa‘u li al-nās), demikian sabda Rasul Allah saw.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illā bi Allāh

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau).
25. PANDANGAN SEKS RAJA ALI HAJI: Dalam Syair Hukum Nikah dan  Kitab Pengetahun Bahasa

25. PANDANGAN SEKS RAJA ALI HAJI: Dalam Syair Hukum Nikah dan Kitab Pengetahun Bahasa

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Syair Hukum Nikah, karya Raja Ali Haji, menurut U.U. Hamidi, paling tidak memberikan dua sisi penting. Pertama, secara umum memberikan pedoman dalam menjalani hubungan kehidupan berumahtangga. Kedua, secara khusus memberikan petunjuk dalam membangun hubungan kehidupan harmonis antara suami dan istri dlam “berumah-ranjang”. (U.U. Hamidi, et.all., Syair Suluh Pegawai (Hukum Nikah) Karangan Raja Ali Haji: 11).

Terkait dengan yang kedua ini, menurut U.U. Hamidi, keistimewaan Syair Hukum Nikah terletak dari keberanian pengarangnya untuk mengungkapkan hubungan seksual antara suami istri. Hubungan dimakasudkan ini, terutama pada saat ketika suami mendekati istrinya pada malam pertama. Pengarang memberikan cara dan teknik berhubungan badan lewat bahasa puitis yang indah, sehingga tidak terkesan vulgar dan porno. Bahasa “emotif” ini merupakan kelebihan dan kepiawaian Raja Ali Haji, menurutJamal D. Rahman (Majalah Horizon, edisi Maret 2010) dalam menuangkan pikiran dan perasaannya dalam bentuk syair.

Raja Ali Haji tampaknya berasumsi, bahwa lewat paparan bahasa puitis yang indah dapat memberikan bimbingan pendidikan seksual bagi remaja dan calon pengantin yang akan hidup berumah tangga. Pelukisan seperti dalam bentuk syair itu dirasa penting oleh Raja Ali Haji karena persoalan pendidikan seks, di kalangan “orang timur” dan dunia Melayu pada khususnya tidak pernah diberikan secara terbuka apalagi vulgar, tetapi diberikan secara halus dan berupa kiasan. (U.U. Hamidi, et.all., Syair Suluh Pegawai (Hukum Nikah): 11-12). Malah tidak jarang ada pandangan bahwa pendidikan seks tabu diberikan kepada anak didik atau masyarakat.

Di tangan Raja Ali Haji, hubungan seksual terlukis dalam baris-baris syair yang sangat menawan dan indah. Dan tentu saja syair tersebut berasaskan pada ajaran agama: al-Qur’an dan Sunnah Nabi saw., misalnya ketika ia menuturkan:

Apabila sudah naik ke rumah
Istrimu itu boleh dijamah
Akan tetapi hendaklah hemah
Akan sunnat Nabi al-Rahmah.

Hendaklah tuan bermain-main
Bukalah kubah bertudung kain
Cintapun jangan kepada yang lain
Daripada lubang main mahin.

Kata “ma’īn mahīn” di akhir kutipan sayir di atas berasal dari al-Qur’an yang dimaskudkan Raja Ali Hai alat kelamin wanita (vagina istri) sebagai tempat keluarnya air yang hina: “thumma ja‘alnā naslahu min sulālatin min māin mahīn” (Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina (Q.s. al-Sajadah [32]: 8).

Selanjutnya, berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw., “Janganlah seseorang di antara kamu menggauli istrinya seperti binatang buas (yang menerkam mangsanya). Sebagai permulaan bagi persetubuhan, seharusya ada suatu “utusan” antara kamu dan dia. Para sahabat bertanya: “Utusan macam apakah ya Rasulullah?” Nabi saw. menjawab: “Ciuman-ciuman dan (tuturkan) kata-kata manis.”

Dalam hadis lainnya, Rasul Allah bersabda: “Idha jama‘a aḥadukum ahlahu falā yatajarradanna mujarrada al-‘iyrayni falyuqaddim al-talḍḍuf wa al-taqbīl”(Jika seorang di antara kalian hendak menggauli istrinya, maka janganlah melakukannya bak dua ekor unta atau keledai. Hendaklah memulainya dengan belaian kata-kata (rayuan) dan ciuman (HR. Ibn Majah).

Sebagaimana dibancanya dalam Iḥyā‘Ulūm al-Dīn karya Imam al-Ghazālī, Raja Ali Haji menganjurkan agar terlebih dahulu melakukan “pemanasan” (fore play) sebelum melakukan penyatuan genital (bersenggama), misalnya bercanda-gurau sembari bujuk-cumbu dan peluk-cium. Selain itu, Raja Ali Haji juga menyarankan, khususnya kepada lelaki (suami), agar melakukan hubungan badan dengan penuh kesabaran dan tidak tergopoh-gopoh demi memuaskan dahaga seksual masing-masing, khususnya buat istri. Dengan begitu, diharpakan, kata Raja Ali Haji, “agar mendapat lezat yang akbar” bersama-sama. Dengan untaian kata-kata puitis Raja Ali Haji mengubah syair tentang hubungan intim suami-istri dalam Syair Hukum Nikah:

Apabila hendak mengerjakan
Gurau dan canda tuan dahulukan
Peluk dan cium hendak banyakkan
Pujuk dan cumbu pula sertakan.

Bermain itu hendaklah sabar
Dicelah tanjung dua sebembar
Janganlah pula gopoh dan ghubar
Agar mendapat lezat yang akbar.

Ke atas ke bawah cuba dulu dahulu
Kanan dan kiri bertalu-talu
Apabila berdiri roma dan bulu
Tatkala itu hilanglah malu.

Dapatkan lezat tiada terhingga
Keduanya sama memuaskan dahaga
Keuntungan tiada ternilai harga
Laut yang dalam sudah diduga.

Dari deratan kata-kata puitis di atas, Raja Ali Haji dengan nyata sekali memberikan gambaran dan pengajaran hubungan seks (seksiologi) begitu indah. Apa yang dipaparkan di atas tentang pandangan seks Raja Ali Haji terambil dalam Syair Hukum Nikah. Sementara pandangan seks Raja Ali Haji berikut ini dikutip dari karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa.

Pada bagian-bagiantertentu dalam tulisan lainya, pandangan seks Raja Ali Haji, selain dari Syair Hukum Nikah, dapat pulakita temukan dalam karyanya, Kitab Pengetahuan Bahasa. Pandangan seks Raja Ali Haji dalam Kitab Pengetahuan Bahasa harus dipahami dalam rangka untuk memberikan “pengajaran”, dan sekaligus “penghiburan” serta untuk melanggengkan/ melestarikan suatu kata Melayu tertentu.Dalam karyanya ini Raja Ali Haji ada kalanya mempergunakan kata-kata/bahasa-bahasa yang vulgar dan cenderung porno untuk memaparkan soal seks.

Kecenderungan bahasa-bahasa vulgar semacam itu terdapat Kitab Pengetahuan Bahasa dalam bentuk syairnya, misalnya ketika Raja Ali Haji mengekspresikan kata “tarak”. Raja Ali Haji memberikan penjelesan tambahan kata “tarak” sebagai contoh dalam bentuk syair. Dalam syair ini ia menceritakan seorang Shaykh Lebai dengan memiliki karekter bejat yang menodai hampir semua wanita yang belajar kepadanya. Di samping itu ada seorang anak muda “berakal tetapi dajjal” berpura-pura ingin pula belajar, sehingg menyamar menjadi perempuan dengan nama Siti Lukluk.

Kemudian, Siti Lukluk dapat tinggal di rumah Shaykh Lebai, dan satu kamar dengan tiga orang anak gadisnya. Dalam perbincangan “keemapat gadis” itu (Siti Lukluk dan ketiga anak gadis Lebai) mengajukan masing-masing keinginan, tetapi Siti Lukluk menginginkan agar alat “kelaminnya” berubah (dari perempuan menjadi lelaki). Selanjutnya, Raja Ali Haji menuturkan dengan nada rada porno dan fulgar, seperti kata Lukluk:

Minta kita yang berpatutuan
Kita minta menjadi jantan
Boleh tahu kita piantan
Apakah ia itu perbuatakan

Akan anak lebai bertiga
Mendengrkan Lukluk yang empunya reka
Hati di dalam sangatlah suka
Marilah kita ayuhai kaka

Keempatnya mengambil air sembahyang
Minta doa ia malam dan siang
Kira-kira tujuh hari sudah berbayang
Lukluk berkata ayuhai kak yang

Kami sudah jadi bertukar
tempat nonok keluar zakar
Anak dara apabila mendengar
ketiganya pun datang berkelebar.

Serta dekat membuka kain
Zakar Lukluk dipermain-main
Katanya kuasa Rabbil alamin
dengan sebentar jadi berlain.

Katanya apa gunanya ada
kata Lukluk entahlah adinda
Berkata pula saudara yang muda
Kami terlihat kepada ayahanda.

Tatkala masa bulan purnama
Dengan mak bersama-sama
Dicocok benda ke lubang lama
Mak pun kembang bulu roma.

Rupa-rupanya mak kesedapan benar
Benda itu empunya honar
Katanya Lukluk coba beredar
Kepada aku kenankan sebentar.

Lukluk bangkit sambil menjimak
Sambil bertanya apa rasanya lemak
Jawabnya kuat-kuat janganlah tamak
Sedapnya seperti sayur kurmak.

Saudara yang tua ingin terlalu
Katanya berhentilah adik dahulu
Hendak kurasa pisang berbulu
Jikalau baik inginlah selalu.

Lukluk perpaling kepada yang tua
Diberinya pula sekali dua
Yang bungsu berkata sambil tertawa
Sayapun tidak mau kecewa.

Lukluk berpaling kepada yang akhir
Dikerjakan pula memecahkan bikir
Di luar kelambu di dalam tabir
Tempatpun penuh bercucuran air.

Sudah selesai ketiganya
Berkabar pula kepada tolannya
Masing-masing ingin hendak merasa
Zakar didapat di dalam taraknya.
—–

Begitu pula dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, ketika mengurai kata entri “Ayok” dengan segala direvasinya, seperti “Berayok”; “Mengayok”; “Diayok” “Ayoklah”; “Terayok”; dan “Berayok-ayokan”, Raja Ali Haji mengatakan, meskipun ia sendiri mengakui terpaksa untuk mengatakannya, “perkataan kalimat mencarut, tetapi kalau ditinggalkan hilang pulalah satu bahasa.” Karena kata “ayok” itu adalah ungkapan mencarut, menurut Raja Ali Haji, kurang patut untuk dibahasakan secara nyata (sarīḥ), tetapi sepatutnya disebutkan secara kiasan (kināyah).

Meskipun demikian, agar satu bahasa itu tidak hilang, dengan terpaksa Raja Ali Haji menguraikan makna yang terkandung dalam kata “ayok”, berikut ini: “Syahdan adapun arti ayok itu fiil seseorang laki-laki memasukkan zakarnya kepada faraj perempuan karena berkehendak sedap. Sebab syahwat basyariah adalah perempuan itu berbaring terlentang dan laki-laki duduk bertinggung dan paha perempuan itu ternaik kepada paha laki-laki. Maka apabila masuk zakar laki-laki itu maka menggerakkanlah ia akan punggungnya supaya keluar masuk zakarnya di dalam faraj perempuan itu. Maka perempuan itupun merasa juga nikmat yakni sedap.”

“Dan terkadang pula perempuan menggerakkanlah punggungnya karena hendak memberikan nikmat kepada laki-laki pula. Maka digerakkannya punggungnya itu ke kiri dan ke kanan. Atau karena ia hendak mengenakkan dengan kuat-kuat tepi farajnya itu digesek oleh zakar itu, demikianlah halnya. Dan terkadang ada pula yang baring menyerinding dan ada pula yang mendatangi daripada pihak belakangnya. Dan terkadang ada pula laki-laki itu berdiri dan perempuan itu berbaring pada suatu tempat. Dan masing-masing halnya mana-mana kesukaan antara keduanya. Adapun hingganya yaitu apabila laki-laki itu sudah anzal maninya, maka berhentilah ia. Atau dinantikannya perempuan itu anzal, maka yaitu yang terlebih baik.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 53-55).

Ketika ia mengurai sebuah kata entri “Amput”, ia mengatakan ini adalah bahasa mencarut dan lebih kasar dari kata “ayuk”. Kata ini, menurut Raja Ali Haji, kebanyakan diucapakan untuk mengekspresikan ketika seseorang sedang marah besar. Ia menyebutkan bahwa kata ini terpaksa dimuat dalam kamusnya demi membedakan dengan bahasa yang lainnya, dan kalau hanya “dimisalkan” kurang terang/jelas makna yang dikandungnya. Untuk itu, Raja Ali Haji mengingatkan, “inilah bahasa yang amat kasar… siapa yang membaca tentang ini hendaklah jangan dibaca dengan lidah, tetapi hendaklah dibaca dengan hati.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 76).

Selain itu, penjelasan dan uraian tentang kata “tembam”, menurut Raja Ali Haji, lebih masyhur dipergunakan untuk menjelaskan “bentuk dan sifat” alat kelamin perempuan. Untuk kata “tembam” Raja Ali Haji memberikan uraian, “…. Kemaluannya itu lebar dagingnya tebal sebelah atas, jadi tinggilah tampaknya. Tulangnya jika dirasa dengan tangan jauh ke dalam dan pada tepi lubangnya itu tebal juga dagingnya dan jadilah bangun kemaluannya itu lebar bentuknya tinggi sebelah atasanya dan jika tampak dari sebelah hadapan seolah-olah rupanya binatang belangkas yang melekap sesuatu.”

Raja Ali Haji menambah penjelasannya, pada ghalibnya kebanyakan orang Melayu menyukai alat kelamin perempuan yang tembam karena lebih mudah membangitkan gairah seksual laki-laki yang lemah syahwat. Akan tetapi, Raja Ali Haji menambahkan dengan nada mengingatkan, “Hai segala tuan-tuan mendengar tentang bicara ini jangalah salah sangka takwil karena jika tiada kuterangkan begini jika membaca logat Melayu yang bukannya bahasa darinya masih tiada putus pengetahuannya terkadang bertanya pula selalu-selalu….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 270).

Raja Ali Haji memberikan pengertian kata “Jangak” dengan panjang lebar dari berbagai jenis sifat, sikap dan perbuatan tidak baik. Khusus berkaitan dengan perempuan, menurut Raja Ali Haji, dikatakan “jangak” berawal dari perbuatannya suka bersolek secara berlebih-lebihan dengan maksud merebut perhatian laki-laki.

Raja Ali Haji menambahkan, “Adalah matanya lekat memandang laki-laki itu, dan suka ia duduk kepada pintu-pintu rumah atau tingkap-tingkap sekira-kira tampak dilihat orang laki-laki pura-puralah ia membuat pekerjaan di situ. Akan tetapi bekerja itu selalu sahaja mengerling kepada laki-laki yang tampak dengan dia itu dan jika ada laki-laki, hampir-hampir dengan dia bercakap-cakap, maka membuat pula ia pura-pura terlepas kain di hadapan laki-laki itu tampaklah susunya dan terkadang jika ia duduk ada laki-laki di belakangnya pura-pura pula ia melepaskan kainnya sebelah punggung ke tikar, jadi tampaklah punggungnya terputih dan lekuk-lekuk sebelah bawah punggung itu tampaklah dilihat laki-laki itu kemudian ia pura-pura terkejut menutup punggungnya lekas-lekas.”

Kemudian, cerita wanita “jangak” berlanjut, ketika gairah seksual laki-laki itu bangkit dan ingin berhubungan seks dengan wanita itu, sangatlah gampang mendapatkannya. Sedemikian gampangnya, kata Raja Ali Haji, sehingga laki-laki tidak perlu mengeluarkan “biaya”, bahkan kalau perempuan itu menghendakinya, terkadang ia yang mengeluarkan “biaya” untuk laki-laki yang mau melayaninya. Selanjutnya, Raja Ali Haji menutup entri “jangak” ini dengan kalimat, “Syahdan tidaklah ia sunyi daripada menaruh kehendak sedia saja lepas seorang-seorang pula, dilawannya berkehendak maka perempuan itulah bernama jangak adanya.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 296).

Kalau membaca karya Raja Ali Haji baik syair maupun prosa yang bernada fulgar dan forno tentang seks, mungkin seseorang terkesan bahwa pengarangnya terobsesi oleh naluri dan libido seksual. Akan tetapi, ketika merujuk kepada entri-entri yang ada di dalam Kitab Pengetahuan Bahasa secara komprehensif, menurut Jan van der Putten, kita harus menahan anggapan dan pemikiran kita semacam itu terhadap Raja Ali Haji, sebab masalah seksual hanyalah sejumlah kecil “kata-kepala” ditulisnya dalam Kitab Pengetahuan Bahasa. Justru entri-entri yang terdapat dalam Kitab Pengetahuan Bahasa, sebagian besar adalah entri kata yang mendefinisikan dan menjelasakan tentang perbuatan baik dan aturan etika-moral sesuai dengan tuntunan agama dan adat istiadat. (Putten, “On Sex, Drug, and Good Manner: Raja Ali Haji as Lexicographer”, JSAS, Vol. 33, No. 3, (2002): 426).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).
24. POLIGAMI: Pemikiran Rasional Islam Modernis

24. POLIGAMI: Pemikiran Rasional Islam Modernis

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Pada semua bangsa-bangsa di masa kuna, poligami dipandang sebagai suatu kebiasaan yang dapat dibenarkan. Lebih dari itu, poligami –karena dilakukan oleh raja-raja [keturunan dewa-dewa yang berkuasa di bumi] melambangkan ketuhanan– dipandang oleh orang banyak sebagai pebuatan suci. Seiring dengan ini, perempuan pada masa pra-Islam tidak mempunyai harkat dan martabat kemanusiaan. Dengan kata lain, perempuan tidak lebih hanya sebagai barang komoditas yang diperjual-belikan. Praktek poligami yang tak terbatas itu terjadi pada berbagai bangsa.

Pada bangsa Babilonia Mesir, tradisi poligami dilakukan tanpa batas jumlah perempuan yang dinikahi oleh pria bani Israil sebelum masa Nabi Musa a.s. di Mesir, dan dilanjutkan oleh orang-orang Ibrani. Meskipun belakangan Talmud di Yerussalem membatasi jumlah tersebut menurut kemampuan pria (suami) dalam memelihara istri-istrinya dengan baik.

Meskipun para rabi menasehatkan supaya beristri tidak lebih dari empat tetapi tetap saja ada beberapa kelompok menentang pembatasan tersebut. Di Persia, agama yang mereka anut memberikan penghargaan dan hadiah kepada pria yang mempunyai istri banyak. Di Indiadengan sistim kastanya, seorang Brahmana sebagai berkasta tinggi [bahkan hingga dewasa ini] boleh mengawini perempuan-perempuan sebanyak ia suka dan mampu.

Sementra di Yunani, khususnya di Athena –suatu bangsa yang diklaim paling beradab dan mempunyai peradaban tinggi di antara bangsa-bangsa kuna– wanita tidak lebih seperti hewan yang diperdagangkan. Dan seorang pria di Athena diperkenankan untuk mengawini berapapun perempuan ia kehendaki. Praktek poligami semacam ini tetap berlanjut hingga kehadiran agama Kristen yang membenci perkawinan secara umum (baca: pelarangan perkawinan terhadap pemimpin agama). (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 222-226).

Ketika Nabi Muhammad saw. datang poligami didapatinya dipraktekkan oleh sumua orang, tidak saja oleh kaumnya, tetapi juga oleh orang-orang dari negeri-negeri tetangga. Pada masa tersebut praktek poligami mendapat bentuknya pada titik nadir yang paling rendah, meskipun agama Kristen telah berusaha untuk memperbaiki keadaan ini, tetapi tetap tidak berhasil. Dalam kondisi seperti itu Nabi Muhammad saw. melakukan pembaharuan dengan memberikan kepada perempuan hak-hak yang sebelumnya tidak pernah dimilikinya.

Perempuan diberikan kedudukan dan derajat sema dengan pria dalam segela aspek kehidupan. Misalnya, al-Qur’an menyebutkan: “Mereka mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya secara patut, akan tetapi kaum pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari kaum perempuan.”(Q.s. al-Baqarah [2]: 228). Meskipun ayat ini menggariskan bahwa “pria mempunyai satu tingkat lebih tinggi dari perempuan”, tetapi Islam pada bagian lainnya, mengajarkan agar pria dan perempuan tetap setara, maka Allah menetapkan kewajiban bagi pria untuk memberikan mahar kepada perempuan.

Lebih jauh, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw., menurut Ameer Ali, juga untuk mengendalikan poligami dengan membatasi perkawinan dalam masa yang sama. Anjuran poligami ini diiringi dengan peringatan dan peraturuan agar kaum pria berlaku seadil-adilnya: “Perlu dicatat bahwa ayat al-Qur’an yang membolehkan kawin empat sekaligus, segera diiringi oleh kalimat yang membatasi arti kelimat sebelumnya, sehingga kandungannya menjadi normal dan patut.

Adapun ayat dimaksud bunyinya demikian: “Kamu boleh mengawini perempuan-perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat”; tidak boleh lebih dari itu. Baris-baris ayat ini seterusnya berbunyi, “ tetapi jika kamu kuatir tidak dapat berlaku adil dan benar terhadap semuanya, maka kamu harus mengawini seorang saja.” (Q.s, al-Nisa [4]: 3).

Betapa pentingnya pengecualian ini, terutama arti kata “adil” (adl) dalam ayat al-Qur’an ini, sehingga benar-benar menjadi perhatian yang besar bagi pemikir-pemikir dalam dunia Islam. Adil bukan semata-semata berarti persamaan perlakuan dalam hal tempat kediaman, sandang dan keperluan rumah tangga lainnnya. Akan tetapi, juga berarti tidak membeda-bedakan sama sekali dalam hal cinta, kasih-sayang dan kehormatan. Mengingat keadilan secara mutlak tidak dapat diwujudkan dalam soal perasaan, ajaran ayat al-Qur’an ini sebenarnya sama dengan larangan.(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 227-229).

Pada bagian akhir kutipan diatas, nyata sekali, menurut Ameer Ali, sebagimana ditegaskan oleh al-Qur’an bahwa “kamu tidak akan mampu berlaku adil kepada istri-istrimu:“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.s. al-Nisa [4]: 129).

Pemahaman jitu dari ayat di atas karenanya, menurut Fazlur Rahman, sama dengan pemikiran Ameer Ali, kawinilah satu orang saja, sekiranya kamu tidak mau/mampu berlaku tidak adil. Artinya, kalau kita beristri lebih dari satu, berat dugaan kalau suami akan belaku aniaya terhadap istri-istri yang dimiliki. Kemudian ia menyimpulkan bahwa ayat ini sama saja artinya dengan pelarangan atas poligami. (Lihat, Fazlur Rahman, Islam:340). Beginilah cara pemikir pembaharuan Islam –yang terusir dari negerinya, Pakistan– dalam memahami ayat poligami. Dan tentu saja, pemikiran Fazlur Rahman ini pasti banyak yang orang menolak dan menentangnya, sebagaimana pemikirannya yang lain dalam memaknai noktah-noktah agama.

Pada ayat Q.s, al-Nisa [4]: 3, sebagaimana yang dikutip oleh Amer Ali di atas, acap kali dijadikan landasan normatif untuk melakukan poligami. Padahal dalam memahami ayat itu dengan baik dan benar, mestilah dihubungkan dengan dua ayat sebelumnya. Begitu pula asbāb al-nuzūl (sebab-sebab) diturunkan ayat ini juga tidak boleh diabaikan.

Para ahli tafsir sepakat bahwa sebab-sebab turunnya ayat ini berkenaan dengan perbuatan para wali yang tidak adil terhadap anak yatim berada dalam perlindungan mereka. Misalnya, Rasyid Ridha mengungkapkan, bahwa ada beberapa peristiwa yang menjadi sebab turunnya ayat ini, sebagiamna diriwayarkan oleh Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Bayhaqi dari Urwah ibn Zubair:

“Dia bertanya kepada bibinya, Aisyah r.a. tentang sebab turunnya ayat ini. Lalu Aisyah menjelaskan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan anak-anak yatim yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu tertarik akan kecantikan dan harta anak yatim itu dan mengawininya, tetapi tanpa mahar.” Riwayat lainnya, juga dari Aisyah r.a., “ Bahawa ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai banyak istri, lalu ketika hartanya habis dan ia tidak sanggup lagi menafkahi semua istrinya yang banyak itu, ia berkeinginan mengawaini anak yatim yang berada dalam perwaliannya dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiaya kebutuhan istri-istri lainnya.”

Ayat-ayat tersebut, menurut Abu Ja’far, sebagaimana dikutip oleh Rasyid Ridha, mengandung peringatan keras kepada manusia supaya bersikap hati-hati dan berbuat adil, baik terhadap anak yatim (perempuan) maupun kepada perempuan (umumnya). Karenanya, janganlah mengawini anak yatim jika takut terjerumus dalam berbuat aniaya dan dosa. Sekiranya takut berbuat aniaya dan dosa maka kawinilah perempuan lainnya yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Tetapi kalaupun takut berbuat tidak adil dan dosa maka kawinilah seorang saja, atau boleh mengawini budak-budak yang dimiliki. (Lihat, Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Jilid IV: 344-346).

Ketika hubungan ayat sebelum atau sesudah dan asbab al-nuzul sebagai kedua cara memahami ayat itu diabaikan, niscaya pemahaman terhadapa ayat tersebut menjadi tidak integratif dan a historis (melenceng dari konteks waktu ayat diturunkan). Konsekwensinya pememahaman yang demikian itu akan menjadi salah dan menyimpang dari makna ayat yang sesungguhnya.

Kalau dilihat “sekilas mata” terdapat kontradiksi antara idealitas “sprit” Islam tentang perkawinan monogami dengan realitas “lahiri” perkawinan Rasul Allah yang poligami. Pandangan “sekilas mata” inilah dipergunakan oleh non-Islam untuk melontarkan celaan kepada Rasul Allah saw. Pandangan semacan ini, menurut Ameer Ali, karena para pencela tersebut tidak mengatahui persoalan sebenarnya atau kurang jujur untuk mengakui dan menghargainya.

Padahal kalau “ditatap lama” masalahnya akan menjadi: “Kalau saja orang mengetahui sejarah lebih baik dan lebih tepat dalam memberikan penilaian terhadap kenyataan-kenyataan itu, maka orang tentu akan melihat bahwa Rasulullah bukanlah seorang jalang yang memperturutkan hawa nafsunya, tetapi seorang yang memberikan pengorbanan yang tidak ringan, walau ia dalam kemiskinan… menerima beban untuk menolong wanita-wanita yang dinikahinya, Kami percaya bahwa analisa yang teliti memandang motif-motif perkawinan tersebut dari perspektif kemanusian akan mempelihatkan kepalsuan dan ketidakadilan tuduhan-tuduhan dilontar kepada “manusia Arab yang mulia” itu.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam:232)

Agaknya Ameer Ali “disibukkan” melakukan pembelaan dari berbagai tuduhan atas praktek poligami yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. dengan jalan mempreteli motif-motif dan latar belakang dari kesuluruhan perkawinan Rasul Allah saw dengan sebelas orang istri-istrinya. Untuk membuktikan bahwaRasul Allah saw bukan seorang yang “jalang dan haus seks”, misalnya Ameer Ali mengungkapakan perkawinan pertama Nabi (diusia 25 tahun) dengan Khadijah (diusia 40 tauhan). Perkawinan pertama Nabi ini berlangsung selama dua puluh lima tahun; dan berakhir dengan wafatnya Khadijah. Selama kawin dengan khadijah, Nabi Muhammad saw. tidak ada mengawini wanita lain (monogami), meskipun masyarakat umum sangat membenarkan sekiranya Rsul Allah melakukannnya.(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 232-233).

Perkawinan Nabi saw. dengan sejumlah istrinya, selain yang pertama dengan Khadijah, bukanlah perkawinan yang “wajar atau normal.”Disebut tidak wajar dan normal kerena Rasul Allah saw. melakakukan perkawinan tidak dilatarbelangi oleh cinta erotis (hubb al-shahawât), tetapi lebih pada kasih sayang (mawaddah). Perkawinan Rasul Allah semacan ini tidak menekankan pada hubungan kepuasaan jasmâni (biologis), tetapi melompat kepada hubungan kepuasaan nafsâni (psikologis).

Berbeda dengan perkawinan wajar dan normal yang menekankan pada hubungan kepuasan biologis yang bermaksud untuk saling memberikan “kenyamanan” (rekreatif) dan bertujuan mendaptkan keturunan (reproduktif). Karenannya, perkawinan Nabi Muhammad saw. selain yang pertama dengan Khadijah, kalau ditelusuri lebih seksama satu persatu mempunyai motif dan latarbelakang kemanusian universal, dan demi kepentingan dakwah (syiar) bagi agama baru yang dibawanya.

Motif dan latar belakang perkawinan Nabi Muhammad saw. seperti ini, mislanya sangat jelas pada perkawainan keduanya dengan Sa‘udah. Istri Rasul Allah ini adalah janda sahabat bernama Sakran ibn Amar yang meninggal dalam pengungsian ketika melarikan diri ke Habsyi dan meninggalkan istri dalam kesengsaraan. Satu-satunya cara untuk menolong wanita-janda malang ini, karena kemurahan hatinya dan pertimbangan rasa kemanusiaan, Nabi Muhammad saw. melamarnya menjadi istrinya. Saudah menerima lamaran Rasul Allah, dia sudah berusia lanjut dan tidak punya lagi keinginan biologis kepada pria, dengan harapan akan dibangkitkan di surga bersama dengan istri-istri Rasul Allah yang lainnya.

Perkawinan ketiganya dengan ‘Aisyah, dari segi fisik-biologis, ia merupakan satu-satunya istri Nabi saw. yang berusia muda dan perawan. Perkawinanya dengan Nabi itupun lebih disebabkan karena hasrat ayahnya, Abu Bakr al-Shiddiq yang ingin memperteguh jalinan hubungan persahabatannya dengan Rasul Allah. Dan perkawinan keempat Rasul Allah saw dengan Hafsah, seorang wanita janda ditinggal wafat suaminya yang gugur syahid dalam peperangan Badr. Karena sifat keras yang diturunkan dari ayahnya, Umar bin Khattab, sejak suaminya wafat dia tidak kawin-kawin.

Melihat anaknya yang terus-menerus dalam kondisi menjanda buat Umar bin Khattab malu sendiri. Untuk itu ia menawarkan anaknya kepada sahabatnya, Abu Bakr, dan ketika Abu Bakr menolak ia menawarkan kepada Usman bin Affan, tetapi sahabat yang disebut belakangan ini juga menolak ajakannya untuk kawin dengan anaknya. Penolakan kedua sehabat itu, tidak saja semakin membuat Umar malu, tetapi sekaligus ia merasa terhina. Dalam kondisi malu dan terhina itu ia mengahadap Rasul Allah untuk mengadukan persoalan yang dihadapinya dengan penuh emosi. Dengan sifat empatinya, Rasul Allah menenangkan Umar bin Khattab dengan memutuskan akan menikahi putrinya.

Begitupula dengan istri-istri Rasul Allah saw. berikutnya, seperti Hindun Ummi Salmah, Ummi Habbah dan Zaynab Umm al-Masākīn. Tiga istri Nabi ini adalah wanita-wanita janda ditinggal pelindungnya (suami mereka) dalam menegakkan syiar agama Islam. Sedangkan perkawinan Rasul Allah saw. berikutnya jelas untuk memberikan pertolongan kemanusiaan dan pertimbangan lainnya.

Rasul Allah menikahi Zaynab yang merupakan janda dicerai Zaid, anak angkat nabi, atas perintah Allah. Kemudian, Jawairiyah adalah tawanan yang dimerdekakan Rasul Allah, dan dia meminta agar Rasul Allah mengawininya. Selanjutnya, Safiah wanita Jahudi menjadi tawanan dan dimerdekakan Nabi Muhaammad saw., dan dijadikan istri atas permintaannya sendiri. Sementar Maimunah, wanita tua yang miskin berusia lebih lima puluh tahun, dikawini Rasul Allah untuk memberikannya nafkah. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 235).

Karena dari istri-istri Rasul Allah, selain Aisyah, merupakan wanita-wanita yang rata-rata sudah berusia, janda dan mempunyai anak. Dan dari istri-istrinya selain Khadijah, tidak lagi dikarunia anak. Jadi dari data-data ini jelaslah bahwa alasan Rasul Allah berpoligami sangat jauh dari hasrat memenuhi kepuasaan biologis, seperti dituduhkan kepadanya.

Biarpun nyata-nyata melakukan poligami, tetapi Nabi Muhammad saw. mewanti-wanti untuk tidak melakukan praktek poligami. Karena dalam perkawainan yang “wajar” poligami pada hakekatnya mengandung unsur yang dapat menyakiti hati wanita. Misalnya, Nabi Muhammad saw. sendiri menolak tawaran untuk mengawini wanita cantik lantaran khawatir akan menyakiti hati wanita tersebut.

Keperibadian Rasul Allah yang peka terhadap perasaan wanita ini digambarkan dalam sebuah hadis. Suatu ketika Amrah binti Abdurrahman berkata: Rasul Allah ditanya, “Ya Rasul Allah, mengapa engkau tidak menikahi perempuan-perempuan dari kalangan Anshar yang beberapa di antara mereka terkenal cantik-cantik?” Rasul Allah menjawab, “mereka perempuan-perempuan yang memiliki rasa cemburu yang besar dan tidak akan bersabar untuk dimadu. Aku mempunyai bebarapa istri, dan aku tidak suka menyakiti hati kaum perempuan berkenaan dengan hal itu.”

Begitu juga, Rasul Allah saw. tidak mengizinkan menantunya, Ali bin Abi Thalib, untuk memadu putri kesayangannya, Fatimah al-Zahrah dengan wanita lain. Dalam riwayat dinukilkan dari al-Mizwar ibn Makhraman, bahwa ia telah mendengar Rasulullah berpidato di atas mimbar: “Sesunggunya anak-anak Hisyam ibn Mugirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putrinya dengan Ali bin Abi Thalib.

Rasul Allah bersabda: “Ketahuhilah, bahwa aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, kecuali jika Ali bersedia menceraikan putriku, dan menikahi anak mereka. Sesunggguhnya Fatimah adalah bagian dari diriku. Barangsiapa membahagiakannya berarti ia membahagiakanku; sebaliknya barangsiapa menyakitinya berarti ia menyakitiku.”(Al-Bukhari, “Kitab al-Nikah”, Shahih al-Bukhari, Hadis ke- 4829; Shahih Muslim hadis ke- 4482; Sunan al-Turmudzi, hadis ke-3802).

Pada hal-hal tertentu dalam perkembangan sosial, terkadang poligami merupakan suatu yang tak terhindarkan dan dengan sendirinya dibenarkan. Peperangan misalnya, pada masa lampau, dapat mengurangi populasi pria dan kelebihan populasi wanita, sehingga poligami merupakan tuntutan masyarakat tersebut. Begitu pula, pada masyarakat belum maju dan tidak mempergunakan rasionalitasnya semacam memadai serta dalam kondisi tertentu akan memandang poligami suatu yang terpuji.(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 222).

Ajaran dibawa oleh Nabi Muhammad saw. berlaku untuk semua golongan dan untuk setiap masa, seperti diakui Ameer Ali, maka poligami bukanlah kejahatan harus disesalkan. Pada bagian lain Ameer Ali menyebutkan boleh jadi orang akan mengatakan bahwa tidak perlu sama sekali Rasul Allah melaksanakan dan memperkenalkan kebiasan buruk poligami itu. Seharusnya Nabi saw. melarangnya sama sekali, sebagaimana Nabi Isa a.s. telah melarangnya secara absolut.

Namun, kebiasaan poligami, seperti juga yang lainnya, tidaklah mutlak keburukannya. Menurutnya, buruk adalah suatu istilah yang relatif. Suatu perbuatan yang awalnya boleh jadi baik dan sesuai dengan konsepsi-konsepsi moral dalam suatu masyarakat dan dalam waktu tertentu; tetapi dengan perkembangan pemikiran pada diri seseorang dan perubahan nilai dalam masyarakat yang semula dianggap baik dapat berubah menjadi buruk dan sekaligus dapat dilarang penerapannya.

Kalau meminjam istilah Nurcholish Madjid, disinilah letak diferensiasi antara al-khair dan ma’ruf. Keduanya dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan “kebaikan”. Namun kedua kata tersebut tidak berkonotasi sama. Kalau istilah disebut pertama (al-khair) adalah kebaikan universal-normatif, suatu kebaikan pada tataran yang paling tinggi, dan kerenanya berlaku untuk segala ruang dan waktu. Sebaliknya, yang disebut belakangan (ma’ruf), adalah kebenaran yang diakui benar yang bersifat relatif-operasional, berlaku hanya dalam suatu ruang dan waktu tertentu. (Lihat, Nurcholish Madjid, “Metodologi dan Orientasi Studi Islam Masa Depan”, dalam Jurnal Jauhar, Volume 1, No. 1, Desember 2000: 5)

Namun, dewasa ini, menurut Ameer Ali, semakin manusia mempergunakan rasionalitasnya dan semakian maju peradaban yang dimilikinnya akan lebih mudah memahami akibat negatif poligami dan arti pelarangannya semakin mudah dipahami. Pada gilirannya, bagi kelompok ini dengan mudah sepakat bahwa poligami bertentangan dengan ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.

Ameer Ali, misalnya menyebutkan bahwa dalam pandangan Mu’tazilah yang rasionalis sangat menentang sistem perkawinan poligami, dan mereka adalah termasuk kalangan menganut monogami yang taat. Menurut Mu’tazilah perkawinan dimakanai sebagai “persatuan untuk seumur hidup antara pria dan perempuan dengan menjauhkan yang lainnya.”(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 229 dan 232).[Sebagai catatan kecil: Untuk itu, dewasa ini, mungkin mahar lebih baik diganti dengan komitmen seperti: “hidup bersatu, dan hanya boleh dipisahkan oleh kematian”].

Karena terobsesi oleh sistem monogami, Ameer Ali berharap, “sangatlah kita harapkan bahwa tidak lama lagi ada sidang umum dewan ulama Islam yang mengeluarkan pernyataan mengikat bahwa poligami, seperti juga perbudakan, dinyatakan bertentangan dengan hukum Islam.”(Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 323).Akan tetapi, harapannya ini akan tinggal sebagai harapan yang utopis dan malah mungkin absurd. Karena satu hal mungkin dilupakan Ameer Ali bahwa ulama tidak mungkin dapat bersatu, tentu dalam konteks pengharaman poligami.

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb,
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]UIN Suska Riau).
23. SURGA DAN NERAKA: Pandangan antara Materialisme dan Spiritualisme

23. SURGA DAN NERAKA: Pandangan antara Materialisme dan Spiritualisme

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

Gagasan mengenai kehidupan eskatologi (hari akhirat) berupa surga dan neraka–kehidupan kedua setelah  kematian kita di dunia ini– merupakan gagasan umum pada setiap bangsa di masa lampau. Hanya saja penjelasan dan penjabaran soal kehidupan akhirat itu berbeda satu dengan lainnya. Dengan begitu, mempercayai kehidupan eskatologis merupakan bagian penting bagi eksistensi dan kepercayaan hidup manusia.

Akan tetapi, apabila  kenyataan ini diperhatikan berkaitan dengan perkembangan peradaban manusia, maka konsepsi tentang eskatologis juga merupakan perkembangan wajar dari pemikiran manusia. Ameer Ali mencontohkan, masyarakat tidak berperadaban hampir-hampir tidak mempunyai banyangan mengenai kehidupan setelah kehidupan di dunia ini.

Bangsa Mesir dikatakan sebagai bangsa pertama kali mengenal kehidupan eskatologis (kedua setelah kehidupan sekarang ini).Agama Yahudi pada mulanya tidak mengenal adanya kehidupan akhirat. Dan dengan sendirinya mereka tidak mengenal adanya ganjaran dan hukuman atas perbuatan yang telah dilakukan. Karena seluruh sistem hukum agama Yahudi hanya berkisar pada ganjaran dan hukuman yang diperoleh di dunia ini semata.

Namun, orang-orang Israil yang tinggal di Mesir memasukkan paham kehidupan eskatologi tersebut beserta pemahaman adanya ganjaran dan hukuman diperoleh nantinya ke dalam sistem ajaran mereka. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 188-189). Begitu pula dengan agama-agama sebelum Islam, seperti Zoroaster dan Kristen, pada umumnya menggambarkan adanya kehidupan eskatologi beserta balasan yang diperoleh di dalamnya. Akan tetapi, ganjaran  kebahagian dan kesengsaraan akan diperoleh dalam bentuk jasm (jasmani), bukan dalam bentuk ruh (rohani). (Harun Nasution , Pembaharuan Dalam Islam: 184).

Ketika Islam hadir pada bangsa Arab, gagasan agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad tentang kehidupan akhirat pada mulanya dipengaruhi oleh pandangan-pandangan yang berkembang pada waktu itu. Sehingga konsepsi Islam mengenai kehidupan eskatologis bersifat elektisisme. Akan tetapi, menurut Ameer Ali, gagasan utama dan terpenting dalam Islam adalah:

“…. berdasarkan keimanan bahwa kehidupan setelah kematian, setiap manusia harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya di dunia ini, baik laki-laki maupun perempuan. Dan bahwa kebahagian dan kesengsaraan seseorang sangatlah tergantung bagaimana cara mereka melaksanakan perintah-perintah Penciptanya. Meskipun demikian, rahmat dan kasih-sayang-Nya tidak terbatas dan akan dikaruniakan-Nya dengan adil kepada makhluk-Nya.”

Inilah intisari keseluruhan ajaran Islam tentang kehidupan di akhirat. Dan inilah satu-satunya ajaran yang wajib dipercayai dan diterima. Sementara unsur-unsur lainnya hanyalah tambahan yang diambil dan disesuaikan  dari tradisi yang berkembang di kalangan bangsa-bangsa pada masa itu.” (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 197-198.)

Berbagai ayat al-Qur’an awal, sebagian besar diturunkan di Mekkah,  menggambarkan tentang konsep surga dan neraka secara realistis dan materialistis. Konsep tentang surga dan neraka dirumuskan dengan bahasa yang mudah dipahami  oleh orang kebanyakan di padang pasir. Gambaran surga dan neraka seperti itu, kata Ameer Ali, diambil dari khayalan yang beredar di antara pengikut Zoroaster, Saba dan orang Yahudi yang berpegang kepada Talmud. Misalnya, gambaran tentang surga (firdaus) beserta hauri-hauri (bidadari-bidadari)  adalah gagasan yang diambil dari kepercayaan orang-orang Zoroaster dari Zendavesta. Sedangkan gambaran tentang neraka beserta hukuman yang mengerikan berasal dari kepercayaan orang-orang Yahudi dari Talmud. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 191 dan 197).

Gagasan tentang balasan kebaikan (surga) dan hukuman kejahatan (neraka) sesudah mati merupakan janji dan ancaman yang manjur untuk mempengaruhi tingkah laku manusia baik secara individual dan kolektif. Kebajikan dilaksanakan demi kebajikan itu sendiri, kata Ameer Ali, hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berpikiran maju; sebaliknya bagi  awam (orang kebanyakan) yang tidak terpelajar akan selalu memerlukan janji-janji dan sanksi-sanksi sebagai motivasi.

Dengan demikian, berbicara tentang surga  dan neraka dalam pengertian kenikmatan ruhani dan penderitaan spritual, hampir-hampir tidak mungkin diungkapkan kepada masyarakat awam tanpa mempergunakan kata-kata  yang dapat divisualisasikan (diperumpamakan dalam bentuk materi), misalnya berwujud dalam simbolisme.

Menurut Ameer Ali, Nabi Muhammad saw, tidak hanya ditujukan dan berbicara kepada orang-orang yang perpendidikan dan berpikiran maju yang jumlahnya sangat terbatas. Akan tetapi, agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.  juga ditujukan kepada orang-orang awam kebanyakan yang tenggelam dalam dunia material. Karenanya, Islam harus menyesuaiakan dengan  pengertian dan pemahaman orang-orang awam tersebut.

Bagi orang Arab yang liar dan kelaparan serta daerahnya gersang, apakah yang lebih dan paling menyenangkan gagasan tentang surga, kecuali misalnya menggabarkan surga dengan sungai-sungai yang mengalirkan air yang bersih, susu dan madu atau tumbuh-tumbuhan yang rimbun dan buah-buahan yang segar yang tidak terkira banyaknya. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 198). Begitu pula, agar orang yang, konon, memiliki libido seksual tinggi agar beriman dan melakukan amal kebajikan, maka dijanjikan surga permainan seks bersama-sama sejumlah bidadari (konon, 99 orang bidadari, dan secara pribadi saya tidak percaya dan menyukainya)

Pada awalnya, gambaran ayat-ayat al-Qur’an tentang surga neraka sangat bersifat materialistik. Ini mislanya dapat terlihat pada ayat-ayat yang turun di Mekkah. Karena al-Qur’an diturunkan pada masyarakat yang tidak sama tingkat kecerdasan dan tingkat kesadaran spritualnya, maka bagi masyarakat awam al-Qur’an tampil dengan menggambarkan surga seperti taman yang asri dan nyaman, kebun beraneka buah yang dialiri oleh air (sungai-sungai). Dan di dalam surga seorang dapat menikmati kenyamanan yang sangat bersifat bendawi (material), seperti makanan buah-buahan, minuman susu dan madu serta bidadari-bidadari (pelayan-pelayan) yang secara langsung memberikan gambaran kenyamanam kehidupan seksual.

Begitu pula, neraka digambarkan sebagai api yang berkobar-kobar yang bahan bakarnya teridiri “al-nas wa al-hijarah”, yaitu dari batu dan manusia itu sendiri (Q.s. al-Tahrim [66]: 6/al-Baqarah [2]: 24) . Gambaran seperti ini perlu untuk meningkatkan moral masyarakat awam dalam melaksanakan kebaikan  dan meninggalkan kejahatan.(Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam: 185; Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 189).

Gambaran al-Qur’an tentang balasan dan siksaan di akhirat (surga dan neraka) mengalami perkembangan pada diri Nabi Muhammad saw. sesuai juga dengan tingkat perkembangan  kecerdasan umat Islam masa itu: “…. Pada awalmuya kesadaran keagamaan Nabi Muhammad saw. sendiri yang percaya kepada beberapa tradisi yang beredar di sekitarnya. Akan tetapi, dengan tumbuhnya kesadaran yang lebih mendalam, semakin mendalam pula rasa penyatuan dengan Pencipta Semesta. Maka pikiran-pikiran sebelumnya yang hanya melihat pada aspek kebendaan, kemudian melihat pada aspek spiritual.

Perkembangan pikiran Rasul Allah tidak saja karena sejalan dengan perjalanan dan perkembangan kesadaran keagamaannya, tetapi juga karena berkembangnya pemikiran-pemikiran pengikutnya dalam menangkap konsepsi-konsepsi spiritual. Karenanya, dalam surat-surat yang turun belakangan terlihat leburnya sifat-sifat kebendaan dalam sifat-sifat keruhanian; leburnya jasmani dalam jiwa. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 200-201).

Jadi dibalik gambaran-gambaran kehidupan akhirat baik di surga maupun di  neraka ada  pengertian spritual yang  abstrak lebih mendalam dan hakiki. Akan tetapi, karena pengertian surga dan neraka itu bersifat spritual-abstrak maka tidak ada seorang pun yang mengetahui hakekatnya. Firman Allah:

“Tidak seorang pun yang mengetahui (kebahagian yang mutlak itu) yang disembunyikan (dirahasikan) bagi mereka, yaitu (bermacam-macam nikmat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”(Q.s. al-Sajadah [32]: 17).

Begitu pula mengenai gambaran-gambaran surga dalam al-Qur’an, misalnya dalam surga itu ada air yang mengalir, sungai madu, sungai susu, sungai arak serta bidadari dan sebagainya hanyalah sebagai tamsil-‘ibārah. Tegasnya, gambaran surga semacam ini adalah sebuah ilustrasi berwujud simbolisme.

Firman Allah:

“Perumpamaan surga yang disediakan bagi orang-orang bertaqwa adalah bahwa di dalamnya terdapat banyak sungai: ada sungai yang air dan rasanya tidak berubah, sungai susu yang rasanya tidak berubah, sungai khamar yang nikmat lezat bagi peminumnya dan sungai madu murni dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Rabb mereka, sama dengan orang yang kekal dalam jahannam dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong ususnya. (Q.s. Muhammad [47]: 15).

Dalam memahami simbolisme dan perumpamaan (tamsil) tersebut harus menyeberangi (‘ibārah) makna yang ada dibaliknya. Oleh sebab itu, al-Qur’an juga menyebutkan bahwa surga sebagai balasan yang baik dan lebih besar bagi orang-orang beriman dan beramal saleh tidak lain daripada keredaan Allah, yaituwa riwān min Allāh akbar. Firman Allah:

“Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, (akan mendapat) surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah (jauh) lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.s. al-Tawbah[9]: 72).

Bagi penghuni surga dalam pandangan materialisme akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan  “biologis” berupa makanan dan minuman yang lezat-lezat serta seks pemuasan hawa nafsu. Raja Ali Haji menulis dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: “Demikianlah halnya mereka yang di dalam surga itu. Maka apabila sampai ia ke pintu surga, maka disambutlah oleh segala malaikat, dibawanya kepada istrinya “bidadari” di dalam mahligai itu. Maka apabila sampai ia ke dalam mahligainya bersuka-sukaanlah ia dengan segala istrinya “khawaral ‘ain” itu dan “khadam-khadamnya”, “wadan-wadan” namanya. Maka makan minumlah yang lezat-lezat serta berpeluk dan bercium dan berbelai dan berjimak dengan sepuas-puasanya hawa nafsu. Pada hal kekal senantiasa dengan demikian itu ada.”Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 33),

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Raja Ali Haji memberikan gambaran kehidupan surga bagi lelaki yang “full sex” (“berjimak dengan sepuas-puas hawa nafsu”) bersama istri-istrinya dan para bidadari yang konon jumlahnya sampai sembilan puluh sembilan. Selain itu,  kehidupan di surga digambarkan bergelimang dengan kelezatan materi. Karenanya, untuk tetap memberikan vitalitas bagi lelaki abrār (pelaku kebajikan di dunia), Allah mengiming-imingi makanan-makanan enak dan lezat dan beraneka buah-buahan dan minuman yang sangat menyegarkan dari berbagai aliran sungai yang berbeda-beda warna dan cita rasanya, misalnya ada air sungai bercita rasa madu, susu, arak dan lainnya.

Bagi pemburu surga yang penuh dengan kehidupan seksual, dan untuk memberinya daya tahan dan badan yang prima maka dijanjikan minuman, terutama minuman kāfūrā. Minuman kāfūrā yang diperuntukkan kepada orang-orang yang senantiasa berbuat kebaikan dan kebajikan, kaum al-abrār. Firman Allah, “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (Q.s. al-Insān [76]: 5.

Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan “kāfūrā” berikut ini: “Kāfūr is literally Camphor. It is fountain in the Realms of Bliss. It is a seasoning added to the Cup of pure, beatific Wine, which cause no intoxication (lvi.18-19) but stands for all that wholesome, agreeable, and refreshing. Comphor is cool and refreshing, and is given as a sooting tonic in Eastern medicine. In minute doses its odour and flavour are also agreeable.” (Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 1571-1572, catatan kaki no. 5835.)Kata “kāfūrā” termasuk salah satu bahasa ‘ajam yang “dipinjam” oleh Allah terdapat dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu, yaitu “kapur”. (Lihat juga, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX,Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983, 268-269).

Penjelasan tentang surga yang digambarkan “dengan beberapa makan-makanan yang lezat-lezat dan minum-minuman dan beberapa istri daripada hurul ‘ain dengan beberapa kesukaan dan permainan yang tiada pernah dilihat oleh mata dan tiada didengar oleh telinga.” Bahkan hati sekalipun tidak akan pernah mampu membayangkan tentang gambaran surga yang sedemikian baik dan indahnya.

Pandangan tentang surga dilandasi pada hadis Nabi saw.: “Dari  Abi Hurayrah ra. berkata: Rasul Allah saw. bersabda: “Aku janjikan kepada hamba-Ku sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terbetik dalam hati. Apabila kamu menginginkan maka bacalah: ‘Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih tersembunyi bagi mereka.’” (HR. al-Bukhāry, Muslīm, al-Tirmidhy, al-Nasā’i dan Ibn Mājah).

Pada akhir hadis qudsi ini, Rasul Allah menambahkan, fa insyi’tum faqrahu” (apabila engkau menghendaki, maka bacalah): “Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Sajadah [32]: 17).

Dengan berkembangnya pemahaman Nabi Muhammad dan diiringi dengan perkembangan pemahaman sebagian dari umat Islam dengan tingkat kecerdasan dan kesadaran spiritual yang tinggi. Maka gambaran al-Qur’an yang semula bersifat material itu tidak terlalu berarti dan tidak diperlukan lagi. Pada gilirannya pemahaman seperti itu diganti dengan pemaknaan secara simbolik. Lebih dari itu, kebahagiaan yang  paling hakiki kelak nanti di akhirat adalah ketika tersingkapnya tudung ilahi yang memisahkan Tuhan dengan hambanya yang saleh; dan ini surga sesungguhnya.

Kebanyakan penghuni surga “cukup puas dengan kebun (jannah), tinimbang dengan pemilik kebun.” Dengan kata lain, “berhenti pada cipataan dan melupakan Sang Pencipta.” Disini dipilih kata “pemilik kebun” dan bukan kata “tukang kebun”. Karena kalau tukang kebun, sebagaimana ketidak setujuan Frithjof Schuon, ia berada dalam kebun dan memelihara kebun dan bukan sebaliknya. Seorang tukang kebun tidak mempunyai peranan selain dari tugas profesionalnya, sedangkan Tuhan sebaliknya adalah raison d’etre dari surga, sehingga lebih tepat kalau dikatakan Tuhan sebagai pemilik kebun. Apalah makna kebun kalau pemiliknya sudah kita miliki. (Lihat, Frithjof Schuon, Islam dan Filsafat Perenial: 181).

Rasul Allah saw. bersabda: “Yang paling diredhai oleh Allah ialah orang yang melihat (kemulian) Tuhannya diwaktu petang dan pagi. Inilah kesenangan yang melebihi segala kenikmatan badani .…”Pada kesempatan lain, Rasullah bersabada dalam sebuah hadis qudsi, seperti dikutip Ameer Ali:“Allah menyediakan bagi hamba-hamba-Nya apa yang tidak pernah didengar oleh telinga; tidak pernah dilihat oleh mata; dan tidak pernah terbetik dalam hati sekalipun. Lalu diucapkan ayat al-Qur’an berikut: “tidak ada seorangpun yang mengetahui kegembiraan yang disembunyikan bagi mereka sebagai balasan  terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (Ameer Ali, The Spirit of Islam: 199).

Dalam mencermati ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat metaforis, sebagian mazhab pemikir hukum Islam memasukkan sebagai ayat-ayat mutasyabihat, dimana pengertian yang sesungguhnya hanya Allah yang mengetahuinya. Sementara pemikir Islam dari kalangan filsafat dan tasawuf lebih jauh memaknai ayat-ayat al-Qur’an tentang surga dan neraka sebagai kebahagian dan kesengsaraan yang bersifat subyektif dan ruhani semata.

Dalam padangan para filsuf dan sufi bahwa kesengsaraan atau kebahagian rohani lebih menyakitkan atau lebih menyenangakan dibandingkan kalau bersifat ragawi. Artinya, kehadiran raga akan mereduksi kebahagian dan kesengsaraan yang sesungguhnya. Padahal surga dan neraka adalah tempat pembalasan  yang paling sempurna. Karenanya,  pandangan para filsuf dan sufi hanya jiwa yang dibangkitkan dan kembali kepada Allah. (Ameer Ali, The Spirit of Islam: 200).

Akhirnya, Ameer Ali menyimpulkan, cukuplah sudah bukti-bukti kesalahan atas pandangan yang menyatakan bahwa gagasan-gagasan Nabi saw. tentang kehidupan eskatologi keseluruhannya bersifat  meterial dan badaniah. Untuk itu, ia menutup pembahasannya mengenai kehidupan surga dan neraka (kehidupan eskatologi) ini dengan mengutip ayat al-Qur’an yang menunjukkan betapa dalam aspek-aspek sepritual dalam Islam, sebagai berikut: “wahai jiwa yang tenang dan damai! Kembalilah kepada Tuhan-Mu dengan ridha dan meridahai. Masuklah di antara hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (Ameer Ali, The Spirit of Islam: 202-203).

 Mā Tawfiq wa al-Hidayah illā bi Allāh, Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Direktur & Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UINSuska Riau).
22. KONTEKSTUALITAS HADIS: Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

22. KONTEKSTUALITAS HADIS: Kepemimpinan Wanita Dalam Islam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

 

“Lan yufliha qawmun wallau amrahumu imra`ata”

(“Tidak akan sukses suatu kaum (masyarakat) yang menyerahkan (untuk memipin) urusan mereka kepada wanita.”(Hadis dari Abu Bakra, riwayat al-Bukhari, al-Tirmidzi, al-Nasa`i).

———————————–

Dalam memahami sebuah nash, apakah itu al-Qur’an ataupun Hadis, kerap kali seseorang hanya mengedepankan pemahaman tekstual (harfiah)nya. Termasuk dalam memahami Hadis Rasul Allah tentang kepemimpinan wanita, sebagaimana dikutip di atas. Sehingga, dengan cara pemahaman seperti itu, berdasarkan hadis tersebut, sebagaian besar (jumhur) ulama berpendapat bahwa pengangkatan seorang wanita menjadi kepala negara (presiden), hakim pengaadilan, dan beberapa jabatan yang setara dengan itu tidak dapat dibenarkan, terlarang dalam Islam.

Padahal, untuk menemukan pemahaman yang lebih mendekati kebenaran sejatinya atau lebih sempurna, perlu pula dipertimbangkan pemahaman secara kontekstual. Artinya, perlu dikaji terlebih dahulu keadaan historis yang sedang berkembang pada saat itu. Dengan kata lain pempertimbangkan sebab khususnya ketika nash al-Qur’an itu diturunkan (asbab al-nuzul) ataupun ketika Hadis diturunkan disabdakan (asbab al-urud).

Oleh karena itu, dewasa ini, menurut Jaluluddin Rahmat, untuk menguji keabsahan dan validitas suatu hadis harus dilalakukan kritik sanad, siapa yang mengucapkan hadis pertama kali. Begitu pula, harus dilakukan kritik matan, bagaimana teks hadis itu, apakah tidak bertentangan dengan al-Qur’an; apakah tidak bertentangan dengan akal sehat; dan apakah tidak bertentangan dengan kemaslahatan ummat; serta apakah tidak bertentangan dengan fakta historis. Disamping itu, perlu pula dilakukan kritik historis, kapan, dimana dan mengapa hadis tersebut disabdakan Nabi. Maka kritik-kritik demikian itu harus pula diterapkan pada hadis tentang kepemimpinan wanita.

Hadis tentang kepemimpin wanita tersebut terdapat dalam kitab Shahih Bukhari, yaitu kumpulan hadis yang diklasifikasikan oleh al-Bukhari sebagai otentik setelah melalui proses seleksi yang sangat ketat. Karya al-Bukhari menjadi rujukan yang paling otoritatif dan dihormati, tentunya setelah al-Qur’an itu sendiri, oleh dunia Islam sepanjang 12 abad. Karena terdapat dalam Shahih Bukhari, maka hadis yang dikutip di atas menjadi dalil andalan bagi mereka yang ingin mengucilkan peranan wanita dalam lapangan politik dan pemerintahan (kepemimpinan). Hadis ini sedemikian pentingnya, sehingga hampir-hampir tidak mungkin untuk mendiskusikan persoalan hak-hak politik kaum wanita tanpa mengacu kepadanya.

 Latar Belakang Sejarah Hadis

Menurut al-Bukhari, kemungkinan Abu Bakra [wafat sekitar 671 M] yang pernah mendengar hadis itu Rasul Allah. Menurutnya, Rasul Allah saw. mengatakan hadis itu setelah mengatahui dari sahabatnya bahwa telah terjadi suksesi di kerajaan Persia. “Ketika Kisrah Persia wafat, Rasul Allah saw., terdorong oleh rasa ingin tahu tentang kabar itu, bertanya: “Dan siapa yang telah menggatikannya sebagai pemimpin?” Jawabannya adalah: “Mereka telah menyerahkan kekuasaan kepada putrinya.” Saat itulah, menurut Bakra, Rasul Allah mengemukakan pendapatnya tentang kepemimpin wanita itu, lalu bersabda: “Lan yufliha qaumun wallau amrahumu imra`atan” (Tidak akan sukses suatu kaum [masyarakat] yang menyerahkan [untuk memipin] urusan mereka kepada wanita.”

Pada tahun 628 M. sewaktu berkobar peperangan berkepanjangan antara bangsa Romawi dan bangsa Persia, Kaisar Romawi, Heraklius, menginvansi wilayah Persia, menduduki Ctesphon, yang terletak sangat dekat dengan ibukota Sassanid, dan Khusru Pavis, raja Persia, terbunuh. Barangkali kejadian inilah yang disinggung oleh Abu Bakra. Sebenarnya, setelah kematian Khusru Pavis, ia digantikan oleh putranya, Syairawi menjadi raja. Baru setelah raja Syairawi meninggal terdapat periode kekacauan yang berlangsung antara tahun 629-632 M, karena putra-putra raja Syairawi berebut kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan itu kedua putra raja tewas, sebagai gantinya naiklah putrinya, Buwaran binti Syairawih menjadi ratu kerajaan Persia.

Mungkinkah insiden ini yang memyebabkan Rasul Allah saw. mengucapkan hadis yang menentang kepemimpinan seorang wanita tersebut? Al-Bukhari tidak melacak sejauh itu, ia hanya melaporkan kata-kata Abu Bakra, yakni matan hadis itu sendiri, dan rujukan mengenai seorang wanita yang menjadi penguasa bangsa Persia.

Lalu, apa pertimbangan dan latar belakanga historisnya, sehingga Rasul Allah, lewat hadis ini, meragukan kepemimpinan seorang wanita? Jawabannya, karena pada waktu itu derajat wanita dalam masyarakat pada umumnya berada di bawah superioritas kaum lelaki. Wanita sama sekali tidak pernah diberikan kepercayaan untuk ikut serta, termasuk di Persia sebelumnya, untuk mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih lagi dalam masalah pemerintahan.

Pada masa itu, hanya kaum lelakilah yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin. Menurut tradisi yang berlangsung di Kerajaan Persia yang diangkat sebagai pemimpin hanyalah laki-laki.Sedangkan wanitanya tidak mempunyai tempat dan kesempatan untuk menjadi pemimpin. Sehingga dengan pengangkatan wanita menjadi Ratu di kerajaan Persia menyalahi tradisi tersebut. Apalagi kondisi situasi politik pada masa itu di Persia dalam kekacauan.

Dalam pada itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur dan luas wilayahnya semakin menyempit, sebenarnya masih ada kemungkinan untuk menyerahkan kepemimpin negara kepada seorang Jendral yang piawai yang memungkinkan dapat mengendalikan sistuasi. Tetapi sistem politik yang tidak mengenal musyawarah telah menjadikan rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seseorang wanita muda yang tidak tahu apa-apa. Hal itulah yang menandakan dan terbaca oleh Rsul Allah sw bahwa negeri Persaa sedang menuju kehancurannnya.

Dalam kondisi seperti itu, termasuk di Persia, maka Rsul Allah yang memiliki kearifan tinggi menyatakan hadis tersebut. Sebab bagaimana mungkin pemimpin wanita akan sukses dalam pemerintahannya kalau ia sama sekali tidak mempunyai kecakapan dan wibawa dalam memerintah. Bukankah salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin harus memiliki kecakapan dan wibawa, sementara wanita pada waktu itu tidak memiliki persyaratan tersebut.

Seandainya sistem pemerintahan di Persia berdasarkan musawarah, dan seandainya wanita yang menduduki singgasana kepemimpinan mereka seperti Ratu Bilqis yang memerintah negeri Saba`; dan seandainya orang-orang Persia itu membiarkan kendali urusan militer di tangan para jendralnya yang berpengalaman, siscaya komentar Rasul Allah saw. berbeda dengan yang ada sekarang.

Dalam sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin meningkat dalam banyak hal. Kaum wanita diberikan kedudukan yang sama dengan kaum lelaki. Al-Qur’an sendiri memberikan peluang yang sama kepada kaum wanita dan kaum lelaki dalam berbagai hal. Untuk itu, pada dewasa ini, ketika wanita sudah memiliki kecakapan dan kewibawaan untuk memimpin, maka tidak salah (atau dapat dibenarkan) kalau wanita dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Dengan demikian, terhadap hadis di atas harus dipahami secara kontekstual, sebab kandungan petunjuknya bersifat temporal.

Disini perlu dipertanyakan, kenapa Abu Bakra terdorong menggali ingatan dan berusaha keras mengingat kembali perkataan Rasul Allah yang pernah beliau ucapkan sekitar 25 tahun silam? Rincian pertama yang harus dicatat, dan ini tidak mungkin diabaikan, bahwa Abu Bakra meriwayatkan hadis ini pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib [memerintah 656-661] ketika merebut kembali kota Basrah, setelah mengalahkan A’isyah [istri Nabi, hidup sekitar 614-678 M] dalam Perang Unta (Jamal). Pada saat itu, keadaan A’isyah yang terlibat dalam perang keadaannya sangat kritis, dan secara politik ia telah kalah: 13.000 pendukungnya gugur di medan pertempuran.

Ditinjau dari segi momen historis pengungkapan hadis ini, secara tidak langsung Abu Bakra memberikan pembenaran terhadap hadis  ini atas keterlibatan wanita, dalam hal ini Aisyah, dalam persolan-persoalan politik dan pemerintahan. Artinya, dari kenyataan historis ini semakin memberikan legitimasi bahwa wanita memang tidak layak berperan dalam bidang politik dan pemerintahan.

 Kritik Sanat Hadis

Apabila konteks historis sebuah hadis telah jelas, evaluasi secara kritis terhadap hadis tersebet bisa dilakukan dengan kaidah-kaidah metodologis yang telah didifinisikan oleh para ulama sebagai dasar-dasar verifikasi. Menurut Imam Malik, tidak memadai bahwa sesorang yang pernah hidup bersama Rasul Allah serta-merta dapat dijadikan sumber hadis. Akan tetapi, diperlukan juga pertimbangan-pertimbangan lain, sehingga memungkin untuk dikatakan: “orang-orang pelupa harus diabaikan.” Bagaimana mungkin mereka bisa dianggap sebagai sumber pengetahuan (hadis), jika mereka tidak memiliki kapasistas intelektual yang diperlukan?

Namun, kelemehan ingatan dan kapasitas intelektual bukan hanya satu-satunya kriteria untuk mengevalusasi perawi hadis. Kriteria yang penting justru adalah moral. Imam Malik menyatakan: “Ada beberapa orang yang saya tolak sebagai perawi hadis, bukan karena mereka berbohong dalam perannya sebagai seorang berilmu dengan menyampaikan hadis-hadis palsu yang tidak pernah dikatan oleh Rasul Allah saw. Akan tetapi, semata-mata karena saya melihat mereka berbohong dalam hubungan dengan sesamanya, dalam hubungannya sehari-hari yang tidak berkaitan dengan ilmu keagamaan.”

Jika kaidah ini diterapkan kepada Abu Bakra, dengan segera ia bisa disingkirkan, karena salah satu biografinya menyebutkan bahwa ia pernah dihukum cambuk oleh Khlaifah Umar Ibn Kahttab [memerintah 634-644] karena memberikan kesaksian palsu. Ini berkaitan dengan kasus yang sangat serus yang dilaksanakan Umar, menyangkut tuduhan zina. Hukuman mati bagi pezina hanya bisa diterapkan jika terdapat empat orang saksi mata yang melihat perbuatan zina itu dengan mata kepala sendiri dan pada saat yang bersamaan. Jika hanya terdapat tiga orang yang melihat tertuduh in flagrante delicto (tertangkap basah), kesaksiaan mereka tidak absah. Sementara itu, saksi yang memfitnah seseorang dengan menuduhnya melakukan tindakan kriminal zinah akan dikenakkah hukuman dera (cambuk) karena memberikan kesaksian palsu.

Kemudian, apa yang terjadi dalam kasus Abu Bakra? Ia menjadi salah seorang dari empat saksi mata yang datang menghadap Umar untuk secara resmi membuat tuduhan zinah terhadap seseorang Sahabat dan politikus terkemuka, Mughirah bin Syu’bah [w. 670]. Keempat saksi mata menyatakan kesaksian mereka di hadapan Umar, bahwa mereka melihat al-Mughirah bin Syu’bah melakukan perzinahan. Umar mulai memeriksanya, dan ternyata satu dari empat orang saksi mata itu mengaku bahwa ia tidak terlalu yakin dengan segala sesuatu yang dilihatnya. Keragu-raguan salah satu sakasi ini, menyebabkan yang lainnya didera karena memfitnah, termasuk Abu Bakra.

Kalau seseorang mengikuti prinsip-prinsip mazhab Maliki, kedudukan Abu Bakra sebagai sumber hadis harus ditolak oleh setiap Muslim pengikut Maliki yang baik dan berpengetahuan. Oleh karena itu, sikap ulama fiqh pada abad-abad pertama, terhadap hadis misoginistik (kebencian pada wanita), yang sekarang disampaikan secara suci serta tak terbantahkan. Meskipun hadis ini dinilai sahih oleh al-Bukhari dan lainnya, ternyata ia banyak diperdebatakan. Kaum fuqaha tidak sepakat terhadap pemakaian hadis tersebut bertalian dengan masalah wanita dan politik.

Tidak diragukan lagi, banyak yang menggunakan hadis ini sebagai argumen untuk menggusur kaum wanita dari proses pengambilan keputusan. Namun banyak pula yang lainnya, yang menyimpulkan bahwa argumen tersebut sama seklai meragukan dan tidak berdasar. Al-Tabari adalah salah satu dari para otoritas religius yang menentang argumen itu, karena tidak cukup mendapat alasan untuk merampas kemampuan pengambilan keputusan dari kaum wanita, dan tak ada alasan untuk melakukan pembenaran atas mengucilan mereka dari kegiatan politik. Begitu pula, tidak ada alasan yang kuat untuk tidak membolehkan seorang wanita menjadi pemimpin.

Kritik Matan Hadis

Ditinjau dari segi matannya, hadis ini tidak sejalan dengan al-Qur’an. Maka ketika sebuah hadis bertentangan dengan al-Qur’an, tentu saja al-Qur’an yang harus diterima. Karena dalam sistem sumber hukum Islam, al-Qur’an adalah sumber Islam yang pertama, sedangkan al-Hadis adalah sumber hukum Islam kedua. Memang di dalam al-Qur’an ada ayat: “ Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, disebabkan Allah telah melebihkan sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, dan juga kerena kaum lekai-laki menafkahkan sebagian harta mereka.”

Ayat tersebut sekilas memberikan pengertian bahwa wanita tidak boleh menjadi pemimpin atas lekai-laki dalam bidang apapun. Pemahaman semacam ini tentu saja tidak dapat diterima, karena siapapun yang membaca kelanjutan ayat tersebut akan mengerti bahwa kepemimpinan yang dimaksud dalam ayat itu adalah kepemimpinan seorang laki-laki di dalam rumahnya dan diantara kelaurganya.

Sebelum mengungkapakan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakra tersebut, dapat dipastikan bahwa Rasul Allah saw. telah membacakan surah al-Naml di depan umum ketika beliau masih berada di Mekkah. Rsul Allh saw. tentu saya tidak lupa kalau beliau telah menceritakan kepada mereka (sahabatnya) tentang Bilqis, ratu negeri Saba` yang telah mimpin rakyatanya menuju kesusksesan dengan kecerdasan, kearifan dan kewibawaannya. Sungguh mustahil bahwa Rasul Allah  saw. akan membuat suatu keputusan dalam sebuah hadis beliau, yang jelas-jelas bertentangan dengan isi wahyu yang telah diturunkan kepadaanya.

Kerajaan ratu Bilqis meliputi daerah yang amat luas, sebagimana dilukiskan oleh burung Hud-hud: “Aku telah menjumpai seeorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugrahi segala sesuatu serta memilki singgasana yang besar…” [al-Naml: 23]. Ketika Nabi Sulaiman mengiriminya surat agar memeluk agama Islam, serta melarangnya bersipat angkuh dan keras kepala, Ratu Bilqis tidak segara menjawabnya. Ia bermusyawarah dengan para pembesar kerajaan. Mereka segera mendukungnya dalam keputusan apapun yang akan diambilnya. Kata mereka: “Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan juga keberanian yang besar. Namun keputusan berada di tangan anda, maka pertimbangkanlah apa yang akan anda perintahkan.” [al-Naml:33]

Wanita yang bijak itu tidaklah terkelabui oleh kekuatan ataupun kepatuhan bangsanya kepadanya. Ia berkata: ”Sebaiknya kita uji Sulaiman ini terlebih dahulu agar kita mengetahi, apakah ia seorang diktator yang selalu mengejar kekuasaan dan kekayaan ataukah ia seorang nabi yang menyeru kepada keimanan dan misi yang dibawanya?” Pada saat ia berjumpa dangan Nabi Sulaiman, Ratu Bilqis tetap menunjukkan kecerdasan dan kearifannya dalam menyelidiki segala segi kehidupan Sulaiman, apa yang dikehendakinya dan apa yang akan dilakukannya. Sehinggga jelas baginya bahwa Sulaiman memang benar-benar seorang nabi yang saleh.

Ratu Bilqis pun teringat akan surat Nabi Sulaiman yang dikirimkan kepadanya: “Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman dan sesungguhnya ia (ditulis) dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Jangalah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.” [al-Naml:30-31].

Kemudian Bilqis memutuskan untuk menanggalkan kemusyrikannya dan memeluk agama Allah seraya beraka: “… Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan kini aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” [al-Naml”44].Apakah gagal kaum yang menyerahkan urusan negara mereka kepada seorang wanita, seperti Ratu Bilqis?Makanya, hadis seperti itu tidak selayaknya dipahami secara harfiah, tetapi harus ditafsirkan demi menghilangkan kontardiksi antara ayat al-Qur’an dan Hadis tersebut. Juga demi menghilangkan kontradiksi antara Hadis dan fakta histories.

Mā Tawfiq wa al-Hidayah illā bi Allāh, Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

 *Alimuddin Hassan Palawa
(Direktur &Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UINSuska Riau).
21. Raja Ali Haji: Pahlawan Nasional Lewat Kalam

21. Raja Ali Haji: Pahlawan Nasional Lewat Kalam

Oleh Alimuddin Hassan Palawa*

“Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam  jadi tersarung.” (Raja Ali Haji, “Bustan al-Kātibīn”)

———-

Perjuangan yang diupayakan oleh Pemerintah Kota Tanjung Pinang khususnya dan Masyarakat (Kepulauan)  Riau umumnya untuk mengusulkan pengangtkatan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah membuahkan hasil setelah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2004. Kini Raja Ali Haji telah mengikuti jejak kakeknya, Raja Haji dan dua tokoh pejuang Melayu lainnya, Tuanku Tambusai dan Sultan Syarif Qasim II yang sebelumnya  telah diangkat menjadi Pahlawan Nasional dari Negeri Lancang Kuning, Bumi Melayu-Riau.

Akan tetapi, dibandingkan dengan tiga pahlawan nasional sebelumnya, pengangkatan Raja Ali Haji memiliki makna yang berbeda, yaitu diangkat lewat “kalam” bukan karena “pedang”. Jasa Raja Ali Haji kepada bangsanya adalah lewat kalamnya, sebagaimana ia gaungkan dalam Gurindam Duabelas-nya, “Hendaklah berjasa kepada sebangsa”. Begitu pula pemerintah yang mengusulkan Raja Ali Haji sebagai Pahlawan Nasional telah “menyicil” untuk menjadi “bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa pahlawannya”. Begitu pula, pemerintah berupaya untuk mengamalkan himbauan Raja Ali Haji, “Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat pada budi bahasa”.

Makanya, ketika membaca tentang pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nacional oleh pemerintah kota Tanjung Pinang kepada pemerintah pusat (29 Maret 2004), saya bergumam: “gagasan cerdas sekaligus unik dan menarik”. Disebut cerdas karena gagasan ini menggeser untuk tidak mengatakan  “menyalahi”, defenisi konvesional term pahlawan. Selama ini, term pahlawan didefinisikan sebagai sosok-figur yang gagah berani dan/atau berjasa dalam membela dan mempertahankan negara dari serangan musuh/penjajah (dari luar). Artinya, defenisi semacam ini stressing point-nya lebih pada perjuangan fisik (jihad) serta beroreintasi pada “kekuatan pedang”. Sebaliknya, gagasan pengusulan Raja Ali Haji jadi pahlawan nasional  membuat definisi pahlawan bergesar dan lebih menitik-beratkan  pada perjuangan secara non-fisik (ijtihad) serta beroreintasi pada “kekuatan kalam”.

Kelanjutan dari di atas, disebut “sekaligus unik” karena, sepanjang pengetahuan penulis, selama ini penganugrahan gelar pahlawan nacional kepada seseorang melulu dengan pertimbangan jasa besarnya dalam “kekuatan pedang.” Sebaliknya, lagi-lagi, sejauh yang penulis ketahui, penganugrahan gelar pahlawan nacional kepada seseorang dengan pertimbangan jasa agungnya dalam “kekuatan kalam” tidak/belum pernah ada. Dan tambah  pula, keunikan itu jatuh pada anak jati diri figur intelektual lMelayu-Riau, Raja Ali Haji.

Disebut “menarik” karena dewasa ini defenisi konvensional term pahlawan dengan “kekuatan pedang” semakin menyempit ruangnya karena musuh yang akan dihadapi oleh negara/bangsa bukan lagi serangan musuh dari luar secara fisik. Maka kalau definisi ini dipertahankan dalam konteks kekinian dan, niscaya lambat-laun akan kehilangan relevansi dan salah-salah bisa out to date.

Sebaliknya, definisi alternatif term pahlawan dengan “kekuatan kalam” untuk kurun waktu mendatang akan semakin meluas ruangnya karena musuh yang akan dihadapi adalah penetrasi budaya dari luar yang sangat mungkin bertentangan dengan budaya luhur Melayu kita. Maka definisi term pahlawan semacam ini di masa-masa mendatang niscaya akan semakin relevan dan up to date.  Artinya, dalam menghadapi musuh yang disebut belakangan ini tidak bisa dilawan dengan “kekuatan pedang”, tetapi harus dihadapi dengan “kekuatan kalam”.  

Lewat dengan “kekuatan kalam”  itulah Raja Ali Haji memainkan peran yang sangat signifikan semasa hidupnya. Keterlibatannya dalam masyarakat di kerajaan Melayu-Riau memang terlihat sangat intens, misalnya terlihat dari pesannya yang arif untuk senantiasa mencermati dan menyesiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat di kerajaan Melayu Riau pada abad ke-19. Makanya, Raja Ali Haji selalu memposisikan dirinya berperan sebagai “moral guardian” dan “the spiritual patronge of Malay World”, yaitu sebagai penjaga dan melindung moralitas-spritual komunitas bangsanya.

Kemudian, menurut Raja Ali Haji, ancaman tersebut berasal dari dua penjuru: pertama, dari dalam, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu yang dapat menimbulkan perang suadara antara mereka. Kedua, ancaman dari luar, berasal dari agresi Belanda dan budaya Barat yang tidak sesuai dengan ajaran agama dan adat-budaya Melayu. (Tradisi Johor-Riau, 1987:  xvi-xvii). Dari point kedua ini Raja Ali Haji kembali menekankan ancaman dari luar berupa panetrasi budaya Barat untuk konteks dewasanya ini yang perlu mendapat perhatian.

Untuk point pesan internalnya, Raja Ali Haji semasa hidupnya acap kali  memperingatkan agar masyarakat Melayu dapat mengekang hawa nafsu, dan seyogyanya merenungkan akibat yang ditimbulkan dari perselisihan diantara mereka itu. Karenanya, ia tidak bosan-bosannya untuk menganjurkan agar masyarakat selalu memperhatian rasa malu (rendah hati), memuliakan ilmu (pengetahuan), dan mengutamakan akal (nalar).  Karena tanpa memiliki sifat dan sikap seperti itu, menurutnya, adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri (Kitab Pengetahuan Bahasa).

Begitu pula, untuk point pesan eksternalnya,  Raja Ali Haji semasa hidupnya sudah merasakan bahwa masuknya kebudayaan Barat dan nilai-nilai yang tidak Islami, jelas menimbulkan tantangan bagi masyarakat Melayu. Peran untuk mengelaminir dan melakukan filterisasi inilah yang selalu diwanti-wantikannya. Ia meyakini bahwa perubahan terhadap adat-budaya tradisional akan berakibat kerusakan pada masyarakat serta mempercepat pengikisan nilai-nilai lama yang luhur.  Pengikisan nilai-nilai luhur itu telah mulai tampak, misalnya masuknya budaya Barat yang tidak sesuai dengan budaya Melayu Riau melalui Singapura turut mempercepat proses pengikisan nilai luhur tersebut, termasuk di bidang bahasa. 

Raja Ali Haji menyakani bahwa perhatian sungguh-sungguh terhadap tata bahasa adalah penting guna memperoleh ucapan yang tepat dan ungkapan yang halus. Karenanya,  Raja Ali Haji, sebagai seorang ahli bahasa dan budaya, mengambil peran sebagai pembina bahasa dan pemelihara budaya. Dalam memelihara budaya, terlebih dahulu yang dibenahi adalah infrastruktur kebudayaan itu sendiri. Maka, ia mendahulukan perbaikan bahasa Melayu dengan menulis buku tata bahasa, Bustanul al-Katibin (ditulistahun 1857) dan digunakan dengan sukses pada sekolah-sekolah di Johor dan Singapura.

Raja Ali Haji memperlihatkan gagasannya mengenai makna penting bahasa dalam tradisi Islam. Dan pada waktu yang bersamaan ia mengungkapkan pemikirannya tentang hubungan yang jalin-berkelindan antara bahasa dan moralitas(Putten, “On Sex, Drug, and Good Manner”, 418).bahasa dan pesan ilmu agama, seperti ia maktupkan dalam “Muqaddimah” Bustān al-Kātibīn: “Adab dan sopan itu daripada tutur kata juga asalnya, kemudian barulah kepada kelakuan. apabila berkehendak kepada menuntut ilmu dan berkata-kata yang beradab dan sopan, tidak dapat tidak  mengetahuilah dahulu ilmu yang dua iaitu ilmu wa l-kalam…”. Kalimat Raja Ali Haji ini berlanjut dengan kalimat yang dikutip di awal tulisan ini.

Dua tahun menjelang, figur pemikir Melayu ini, melengkapinya dengan menulis kamus bahasa Melayu, Kitab Pengetahuan Bahasa dimaksudkan guna membimbing mereka yang berkeinginan menambah pengetahuan bahasa, agama dan prilaku yang benar.  (U.U. Hamidi, 1988: 63).  Dengan kata lain, Raja Ali Haji memberikan uraian materi panjang terhadap sejumlah kata tertentu karena ia mengharapakan agar kata itu dapat dipahami secara tepat dan benar, sekaligus memberikan pengajaran terhadap adat-istiadat, nilai-nalai moral dan agama bagi masyarakat pembacanya. (Putten dan Al-Azhar, Di Dalam Berkekalan Persahabatan, 109; Andaya dan  Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 113).

Upaya Raja Ali Haji untuk memberikan makna dan penjelasan secara mufassar dalam Kitab Pengetahuan Bahasa menjadi relevan dengan tuntutan zamannya. Dalam pandangannya, kalau penggunaan bahasa Melayu tidak dijelaskan dengan baik dan jelas, cepat atau lambat, masyarakat Melayu akan salah dalam penggunaan bahasanya. Pada waktu hidupnya saja, ia sudah melihat ada kecenderungan keliru dalam penggunaan bahasa Melayu, dan ini tentu saja disesalkan Raja Ali Haji, misalnya meniru bahasa Inggris dan Belanda. Pengabaian bahasa Melayu berarti pengabaian tradisi dan adat istiadat yang telah tertanam dalam masyarakat, sehingga tak terelakkan akan menghancurkan susunan dunia dan kerajaan. (Andaya dan Matheson, “Islamic Thought and Malay Tradition”, 122).

Dengan kedua karyanya dalam bidang bahasa dan budaya ini,  Bustān al-Kātibīn dan Kitab Pengetahuan Bahasa pada “Festival Istiqlal” di depan Simposium, “Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu, Kini dan Esok”, Abdul Hadi W.M. menyebut Raja Ali Haji adalah bapakTata Bahasa Melayu modern. Malah tidak salah/tidak berlebihan kalau melihat perjuangan dalam membina bahasa ia digelari “Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia”, sebagaimana tertera dalam judul buku yang mengiringi penganugerahan Pahlawan Nasional kepadanya.

Lewat kedua karya ini, memberikan petunjuk bagaimana sikap  Raja Ali Haji dalam menghargai bahasa dan budaya.Karena menurutnya, “jika hendak mengenal orang berbangsa; lihat kepada budi dan bahasa. ”Sekaligus ini merupakan bukti keinginannya untuk membantu masyarakat yang ingin hidup saleh dan bersikap sesuai dengan tradisi-budaya Melayu. Karenannya, Hasan Junus menjadi benar ketika menjuluki Raja Ali Haji Budayawan di Gerbang Abad XX, sebagimana tertera dalam buku monumentalnya.

Upaya Raja Ali Haji dan “lingkaranya”, meminjam istilah Al Azhar, serta generasi-generasi berikutnya dalam memelihara dan membina bahasa Melayu Riau telah melapangkan jalan terbentuknya bahasa nasional, bahasa Indonesia. Menurut U.U. Hamidi, upaya Raja Ali Haji dalam membina dan memelihara bahasa Melayu Riau ini,  “bagaikan mengapak dan menarah, sehingga akhirnya mempunyai bentuk dan dasar yang baik. Konteks ini penaring dan penting untuk mengutip pernyataan Muhammad Hatta:

“Pada permulaan abad 20 ini bahasa Indonesia belum dikenal. Yang dikenal sebagai lingua franca ialah bahasa Melayu Riau. Orang Belanda menyebutnya Riouw Meleisch. Ada yang menyebutkan berasal dari logat sebuah pulau kecil yang bernama Pulau Penyengat dalam lingkungan pulau Riau.”(Kutipan ini semula terambil dari Mohammad Hatta, “Dari Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia, dalam Pelangi (Kenangan 70 Tahun Sutan Takdir Alisjahbana (Jakarta: Akademi Jakarta TIM, 1979; Lihat, Hasan Junus dan Tim Penulis, Sejarah Perjuangan Raja Ali Haji Sebagai Bapak Bahasa Indonesia (Pekanbaru: UNRI Press, 2004: 71).

Upaya pengembangan bahasa Melayu menjadi bahasa tulis, menurut Nurcholish Madjid, “terjadi dengan menggunakan fasilitas huruf Arab yang dengan sendirinya sudah merupakan bagian dari kekayaan atau rujukan kultural sebuah kekuasaan Islam. Bahasa Melayu dengan huruf Jawi itu kemudian menyebar ke seluruh Nusantara, dan dengan terlebih dahulu menjadi pola utama kebudayaan di daerah-daerah pesisir Selat Malaka, baik sisi Sumatera maupun sisi Semenanjung.”

Belakangan, selama rentang abad ke-19 bahasa Melayu sebagai bahasa sastra dan bahasa tulis dengan fasilitas huruf Arab-Jawi semakin berkembang yang  menurut Nurcholis Madjid, puncaknya terwujud  di Riau, dan Pulau Penyengat sebagai Pusat denyut nadinya di bawah binaan intelektual Muslim Melayu-Riau, Raja Ali Haji dan generasinya.

Kemudian, setelah bahasa Melayu itu menjadi bahasa kebangsaaan (bahasa Indonesia) maka upaya pembinaan bahasa  itu hanyalah bagaikan mengetam.” Dengan begitu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa tanpa upaya “pengetaman”  Raja Ali Haji dan “lingkarannya”  itu, maka “Sumpah Pemuda” boleh jadi tidak/belum  diikrarkan tahun 1928. Atau setidak-tidaknya, bahasa Indonesia belum menjadi bahasa kebangsaan, lantaran generasi bangsa saat ini baru pada tahap “mengapak”, dan belum sampai pada tahap “mengetam”. 

Maka kalau melihat perjuangan Raja Ali Haji dalam membina bahasa dan/atau membela budaya Melayu pada khususnya, dan membela kebenaran pada umumnya lawat “kekuatan kalam”, sangatlah tepat kalau anugerah gelar Pahlawan Nasional disandangnya. Dan sekurang-kurangnya, dengan penganugrahan gelar Pahlawan Nasional ini, bangsa ini membayar kesalahannya, tidak lagi –meminjam ungkapan U.U. Hamidi– “hilang jasa kapak oleh jasa ketam”.

Dengan melihat peran Raja Ali Haji dalam bidang bahasa dan budaya, penulis ingin mengutip ungkapan Hasan Junus yang, meskipun secara langsung tidak ditujukan kepada figur penyair-intelektual Alam Melayu ini, tetapi sangat tepat dan jitu untuk menggambarkan sosok dan peran Raja Ali Haji dalam masyarakatnya:

“Seorang cendikiawan senantiasa bergelut dengan idea-idea, lalu menuntun masyarakat ketempat yang sesuai dengan konsep “bahasa” dan kebudayaan Melayu yang mencakup arti akal dan budi pekerti. Tanpa lidah yang fasih ia akan mendapatkan kesulitan menjelaskan gagasan yang hendak ditawarkannya secara jernih dan berkesan. Tanpa hati yang bersih, jangan-jangan masyarakat yang dituntunya itu dapat terbawa kearah kerusakan dan keruntuhan.”(Hasan Junus,  Raja Ali Haji Budayawan, 106-107).

Dengan lidah fasih-resonansif, diiringi dengan kalan tajam-produktif; akal cerdas mengajari dalam balutan hati suci-jernih mengilhami, Raja Ali Haji menuntun, dan sekaligus menjadi teladan masyarakatnya menuju jalan yang “lurus” selaras dengan ajaran agama dan adat/budaya Melayu yang luhur dan agung. Jalan benar dan lurus telah ditapaki dan ditunjuki langsung oleh Raja Ali Haji ini tidak saja berlaku bagi generasi pada masa dan setelahnya, tetapi tetap relevan hingga kini. Bahkan apa yang telah diupayakan Raja Ali Haji semasa hidupnya tetap memiliki resonansi mundial sampai di masa sekarang. Tegasnya, ungkapan jitu dari  Abdul Hadi W. M., bahwa Raja Ali Haji, “… bukan sekedar produk dari zamannya, tetapi adalah hati nurani dan suri tauladan utama bagi bangsanya.” (Abdul Hadi W. M., “Raja Ali Haji: Ulil Albab…”, 283).

Akhirnya, dalam melihat aktifitas intelaktualnya, agaknya, Raja Ali Haji setuju dengan pendapat imam al-Ghazali bahwa “kalam lebih berkuasa dari pada seribu pedang”. Dengan redaksi yang kreatif dan elaboratif, di dalam Muqaddimah Bustan al-Katibun, Raja Ali Haji bertutur dengan indahnya, sebagaimana dikutip di awal tulisan ini. Maka tepatlah kalau Raja Ali Haji kita juluki “Pahlawan Nasional Sebagai Bapak Bahasa Indonesia LewatKalam”.

 Mā Tawfiq illā bi Allāh,

Wa Allāh  a‘lam bi al-Ṣawāb

 

*Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).