ISLAM DAN KEBANGSAAN (Nurcholis Madjid)

ISLAM DAN KEBANGSAAN (Nurcholis Madjid)

Islam di Indonesia adalah gabungan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai tradisi lokal, budaya, dan adat istiadat. Dengan kata lain, Islam yg ada di Indonesia menyinergikan ajaran Islam dengan adat istiadat lokal yang tersebar di wilayah Indonesia. Islam hadir tidak untuk merusak atau menantang tradisi yang ada. Di mana bumi dipijak, di situ langit di junjung.

Islam hadir memperkaya dan mengislamkan tradisi dan budaya yang ada secara bertahap. Artinya, Islam di Indonesia yaitu Islam dengan ciri  khas ke-Nusantara-annya, Islam yang telah melebur dengan tradisi dan budaya yang ada di Nusantara (Zainul Milal Bizawie, 2016). selama tidak bertentangan dengan ruh Islam“al-Adatu Muhakkamatun, adat bisa menjadi hukum yang bisa diberlakukan.

Sejarah mencatat, bahwa Islam datang ke Indonesia ini tidaklah dengan pedang, tapi dengan kedamaian, tidak dengan kemarahan, tapi keramahan. Inilah pesan yang menjiwai karakteristik Islam di Indonesia, sebuah wajah Islam yang moderat (tawasut), toleran (tasamuh), cinta damai dan menghargai keberagaman. Islam yang merangkul, bukan memukul, Islam yang membina bukan menghina, Islam yang mengajak bertaubat bukan menghujat, Islam yang teduh bukan menuduh, dan Islam yang memberikan pemahaman dan pencerahan bukan memaksakan. Demikianlah karakteristik Islam yang disebarkan oleh para penyebar Islam di Indonesia seperti Walisongo, yang cukup dominan dalam pembentukan kultur Islam di Indonesia.

Menurut Nurcholis Madjid seluruh warga bangsa Indonesia terutama kaum muslim yang merupakan golongan terbesar harus benar-benar memahami pengertian “negara bangsa” atau nation state secara benar. Negara bangsa adalah suatu gagasan tentang negara yang didirikan untuk seluruh bangsa.

Pengertian bangsa atau nation dalam bahasa Arab sering diungkap dengan istilah ummah (ummatun, umat) seperti United Nations. Persatuan bangsa-bangsa yang terjemah Arabnya ialah “al-umam al-Muttahidah”, ummat-ummat bersatu. Jadi “negara bangsa” adalah negara untuk seluruh umat yang didirikan berdasarkan kesepakatan bersama yang menghasilkan hubungan kontraktual dan transaksional terbuka antara pihak-pihak yang mengadakan kesepakatan itu.

Menurut cak Nur Tujuan negara bangsa adalah mewujudkan maslahat umum (dalam pandangan kenegaraan salaf disebut dengan al-maslahat al-„ammah atau al-maslahat almursalah), negara bangsa berbeda dengan negara kerajaan yang terbentuk tidak berdasarkan kontrak sosial dan transaksi terbuka, tetapi karena kepeloporan seseorang tokoh yang kuat dan dominan. Karenaitu negara kerajaan berdiri demi kejayaan seseorang raja dan dinastinya. Sedangkan negara bangsa berdasarkan kontrak sosial dalam pembentukannya, bukan negara dinastik. Dalam negara bangsa, semua kebijakan pemerintah harus dibuat dengan sepenuhnya tunduk kepada maslahat umum

Omi Komaria Madjid (istri Cak Nur) di dalam bukunya yang berjudul, Hidupku Bersama Cak Nur, menceritakan penyampaian Kutipan pidato Cak Nur yang terakhir dalam kondisi yang masih sakit sebagaimana kutipanya:

Dalam memperingati 60 tahun kemerdekaan Indonesia cak nur memberi tema pidatonya dengan “Menyelamatkan Komitmen Nasional”. Komitmen Nasional yang di maksud adalah komitmen bangsa sejak dari semula untuk mendirikan negara bangsa yang modern. Negara bangsa yang modern adalah negara bangsa yang berkeadilan, terbuka dan demokratis. Berkeadilan mengandung makna kesamaan antarmanusia, tidak ada perbedaan di antara warga negara berdasarkan alasan apapun.

Nondiskriminasi adalah persyaratan bagi adanya keadilan. Oleh karena itu keadilan memerlukan sikap egalitarian yang memandang semua orang sama. Semua potensinya sama dan harus dikembangkan sikap saling percaya antara para anggota masyarakat.

Masyarakat adil adalah masyarakat yang terbuka, toleran yang tidak mengizinkan adanya pemaksaan pendapat kepada kelompok lain. Keterbukaan ini menjadi syarat adanya demokrasi. Karena demokrasi adalah masyarakat yang terbuka, yang intinya adalah kebebasan untuk menyatakan pendapat baik pada level pribadi maupun institusional. Dengan kebebasan itu kita mendorong produksi atau produktivitas yang lebih tinggi pada masyarakat karena ada kebebasan dan inisiatif.

Untuk menciptakan Masyarakat yang berkeadilan di Indonesia maka masyarakat dan pemerintah harus bersinergi untuk saling merangkul. Yang kuat memantu yg lemah, yang kaya membantu yang miskin. Tidak ada yang namanya mendiskreditkan. Apalagi yang berkaitan dengan keyakinan. Mayoritas jangan mendiskriminasi yang minorotas.

Islam memang turun di Jazirah Arab. Kitab suci agama Islam dan Nabi Muhammad SAW pembawa risalah Islam pun berbahasa Arab, sehingga ada asumsi bahwa segala hal yang berbau Arab diidentikkan dengan Islam. Menjadi Arab berarti menjadi Islami. Padahal, tidak demikian. Tidak selalu yang berbau Arab mesti Islami, Di sini perlu dibedakan mana produk agama dan mana produk budaya.

By: Zulhadi Ihsan

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

GUS DUR, MODERASI DAN HUMANISME: (Belajar dari Jejak Bijak Sang Guru Bangsa Memaknai Kemanusiaan)

Prolog

“Yang Lebih Penting dari Politik Adalah Kemanusiaan” (Gus Dur)

Dewasa ini, pergolakan pemikiran dan dinamika yang terjadi ditubuh bangsa ini kian hari kian komplek. Hal ini tidak dapat dipungkiri bagi suatu bangsa yang beranjak “menjelang dewasa” dari perjalanan panjang negeri ini mengarungi problematika dan menuju perubahan yang menjanjikan dan mencapai cita bangsa yang luhur dan berperi-keadilan. Namun perjalanan sejarah bangsa ini tidaklah berjalan dengan mulus begitu saja, sejak diproklamasikan pada 17 agusutus 1945 oleh proklamator Ir. Soekarno hingga sampai pada masa dewasa ini, banyak rintang silih berganti menghampiri. Jika kala pertama bangsa ini harus berjuang melawan kolonialisme dan imperialisme untuk merebut kemerdekaan, kini bangsa ini harus berjuang melawan “dirinya sendiri”.1

1 Pada pidato presiden Soekarno, beliau pernah mengucapkan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Saat setelah Indonesia merdeka.

Sebagai suatu Negara yang memiliki identitas budaya dan jati diri sendiri, Indonesia menjadi “surga” dari keberagaman dan banyaknya budaya yang menyebar di seantero negeri, jati diri sebagai masyarakat yang heterogen dan multi-etnis yang menjadi sumber rujukan dimana harusnya toleransi dan nilai kebersamaan didapatkan. Itu semua menjadi harta paling berharga di atas segalanya, bahkan lebih berharga dari PT. Freeport yang menghasilkan emas berlian, lebih berharga dari Blok Rokan yang memberikan jutaan barel minyak dan gas alam, dan jauh lebih berharga dari jutaan hektar lahan serta luasnya samudera lautan di bumi Indonesia ini.

Namun, ada hal yang membuat kita harus miris akhir-akhir ini, ibarat kutipan lirik lagu Pance Pondaag “mengalun sendu pilu terasa”. Keinfantilan pemerintah dalam lini politik serta elite yang orientik kepentingan individu dan golongan seolah cenderung telah menafikan hal tersebut. Segala macam cara dilakukan demi memenangkan kontestalasi

politik kekuasaan, masyarakat di adu domba, etnis di pecah belah, masyarakat di bodohi dengan informasi dan tak mencerdaskan, kemanusiaan pun hilang makna, dan ironinya, masyarakat kita yang masih belum tersentuh pendidikan secara merata dan pemahaman kebangsaan yang masih minim akhirnya terlibat konfrontasi horizontal dan terkadang harus saling pukul dan meneteskan darah, sebut saja kasus konflik agama di Madura, konflik agama di Ambon, Maluku, konflik etnis jawa dan masyarakat tempatan di Deli, atau kasus kemanusiaan di Papua yang selalu termarjinalkan.

Belajar dari Gus Dur, “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”. Bagaimana Gus Dur menjadi tokoh central ditengah konflik horizontal masyarakat, memberikan pencerahan bukan sekedar kepentingan, jembatan antara konflik vertical rakyat dan pemerintah tanpa imbalan, menjadi pemimpin yang mengutamakan kedamaian dibanding pertikaian, dengan celana pendek dan disambut ratusan ribu petisi jihad siap mati demi Gus Dur ketika keluar dari Istana, dengan sederhana Ia berucap “Tak ada jabatan yang harus dipertahankan mati-matian”, keutuhan bangsa ini harus lebih diutamakan, lalu apakah masih ada tokoh masa kini yang mau mengikuti jejak bijak Beliau? Tentu kita nantikan!.

Dari Anak ‘Bandel’ Hingga Tokoh Moderat

Greg Barton dalam karya Best Sellernya, Gus Dur The Authortized Bioghrapy Of Abdurrahman Wahid, menceritakan secara netral perjalan tokoh satu ini. Dilahirkan 7 Sebtember 19402 dari garis keturunan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim Asy’ary. Sosok Gus Dur boleh dikatakan sebagai anak yang tidak bisa stagnan atau diam dan lebih suka keluar dan menemukan hal-hal baru dengan keingin tahuannya yang sangat kuat. Masa kecilnya saja Ia pernah jatuh 2 kali dari pohon yang sama dan membuat tangannya patah terkilir saat itu. Mengabiskan masa kecil dalam keluarga yang agamis dan tradisionalis lantas tak membuatnya menjadi anak yang tunduk patuh begitu saja, ketika sudah mulai beranjak remaja dan melanjutkan pendidikan di pesantren bahkan ia pernah mendebat gurunya dan

2 Tanggal lahir beliau terdapat dua versi, yang pertama yang dimuat dalam Wikipedia dan yang terdapat di KTP beliau adalah 7 september 1940 dan versi lain lahir pada tanggal 4 agustus 1940, Greg Barton menjelaskan perbedaan ini bahwa 4 september itu dibuat pada bulan kedelapan tahun hijriah dan tepatnya 7 september 1940. Sebab dahulu penulisan tanggal lahir pada islam pedesaan ditulis pada kalender hijriah. Dan tanggal lahir Gus Dur ini keduanya diakui dan dirayakan, menurut Alissa Wahid, tanggal lahir Gus Dur 7 Sebtember adalah benar dan tanggal lahir 4 Agustus adalah legal. Beberapa pegiat dan akademisi yang meneliti Gus Dur lebih cenderung mengidentik kasus ini sebagai humor yang identic dengan Gus Dur, dan sosok Gus Dur yang dipandang Kontroversi, Mahfud Md contohnya, menyebutkan kontroversi Gus Dur itu wajar saja, tanggal lahirnya saja sudah kontroversi.

mengajak tukar pandangan yang dalam hal ini merupakan hal yang tabu dalam lingkungan pesantren dan pendidikan tradisionalis.

Selesai menempuh pendidikan di pesantren dan pendidikan atas (aliyah), Gus Dur diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya ke Al-Azhar, Cairo. Namun, sesampainya disana, bukannya menyelesaikan study strata I –nya malah beliau bolos dan lebih sering menonton film, main bola, dan belajar serta membaca buku diperpustakaan. Hal ini bukan tidak berdasar, sebab penempatannya di kelas dasar kelas bahasa yang membuatnya bosan serta materi kuliah yang Ia anggap membosankan dan tidak ada hal baru yang akan Ia pelajari, sebab mata kuliah tersebut telah Ia selesaikan semasa di pondok pesantren. Hal ini bisa dibuktikan dengan kemampuan serta kecerdasan beliau yang melebihi pelajar seusianya, misalnya ketika Musthafa Bisri melakukan kursus bahasa Prancis di Cairo, sedang Gus Dur asyik mendengarkan pelajaran tersebut dari luar, malah Gus Dur yang lebuh dahulu fasih bahasa prancis.

Selama di Mesir, Gus Dur yang juga sibuk mengurusi Persatuan mahasiswa dan pelajar Indonesia Timur Tengah tak ketinggalan informasi serta kejadian yang terjadi di tanah air, sehingga kelak kepulangannya ke Indonesia tidak lantas membuatnya minim pengetahuan tentang Indonesia.. Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur sudah dihadapkan pada banyak persoalan internal NU dan dinamika kebangsaann yang begitu komplek. Sebagai seorang cucu pendiri NU dan laki-laki tertua diantara keluarganya beliau diharapkan mampu meneruskan perjuangan kakek dan ayahnya Wahid Hasyim.

Kiprahnya dimulai ketika Ia menjadi Ketua PBNU, dan mulai memodernisasi NU dan ikut serta dalam dinamika kebangsaan. Keterlibatannya dalam dinamika kebangsaan tak berjalan mudah, disebabkan penguasa pada saat itu yang cenderung otoriter dan berhadapan dengan kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI. Banyak kesempatan ketika terjadi konflik dalam satu daerah, Gus Dur menjadi tokoh yang dikirim untuk menyelesaikan hal tersebut. Mulai dari Aceh hingga keberangkatannya ke Timur Indonesia. Walaupun Gus Dur berseberangan dengan pemimpin saat itu, Soeharto, namum ketika berhadapan persoalan kemanusiaan dan kebangsaan, Gus Dur pasti menghilangkan perbedaan pandangan tersebut dengan Soeharto.

Penyelesaian-penyelesaian secara persuasive yang dilakukan Gus Dur jauh berbeda dengan cara-cara yang dilakukan oleh Soeharto yang mengandalkan gaya militer. Terbukti dengan pendekatan Humanisme-nya Gus Dur, persoalan tersebut dapat memberikan hal

yang solutif, contohnya saran dan pendekatan dialog antar agama yang harus diterapkan secara berkala dan kontiniu. Cara-cara yang dilakukan Gus Dur tersebut terus berlanjut hingga beliau menjadi orang nomor satu di Negara ini. Pembelaannya terhadap kaum minoritas tak lantas membuatnya ciut dari cercaan sebagaian kaum yang mengkritik. Baginya keadilan adalah persamaan derajat (Egaliter) sehingga beliau digelar bapak Pluralisme. Pembelaanya terhadap agama minoritas membuatnya dijadikan sebagai panutan dalam melalui perjalanan bangsa ini.

Dari sikap Moderat inilah beliau beranjak dalam perpikir dan berpijak dalam melangkah, menghilangkan cara-cara kekerasan dan mengutamakan cara persuasive kemanusisaan. Maka ketika berbicara kebangsaan, beliau sebagai nahkoda NU pada saat itu yang juga ikut serta sepakat menjadikan mencasila sebagai asas tunggal sebagai paradigm dan ideology bangsa. Kebagsaan beliau yang tak bisa ditawar-tawar dan cara-cara moderat beliau dalam menyelesaikan permasalahan menjadikannya tokoh yang patut dikenang dan diikuti sebagai tokoh yang memeberikan sumbangsih besar dalam makna moderasi Bergama dan medorasi dalam pikir dan sikap.

Semua Demi Humanisme

Prof. Dr. Asy-Syiddieq dalam bukunya Falsafah Hukum Islam menyebutkan bahwa hokum itu berpijak pada dasar kemanusiaan, maka segala hokum yang ada adalah hokum kemanusiaan. Gus Dur adalah figure yang menjadi sumber kemanusiaan bagi masyarakat dan bangsa yang “tersesat” mencari makna dan menerapkan hokum demi kemanusiaan.

Perjalanan sejarah yang Ia ukir dalam menerapkan hokum kemanusiaan tak bisa lagi dibantah, hail-hasil yang Ia dapatkan dalam meneyelesaikan problematika kebangsaan dan konflik perbedaan yang terjadi di Negara ini pantas menjadi jejak bijak yang akan selalu dikenanng dan dijadikan referensi dalam menghadapi persolaan hingga dewasa ini hingga bagaimana Ia memberikan pemaknaan Islam yang rahmat jauh dari term-term kekerasan yang diajarkan oleh paham transnasional.

Salah satu ajaran dengan sempurna menampilkan universalisme Islam yang dapat dipetik dari sisi Gus dur:

  1. Keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum.
  2. Keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada paksaan untuk berpindah agama.
  3. Keselamatan keluarga dan keturunan.
  4. Keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum;
  5. Dan keselamatan profesi

Yang kesemua poin itu menjadi landasan beliau dalam berbuat. Dari paparan di atas terlihat bahwa Gus Dur menemukan universalisnme Islam di dalam ajaran kemanusiaan. Artinya, segenap nilai utama yang meliputi tauhid, fiqih, dan akhlaq ternyata menunjukkan kepedulian mendalam atas nasib kemanusiaan. Demikianlah Gus Dur, guru bangsa yang menjadi sumber ajaran kemanusiaan.

Konklusi

Ajari kami!

Bagaimana cara memberi?

Menurut sila kelima penuh arti

Tentang tuan

Tentang social yang berkeadilan

Tentang semua raup penghasilan

Tentang segala yang sudah kalian harta pribadikan

Tentang kami

Tentang menahan lapar dan mengulur mati

Tentang menyeka pilu dan mengusap luka hati

Tentang semua tengadah tangan mohon dikasihani

Ajari kami!

Bagaimana supaya tak lagi meminta

Cara terlepas dari ketergantungan tuan harta dan tahta

Jalan hidup menjauh dari semua iba yangterpaksa

Melupa! Dan mengangap kalian tak pernah ada

Bisakah?

Beri kami hormat saat tuan melempar sebungkus nasi

Pandang kami manusia bukan miskin tua penuh alergi

Bolehkan?

Kami mengambil sesuatu dengan rasa bangga

Bukan dengan setiap saat dengan tetesan air mata

Bolehkan?

Kita berdiri sama tinggi lalu duduk sama rata

Tertawa bersama lupakan kasta

Walaupun dengan cerita kau kupuja dan kau balas sandiwara

Agar kita sama menjadi menusia dan taka da dewa.

Pekanbaru, 03 September 2020

By: Asmin Mahdi (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia UIN Sultan Syarif Kasim Riau)

Belajar Berbangsa dari Mereka

Belajar Berbangsa dari Mereka

Sebagai orang muda saya belajar banyak tentang bangsa dan bagaimana caranya berkebangsaan di negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama, hal ini tentunya tidak mudah saya harus tahu betul tentang dari mana sumber kebangsaan itu saya peroleh. Jika kita mau menelisik kembali dan berupaya untuk memahami bagaimana upaya kalangan islam dalam membangun Nusantara yang pada akhirnya menjadi Indonesia kita akan menemukan tokoh-tokoh islami dan nasionalis yang sangat gigih dalam wacana dan idealisme mereka dalam beragama dan berkebangsaan pada saat itu.

Di sekitar era proklamasi 1945 dan era 1950-an kita memang terganggu oleh masalah pertarungan pancasila versus islam sebagai dasar negara. Namun dengan di kukuhkannya pancasila sebagai dasar filosofis negara di era 1980-an dan di terima kemudian oleh kalangan masyarakat luas, sebenarnya masalah fundamental ini telah selesai. Kita menemukan pergolakan itu melalu salah satu tokoh asal sumatera barat yang pada akhirnya menjadi wakil presiden pada periode awal bangsa ini berdiri. Kiranya sampai di situ kita akan finis dalam masalah islam dan berkebangsaan sebagaimana kata wakil presiden Mohammad Hatta “Perjuangan umat islam dalam menegakan islam haruslah berpedoman pada ilmu garam, bukan pada ilmu gincu”. Di mana pada garam filosofisnya adalah terasa tapi tak kelihatan sedangkan gincu, terlihat tapi tak terasa”.

Sebagai orang muda yang lahir di era teknologi saya merasa beruntung bisa dengan mudah belajar tentang bangsa dan kebangsaan serta agama dan keagamaan, litarasi yang di sediakan saat ini cukup banyak bahkan cukup menjamin kita dalam mencari apa yang menjadi kebutuhan kita dalam bernegara dan beragama. Tinggal kembali kita kitanya.

Dari putra Sumpur Kudus Sumatera Barat, saya melihat bagamana sistem negara kita yang mampu melindungi setiap orang yang beragama. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh dalam tiga era sekaligus, pemikiran Buya Syafii atau yang di kenal dengan nama asli AHMAD SYAFII MAARIF (13 Maret 1935) sedikit banyak memberikan saya masukan rasa optimismi untuk bangga sebagai orang muda yang tumbuh dan besar dalam negara yang sangat plural. Meskipun belakangan kita di tawarkan berbagai sumber pengetahuan tentang kebenaran yang di lahirkan oleh sebagain kelompok yang mencaplok kebenaran itu berdasarkan kebenaran menurut mereka sendiri.

Optimisme itu saya dapat dan yang akhirnya juga membantu saya dalam melihat kekisruan kelompok beragama yang belakangan ini suaranya melengking di mana-mana tentang mana yang hak dan mana yang batil lantas sering kali mengebiri kemanusiann orang lain. Saya ingat betul satu buku menarik dari Buya yang di terbitkan sekitar bulan maret 2017 lalu, buku dengan judul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” dari buku yang kebetulan mendapatkan catatan pengatar dari salah satu tokoh membaharuan islam Nurcholis Madjid. Saya mengenal negara dan agama dengan sudut pandang yang cukup luas. Saya melihat “Islam dan cita-cita politik, islam dan indonesia pada abad ke-20, islam dan pancasila sebagai dasar negara dan islam dan dasar negara di indonesia”. Dari buku yang awalnya adalah hasil disertasi Ph.D-nya dengan judul “Islam as the basic of state : A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” di Universitas Chicago Amerika Serikat ini. Saya melihat bagaimana kuatnya literasi dari seorang Buya untuk  membangun sebuah argumen yang kiranya tidak hanya memberikan kita suatu informasi tetapi juga sekaligus memberikan kita pemahaman yang baik untuk melihat islam dan negara itu sendiri.

Tidak hanya sampai di situ saya membaca pemikiran beliau dalam subjudul yang lain, di sana beliau memberikan kita suguhun yang menarik tentang islam, negara dan kemanusian. Dengan judul “ Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusian”. Mulai dari Barat hingga Timur Tengah dan Indonesia, lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan literasi yang beliau punya dalam menyajikan sesuatu yang memang pas dalam menjawab kebimbangan saya sebagai orang muda di persimpangan jalan. Dengan judul seperti itu saya yang pada waktu itu menjadi mahasiswa awal di salah satu universitas islam  menjadi merasa tidak rugi dalam mempelajari islam baik itu dari kalangan yang ke kanan-kanan sampai yang ke kiri-kirian. Tentunya saya berani dalam melakukan pengembaraan itu adalah salah satu faktor dari pengenalan saya tentang pemikiran beliau, sebab di sana saya mengenal “ Islam dan nusantara, islam dan demokrasi, islam indonesia:masalah kualitas, masa depan agama hingga islam dalam bingkai keindonesian dan kemanusiaan”.

Dengan kekuatan narasi sejarah yang beliu sering kali menuangkannya di dalam tiap sub pembahasan mengantarkan saya kembali pada masa di mana kalangan islam dan kalangan nasionalis dalam membangun satu tujuan bersama dalam bernegara ini tidak merasa kalau mereka pada masa itu saling gontok-gontokan dalam memilih bagaimana idealnya negara kita yang pada akhirnya menyepakati pancasila sebagai landasan filosofis kita dalam bernegara, dimana kita sudah sama-sama tahu kalau dalam bulir-bulir pancasila ada lima silah yang setidaknya sudah mampu mengakomodir kepentingan kita dalam berbangsa dan bernegara yang sangat plural ini. Ya kalau pun pada poin kelima dalam lima silah itu rasanya yang paling “apes” nasipnya adalah silah kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia”.

Tapi orang muda kita harusnya sudah punya cukup banyak guru bangsa yang bisa kita belajar dari mereka, kita juga punya cukup banyak tokoh bangsa yang bisa kita berpanutan pada mereka. Saya malah sering kali mengatakan kita bisa meminta nasehat pada siapa saja tapi kita tidak bisa berpanutan pada siapa pun, kecuali orang yang kita berpanutan padanya itu adalah orang yang datang dengan sesuatu yang kita tahu benar apa yang di perbuatkannya itu berdasarkan hasil analisa kita terhadap pemikiran dan tindakannya dalam bersosial dan bermasyarakat seperti kebanyakan tokoh yang sebagian telah mendahului kita dan berjumpa dengan Tuhan mereka.

Dalam dinamika berbangasa dan bernegara di era teknologi saat ini rasanya kita mulau kekurangan orang muda yang optimis sebagai sebagai orang muda yang nantinya amanah bangsa dan negara berada di pundaknya, hal ini bisa di lihat dari sejauh mana hari-hari ini orang muda yang mulai tidak malu-malu terlibat dalam politik pratis dan rasanya kita orang muda telah kehingan kekritisan yang harusnya kita punya sebagai benteng terakhir dari orang muda.

Akhir dari tulisan ini saya hanya ingin berdoa semoga semua guru bangsa yang hari-hari ini mendampingi saya baik melalui karya-karya luar biasa mereka mendapatkan ridho dari Tuhan agar bisa memperolah surganya tanpa banyak proposal yang harus di ajukan sebab amal jariah yang mereka tinggalkan. Serta Tuhan jangan matikan akal sehat kami orang muda Indonesia. ***

By: Mauludin Wamoi

Jejak Prestasi Gusdur Menuju Indonesia Makmur

Jejak Prestasi Gusdur Menuju Indonesia Makmur

Bangsa Indonesia patut bersyukur saat dipimpin seorang presiden dengan segudang prestasi selama kepemimpinannya. Hal ini merupakan anugerah yang menjadi titik balik dalam sejarah bangsa bahwa negara ini pernah merasakan sentuhan dari pemimpinnya berupa karya dan prestasinya. Ia begitu fous pada permasalahan kemanusaan. Selain itu, dalam bidang siar Islam, ia senantiasa menyiarkan islam secara lisa dan tulisan. Abdurrahman Wahid atau yang tenar disebut Gus Dur senantiasa memperlihat intelektualitasnya dalam bingkai cinta damai dan kaish sayang serta nilai-nilai kemanusiaan di seluruh penjuru Indonesia. Tokoh sekaligus pemimpin yang satu ini sangat perhatian terhadap perkembangan zaman. Misalnya dalam membela kaum minoritas, seperti suku, agama, ras dan antar golongan yang mendapatkan diskriminasi.

Dari sekelumit deskripsi di atas, kita dapat menangkap bahwa semua itu dilakukan untuk daat meningkatkan wawasan bangsa Indonesia terhadap pola pikir dan sepak terjang para pemimpin negeri ini, terutama Gus Dur dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Selanjutnya kita jga dapat membuka mata dan hati kita terhadap urgensi nilai keterbukaan (transparansi)dan berjiwa demokrasi (menerima pendapat dari banyak orang). tak hanya itu, hal ini dapat memperkuat pemahaman keagamaan bangsa Indonesia untuk lebih mementingkan urusan kemanusiaan dan keumatan di Indonesia.

Gus Dur patut dikatakan sebagai seorang pelopor. Untuk menjelasakan kata `pelopor` itu, kit amesti melihat sejenak ke belakang saat masa pemerintahannya yang tebilang singkat, yakni dari tahun 1999 hingga 2001. Secara prestasi, memang tidak sebanyak presiden lainnya, akan tetapi beliau telah berhasil memperkenalkan betapa ide-idenya muncul begitu brilian. Sehingga pada pemerintahab setelahnya, ide-ide tersebut dapat dilaksanakan, berangkat dari rencana besarnya yang amat mulia.

Dalam hal agama, Gusdur telah melegalkan agama Konghucu sebagai agama yang diakui di negara Indonesia. Semasa pemerintahannya, agama yang diakui di negara Indonesia telah berjumlah 6 agama, yakni agama Kong Hu Cu. Padahal lebih dari satu dasa warsa para penganut Kong Hu Cu tidak dapat mengemukakan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, sebab agama mereka tidak diakui negara. Sehingga tampak jelas bahwa seorang Gus Dur benar-benar tidak menyukai adanya pelakuan diskriminai terhadap agama yang satu ini.

Sampai pada tahap berikutnya, Gus Dur juga memberikan kelapangan berupa memberikan hari libur nasional pada perayaan Imlek. Padahal perayaan tahun baru Imlek pada masa colonial Belanda, sempat dilarang. Setelah Jepang memerintah, barulah Imlek dijadikan sebagai libur nasional. Sampai ke masa kemerdekaaan, Imlek jug amasih bisa dirasayakan. Akan tetapi, masa orde baru membatasi peryaan Imlek, walau pun tidak dilarang sepenuhnya, sebgaaimana Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967. Dari sikapnya yang demikian, kita dapat menangkap, bahwa beliau telah membuat agama keturunan etnis Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan dari agama yang ada di Indonesia, yang mana etnis tersebut mendapatkan diskriminasi pada masa pemerintahan orde baru. Akhirnya ia memutuskan untuk mencbut Inpres nomor 14 tahun 1967 dengan manggantinya dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Secara kedinasan, sampai pada akhirnya Imlek dijadikan sebagai libur fakultatif atau libur yang dikhususkan kepada para penganutnya yang merasayakan. Sehingga, pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri Imlek berhasil dijadikan libur nasional pada tahun 2002, yang sudah bisa diberlakukan pada tahun 2003.

Pembaca juga mesti mengingat semasa Gus Dur turut berperan serta dalam perdamaian di Aceh secara transparan. Pasalnya, pada masa pasca kemerdekaan, pihak Aceh sudah tidak percaya pada Jakarta semasa pemerintahan Soekarno. Gus Dura amat piawai dalam memformulasikan perundingan keduanya hingga mendapatkan titik terang perdamaian di Aceh. Gus Dur memilih pihak ketiga untuk memediasi permasalahan ini bersama Henry Dunant Centre di kota Swiss. Meskipun perdamaian itu berhasil diwujudkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melallui Crisis Management Initiatives.

Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta, telah meninggalkan jejak yang tak terhenti di sana. Ia adlaah seorang cendikiawan dan aktivis pejuang kemanusiaan yang diamanahi sebagai ketua organisasi masa Islam terpopuler di Indonesia, yakni Nahdhatul Ulama (NU). Peran dari ormas Islam yang satu ini tidak diragukan lagi di Indonesia. NU telah banyak berperan andil dalam pembangunan di Indonesia dari tahun ke tahun. Paham kebangsaan menjadi arah gerak utama Gus Dur semasa menjabat sebagai ketua umum. Sehingga persoalan keumatan dan persoalan kebangsaan dapat dijembatani secara arif dan bijaksana.

Tak terbatas pada sisi peerintahan, sentuhan tangan Gus Dur juga dirasakan para pegawai negeri sipil (PNS). Betapa tidak, beliau berfokus pada peningkatan kesejahteraan PNS dengan strategi jitunya. Langkahnya adalah dengan memberikan dorongan terhadap kenaikan gaji PNS secara signifikan selama Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia. Buktinya, gaji PNS mengalami peningkatan sebesar 100 persen yang mana ini merupakan prestasi yang luar biasa dan sangat menolong para PNS dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dan pelayan publik kepada masyarakat. Otomatis kesejahteraan PNS pada masa tersebut cukup lega dan amat berbekas di hati para PNS. Tak hanya itu, peningkatan itu juga merembes pada kenaikan pangkat da golongan pada PNS menjadi lebih baik.

Gus Dur juga dikenal sebagai pendorong ekonomi Indonesia. Buktinya sebagai Presiden Repubik Indonesia yang ke-4, beliau telah berhasil menstabilkan bahan pangan, yakni beras. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa besar yang saat itu diperjual belikan adalah beras yang berasal dari produk lokal. Sementara beras dari luar negeri tidak dipasarkan. Nilai ekonomi di Indonesia menjadi lebih maju, ditandai dengan minus 3 menjadi minus 7,5 persen dalam kurun waktu dua tahun. Secara hutang dunia, sema Gus Dur berhasil berkurang sebanyak 4,5 miliar dolar dari berbagai jenis hutang. Selanjutnya, barang-barang kebutuhan ekspor menjadi lebih banyak sebanyak dua kali lipat dari nilai ekspor sebelumnya. Hal ini membawa para nilai ekonomi menjadi stabi kembali. Dalam hal badan usaha milik negara, yakni PLN, meraih angka dari minus 9 triliun menjadi 104 triliun. Kemudian, hutang harga pembuatan listrik menjadi berkurang dari 85 miliar menjadi 35 miliar. Sehingga mendapatkan potongan sebesar 50 miliar. Secara proyek juga mengalami peningkatan, yakni pada proyek semasa Presiden Habibie yang mengalami kerugian ratusan miliar menjadi untuk sebesar 14 miliar dalam kurun waktu dua tahun pula.

Semua hal di atas dapat terlakasan karena sebuah prinsip yang diterapkan Gus Dus yakni apa pun yang dinilai secara rasional, maka harus dilakukan. Selanjutnya, pada pelaksanaannya, Gus Dur selalu memilih orang-orang terbaiknya sebagai orang kepercayaan. Sehingga dalam pelaksanaan setiap kebijakan di kementerian mendapatkan keberhasilan, meskipun terdapat kendala-kendala di lapangan. Namun, setiap perjalnaan pasti akan ada cobaan dan ujian yang melanda. Berkat kerja keras dan semangat kebersamaan inilah, bangsa Indonesia telah mendapatkan sentuhan hangat dari seorang presiden yang berjiwa toleran dalam bingkai bhineka tungga ika. Semangat inilah yang patut dicontoh oleh generasi muda Indonesia saat ini. semangat untuk kembali merajut kebersamaan untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur.

By: Bambang Wiranto

Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid

K.H. Abdurrahman Wahid siapa yang tidak kenal dengan beliau. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas“.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.[7] Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun.(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah Madrasah.

Gus Dur  juga di minta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Namun, Gus Dur akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana, agar kegiatan yang akan dilakukan selama menjalankan tugasnya Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama dapat di laksankan dengan mudah, Gus Dur pun akhirnya memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat bergabung dengan NU Gus Dur pun juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Gus Dur menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan melakukan penangkap orang-orang seperti dirinya tujuannya agar merusak Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jenderal Benny Moerdani. NU merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Semenjak Gus Dur masih hidup, banyak sekali tokoh-tokoh dari agama lain yang senang dengan Gus Dur, karena sikapnya yang bersahaja dan juga Gus Dur mempunyai prinsip toleransi, dengan toleransi semua orang akan bersikap baik juga.  Sikap lain yang dimiliki Gus Dur adalah tidak pernah membeda-bedakan dan sikapnya yang terbuka untuk semua kalangan, selalu menjawab pertanyaan dengan kehumoran yang bermakna Kehumoran Gus Dur dapat mencairkan suasana yang tegang, salah satu humor Gus Dur adalah mengungkapkan kata-kata “gitu saja kog repot !”. kata-kata tersebut sering diucapkan ketika dalam pertemuan atau di undang di acara-acara, dan sering di beri pertanyaan yang menyangkut tentang tugas dan wewenang Gus Dur ketika masih menjabat Presiden, bahkan ketika di lengserkan dari kursi kepresidenan. Berbicara tentang dilengsernya Gus Dur dalam kursi kepresidenan adalah, Gus Dur di berbicara “tingginya apa si menjadi seorang presiden itu, sampai mau ada pertumpahan darah di bumi ini”.

Kata-kata tersebut diucapkan oleh Gus Dur dengan rasa yang gembira dan tanpa ada beban. Begitu pahamnya Gus Dur dengan kehidupan di bumi ini, sampai-sampai sudah tidak ada beban sama sekali ketika Gus Dur di lengserkan di kursi kepresidenan.

Sebelumnya dilengserkan Gus Dur juga melakukan hal yang kontroversional, yaitu menyapa masyarakat/orang-orang berada di luar dengan menggunakan celana yang dibuat untuk bersantai (celana color pendek), hal tersebut juga sempat membuat ramai di jagat media sosial, dan sebagainya itu. Gus Dur, dikatakan sebagai ulama, presiden kontroversional namun memiliki makna tersendiri, tokoh humoris, toleransi, plurasimen, dan menjadi guru bangsa untuk masyarakat. Dari berbagai hal tersebut menjadikan Gus Dur memiliki kekhasan dan keunikan yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Mulai dari tingkah laku, perbuatan, pemikiran, dan ucapakan Gus Dur yang dilakukan semasa mas hidupnya.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai GuruBangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.

organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU.

Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.

Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Gus Dur pun tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritikan itu lama-lama menyebabkan Pak Harto risih. Puncaknya terjadi pada Mukhtamar NU di Cipasung 1994. Pemerintah berupaya menjegal Gus Dur. Tapi Gus Dur tetap terpilih untuk periode kedua. Hal ini terekspresikan dari ketidaksudian Presiden Soeharto menerima Gus Dur dan pengurus PBNU lainnya.

Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

By: Agus Neni

Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Berbicara tentang cinta dan benci tentu setiap manusia telah merasakannya. Cinta dan benci merupakan sebuah naluri manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. Tidak heran jika Agama islam memberikan petunjuk menyangkut hal tersebut.  Dengan suatu nasihat yang nilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Muhammad SAW.: “Cintailah kekasihmu secara wajarnya saja, siapa tahu suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu”.  Sebagaimana petunjuknya menyangkut cinta dan benci tesebut bahwa jelas manusia memiliki potensi-potensi untuk berfikir dalam memahami petunjuk itu. Dalam hal memahami dan mengaplikasikan makna cinta dan benci dalam kehidupannya.

Nasihat di atas tentunya ditujukan kepada manusia, cinta dan benci tidak terlepas dari hati yang dimiliki manusia, hati yang sering di sebut kalbu. Memiliki makna dalam bahasa aslinya berararti,”bolak-balik”.  Manusia yang hatinya sangat mudah terbolak-balikkan, bahkan berubah-ubah, terkadang ke kiri dan sekali-kali ke kanan. Tentunya apabila manusia tidak memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang pasti, manusia akan terombang-ambingkan oleh pengaruh dunia yang fana.

Cinta dan benci yang sudah ditakdirkan akan selalu mengisi suatu waktu pada sesi kehidupan manusia, sedangkan waktu itu akan selalu terus belalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Hal itu perlu dipahami sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya adalah salah  satu yang “ada”. Tetapi, ketika bercinta, ia dapat merasa mimiliki segala yang “ada” atau tidak menghiraukan yang “ada”. Dalam puisi cinta yakni “dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak”. Nah, hal inilah membuat manusia selalu lupa akan segalanya, jika di eramilenial sekarang sering kita dengar sebutan bucin. Setelah itu berlalu, ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” bahkan “hampa”. Akibatnya prustasipun ia rasakan pahitnya putus cinta, dan hilang secercah harapan. Demikianlah cinta mempermainkan manusia.

Cinta dan persahabatan sekarang yang terjalin oleh anak—muda menurut sebagian pakar—didorong oleh usaha memperoleh kelezatan semata atau bahkan kesenangan dunia. Karenanya, ia serba cepat, yaitu cepat terjalin dan cepat pula putus, lihatlah contoh lingkungan anda untuk saat ini. Sedangkan cinta dan persahabatan orang dewasa adalah demi memperoleh manfaat, yaitu memperoleh keuntungan atau beragam hal lain yang dimaksud. Hal itupun, bersifat sementara. Kemudian Abu Hayyan At-Tauhidy menulis: “perjalanan yang paling panjang adalah perjalanan mencari sahabat”. Sahabat, menurut Aristoteles, adalah anda sendiri, hanya saja dia orang lain.

Dia adalah Anda sendiri, dan ingatlah anda memiliki kalbu yang sering kali berubah-ubah. Karenanya tidak ada persahabatan yang kekal, apalagi dalam dunia kelezatan dan kepentingan dunia. Karenanya sebagai muslim perlu ketakwaan kepada Allah SWT agar memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang  pasti dalam menjalani kehidupan dunia yang sementara ini.

Lihatlah peristiwa pertumpahan darah antara Irak dan Iran delapan tahun lamanya mereka berperang. Selama delapan tahun juga Kuwait memberikan bantuan dana yang tidak sedikit kepada Irak demi kelanjutan perangnya. Tetapi, dengan serta-merta, teman yang dielu-elukan kemarin, berubah menjadi musuh. Musuh kemarin dirangkul agar menjadi teman, sementara penyesalan dan permohonan maaf pun mengalir dari mereka yang kemarin mengutuknya. Julukan saudara bekas musuh pun terdengar. Demikianlah yang didasari oleh “kepentingan sementara” yang senantiasa berubah. Ambillah hikmah dari peristiwa tersebut.

Dalam agama Islam, Allah SWT memberikan petunjuk yakni Al-Quran untuk menjadi pedoman hidup manusia, agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk itu, Al-qur’an mengingatkan kita: janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil ! Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS 5:8). Sungguh banyak pelajaran yang dapat kita petik dari berbagai peristiwa masa kini yang dapat menjadikan kita semakin peracaya akan kebenaran petunjuk-petunjuk agama.[]

Sumber: M.Quraish shihab, Lentera Al-Quran, kisah dan hikmah kehidupan

By: Muhammad Syaprul Alamsyah (Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU)