Inklusivisme dan Moralitas Generasi Bangsa

By: Tumpuk Saleah

Inklusivisme

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki beragam agama, budaya dan ras. Terhitung ada 6 agama yang disahkan oleh pemerintah dan dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berdasarkan persentase sensus penduduk pada tahun 2010, agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebagai berikut;Islam 87,2%; Kristen 6,9%; Hindu 1,7%; Budha 0,7%; Konghucu 0,05%; dan Khatolik 2,9%.

Keragaman agama ini yang patut di syukuri. Karena sampai saat ini keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia tidak mempengaruhi dalam bernegara dan bernegara. Sikap dan perilaku saling menghargai di tandai dengan adanya kerukunan dan kedamaian yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan tentu berbeda dalam menciptakan suatu kedamaian.

Pada era globalisasi ini, kedamaian sulit untuk dicapai. Ini disebabkan pada salah satu paham dari Tipologi Tripolar yang dipopulerkan oleh Alan Race yaitu; eklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.  Tipologi Tripolar digunakan untuk memetakan beragam pendekatan para teolog dan non-teolog Kristen mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain. Pemetaan ini didasarkan pada kesamaan dan perbedaan cara pandang penganut Kristen terhadap agama-agama lain diluar Kristen.

Dari tiga teologi ini, paham inklusivisme mempengaruhi kedamaian yang diinginkan masyarakat Indonesia. Kedamaian ini tidak terlepas dari moralitas anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Penerus perjuangan, pemeliharaan terhadap cinta tanah air, rasa kepedulian serta penuntun pentingnya akan arti kedamaian yang sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.

Paham inklusivisme adalah paham yang beranggapan bahwa sikap atau pandangan yang melihat agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, tetapi pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Kristus hadir dan bekerja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi. Dalam pandangan ini, orang-orang dari agama lain melalui anugerah atau rahmat Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah.

Inti dari inklusivisme tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak dianut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan terhadap agama yang dianut. Bagi Islam, paham ini adalah paham kufur atau ingkar terhadap Islam dan pelakunya disebut kafir. Pahan yang seperti ini harus ditolak oleh semua pihak. Karena paham ini dapat menjerumuskan moral generasi bangsa khususnya pada kepedulian serta sikap toleransi terhadap sesama.

Paham inklusivisme dapat menimbulkan dampak buruk bagi moralitas generasi bangsa. Karena inklusivisme mempondasikan agama Kristen dalam pemberian rahmat dari Allah. Sedangkan di Indonesia memiliki beragam agama yang berpendapat bahwa ajaran yang mereka anut adalah ajaran yang paling benar dibandingkan pada ajaran yang lain. Dampak yang seperti ini sangat dikhawatirkan.

Khususnya pada generasi yang kurang akan ilmu pengetahuan agama dan umum serta pemahaman sikap. Keterbatasan ini timbul akibat terbatasnya ekonomi masyarakat kecil untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun, keterbatasan ekonomi tidak dapat disalahkan. Hanya saja tergantung pada minat serta niat anak muda dalam keseriusan mencari dan menuntut ilmu. Hal ini sangat berbahaya, karena dapat merusak kedamaian dan kerukunan bangsa yang sejak dulu sudah dibangun oleh para pejuang bangsa.

 

Agama dan Moralitas

Dalam agama terdapat aturan-aturan tentang bagaimana menjalani hidup di dunia, baik hubungan dengan sesama manusia,  manusia dengan lingkungan serta manusia dengan Tuhannya. Hubungan semacam ini berpengaruh pada pola sikap manusia dalam mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari. Tindakan yang merujuk pada implementasi ini adalah moralitas, yang mencakup berbagai aspek untuk bertindak dan berbuat.

Moral merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan. Moral menjadi tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia dalam berinteraksi. Sehingga seorang dapat memiliki moral bersifat baik ataupun moral yang bersifat buruk. Moral tidak akan terlepas dari agama, karena di dalam agama terkandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai ini hendaknya dapat dicapai oleh anak muda generasi bangsa.

Moralitas dalam agama juga dipandang sebagai sesuatu yang luhur, tatanan dalam kehidupan sosial yang dijadikan pedoman. Dapat dikatakan, agama melahirkan moral. Sehingga seseorang yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik semestinya juga memiliki moral yang baik. Baik buruknya moralitas tergantung pada manusia itu sendiri dalam meyakini dan mepelajari agama yang telah dianut.

Perluasan paham inklusivisme melemahkan moralitas anak muda yang berbeda agama. Hal ini berdampak pula pada tindakan keseharian mereka yang tidak menerima perbedanaan. Tindakan pemisahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Maksudnya seperti contoh antara golongan Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen tanpa menyatu dan berbaur satu sama lain. Pemisahan ini yang menjadi masalah utama dalam kedamaian bangsa.

Tindakan seperti ini dapat mendorong anak muda untuk bertindak buruk bahkan bertindak kriminal. Karena ingin mempertahankan sifat apatis dari golongan masing-masing. Sehingga mengakibatkan anak muda berpikiran bahwa kebenaran yang hakiki bukan lah milik bersama, melainkan milik golongan yang dapat menang dalam permusuhan dan perselisihan. Kejadian ini sangat tidak diinginkan oleh bangsa Indonesia.

Tindakan yang dilakukan tidak hanya pada dunia nyata, melainkan mereka lakukan dalam dunia maya menggunakan media sosial. Media sosial lebih berbahaya dalam perluasan permusuhan, bisa jadi diantara mereka melakukan pembulian terhadap agama musuh mereka dan membuat berita-berita hoax yang mengacu pada pertengkaran. Semua tindakan yang dilakukan tentulah sangat berbahaya pada diri mereka dan orang lain.

Setiap agama menjunjung tinggi nilai moralitas sesuai dengan sumber  ujukan untuk bertindak sesuai dengan ajaran masing-masing. Setelah mengetahui sumber rujukan tersebut, tentulah sebagai generasi penerus bangsa untuk meninggalkan paham inklusivisme. Paham yang dapat merobohkan suatu kedamaian dan dapat merusak moralitas anak muda penerus bangsa.

 

Rujukan Sikap Moralitas

Dalam agama Islam, rujukan moralitas terdapat dalam al-Quran Surah Al-Ahzab 23 ayat 21 “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulallah itu suri teladanyang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Pada ajaran Kristen, moralitas terdapat dalam al-kitab (Filipi 2:5) “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus Kristus”.

Selanjutnya pada agama Hindu yang terdapat di kitab Weda pada Karmapala Sinddha “ Keyakinan terhadap phala dari perbuatan, sebagai landasan sikap mental dan budi pekerti serta membangkitkan kesadaran untuk mengendalikan diri dalam berpikir, berbicara dan berbuat. Kemudian, dalam agama Buddha terdapat dalam Tripitaka Anguttam Nikaya 6.63 “Dewa bhikkhu, cetana (kehendak) lah sing kunyatakan sebagai kamma. (setelah berkehendak orang melakukan tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran menyatukan kebersamaan)

Beberapa rujukan sikap moralitas berdasarkan ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia sama-sama menginginkan kedamaian dan kebersamaan. Apabila pahan inklusivisme terus merambat di negeri Ibu Pertiwi, maka dapat merusak nilai moralitas anak muda di Indonesia. Untuk itu, hendaklah bersikap tegas dan perpikir kritis dalam menghadapi perbedaan agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan yang mengakibatkan runtuhnya nilai luhur Bangsa Indonesia.

Leave a Reply