Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Gelombang hellenisme yang melanda dunia Islam merupakan akibat wajar dari kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Lebih jauh, hasil logis dari penerjemahan itu melahirkan suasana kondusif dan kegairahan yang subur di kalangan umat Islam tertentu guna mengembangkan pemikiran spekulatif. Gelombang hellenisme tersebut merupakan suatu pengalaman yang, menurut Nurcholish Madjid, “tercampur antara mamfaat dan mudharat bagi umat Muslimin”. Akibat dari itu membuat mereka terbagi antara yang menyambut (respon-positif) dan menolak (respon-negatif). Respon umat Islam atas hellenisme dapat menjadi ukuran kreativitas mereka dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Lebih jauh Nurcholish Madjid memaparkan:“Sebagian besar Ummat, khususnya mereka yang ada di bawah naungan ideologi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi, Hellenisme itu. Tapi secara umum terhadap banyak kaum Muslimin yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kematapan beragama dan kepercayaan diri kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebesan berfikir yang masih lebih besar lagi daripada kaum Mu’tazilah, mengembangkan filsafat itu dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara tekhnis disebut al-falasafah. Dari kalangan mereka ini timbul kelompok baru kaum tepelajar Muslim, yaitu al-falasifah (kaum Failusuf), suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sengat terpengaruh oleh filsafat Yunani.”

Dalam merespon positif pemikiran hellenisme itu, filosuf Muslim terbagi dalam dua aliran yang besar, yang keduanya mengklaim dirinya sebagai pengikut filsafat Yunani. Pertama, aliran Peripatetik (Masysya’iyyah) [disebut demikian karena tatkala Aristotels mengajar ia berjalan-jalan di tengah-tengah (maha)siswanya] yang memiliki ajaran gabungan ide-ide dari Aristoteles dan (sebagian) ide Neo-Platonik. Ide yang terpenting yang diambil dari Aristoteles adalah doktrin tentang Akal (Nous) , wujud yang lebih tinggi dari semua realitas jiwa yang ada. Akal adalah penaggerak pertama yang tidak bergerak; dan akal yang bersifat immortal (tidak mati). Akal adalah supreme deity (Tuhan Maha Tinggi) yang selalu berpikir dan meruenungkan diri-Nya. Sementara itu, ide yang diambil dari Neo-Platonisme adalah doktrin yang mengajarkan tentang the One (yang Tunggal) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab. Aliran ini juga dikenal sebagai cerminan upaya terbaik pemikiran manusia untuk mencapai kebenran. Aliran ini biasanya berawal dari filosuf al-Kindi dan mencapai puncaknya pada diri filosuf Andalusia, Ibn Rusyd.

Kedua, aliran Illuminasi (Isyraqiyah) [disebut demikian karena merupakan kearifan spritual yang muncul dari timur] yang lebih bersimpati kepada gabungan ajaran dan tradisi Pytagoras-Platonik. Ajaran dualis Plato kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Neo-Pytagoras. Ajaaran ini menyatkan mereka menuruti doktrin bukan saja dri golangan Pytaagoras, tetapi bahkan juga dari nabi-nabi kuno, khususnya Nabi Sulaiman dan Idris (tradisi Hermetis) dan juga dari ajaran-ajaran bijak, seperti Zoroaster. Dalam Islam alaiaran ini berawal dari Ibn Sina dan mencapai puncaknya pada diri Suhrawardi al-Maqtul. Dengan demikian, aliran ini dipandang sebagai ajaran yang lebih berdasrkan pada ilmu ilahah tinimbang pada ilmu manusiawi.
Berikut ini akan dicoba untuk mengangkat beberapa persoalan-persoalan filosufis yang krusial (dan “anah” di mata ortodoksi Sunni) yang berasal (sebagian besar) dari tradisi Hellenisme.

Konsep Wujud Tuhan

Salah satu di antara ajaran filsafat dalam Islam yang relatif tidak bertentangan dengan doktrin agama, dan tidak syak lagi juga diterima oleh kalangan ortodoksi Sunni Islam adalah tentang Wujud Tuhan. Dalam ajaran filsafat ini, wujud ada dua: Wājib al-Wujūd (Wujud yang Wajib) dan mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Adapun yang disebut pertama adalah Allah; sementara wujud yang disebut belakangan adalam alam (wujud selain Allah). Dengan bahasa yang berbeda, Wujud Allah wujud yang “pasti”; sedangkan alam adalah wujud yang “tergantung”. Artinya, alam semesta yang tercipta memeerlukan tempat untuk bergantung, yaitu Allah. Lebih jauh ini bermakna alam sebagai akibat yang memerlukan sebab, itu Allah.

Dalam membangun ajaran ini filosuf Muslim mencari bantuan dari doktrin Neo-Platonis, yaitu monisme tentang emanasi (al-fayḍ). Dalam kerangkan Aristolean, meskipun mereka menolak ajaran Aristoteles tentang dualitas: matter dan form (materi dan bentuk), tetapi di sisi lain tampak sekali ajaran Aristoteles lainnya, yaitu konsep tentang “Nous”; akal sebagai supreme deity (Tuhan Tertinggi) [boleh jadi tuhan yang dimaksu oleh Aristoteles berbeda dengan apa yang dipahami dan diyakini oleh ummat Islam. Begitu pula doktrin lainnya dari Aristoteles, misalnya mengenai akan yang immortal (tidak mati) atau wujud penggerak pertama yang tidak bergerak.

Masalah yang berhubungan dangan Wujud Tuhan, antara para filosuf, termasuk juga para mutakallimin, adalah doktrin bahwa Allah Tunggal. Penjelsanya bahwa doktrin ini menafikan adanya dualitas antara essensi dan sifat. Bagi mereka Tuhan adalah wujud semata, tanpa sifat. Satu-satunya sifat (kalau juga terpaksa menggunakan kata sifat) Tuhan adalah keniscayaan wujud-Nya. Jadi Tuhan tidak mempuyai sifat sebagaimana diyakini oleh aliran kalam rasional dalam Islam, Mu’tazilah.

Konsep al-Qur’an Qadim

Persoalan apakah al-Qur’an (Kalam) Allah itu diciptakan (baharu) atau tadak diciptakan (qadim), telah menajdi perdebatan di kalangan teolog (mutakallimīn) sejak masa-masa awal. Bahkan belakarang pada masa pemerintahan al-Makmum, dinasti Abbasyiah, ketika paham Mu’tazilah dijadikan paham resmi negara, mengakibatkan terjadikanya “noda hitam” dalam sejarah Islam dengan dilancarakannya “mihnah” (inquisisi), yaitu pemeriksaan keyakinan: apakah al-Qur’an itu baharu atau qadim. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an itu adalah baharu (diciptakan), karena kalau tidak (dikatakan qadim) ini dapat merudak sistem keimanan kepada Allah. Artinya kalau al-Qur’an itu adalah qadim, maka ada yang qadim selain Allah. Kalau demikian halnya, sama artinya menduakan Allah (syirik)

Kecenderungan pemikiran Mu’tazilah tersebut didasarkan pada ajaran Aristoteles bahwa tidak ada yang tercipata dari tiada (critio ex nihilo). Dengan begitu mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah menciptakan al-Qur’an. Di samping itu, pendapat Mu’tazilah sedikit banyak dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh sistem kepaarcayaan ajaran agama Kristen dengan konsep Trinitasnya. Karena pengaruh ajaran Kristen itulah Mu’tazilah tampil untuk membela sistem keiman dalam Islam.

Konsep Penciptaan: Alam Qadim

Dalam pandangan filosuf Muslim yang paling asasi dalam konsep penciptaan adalah pengingkaran terhadap konspe “Critio ex Nihilo” (penciptaan dari tiada). Pandangan filosuf dalam masalah ini berbedadengan kaum mutakallimin, apalagi dari kalangan ortodoksi Islam. Karenanya, penciptaan alam: apakah qadim atau baharu merupakan perdebatan antara para filosuf dan mutakallimin. Dan kalau disederhanakan adalah pertentangan pada figur yang diwakili oleh al-Farabi dan al-Ghazali secara berturut-turut.

Pandangan para filosuf dalam masalah ini berawal dari suatu kenyataan bahwa mustahil penciptaan sesuatu itu dari tiada. Pernyataan mereka ini didasarkan pada konsep tentang emanasi (pelimpahan). Akan tetapi, perlu ditegaskan, menurut filosuf Islam, alam itu qadim dari segi waktu (qadim zaman). Artinya, wujud alam bersama-sama adanya dengan eksistensi Wujud Allah. Meskipun begitu, segara harus ditambahkan pula bahwa alam itu “huduth li zati” (baharu dari segi zat). Sedangkan Allah adalah Qadim Zat dan Qadim Zaman.

Filosuf menjelaskan, misalnya Ibn Sina, bahwa yang dimaksud dengan qadim zaman (bagi alam) itu adalah karena Tuhan Maha Sempurna, maka Tuhan menciptakan sejak zaman azali; dan senantiasa meciptakan (berbuat) dan tidak hanaya pada saat tertentu. Karena didorong oleh keinginan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan dengan konsep emanasi, maka pemikiran tentang penciptaan alam itu qadim tidak bertentangan dangan Islam.

Konsep Tentang Pengetahuan Tuhan

Menurut Fazlur Rhman (Islam: 169), konsep bahwa Tuhan tidak mengatahui yang partikular merupakan kerangka teori dari Aristoteles dal Plonitus. Akan tetapi, sayangnya, Rahman tidak mengurai secara detail bagimana keterkaitan dan pengaruh kedua filusuf klasik Yunani kepada balantika filosofis dalam Islam. Dalam konsep ini para filosuf Islam berpendapat bahawa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat), tetapi Tuhan hanya mengetahui yang universal (kulliyat). Menurut para filosuf penegasan semacam ini penting, karena kalau Tuhan mengatahui hal-hal yang partikular yang senantiasa berubah-rubah bentuk dan beralih-alih waktu dan tempat, maka ilmu Tuhan juga akan turut berubah-rubah. Padahal dalam pandangan yang prinsipil di kalangan para filosuf bahwa mustahil ilmu pengetahuan Tuhan mengalami perubahan.

Konsep semacam ini, lagi-lagi, bagaimana para filosuf Islam berupaya untuk menyucikan Tuhan dari “kemungkinan” ketidaksempurnaan. (Ini tidak dimaksudkan bahwa manusia [para filosuf] menjadi subjek penentu bagi kesempurnaan Tuhan, sekali lagi tidak]. Akan tetapi, tak ayal, “hasrat baik” para filosuf itu dituduh macam-macam oleh golongan ortodoksi Islam Sunni. Golongan yang disebut terakhir ini berargumentasi bahwa Tuhan tidak boleh “dibatas-batasi” sedemikian itu, sehingga pengetahuan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal universal semata, sementara Tuhan dibatasi untuk mengatahui yang partikular. Kalau memang demikian, kata golongan ortodoksi Islam Sunni ini, dikemanakan kemahakuasaan Allah; dan bagaimana dengan “Inna Allah ‘ala kulli syai’in alīm” (Sungguh Allah mengetahu atas segala sesuatu).

Agaknya, sulit juga untuk menegahi kedua perdebatan kedua kelompak antara para filosuf dan ortodoksi Islam Sunni di atas. Karena masing-masing mereka berargumentasi dengan “mengatasnamakan” Allah. Paran filosuf berdalih atas “kemahasempurnaan” Allah. Sebaliknya ortodoksi Islam Sunni beralasan atas “kemahakuasaan” Allah. Perdebatan dan polemik di antara kedua golongan ini belakangan dapat dipersonifikasikan secara pas pada diri al-Ghazali mewakili golongan ortodoksi Islam Sunni dan Ibn Rusyd mewakili para filosuf Islam. Bahkan perdebatan dan polemik tersebut terus berlanjut setalah sepeninggalan keduanya.

Selama ini, sudah banyak buku-buku filsafat yang mengulas polemik “posthumous” antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Polemik kedua figur ini sangat penomenal dalam sejarah pemikiran umat manusia, dan menyita perhatian sekian banyak sarjana sejak masa keduanya hingga dewasa ini. Lewat bukunya, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali mempreteli 20 (dua puluh) teori-teori biḍ‘ah filosuf (Islam) sebelumnya, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antara teori-teri tersebut: kekadiman alam; Tuhan tidak tahu yang pertikular; dan penolakan kebangkitan jasmani, menurut al-Ghazali, dikategorikan sebagai “kafir”. Belakangan, sekitar delapan puluh tahun setelah itu, tanpil seorang filosuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd, lewat bukunya, Tahāfut al-Tahāfut, guna membela para filosuf Muslim dan menyerang-balik (counterattack) al-Ghazali.

Konsep Tentang Keabadian Jiwa dan Kebangkitan Akhirat

Problem keabadian jiwa dan kebangkitan di akhir, tidak diragukan lagi, termasuk dalam tiga serangkai (kekadiman alam, Tuahn tidak mengetahui yang partikular dan kembangkitan jiwa) doktrin filosuf yang dikafirkan oleh al-Gazali. Kalau yang dua pertama dinayatakan berasal dari filosuf Islam, khususnya Ibn Sina dan al-Farabi, maka doktrin yang ketiga, keabadian jiwa adalah “murni” berasal Aristotels. Aristioteles, sebagaimana telah disebut sebelumnya, mengatakan bahwa jiwa itu adalah immortal (tidak mati). Belakangan doktrin ini dikembangkan oleh filosuf Islam, khususnya Ibn Sina.

Menurut Ibn Sina manusia sebagai makhluk memiliki unsur ganda: sebagai benda (matter) dan mempunyai bentuk (form). Raga adalah matter; dan jiwa adalah form. Raga dan jiwa adalah dua substansi yang distingtif dan terpisah satu dengan yang lainnya, terutama setelah manusia mati. Jiwa adalah substansi rohani yang terlimpah ke dalam wadah berupa raga, kemudia jiwa menghidupkan raga. Lebih jauh raga dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. (Fuad al-Ahwani: 162-163). Dengan begitu, dalam pandangan para filosuf Islam, yang mengetahui Tuhan adalah jiwa. Karenanaya, ketika manusia mati yang kembali kepada Tuhan adalah yang mengetahui Tuhan, yaitu jiwa.

Mengingat jiwa yang mengetahui Tuhan dan pada akhirnya kembali kepada Tuhan, maka jiwa pulalah yang akan dibangkitkan. Sementara raga tinggal membusuk dihimpit bumi dan dimakan cacing. Kongkritnya, konsep Ibn Sina ini mengingkari kebangkitan jasmani, dan hanya mengakui kembagkitan ruhani. Malahan, di anatara para filosuf, ada yang berpendapat bahwa hanya jiwa yang cerdas lagi suci sajalah yang akan dipanggil oleh Allah, “yā ayyatuha al-nafsu al-muṭma’nnah ‘irji’ī ilā Rabbiki raḍiyah al-marḍiyah fa adkhulī fī ‘ibādī wa adkhulā jannatī” (hai, jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dalam keadaan rela-merelakan dan masuklah golongan hamba-Ku dan masuklah surga-Ku).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Dewasa ini, ungkapan “al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinya hanya berlaku pada tataran idealitas, dan bukan pada tataran realitas. Dulu umat Islam memang pernah membuktikan ungkapan tersebut dalam realitas yang menyejarah. Lalu, bagaimana objektivikasi ungkapan tersebut di masa kini dan di masa-masa mendatang? Dalam mengejawantahkan ugkapan itu lagi, umat Islam terlebih dahulu harus membuktikan bahwa bagaimana Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān” (selaras dalam setiap waktu dan tempat) dalam menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.

Dalam mewujudkan agar Islam tetap “saliḥ fī kulli zamān wa makān”, tidaklah semudah “memalingkan wajah” dari belang ke depan. Salah satu upaya untuk lebih memudahkan “pemalingan wajah” itu, menurut hemat saya, di antaranya adalah memaknai sungguh-sungguh apa yang terkandung dalam lafadz:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
(memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Lama yang baik dan baru yang lebih baik seyogyanya beriringan dan saling komplementer dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus menafikkan satu dengan yang lainnya. Yang satu tidak akan kokoh dan sempurna tanpa yang lainnya. Misalnya, kalau seorang sangat “percara diri” dan hanya mau menoleh ke belakangan sementara kakinya melangkah ke depan, akibanya bisa jatuh terjungkal. Sebaliknya, kalau seseorang begitu “ngotot” dan hanya mau menatap ke depan sementara tercerabut dari akar, akibatnya menjadi a historis.

Dalam konteks ini ada pertanyaan yang selalu diajukan: “Apakah Islam (baca: pemamahan atasnya) yang harus mengikuti/ disesuaikan dengan perkembangan zaman; atau zaman yang harus mengikuti/disesuaikan dengan Islam? Bagi kalangan yang sangat “percara diri pada masa lalu”, sebagaimana disebut di atas, akan memberikan jawab mutlak bahwa zamanlah yang harus mengukuti Islam, dan bukan sebaliknya. Sementara itu, bagi kalangan yang “ngotot pada masa depan” akan menjawab, “Islamlah yang harus mengikuti zaman”, dan bukan sebaliknya. Kedua jawaban “mutlak-mutlakan” ini tidak akan pernah bisa menjadikan Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān”. Keduanya, sekali lagi, harus saling “isi-mengisi” dalam menghadapi perkembangan “waktu dan tempat” pada saat ini, terlebih-lebih masa-masa mendatang.

Kalau kita ingin melihat Islam tetap relevan dengan tuntutan “zaman” dan “waktu”, maka konsekwensi logisnya harus ada keberanian untuk memahami “noktah-noktah” tidak melulu secara harfiah (lahiriyah), tetapi ada kalanya harus pula dipahami secara maknawi (bathiniyah). Bukankan al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, meminjam ungkapan ulama besar dari Syiah (Iran), ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dalam karyanya, “Mengungkap Rahasia al-Qur’an”, menyebutkan bahwa bahwa al-Qur’an mempunyai arti lahir dan batin. Dalam pengertian yang disebut belakangan ini, ulama besar pengarang tafsir “al-Mizan” mengutip hadis bahwa: ““Inna lil-Qur’ān zahran wa baṭnan wa libaṭnih baṭnan ilā sab‘ah abṭnan”.

Jadi, dari hadis ini nyata betul bahwa al-Qur’an tidak saja memiliki makna lahir, tetapi juga makna batin. Bahkan dalam makna batin al-Qur’an ada sejumlah makna batin lagi yang terdalam, dan hebatnya sampai tujuh makna batin.

Betapapun khazanah intelektual warisan ulama dan ilmuan Islam klasik (yang baik) harus tetap ditoleh. Sikap ini dipandang penting demi memudahkan pengembangan intelektualisme Islam pada masa kini dan mendatang yang lebih kretif dan inovatif. Dengan demikian, dalam sejarah pembahruan pemikiran Islam lahir tokoh yang dinamis, sehingga di kalangan mereka lahir tesa dan anti-tesan dan sintesa, (dialektika), sebagaiman tercermin pada empat tipologi gerakan pemikiran Islam, menurut Fazlur Rahman.

Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat. Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa. Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya. (Lihat, Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 17-20; bandingkan, Abu A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: 1-3 dan 20).

Agaknya, ummat ini pada abad pertengahan selama lima abad (dari abad ke- 13 sampai akhir abad ke-19) sudah membuat Islam jauh “ketinggalan kareta” dari segi “zamān” (waktu) dan “mākan”, sehingga harus terus menurus melanjutkan perjuangan dan pemikiran para pembaharu Islam sejak akhir abad ke-19. Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran sebab-sebab keterbelakangan kaum Muslim dan sekaligus upaya solusi pemecahannya.

Pertama, pemikir kelompok Muslim ini melihat bahwa biang keladi seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah kerena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan furifikasi, seperti yang dimotori oleh gerakan Wahabiah di Hijaz.

Kedua, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya; yang terkenal dengan pemikirannya tentang Pan-Isalamisme.

Ketiga, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari menambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Di antara tokoh dari kelompok ini yang sangat artikulatif adalah Muhammad Abduh yang sangat mashur denga rasonalisme, dan belakangan dielaborasi oleh Syed Ameer Ali dari anak benua India.

Namun, rumusan sebab dan upaya pemecahan keterbelakangan itu, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Artinya, harus diakui bahwa kini ummat Muslim tidak/belum bisa menjadi ke mbali“al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh”. Gambaran bahawa Islam “yang tinggi dan tidak ada yang mengatasinya” yang pernah dicatat oleh tinta emas sejarah Islam klasik selama kurang lebih 5/7 abad (abad ketujuh sampai abad duabelasa/empat belas) hanya indah untuk dikenang sambil menepuk-nepuk dada sebagai wujud “onanisme”. Memang ini memuaskan untuk jangka waktu sesaat, tetap setelah itu yang ada adalah lara yang berkempanjangan. Romatisisme sejarah ibaratnya mimpin indah yang membuai, tetapi setelah tersentak dari tidur, kita mendapatkan diri kita dalam posisi kebalikan 180 derajat dari mimpi indah tersebut.

Lihatlah dewasa ini dunia Islam tetap merupakan kawasan di bumi ini yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini. Menurut Cak Nur, negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. (Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 21).

Sebetulanya kondisi memilukan ini tidak perlu berlanjut hingga kini, minimal mengurangi jarak ketertinggalan, kalau saja umat Islam, misalanya, mau menyahuti seruan gagasan beberapa pembaharu, khususnya seperti Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan, masing-masing dari Mesir dan Indo-Pakistan, untuk kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, segaligus lebih otentik serta mampu menangkap “api Islam” dan meninggakalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. Namun kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.” (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 22; Fazlur Rahman, Islam: 322-323; dan Albert Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939: 130-159).

Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini, akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melekat dalam) agama itu sendiri. Sebalkinya, pada orang Barat menjadi rasional adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 165). Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. (Fazlur Rahman, Islam: 322-323). Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, agama Islam ada lah agama rasional yang mengantarkan kepada kemajuan. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), 435).

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

Saya merasa beruntung dan bangga dilahirkan dari rahim seorang ibu yang gemar dan terbiasa mengaji. Seingat saya, semasih kecil, ibu saya selalu mengaji sebelum anak-anaknya bangun-beranjak dari tempat tidurnya; dan mengaji (lagi) menjelang sewaktu anak-anaknya terlelap tidur dalam mimpi-mimpinya. Salah satu surah dari tujuh surah yang sering di baca ibu saya, selain surat Yāsīn, al-Wāqi‘ah, al-Mulk, al-Kaḥfi, al-Raḥmān, al-Sajadah, adalah surah al-Insān. Seringnya ibu saya membaca ketujuh surah dan dengan termotivasi atas fadhilah kadungan dari membaca surah-surah itu, dapat dipasatikan berkat pengajian yang diterimanya dari seorang ulama besar, yaitu K.H. Husain Hap (1928-1999).

Tuan Guru (Anddregurtta) K.H. Husain Hap termasuk salah seorang dari tiga rentetan ulama besar Indragiri Hilir pada abad ke-20 (tanpa bermaksud menafi’kan kalau ada ulama besar lainnya), selain Tuan Guru K.H. Abdurrhamn Ya’qub (1912-1970) dan Tuan Guru K.H. Abdurrahman Siddiq (1857-1939). K.H. Husain Hap –yang merupakan abang kandung ayah saya sendiri, H. Husan Hap– pernah menempuh pendidikan di Dar al-‘Ulum, Mekah. Awal kepulangan dari tempat Kelahiran Rasul Allah saw., K.H. Husain Hap mendirikan pengajian “Al-Husniyah”, dan di sinilah Ibu saya mendapat pengajian agama, termasuk fadhilah membaca surah-surah disebutkan tadi.

Dari bacaan ibu saya atas surah al-Insān ini untuk kali pertamanya saya mendengar kata “kafūra” dalam rentetan ayat: “inna al-abrāra yashrabūna min ka’sin kanā misājuhākafūra.” Saya mendengar ibu saya memabaca ayat ini “sambil lalu” saja, kadang antara saya “sadar dan tidak sadar” (menjelang dan akan bangun tidur), dan seringkali tidak peduli. Ketidakpedulian saya atas bacaan al-Qur’an ibu saya itu disebabkan bukan saja karena tidak mengerti, tetapi karena kepedulian “dunia anak” belum sampai di situ.

Akan tetapi, karena ibu acapkali memperdengarkan keseluruhan surah-surah tersebut, maka menjadikan saya terasa akrab, dan relatif lancar membacanya tatkala mengaji. Hal yang serupa, tetapi dengan cara berbeda sering pula dilakukan oleh ayahanda (semoga Allah merahmatinya) semasa saya kecil, yaitu menyetel kaset yang melantunkan bacaan (surah) al-Qur’an, di antaranya yang sering kali saya dengar, misalnya adalah surah al-Naba’, dan sesekali terdengar –belakangan baru saya tahu namanya– surah al-Shaff danṬaha.

Kembali kepada kata “kafūrā”, pemahaman atas kata itu dalam konteks kajian keilmuan, saya dengar kali pertama pada saat Diskusi Bedah Desertasi, “Jaringan Ulama” karya Azyumardi Azra yang diselenggran di Gedung “Wisma Sajahtera” di komlpeks Kampus IAIN (kini UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta pada 1992 (maaf, sekiranya salah ingat tahun; dugaan kuat ini benar sebab tahun itu saya menjadi Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 1991-1992 sebagai Sekretaris Umum; dan saat menghadiri Kongres HMI ke-19 dipenghujung 1992 status kepengurusan kami demisioner). Dalam forum bedah desertasi itu, selain Azyumardi Azra sebagai penulis, adalah Bapak (kini Prof.) Dr. Atho Mudzhar, MA sebagai pembedahnya. Dalam diskusi terungkap bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh orang Barat (orientalis) terungkap bahwa asal-usul kata “kafūra” berakar dari bahasa MELAYU.

Pada waktu itu saya bingung memahaminya, justru karena membingungkan itulah menjadi menarik bagi saya. Kebingungan saya pada waktu itu bercampur rasa bangga. Apa mungkin ada bahasa Melayu dalam al-Qur’an? Disebutkan jaga bahwa barangkali “kāfūrā” inilah satu-satunya term Melayu yang “dipinjam” oleh Allah dalam menurunkan wahyu yang ditermaktub dalam al-Qur’an. Saya sendiri sampai saat ini tidak berupaya untuk membuktikan dugaan bahwa apakah hanya “kāfūrā” satu-satunya bahasa Melayu dalam al-Qur’an?

Sementra itu, kosa kata dari bahasa asing yang diserap oleh bahasa Arab banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Misalnya, terdapat kata “jahannam” (neraka jahanam) dari bahasa Ibrani; kata “zanjabīlā” (jahe) berasal dari Persia. Kata “sundusin” (sutra tipis) berasal dari India; kata “ṭūr” (gunung) berasal dari bahasa Syiriah; kata “al-qisṭās” (timbangan) berasal dari bahasa Romawi; kata “mishkāt” (lentera) berasal dari bahasa Habsyah. Ini sekedar menyebut bebarapa kosa kata dari berbagai bahasa suka bangsa yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. (lihat, Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Leiden: Briil, 2007).

Untuk kata “kafūrā” itu sendiri selain dikatakan berasal dari bahasa Melayu, ada juga pendapat menyatkan bahwa bahasa itu berasal dari bahasa Persia. Bagaimana menjelaskan asal-usul kata “kafūrā” ini, apakah berasal dari bahasa Melayu atau bahasa Persia? Saya secara pribadi (bukan karena saya orang terlahir di dunia “heartland” Melayu, Riau) lebih setuju pendapat yang menyebutkan bahwa kata “kafūrā” berasal dari bahasa Melayu dengan merujuk pada dua logika dan argumentasi historis.

Pertama, kata “kafūrā” sebelum diserap oleh bahasa Arab terlebih dahulu diserap oleh bangsa Persia. Oleh karena itu, Buya Hamka menyatakan bahwa kata “kāfūrā” termasuk salah satu bahasa ‘ajam yang terdapat dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu, yaitu “kapur”. (Lihat juga, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983: 268-269).

Kedua, sebelum Islam dirisalahkan hubungan perdangan antara dunia Arab dan Cina dengan melewati rute pedangan Persia, India dan Nusantara sudah berlansung lama. Belakangan, setelah Islam berkembang, disebut-sebut pada masa dinasti Umayyah terjalin hubungan perdangan dengan Melayu-Nusantara. Disebut bahwa salah satu pelabuhan sebagai bandar niaga internasional adalah Barus dengan komoditas utamanya yang paling diminati adalah “kafūrā” (kamper).

Pada abad ke-4 dalam catatan sejarah terbilang awal ditulis oleh pedagang Cina yang menyusuri perdagangan “jalur sutra” menyebutkan kamper bagian dari komuditas perdagangan sangat digemari. Selain itu kronik Cina pada masa Disnati Liang (502-557) mengungkapkan kamper yang digaitkannya dengan suatu daerah dikenal Barus. Sementara itu di Barat terdapat catatan tertua yang menyebutkan tentang kamper yang ditulis oleh Actius (502-578), seorng dokter Yunani berasal dari Mesopotamia.

Jauh sebelum data-data itu, kenyataan ini dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian berupa kapur barus. Bahkan ada dugaan kuat bahwa kamper adalah termasuk salah satu bahan untuk mengawetkan jenazah, tentu termasuk jenazah para Fir’aun di Mesir.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa di antara komoditas perdagangan yang paling disukai oleh orang Arab adalah kamper (“kafūrā”). Disebutkan bahwa kamper ini kalau diekstrak (disulin sedemikan rupa), lalu dicampurkan pada minuman akan membuat minuman itu menjadi yang sangat enak dan menyegarkan. Untuk itu, al-Qur’an mempergunakan kata “kāfūrā”yang diperuntukkan kepada orang-orang Arab agar senatiasa terdorong berbuat kebaikan sebagai balasan setelah kehidupan di dunia ini, di surga nantinya (Q.s. al-Insān [76]: 5).

Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan “kāfūrā” berikut ini: “Kāfūr is literally Camphor. It is fountain in the Realms of Bliss. It is a seasoning added to the Cup of pure, beatific Wine, which cause no intoxication (lvi.18-19) but stands for all that wholesome, agreeable, and refreshing. Comphor is cool and refreshing, and is given as a sooting tonic in Eastern medicine. In minute doses its odour and flavour are also agreeable.” (Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 1571-1572, catatan kaki no. 5835).

Dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal ṣaleh, manusia berhak mendapat kedamaian dan kebahagian hidup di akhirat kelak (Q.S. al-Baqarah [2]: 62). Bagi penghuni surga, menurut Raja Ali Haji, akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan “biologis” berupa makanan dan minuman serta seks, seperti tulisnya dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: “Demikianlah halnya mereka yang di dalam surga itu. Maka apabila sampai ia ke pintu surga, maka disambutlah oleh segala malaikat, dibawanya kepada istrinya “bidadari” di dalam mahligai itu. Maka apabila sampai ia ke dalam mahligainya bersuka-sukaanlah ia dengan segala istrinya “khawaral ‘ain” itu dan “khadam-khadamnya”, “wadan-wadan” namanya. Maka makan minumlah yang lezat-lezat serta berpeluk dan bercium dan berbelai dan berjimak dengan sepuas-puasanya hawa nafsu. Pada hal kekal senantiasa dengan demikian itu ada.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 33).

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Raja Ali Haji memberikan gambaran kehidupan surga bagi lelaki yang “full sex” (“berjimak dengan sepuas-puas hawa nafsu”) bersama istri-istrinya dan para bidadari yang konon jumlahnya sampai sembilan puluh sembilan. Selain itu, kehidupan di surga digambarkan bergelimang dengan kelezatan materi. Karenanya, untuk tetap memberikan vitalitas bagi lelaki abrār (pelaku kebajikan di dunia), Allah mengiming-imingi makanan-makanan enak dan lezat dan beraneka buah-buahan dan minuman yang sangat menyegarkan dari berbagai aliran sungai atau telaga yang berbeda-beda warna dan cita rasanya, termasuk minuman yang dicampur dengan “kafūrā”.

Penjelasan Raja Ali Haji di atas tentang kehidupan surga digambarkannya “dengan beberapa makan-makanan yang lezat-lezat dan minum-minuman dan beberapa istri daripada hurul ‘ain dengan beberapa kesukaan dan permainan yang tiada pernah dilihat oleh mata dan tiada didengar oleh telinga.” (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓām, 2-3). Bahkan hati sekalipun tidak akan pernah mampu membayangkan tentang gambaran surga yang sedemikian baik dan indahnya. Pernyataan Raja Ali Haji ini didasarkan pada hadis Rasul Allah: “Dari Abi Hurayrah ra. berkata: Rasul Allah saw. bersabda: “Aku janjikan kepada hamba-Ku sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terbetik dalam hati. Apabila kamu menginginkan maka bacalah: ‘Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih tersembunyi bagi mereka.’” (HR. al-Bukhāry, Muslīm, al-Tirmidhy, al-Nasā’i dan Ibn Mājah).

Mengingat kehidupan di surga itu sukar sekali untuk memahaminya, maka di akhir hadis di atas, Rasul Allah menyarakan agar membaca ayat: “Falāta‘lamu nafsun mā ikhfiya lahum min qurrati a‘yunin jazā’u bimākānū ya‘lamūn” (Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Sajadah [32]: 17). Artinya, karena surga termasuk “realitas tinggi” (higt reality) yang tidak seorangpun dapat memahami secara hakiki, maka al-Qur’an menggambarkan dengan cara “perumpamaan”.

Allah menjelasakan kehidupan di surga dengan mengawalinya kata “perumpaan”, sebagaimana firman-Nya: “Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka. (Q.s. Muḥammad [47]: 15).

Al-Qur’an memang memberikan gambaran yang sangat “meterial” (sangat visual) tentang kenikmatan surga yang berupa makanan dan minuman dari kebun-kebun dan sungai-sungai beserta pada bidadarinya. Akan tetapi, akhirnya Allah menegaskan bahwa riḍa Allah jauh lebih besar keindahnnya, wa riḍwān min Allāh akbar dari semua yang disebutkan sebelumnya. Firman Allah, “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.s. al-Tawbah [9]: 72).

Meskipun demikian, dari ayat di atas tidak boleh dipahami dengan mengambi kesimpulan bahwa kehidupan eskatologis di surga atau di neraka itu bersifat non-fisik. Paham semacam ini adalah konsekwesi langusung dari paham filosuf bahwa tidak ada kebangkitan jasmani. Dengan kata lain, bagi filosuf yang ada adalah hanya kebangkitan rohani (spiritual), sehingga balasan surga dan neraka juga bersifat rohani (spiritual).

Betapun, Allah tentu tidak akan mengecewakan, dan bahkan tidak akan pernah mengingkari janji-Nya terhadap orang-orang abrar (senantiasa berbuakan kebajikan). Untuk itu, Allah menyediakan kehidupan surga, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an secara “material”, termasuk “kāfūrā” sebagai minimuan yang menyegarkan dan membangkitkan vitalitias dalam melakukan hubungan seksual dengan bidadari-bidadari. Bukankah tujuan sebagai dari mereka terdorong melakukan amal-amal kebajikan lantaran ingin masuk surga yang demikian ini?

Akan lain hal bagi orang-orang tertentu yang beribadah tidak berhasrat pada kehidupan surga yang bersifat material dan visual tersebut. Bagi orang semacam ini ia tidak menginginkan kebun (jannah)nya. Namun, ia lebih mendambakan Sang Pemilik kebun (jannah)-Nya. Yang lebih dirindukannya adalah kehidupaan surgawi yang sejati dan hakiki, yaitu rida Allah yang lebih besar (wa riḍwān min Allāh akbar). Wa Allāh a’lam bi al-Ṣawāb.

 

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

“TAWḤID ḤUSŪNIYYAH:
Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi
(Kamis, 23 Maret 2017)

Negeriku, negerimu, dan negeri kita, Indonesia tidak pernah berhenti dirundung malang masalah korupsi. Belakangan ini, berita paling hanyar diramaikan dengan kasus korupsi e-KTP. Sayangnya, kebanyakan para “tikus-tikus” penguras “lumbung padi” negeri ini adalah ber-e-KTP (kolom agama): Islam. Barang kali ini adalah konsekwensi wajar dari Islam sebagai agama yang dianut mayoritas oleh warga negeri ini.

Akan tetapi, kalau kita mau “berjujur-jujur” pada diri sendiri, bahwa ini adalah indikasi, sepertinya doktrin Islam belum bisa “diandalkan” oleh penganutnya sebagai pembedung dalam mencegah prilaku korupsinya. Dapat dikatakan bahwa manusia semacam ini seperti orang Arab Badui, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, mengaku-ngaku telah beriman, padahal baru dalam kategori Islam sebab iman belum meresap dalam hatinya (QS. Al-Hujurat [49]:14-15).

Orang Islam nominal yang tidak beriman akan menjadi “benalu”, dan bahkan bisa menjadi “racun” dalam kehidupan berbangasa. Dengan demikian, sebagai agama yang paling banyak/terbesar dianut, bagaimana Islam bisa mengantar negara mencapai tujuannya. Padahal, Cak Nur pernah berkata bahwa “Kemenangan Islam adalah kemenangan bagi semua golongan.” Artinya, kalau idealitas ajaran Islam tidak dipahami, dihayati dan diamalkan dengan penuh keimanan, maka kemenagan Islam dalam memberantas korupsi, layaknya seperti “panggang jauh dari api”.

Parahnya masalah korupsi di negeri ini, sepertinya sulit untuk mencegah/mengatasinya kalau kita hanya mengandalkan dua tawhid dalam doktrin Islam, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah”. Untuk mencegah maraknya korupsi itu, karenanya, perlu di buat tawhid “baru”, yaitu “Tawḥid Husūniyyah”. Mohon maaf kelancangan pemikiran ini, sekali berharap saran, koreksi atas kekeliruan, kesalahan tulisan tentang tawhid dimaksud, berikut ini.

Pengertian “Tawḥīd Ḥūsūniyyah

Kata “tawḥīd”, menurut Nurcholish Madjid (Islam, Doktrin dan Peradaban, 1992: 72), secara harfiah tidak terdapat dalam kitab suci al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an ialah kata “aḥad” dan “wāḥid” ). Kata “tawḥīd” adalah istilah teknis dalam Ilmu Kalam (yang diciptakan oleh para mutakallimīn [atau ahli theologi dialektis Islam]). Term “tawḥīd” termasuk dalam kata benda kerja (aktif) yang merupakan derivasi dari kata “waḥīd” yang artinya “satu” atau “esa”. Jadi, makna harfah “tawḥīd” ialah “menyatukan” atau “mengesakan”. Dalam konteks ini, kata “tawḥīd” dimaksudkan sebagai paham “me-Maha Esa-kan” Allah atau paham “Monotheisme”, yaitu bahwa Allah (hanya) satu-satunya Wujud; tidak wujud, selain Allah (lā wujūd illa Allah).

Term ḥusūniyyah adalah derivasi dari kata dasar “ḥasana” yang bermakna “baik”; atau satu akar kata dengan “iḥsan” yang berati “berbuat terbaik”. Dan pada tingkatan lebih tinggi, iḥsan berarti bahwa seseorang akan berbuat yang baik dan bahkan yang terbaik karena ia selalu (merasa) dalam pengawasan dan bimbingan Allah dan, karenanya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, pengertian tawḥīd ḥusūniyyah adalah sebuah “kesadaran ketuhanan” (God-consciousness), yaitu bahwa Allah satu-satunya Pencipta Yang Terbaik dan satu-satunya Pengawas Yang Maha Hadir agar manusia senantiasa (pula) berbuat yang terbaik.

Term “tawḥīd ḥusūniyyah ” dimaknai sebagai kelanjutan logis dan hirarkis dari dua jenis tawhid yang telah dirumuskan oleh ulama salafiah sebelumnya, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah”. Term tawḥīd ḥusūniyyah sendiri dimaksudkan sebagai pengganti dari term “asmā’ wa sifāt” yang telah diciptakan sebagai bagian tak terpisahkan dari doktrin tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah. Ada dua pertimbangan, setidakanya, kenapa term asmā’ wa sifāt perlu diganti dengan term tawḥīd ḥusūniyyah.

Pertama, secara etimologis (lughawi [bahasa]) term asmā’ wa sifāt tidak satu “timbangan” (wasan) dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah. Tambahan pula, berbeda dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah, term asmā’ wa sifāt sulit untuk ditambahkan di depannya kata “tawḥīd”. Maka dengan sendirinya akan sulit dipahami kalau kita menuliskan/ mengatakan “tawḥīd asmā’ wa sifāt”

Kedua, secara terminologis (istilāḥ) term asmā’ wa sifāt memiliki konsep dan kandungan pemahaman yang terlalu luas, dan pada gilirannya tidak gamblang, sebagaimana tercemin dari term-term itu sendiri. Kata asmā’ mengandung makna konotasi pada nama-nama baik (asmā’ al-ḥusnā) Allah yang jumlahnya 99; dan kata sifāt boleh jadi mengacu kepada sifat-sifat Allah yang jumlahnya 20, sebagaimana diajarkan dalam doktrin teologis Asy’ariyah (Ahl Sunnah wa al-Jamā‘ah).

Latar BelakangTawḥīd Ḥusūniyyah

Latar belakang lahirnya istilah tawḥīd ḥusūniyyah –sebagai kelanjutan dari dua tawhid sebelumnya– karena konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” melulu pada konsep hubungan manusia dengan Tuhan (ḥabl min Allāh) yang bersifat ukhrawi dan bermuara semata-mata pada keshalehan individual. Kemudian, kedua jenis konsep tawh}id itu, sepertinya tidak (atau kurang) menekankan kaitannya dengan hubungan dengan manusia (ḥabl min al-nās) dan terlepas dari konteks kehidupan duniawi serta mengabaikan kesalehan sosial. Pernyataan ini sesuai dengan pengertian “tawḥīd rubūbiyyah” itu sendiri, yaitu seorang berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Pemelihara; dan pengertian tawḥīd ulūhiyyah itu sendiri, yaitu seorang berkeyaninan bahwa Allah adalah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian.

Pada dasarnya, tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah meskipun berhirarkis, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan dan jalin-berkelindan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” dipahami secara terpisah dan terlepas (tidak ada hirkisitas yang berkesinambungan) satu dengan yang lainnya, maka konsep tawhid itu menjadi tidak utuh dan salah. Dalam kenyataan hidup, misalnya, orang-orang kafir Quraish (hanya) memiliki tawḥīd rubūbiyyah (meyakini bahwa Allah adalah satu-satu Pencipta dan Pemelihara. Q.s. al-Zumar [39]: 38]; atau Q.s. al-Ankabu>t [26]: 63). Namun, mereka tidak memiliki tawḥīd ulūhiyyah (bahwa Allah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian), sehingga mereka menyembah selain Allah. Bahkan sesembahan mereka itu, diyakininya juga diciptakan Allah (Q.s. al-Zukhruf [43]:87), yaitu al-Lāt, al-‘Uzza al-Manāt (Q.s. al-Najm [53]: 19-22).

Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, bagi siapapun baik masyarakat manusia pada umumnya, maupun masyarakat yang bercampur kepercayaannya kepada Allah pada khususnya, mereka harus melakukan proses pembebasan, yaitu pemurnian kepercayaan kepada Allah dengan dua cara. Pertama, dengan pemusatan keperacayaan hanya kepada Allah dengan penegasan bahawa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak dan transendental. Menurut Ibn Taymiyyah, cara pemurnian kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd rubūbiyyah yang terangkum dengan baik dalam Q.s. al-Ikhlās [112].

Kedua, dengan melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu dengan penegasan bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak jadi sesembahan. Sekali lagi, menurut Ibn Taymiyyah, cara pembebasan kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd ulūhiyyah yang terangkum dengan tepat dalam Q.s. al-Kāfirūn [109]. Sedemikian penting kedua surah pendek itu, maka, menurut sejumlah hadis, Rasulullah saw. paling sering membacanya dalam shalat. (Islam, Doktri dan Peradaban: 80)

Proses pemurnian kepercayaan kepada Allah, karenanya, tidak boleh berhenti hanya sampai pada “tawḥīd rubūbiyyah” dan tawḥīd ulūhiyyah, tetapi harus pula diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tawhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa Hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik. Kalau tawḥīd ulūhiyyah tidak diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah, maka seseorang hanya memiliki kesalahan individual yang berorientasi ukhrawi, tanpa memiliki kesalehan sosial yang berorientasi duniawi.

Islam memang mengajarkan bahwa sesorang Muslim dituntut untuk mengejar kebahagian hidup di akhirat. Akan tetapi, Islam segera mengajarkan bahwa jangan sampai melupakan kebahagian hidup di dunia ini. (Q.s. al-Qasās [28]: 77). Dengan demikian, seseorang niscaya memaknai kehidupan di dunia ini sebagai “jembatan” menuju akhirat (al-dunyā masra‘ah al-ākhirah). Artinya, untuk bahagia di akhirat (dengan modal kes}alehan individual) terlebih dahulu harus bahagia di dunia (dengan modal keshalehan sosial).

Untuk itu, kebahagian yang paling hakiki di dunia ini adalah yang beralaskan pada kecerdasan emosional dan spritual, yaitu ketika kita bermafaat (memberi kebahagian) bagi sesama manusia. Sehingga, karenanya, Nabi saw. menyebut manusia itu: “Khayr al-nās yanfa‘u li al-nās” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermafaat kepada manusia). Makanya, manusia tawḥīd ḥusūniyyah semacam ini akan merahi kebahagian di dunia (fi al-dunyā hasanah) dan sekaligus akan menggapai kebahagian di akhirat (fi al-ākhirah hasanah), sebagaimana sering dipanjatkan kepada Allah di setiap akhir doa [pemungkas] seusai melaksanakan s}alat.

Landasan Tawḥīd Ḥusūniyyah

Konsep tawḥīd ḥusūniyyah dibangun beralas pada asas-asas doktrin Islam, yaitu Firman Allah dan Hadis Nabi. Pertama, salah satu sifat Allah ialah ih}san, yaitu membuat semua ciptaan-Nya baik, dan sebaik-baiknya. Di antara Firman Allah tentang ini: “Dialah yang membuat semua yang diciptakan-Nya baik” (Q.s. al-Sajadah [32]:7); “Dan Dialah yang memberi bentuk kepadamu sekalian, kemudian Dia membuat bentukmu baik” (Q.s. al-Ghafīr [40]: 64; juga Q.s. al-Taghābun [64]:3).

Kemudian, Allah mempertegas ayat-ayat ini dengan memerintahkan manusia sebagai khalifah di bumi (khalīfah fī al-arḍ) agar meneladani Allah, firman-Nya: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allah ilayka wa la tabghi al-fasād fi al-arḍ inna Allah la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” (Q.s. al-Qasās [28]: 77).

Berikutnya, ayat-ayat tersebut ditopang hadis Qudsi yang menganjurkan: “takhallaqū fī akhlaqi Allāh (berakhlaklah engkau sebagaimana akhlaknya Allah). Diantara perbuatan iḥsan (kebajikan) itu adalah berinfak (apalagi dalam kondisi kurang punya), mampu manahan amarah dan sekaligus memberi maaf. (Q.s. ‘Ali Imrān: [3]: 134. Pada ayat lain, Allah berulang-ulang menyebutkan kaitan antara keimanan dan ketakwaan yang diringi dengan perbuatan kebajikan. (Q.s. al-Maidah [5]: 93).

Kedua, hadis Nabi [hadis nomor ke-2 dalam kumpulan hadis ‘Arba‘īn], terutama menyangkut pertanyaan malaikat Jibril tentang iḥsan: “Akhbirny ‘an al-iḥsan?” Kemudian, Nabi Muhammad saw. menjawab: “‘an ta‘bud Allah ka’annaka tarāh fa ‘illam takun tarāh fa innahū yarāka” (Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinilah bahwa Dia (yang) melihatmu. HR. Bukhari-Muslim). Pada hadis senada lainnya disebutkan: “‘An takhsya Allah ka’annaka tarāh fainnaka in la takun tarāhu fainnahū yarāk” (takutlah kepada Allah sekan-akan kamu melihatnya, maka sesungguhnya kamu tidak meliaht-Nya, maka sungguh Dia melihatmu. (HR. Bukhari-Muslim).

Term “iḥsan” itu, sebagaimana termaktub dalam rentetan hadis riwayat Bukhari-Muslim di atas, adalah kelanjutan hirarkis dan logis dari dua pertanyaan malaikat Jibril sebelumnya, yaitu: “mā huwa al-īmān” yang kemudian dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Iman”; dan “mā huwa al-islām” yang belakang dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Islam”. Artinya, kesadaran ihsan sejatinya baru bisa ada dalam diri seseorang kalau kesadaran iman dan islam sudah dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa inti nilai-nilai yang terdapat dalam konsep iman dan islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai iḥsan.

Demikian pula konsep simpul-simpul keagamaan pribadi, yaitu “taqwa”, “tawakal” dan “ikhlas” menjadi kualitas-kualitas seseorang yang beriman kepada Allah yang tidak bisa dilepaskan dari tawḥīd ḥusūniyyah. Jadi, manusia yang memiliki tawḥīd ḥusūniyyah, taqwa menjadi kesadaran berbuat baik demi ridha Allah; tawakal menjadi sumber kekuatan jiwa dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dan persoalan hidup, terutama dalam perjuangan memperoleh ridha-Nya; Ikhlas menjadi ruh segala amal ibadah yang sangat rahasia dalam diri seseorang, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan, terutama oleh Allah Yang Maha Tahu (al-‘Alīm).

Demikinan pula dengan simpul-simpul keagamaan sosial, misalnya, terutama keadilan (‘adl) juga memiliki hubungan erat dengan keimanan. Untuk itu, keadilan imani terkait erat dan jalin-berkelindan dengan iḥsan, sehingga Allah memeritahkan keduanya secara bersamaan untuk dilaksankan terhadap sesama manusia dengan setulus-tulus dan semurni-murninya (Q.s. al-Nahl [16]: 90), karena kita melakukan itu di hadapan Allah untuk menjadi saksi bagi-Nya (Q.s.al-Nisā [4]: 136). Bagi Allah segala perbuatan dan kenyataan serta detak hati nurani tidak akan pernah dapat di rahasiakan (Q.s. al-Māidah [5]: 8).

Signifikansi “Tawḥid Husūniyyah”

Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin s}alat lima waktu, naik haji ke Mekkah sampai dua-tiga kali serta ‘umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah ‘umrah, haji, dan terutama shalat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari tawḥīd ulūhiyyah. Akan tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga shalatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingukangannya.

Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu “kelihatan” shaleh secara individual sewaktu di masjid (salatnya begitu khusyu, berdoanya raja‘ wa khawf [harap dan cemas] kepada Allah) ; atau sewaktu di haramayn, Mekkah dan Madinah (seluruh rangkaian ibadah haji/’umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya). Namun, setelah pulang dari shalat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah”-nya di tinggal dalam masjid atau di depan Ka’bah. Artinya, ia tidak lagi memiliki tawḥid ḥusūniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung (kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok), kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

Seandainya, (sekali lagi, ini seandainya) orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau depan Ka’bah di Mekkah sana, dan dalam kalbunya tertanam tawḥid ḥusūniyyah, tentu ia selalu merasa diawasi Allah kapan, dimanapun serta bagaimanapun Allah senantiasa Hadir dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya; dan/ atau kalau mau disuap ia akan memenafikkan karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Sayangnya, ia hanya pengandaian, dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka penyegahan korupsi tinggal agan-angan yang absurd dan utopis.

Ironisnya lagi, lambat-laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” (hatinya tidak lagi “nurani” [bersifat cahaya-terang], tetapi sudah “zulmāni [bersifat gelap-gulita]). Dengan begitu, ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakuknannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi “baik” dan “halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang pergunkan naik haji dan ‘umrah berulang-ulang kali itu buat dirinya “halal-halal” saja.

Padahal, hakekat tujuan ibadah mahdah, terutama s}alat adalah agar manusia menjadi baik dan terhidar dari perbuatan keji dan mungkar (inna al-ṣalah tanhā ‘an al-fahshāi wa al-munkar [Q.s. al-Ankabut [29]: 45]). Bahkan bagi orang yang shalat sekalipun, tetapi tidak memiliki tawḥid ḥusūniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka (“wayl li al-muṣallīn; al-lathīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn; al-lathīna hum yurā’ūn; wa yamnā‘ūn al-mā‘ūn (maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang lalai terhadap s}alatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan. (Q.s. al-Mā‘ūn [107]: 4-7).

Seseorang yang tidak memililki tawḥid ḥusūniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khushu’ dalam salatnya, tetapi pada sisi lain rakus korupsi dalam jabatannya. Meskipun segara harus ditambahkan, bahwa “khushu’ dalam salat di sini bukan dalam makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekedar dipermukaan dengan motivasi ingin pamer, riyā (ingin dilihat orang lain). Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riyā.”

Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran tawḥid ḥusūniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam berbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang wartawan untuk konferensi press agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Dan sifat “kedermawannya” itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legeslatif dan eksekutif.

Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Q.s. al-Baqarah [2]: 271). Untuk itu, sesorang yang beriman dengan memiliki tawḥid ḥusūniyyah dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk merahi ridha atau “wajah” Allah. (Q.s. al-Baqarah [2]: 272; al-Insān [76]: 9). Konsekwensi logisnya, manusia tawḥid ḥusūniyyah tidak lagi berada pada tataran, meminjam term dalam tawasuf, “takhalli”, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran “taḥalli”, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (al-ma‘ruf dan al-khayr).

Akhir Kata

Dalam mencegah dan memberantas kejahatan korupsi, penegak hukum, khususnya lembaga KPK mesti tegas menjatuhkan hukuman seberat-beratnya, kalau perlu dengan hukuman mati. Meskipun demikian, seorang difigur intleketual Melayu-Riau, Raja Ali Haji menyarankan kepada penegak hukum agar lebih mengutama penyegahan kejahatan korupsi ketimbang pemberantasannya. Pencegahan yang dimaksud Raja Ali Haji adalah lewat pendidikan dan internalisasi nilai-nilai, seperti “bermalu” (etika-personal), “beradab-bersopan” (etika-sosial) dan “takut akan Allah” (etika-teologis).

Dengan internalisasi nilai-nilai ini terutama yang disebut terakhir (takut pada Allah) menjadikan manusia senantiasa berbuat benar dan baik lantaran ia selalu merasa dalam pengawasan Allah. Dan pada gilirannya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, orang bersangkutan telah memiliki “puncak” tawh}id, yaitu “tawḥīd ḥusūniyyah”, setelah tawḥīd ulūhiyyah dan tawh}id rububiyyah secara berturut-turut.

Tanpa pencegahan semacan itu kejahatan korupsi akan terus berulang dan merajalela. Pada gilirannya, para penegak hukum akan direpotkan penyengahan korupsi, terlebih-lebih pemberantasannya. Dalam konteks ini, mari kita tutup dengan mengutip penyataan Raja Ali Haji dalam Thamarāt al-Muhimmah: “… karena takut akan raja juga, bukannya karena takut akan Allah Ta’ala atau beradab dan bersopan dan bermalu, maka apabila alfa sedikit kawal raja dan jaga raja, kembali pula ia semula pada pekerjaannya demikian halnya.”

Sebaliknya, kalau mereka memiliki etika-personal, etika-sosial dan etika-teologis atau tawḥīid ḥusūniyah serta memiliki akal yang dapat mengetahui benar dan salah; dan memiliki hati nurani yang dapat membendakan baik dan buruk, niscaya mereka sendirilah yang akan mengontrol dan mencegah dirinya untuk melakukan kejahatan dan berpuatan tercela lainnya. Artinya, kata Raja Ali Haji, “tiada susuh dan payah atas raja-raja dan orang besar-besar membuangnya” — [memberantas kejahatan – penulis].

Wa Allah ‘alam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-hidayah illā bi Allah.

Si al-Fakīr

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Dari khalifah Rasul ke Khalifah Allah: Sebuah Anomali Gelar Kekuasaan dalam Sejarah Islam?

Dari khalifah Rasul ke Khalifah Allah: Sebuah Anomali Gelar Kekuasaan dalam Sejarah Islam?

Term khalīfah jamaknya adalah khulafā’, khalāif. Term ini secara leksikon dapat berarti “datang setelah” atau “menggantikan”. (Lihat, Luis Ma’luf Yusai, Al-Munjīd fī al-Lugha wa al-‘Alam, 1975: 192). Istilah khalīfah pertama kali muncul di Arabia pra-Islam dalam suatu prasasti Arab pada abad ke-6 M. Pada prasasti itu tampak menunjuk kepada semacam raja muda atau letnan bertindak sebagai pemilik kedaulatan yang berada di tempat lain.

Kata khalīfah muncul dua kali dalam al-Qur’andalam dua konteks, yaitu pertama, mengacu kepada Nabi Adam (baca: surat al-Baqarah: 28); kedua, mengacu kepada Nabi Daud (baca: Q.s. [37]: 257). Adapun surat yang disebut belakangan, muncul dalam konteks dengan membawa kesan kuat mengenai kedaulatan, “Kami telah menciptakan khalīfah di atas muka bumi ini,” kata Allah kepada Nabi Daud, “hakimilah manusia secara adil.” Jika ditelusuri, bagi kaum Muslim, Daud adalah nabi sekaligus raja yang mengkombinasikan baik otoritas religius maupun otoritas politik.

Kata khalīfah juga muncul beberapa kali dalam al-Qur’an dalam dua bentuk pluralnya, yaitu khulafā’ dan khalā’if. Kedua bentuk plural tersebut muncul dalam konteks dimana keduanya dapat diterjemahkan menjadi “para pengganti”, kadang-kadang berarti “para ahli waris” dan “para pemilik” atau bisa juga menjadi “raja-raja muda”. Kekhalifahan historis Islam, muncul pertama kali dan sejauh ini yang paling besar dan penting dalam institusi kedaulatan, bermula setelah wafatnya Rasulullah, dan pengangkatan Abu Bakar sebagai penggantinya dalam komunitas Muslim di Madinah. Abu Bakar adalah merupakan khalifah pertama dari rangkaian panjang khalifah. (Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicaco: University Chicaco Press, 1989; 44).

Setelah ‘Umar ibn Khattab menggantikan Abu Bakar Shiddiq, ia tidak berkenan dipanggil khalifah Rasul Allah, apalagi khalifah Allah dalam pengertian menerima kekuasaan dari Allah. Namun, belakangan ia setuju dan senang dipanggil dengan sebutan ‘Amir al-Mu’minin”. Untuk itu, ada sebuah pembicaraan menarik yang direkam dalam sejumlah versi oleh penulis Arab belakangan, kurang lebih isinya seperti ini: “Sewaktu Abu Bakar menggantikan Nabi, ia dipanggil sebagai khalīfah Rasūl Allāh, wakil Rasul Allah. Kemudian ‘Umar ibn Khattab meneruskan [atau juga menggantikannya, dalam bahasa arabnya istakhlafāhu]. Seseorang datang menghampiri ‘Umar dan menyebutnya sebagai khalīfah Allāh, wakil Allah. Akan tetapi ‘Umar membentaknya, dan lantas berkata: “Itu Daud.” Orang itu kemudian menyebut ‘Umar khalīfah Rasūl Allāh, wakil Rasul Allah, dan ‘Umar berkata: “Tapi itu Abu Bakar, yang sekarang telah wafat.”

Kemudian, orang tersebut menyebutnya sebagai khalīfah khalīfah Rasūl Allāh, (wakil-wakil Rasul Allah). Lalu ‘Umar berkata, “Nah, itu baru tepat, tetapi itu akan berkembang lebih panjang lagi nantinya.” Orang itu berikutnya bertanya, “ Lalu kami harus menyebut anda apa?” ‘Umar menjawab, “Kau adalah orang yang beriman, dan aku adalah komandanmu, maka panggillah aku ‘komandan’ kaum beriman.” (Bernard Lewis, The Political Language of Islam, (Chicaco: University Chicaco Press, 1989; 44; Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: The Macmillan Press LTD, 1970: 179).

Dalam riwayat lain, menurut Imam al-Nawāwi, bahwa gelar Amīr al-Mu’minīn pertama kali diucapkan oleh Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah ketika mereka berdua datang menemui ‘Umar sebagai utusan dari Irak. Adi bin Hatim dan Labid bin Rabi’ah menuju Madinah dan sesaat setelah sampai di Masjid Nabawi, mereka bertemu dengan Amr bin ‘Ash. Salah seorang di antara mereka berkata, “Mintakan kami izin untuk menemuni Amirul Mukminin.” Amr bin ‘Ash berkata, “Demi Allah, nama yang kalian sebutkan sangat cocok untuk Umar.”

Kemudian, Amr bin ‘Ash masuk menemui Umar, dia berkata, “Assalamu ‘Alaikum, ya Amirul Mukminin.” Umar menjawab, “Apa yang terbetik di benakmu hingga kamu menyebutkan nama itu?” Beri tahukanlah kepadaku apa yang membuatmu memanggilku dengan nama seperti itu.” Amr bin ‘Ash memberi tahu prihal yang terjadi, lalu ia berkata, “Engkau adalah amir (pemimpin), adapun kami adalah kaum mukminin. Maka jadilah sebutan Amirul Mukminin bagi Umar. Sejak saat itulah, surat-surat yang dikirim Umar Ibn Khattab menggunakan gelar itu. (Lihat, Imam al-Sayuti, Tarikh al-Kulafā’, (Jakarta: Hikmah, 2010: 139-140).

Dalam tradisi politik Islam klasik terdapat gelar-gelar sanjungan berlebih yang disematkan kepada penguasa, yaitu: “khalīfah Allāh fī al–arḍ” (wakil Allah di bumi) dan “zil Allāh ‘alā al-arḍ” (bayang-bayang Allah di bumi) atau “zil Allāh ‘alā al-‘ālam”(bayang-bayang Allah di alam). Gelar-gelar yang berlebihan ini tidak pernah dipergunakan pada masa kekhalifahan Khulāfa al-Rashidūn. Bahkan ‘Umar Ibn Khattab, seperti disebut sebelumnya, menolak dengan membentak seseorang karena menyebutnya dengan gelar “khalīfah Allāh” (wakil Allah). Gelar khalīfah Allāh ini, seperti dikutip Philip K. Hitti dari al-Mas‘udi, disematkan untuk kali pertama pada khalifah al-Mutawakkil (847-861) dari Dawlah Abashiyah (lihat, Philip K. Hitti, History of the Arabs: 317). Akan tetapi, Lewis menyodorkan data berbeda lebih dini yang menyebutkan bahwa gelar khalīfah Allāh pertama kali digunakan oleh ‘Abd al-Malik bin Marwan (687-705), khalifah kelima Dinasti ‘Umayyah (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam,45-46; Ovamir Anjum, Political, Law and Community in Islam Thought, 2012: 47).

Pada era sebelumnya, klaim khalifah sebagai amanah Allah disimbolkan dengan “khalifah Rasul” pada masa khulafa’ al-rasyidun, khususnya khalifah Abu Bakar Siddiq. Kemudian berubah/diganti menjadi “khalifah Allah” pada era Abashiyah atau pada era sebelumnya yang dapat disebut sebagai sebuah anomali dalam sejarah politik Islam dengan pengaruh yang sangat kental dari Persia (John L. Esposito, Islam the Straight Path, Oxford: 53). Sekiranya penguasa berdaulat tertinggi dalam politik kamunitas Muslim adalah khalifah, tetapi masalahnya adalah ia khalifah siapa: apakah khalifah Rasul atau Allah? Dalam literatur bidang hukum dan politik Sunni, menurut Lewis, tidak ada pernyataan resmi menyebutkan penguasa itu sebagai khalifah Allah. Dengan kata lain, pandangan ahli hukum dan pemikir politik Islam dengan tegas menyatakan bahwa penguasa yang berdaulat itu adalah khalifah Rasul, dan sama sekali bukan khalifah Allah (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam,44-45).

Gelar khalīfah Allāh (wakil Allah) itu, misalnya muncul dalam syair-syair puji-pujian yang ditujukan kepada khalifah-khalifah Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasyiah. Begitu pula, Gelar khalīfah Allāh (wakil Allah) yang terdapat pada prasasti dan mata uang negara, misalnya di gunakan oleh khalifah Bani Umayyah, ‘Abdul Malik (687-705, dan khalifah Abbashiyah, al-Ma’mun (813-833) digunakan secara tentatif dan tidak resmi. Dengan bahasa lain, prasasti dan mata uang dengan gelar kata khalīfah Allāh  itu digunakan secara umum hanya untuk menggambarkan bahwa penguasa sebagai khalifah, tanpa menyatakan dari apa dan siapa ia bertindak sebagai khalifah, dan untuk siapa ia menjalankan kekhalifahan tersebut (Lihat, Bernard Lewis, The Political Language of Islam, 45).

Gelar untuk menopang “aurah ilahiah” seorang penguasa diberi pulah tambahan menjadi khalīfah Allah fī al-arḍ, dan atau penambahan gelar yang terinspirasi dari Persia, yaitu “zil Allāh ‘alā al-‘ālam” (bayang-bayang Allah”. Selain itu, menurut Abdullah Ahmad Al-Na‘im, Dinasti Umayyah juga menggunakan gelar “Amin Allāh” dan gelar “Nā’ib Allah”. Gelar-gelas itu semakin menunjukkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki  seorang khalifah. Untuk terus mengukuhkan tanda otoritas khalifah, gelar-gelar itu selalu diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah Jum‘at di semua wilayah yang mereka kuasai (Abdullah Ahmad al-Na‘im, Islam dan Negara Sekular Menegosiasikan Masa Depan Syariah: 100).

Gelar khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam dengan jelas menandai suatu klaim terhadap semacam hak ilahiah dari kerajaan, yaitu sebuah otoritas yang diperoleh langsung dari Allah (Bernard Lewis, The Political Language of Islam: 46).  Dengan kata lain, penggunaan bahasa agama yang tercermin dari gelar-gelar khalifah tersebut menjadi bahasa politik, menurut Azra, tidak jarang oleh penguasa Muslim dimanipulasi dengan memberikannya muatan atau menyelubunginya dengan aura keagamaan. Dengan begitu, penguasa dapat memperoleh tambahan legitimasi dan otoritas keagamaan yang sering dipandang sakral oleh masyarakat pada umumnya (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis,  Bahasa Politik Islam: xix-xx).

Dalam konteks apa yang disebutkan Azra di atas, penguasa dalam sejarah kekhalifahan Islam, selain ada yang bersifat despotik dan lalim –ada di antara yang menyebut dirinya khalifah lslam itu– tidak jarang dengan pongahnya melabrak doktrin-doktrin agama. Pada Dinasti  Umayyah dan Dinasti Abbasyiah, misalnya, sekedar menyebut beberapa prilaku bejat dan tidak senonoh, ada khalifah yang penggemar/kecanduan minuman arak; ada khalifah yang menjadi al-Qur’an sebagai sesaran tembakan anak panah; ada pula khalifah yang memiliki gundik sampai angka 4.000; dan ada khalifah yang memiliki prilaku homoseksual (Faraq Fauda, Kebenaran yang Hilang Sisi Kelam Praktek Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslim: 2003; Phillip K. Hitti, History of the Arab: 1970).

Gelar penguasa yang agung, seperti khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam, misalnya dengan protokol istana yang ketat, dan etika ketika akan menghadap penguasa, rakyat diharuskan menundukkan kepala, dan bahkan diharuskan mencium lantai sebagai simbol kekuasaan khalifah yang absolut (John L. Esposito, Islam the Straight Path, Oxford: Oxford University Press, 1991: 53). Begitu pula, persepsi anugerah “keilahian” penguasa sebagai khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam berlaku pada tradisi politik Melayu Nusantara, misalnya bahwa rakyat diharuskan mencurahkan seluruh “bakti” dan ketaatannya raja. Daulat raja harus dijunjung tinggi sebagai wujud ketaatan dan pengabdian rakyat kepada raja semata-mata.

Sebaliknya, rakyat jangan sekali-kali mendurhaka kepada rajanya kalau mereka tidak mau ditimpa tulah (kemalangan dan kebinasaan yang tragis) dalam hidup. (Lihat, Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara,90; lihat juga, T.D. Situmorang dan A. Teeuw, Sejarah Melayu:, 26). Berawal dari konsep “keilahian” penguasa sebagai khalīfah Allāh al-arḍ dan zil Allāh ‘alā al-‘ālam, sehingga dalam teks-teks Melayu Nusantara ada ungkapan-ungkapan bahwa dengan melihat wajah raja sama artinya dengan melihat “wajah” Tuhan; melayani raja sama artinya dengan melayani Tuhan; dan melawan raja sama artinya dengan mendurhakai Tuhan (Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu: 62).

Gelar “khalīfah Allāh al-arḍ” (wakil Allah di bumi) dan/atau “zil Allāh ‘alā al-ālam” (bayang-bayang Allah di alam) dalam kekhalifahan Islam berpengaruh luas pada masa-masa awal pemerintahan kesultanan Islam Melayu-Nusantara. Gelar “zil Allāh fī al-arḍ” atau “zil Allāh fī al-ālam” ini, menurut Azra, sedari awal telah dinisbatkan kepada penguasa kerajaan/kesultanan Islam di Nusantara. Gelar-gelar tersebut, misalnya disandang oleh Merah Sulu, raja Pasai (dalam Hikayat Raja-raja Pasai); Muzaffar Syah, sultan Malaka (dalam Undang-undang Malaka dan Sulālat al-Salāṭīn); begitupun sultan-sultan Aceh menggunakan gelar itu (dalam Bustān al-Salāṭīn) (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara, 91-97; Lian Yock Fang (ed.), Undang-Undang Malaka, 1976: 64).

Gelar dan entitas politik Melayu Nusantara seperti disebutkan di atas, menurut Azra, jelas dipengaruhi penguasa-penguasa dari Timur-Tengah. Kenapa sejumlah raja-raja di Melayu Nusantara mendambakan kuat untuk mendapatkan gelar “sultan” dari otoritas politik-keagamaan tertentu di Timur-Tengah? Azra menyebutkan bahwa para raja itu selain ingin mendapatkan legitimasi tambahan bagi kekuasaannya, mereka juga berhasrat untuk mensosialisasikan diri dengan pusat-pusat otoritas politik dan keagamaan lslam dari Timur-Tengah (Azyumardi Azra, Renaisans Islam Asia Tenggara: 92).

Konsepsi tradisi pemikiran politik di alam Melayu tentang sebutan raja/ sultan sebagai “zil Allāh ‘alā al-arḍ” atau “zil Allāh fī al-ālam” tidak saja berlaku pada masa awal kerajaan Islam (abad ke-15). Akan tetapi, belakangan (awal abad ke-20) gelar itu masih dianut, misalnya Jurnal Al-Imām, jurnal menyuarakan pembaharuan di alam Melayu, tetap mengakui penguasa sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi (zil Allāh ‘alā al-arḍ). Jurnal ini mempublikasikan, umpamanya, sebuah artikel membincangkan teori “Raja sebagai Bayang-bayang Tuhan di Bumi”, meskipun dengan menambahkan beberapa kualitas kepemimpinan sangat ideal.

Jurnal Al-Imām yang terbit di Singapura selama rentang waktu 1906-1908 ini menyebutkan: “Sesungguhnya, memang benar, raja-raja adalah bayang-bayang Tuhan di bumi. Akan tetapi, doktrin ini ditujukan kepada sifat dan kualitas tertentu, yaitu ilmu pengetahuan, kecerdasan, keberanian, keadilan, kesabaran, tingkah laku baik, simpati pada yang lemah, cinta pada rakyat, tangkas dalam administrasi dan politik, memahami sejarah raja-raja masa lalu. Secara lahiriah, karena dunia ini adalah warisan dari kerajaan-kerajaan mereka, kemudian pergantian mereka tetap diingat oleh kerajaan berikutnya.”

Pandangan jurnal “pembaharuan” yang rada-rada “konservatif” ini, menurut Abu Bakar Hamzah, harus mempertimbangkan waktu, situasi dan lingkungan mengitari terbitnya jurnal ini. Misalnya, Al-Imām terlalu memuji raja-raja dan sistem pemerintahan monarkhi. Dalam prakteknya, jurnal ini mengulas secara khusus Sultan Abu Bakar, Sultan dan Raja dari Negeri Johor sebagai kerajaan ideal di antara pemerintah dan Raja-raja Melayu di kawasan ini (Abu Bakar Hamzah, Al-Imam: Its Role in Malayu Society 1906-1908: 86-87).

Penggunaan gelar-gelar yang agung dan unsur-unsur tradisi agama dalam menyusun teori tentang “keilahian raja”, sejatinya tidaklah mencerminkan ajaran-ajaran agama. Akan tetapi, lebih tepat dikatakan sebagai penyalagunaan gagasan-gagasan agama itu sendiri demi kepentingan penguasa dan kekuasaan (Sharifah Maznah Syed Omar, Mitos dan Kelas Penguasa Melayu: 60-61). Dengan bahasa yang lebih tegas,  Azra mengungkapkan bahwa “…. Meskipun sistem dan perilaku politik yang mereka jalankan tidak selalu selaras dengan prinsip dasar al-Qur’an tentang politik.” (Azyumardi Azra, “Pengantar: Bahasa Politik, Politik Bahasa dan Agama dan Kritik Terhadap Lewis” dalam Bernard Lewis,  Bahasa Politik Islam: xix-xx).

Sikap dan pandangan mempergunakan gelar sanjungan yang berlebihan kepada penguasa (khalifah, sulthan dan raja), sebagaimana disebutkan di atas, adalah tidak berdasarkan dari doktrin agama pada umumnya, dan teladan dari Rasūl Allāh pada khususnya. Pemikiran semacam ini dianut oleh al-Ghazāli yang beralas dari hadith Nabi Muhammad saw. Dalam suratnya kepada Nizam al-Dīn Fakhr al-Mulk, al-Ghazāli menulis: “Ketahuilah bahwa gelar-gelar yang memuji yang dikenakan atas manusia adalah ciptaan setan, dan karenanya tidak seorang muslim pun yang saleh boleh menerimanya. Rasul Allah saw. bersabda: “Saya, sebagaimana juga orang-orang yang rendah hati dan takwa di antara ummatku, membenci gelar-gelar dan julukan-julukan yang muluk-muluk.” (Abdul Qayyum (ed.), Surat-Surat Al-Ghazali kepada Para Penguasa, Pejabat Negara dan Ulama Sezamannya: 1988: 37 dan 53).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Doktrin “Taskhir”: Keadaban Manusia Terhadap Alam

Doktrin “Taskhir”: Keadaban Manusia Terhadap Alam

Masih ingatkah kita tembang lagu gubahan group band fenomenal di era tahun 1970-an, Koes Plus? Lagu bertajuk “Lautan Susu”, satu di antara lagu-lagu Koes Plus sangat populer dan hampir setiap orang yang hidup masa-masa itu mampu melantukannya dengan baik. Syair lagu itu melukiskan dengan benar secara metafor, baik dan indah tentang negeri ini? Potongan syairnya itu masih tergiang-ngiang dalam benakku, begini:

Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupmu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu

Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkah kayu dan batu jadi tanaman

Namun, beberapa tahu belakangan ini, lirik syair ini layak dimodifikasi menjadi:

Bukan lautan hanya kolam lumpur,
kapal asing kini menghantui dirimu
banyak badai banyak teror kau temui
ikan dan udang menjahu dari dirimu.

Orang bilang tanah kita tanah …

Saya “tidak tega” untuk melanjutkan potongan syair lagu yang akan saya modifikasi. Saya “tidak tega” dan urung merangkai kata bernada negatif karena betapun saya tetap akan memiliki seonggok harapan positif pada ibu pertiwi ini. Negeri kepulauan nan elok-permai disebut-sebut sebagai gugusan zamrud khatulistiwa bagian dari potongan surga, kita telah berubah menjadi … Saya “tidak bisa ”melanjutkan kalimat karena saya masih memiliki setumpuk optimism pada tumpah darah ini. Betapapun, cinta kepada ibu pertiwi dan tumpah darah terkalahkan, layaknya ungkapan pribahasa: “hujan batu dinegari sendiri” lebih baik daripada “hujan emas di negeri orang”. Betapapun sikap optimis dan pandangan positif itu penting untuk mengokohkan langkah kedapan demi melihat hari-hari cerah dan ceria di masa-masa menjelang.

Tanpa sikap optimis dan pandangan positif semacam itu ke depannya, apa yang bisa saya banggakan dari negeriku di hadapan Tuhan? Tentu, saya akan tertunduk bukan saja takut, tetapi juga malu untuk menegadah melihat “Wajah” Tuhan. Dan Aku malu dan risih menatap mata cemehan malaikat, dengan katanya, “Benar ‘kan, apa yang aku katakan dulu (tatkala Adam [nenek-moyangmu] akan diciptakan). Kamu, bangsa manusia hanya tahunya melakukan kerusakan dan pertumpahan darah di bumi.” Tuhan, ampuni hamba dan tolanglah hamba dari “sindiran” malaikat, … Bukankah Engkau lebih mengatahui apa yang tidak diketahui oleh malaikat itu. (Qs. al-Baqarah [2]: 30).

Mengemban amanah sebagai khalifah (penggati/duta) Allah dengan segenap tanggung jawab yang menyertainya, sungguh teramat berat. Amanah berat ini tampak ketika Allah menawarkan kepada langit, bumi dan gunung, mereka semua pada enggan menerimanya/memikulnya. (Qs.al-Ahzab [33]: 72). Betapapun amanah itu teramat berat, tetapi Allah tidak akan membebani manusia kecuali sesuai dengan kemampuannya, “lā yukallif Allah nafsan illā wu’aha” (Qs. al-Baqarah [2]: 286). Dengan kata lain, Allah tidak akan pernah memberikan amanah dan tanggungjawab di luar ambang batas kesanggupan yang dimiliki manusia. Apalagi, Allah pasti tidak pernah akan menzalimi hamba-hamba-Nya.

Atas dasar pertimbagan itu, dan ditambah dengan kasih-sayang Allah yang meliputi segala sesuatu (“rahmatī wa si‘a kulla shay’), sehingga Allah “mewajibkan dirinya” untuk menolong manusia agar dapat menunaikan amanah itu dengan memberikannya akal pada (di dalam) diri dan doktrin “taskhir” pada (di luar) diri manusia. Anugrah akal dan doktrin taskhir ini jalin berkelindan pada diri manusia bagi kebutuhan dalam menunaikan amanah yang diembankan Allah kepadanya. Artinya, anugrah akal tanpa doktrin taskhir manusia menjadi pincang; sebaliknya, doktrin taskhir tanpa akal manusia menjadi buta.

Istilah taskhir berasal dari akar kata bahasa Arab tersusun dari huruf “sin”, “kha” dan “ra”, hingga terwujud kata “sakhkhara”. Makna “sakhkharah”, menurut Quraish Shihab, adalah Allah “menundukkan sesuatu agar dapat dimanfaatkan manusia”. Pada doktrin “sakhkhara” melibatkan Allah di dalamnya mengingat sesuatu itu menurut sifatnya atau keadaannya enggan tunduk, tanpa penundukan Allah. (Lihat, Quraish Shihab, “Tafsir al Misbah”, Vol 9, 2005: 115)

Sementara itu, Nurcholish Madjid, menyebutkan bahwa “sakhkharah” mengandung arti bahwa Allah “menundukkan” atau “membuat sesuatu lebih randah” (“taskhīr”) bagi manusia. Artinya, manusia tidak akan pernah mampu menundukkan langit dan bumi (jagad raya) dengan segala benda dan gejala alam –meskipun dengan kecanggihan akal yang dimilikinya– tanpa campur tangan langsung dari Allah. (Lihat, Nurcholish Madjid, Cita-Cita Politik Islam (Jakarta: Paramadina, 2009), 146-147)).

“Alam” (al-‘ālam atau cosmos) terdiri dari: jagad (al-āfāq) [“alam besar” (‘ālam al-kabīr atau makrokosmos)]; dan manusia (al-insān) [“alam kecil” (‘ālam al-ṣaghīr atau mikrokosmos)]. Kedua jenis alam ini, menurut Cak Nur, berwujud “dengan hikmatnya” atau dengan istilah lain, “bereksistensi teleologis”, yakni diciptakan oleh Allah dengan “ḥaqq” (benar), “Dia menciptakan langit dan bumi dengan (tujuan) yang benar.” (Q.s. al-Zumar [39]: 5); diciptakan dengan tidak “lā‘b” (main-main), “Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.” (Q.s. al-Ambiyā [21]: 16); dan tidak pula diciptakan dengan “baṭīl” (palsu), “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya dengan batil (Q.s. Ṣād [38]: 27)”.

Sebaliknya, alam semesta (lagit dan bumi beserta segala wujud/makhluk yang terdapat di dalamnya) diciptakan Allah swt. dengan penuh maksud dan tujuan. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, 289). Sekurangnya-kuranganya, maksud dan tujuan penciptaan alam semesta itu, di kalangan teolog (mutakallimīn) dimaknai sebagai argumentasi “ayat-ayat” adanya Allah (“cosmological argument”).Allah sendiri telah menegaskan dan menunjukkan bahwa pada makrokosmos lewat al-āfāq (cakrawala) dan pada mikrokosmos lewat al-anfus (jiwa) terdapat tanda-tanda keberadaan dan keagungan Allah dan sebagai penegasan bahwa al-Qur’an adalah benar. (Q.s. Fuṣṣilat [41]: 53).

Penciptaan alam semesta sebagai “cosmological argument” atas eksistensi Allah menjadi penting diperhatikan manusia yang memiliki akal, seperti memperhatikan penciptaan langit dan bumi (Q.s. Alu ‘Imrān [3]: 190); bintang-bintang (Q.s. al-An‘ām [6]: 97); binatang-bintang (,Q.s. al-Naḥl [16]: 79); dan tumbuh-tumbuhan (Q.s. al-A’rāf [7]: 58); serta fenemona alam (Q.s. Al-Rūm [30]: 24); dan entitas-entitas alam lainnya. (Q.s. al-Naḥl [16]: 13). Raja Ali Haji menyatakan bahwa “Semuanya itu jika dipikirkan dengan akal yang sempurna semuanya menjadi tanda Allah Ta’ala….” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 23).

Makanya pemahaman terhadap alam semesta dan segala isinya sangat tergantung kepada bagaimana manusia menggunakan semaksimal mungkin akal yang dianugrahkan Allah. “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan dalam peredaran siang dan malam, terdapat tanda-tanda (sumber-sumber pelajaran) bagi mereka yang mempunyai akal budi.” (Q.s. Ālu ‘Imrān [3]: 190). Dan Firman Allah, “…. segala sesuatu ada disemua langit dan ada di bumi, semuanya dari Dia. Sesungguhnya dalam hal itu ada tanda-tanda bagi kaum berpikir.” (Q.s. al-Jāthiyah [45]: 13). Dengan mempergunkan akal secara maksimal dalam merenungkan fenomema-fenomena alam akan membuat manusia takjub atas kebesaran Allah. Dan seyogyanya sujud-tersungkur di hadapan Allah, Sang Pemilik alam semesta disertai gumaman bibir: Subhan Allah, al-Hamd li Allah, dan Allah Akbar.

Mengandalkan kemampuan anugerah akal semata, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, menjadikan manusia tidak kuasa sepenuhnya dalam mengelola alam semesta. Oleh karena itu, terdapat sejumlah ayat yang menegaskan bahwa Allah telah banar-benar “menundukkan dan merendahkan” alam semesta beserta isi dan fenomenanya bagi kepentingan dan keperluan manusia. Al-Qur’an menyatakan, “Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya pada demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir.” (Q.s. al-Jāthiyah [45]: 13).

Pada ayat lain Allah berfirman, “Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan menyempurnakan untukmu nikmat-nikmat-Nya lahir dan batin. Dan di antara manusia ada yang membantah tentang Allah tanpa ilmu pengetahuan atau petunjuk dan tanpa Kitab yang memberi penerangan.” (Q.s. Luqmān [31): 20).

Dalam ayat lain juga dikemukan, “Apakah kamu tiada melihat bahwa Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Ny. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada Manusia. (Qs. al-Hajj [22]: 65).

Begitu pula pada ayat lain, ditegaskan, “Allahlah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang”. (Qs. Ibrahim [14]: 32-33).

Dari sejumlah ayat tentang taskhir tampak dengan jelas bahwa Allah telah menundukkan langit dan bumi beserta di antara kedunya dengan bebarapa perincian, mislanya, menundukkan matahari, bulan, bahtera, sungai-sungai, siang dan malam. Dalam penundukkan lagi dan bumi beserta di antara keduanya dimakani sebagai anugerah, rahmat dan nikmat serta sebagai wujud kasih sayang Allah kepada manusia. Dan dari rentetan ayat tersebut perlu dicatat bahwa dalam penundukan alam semesta itu terdapat tanda-tanda dan pelajaran bagi orang-orang yang berakal.

Doktrin taskhir dalam al-Qur’an mengandung tiga prinsip penting yang saling terkait satu dengan lainnya. Pertama, bahwa manusia adalah puncak ciptaan Allah, sehingga seluruh alam berada dalam martabat yang lebih rendah daripada manusia. Kedua, karena alam memiliki martabat yang lebih rendah daripada manusia, sehingga manusia diberi wewangan untuk memamfaatkan alam demi kebutuhan manusia. Ketiga, wewenang manusia dalam memamfaatkan alam harus bertanggungjawab dengan tidak mengeksploitasi alam secara semena-mena.

Manusia sebagai khalifah (“duta” atau “pengganti”) Allah di bumi harus memperlakukan alam ini secara baik dan bertanggungjawab. Nurcholish Madjid menyatakan dengan gamblang: “Kekhalifahan manusia ini mempunya implikasi prinsipil yang luas. Disebabkan oleh kedudukannya sebagai “duta” Tuhan di bumi, maka manusia akan dimintai tanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahan itu. Maka manusia diharapkan untuk senantiasa memeperhatikan amal perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga dapat dipertanggungjawabkan di hadapan pengadilan Ilahi kelak. Kewajiban untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab ini merupakan titik mula moralitas manusia, dan membuatnya sebagai makhluk moral, yakni makhluk yang selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk. (Lihat, Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, 2008: 297).

Adanya penekanan sebagai “pengganti” atau “duta” Allah di bumi maka setiap kali akan memulai amal ibadah manusia dituntun dan ditutut agar melafadzkan, “Bismi Allah al-Rahman al-Rahim” (“Atas nama [maaf, terjemahannya bukan dengan nama] Allah Yang Maha Pengasih dan Penyanyang). Begitu pula, hubungan manusia dengan alam ditekankan adanya tanggungjawab, sehingga manusia dituntut untuk memperlakukan alam layak seorang “istri” dengan penuh kasih sayang, baik (mu’asayarah bi al-ma’ruf), dan disertai tanggung jawab. Sebalinya, manusia seharusnya tidak memperlakukan alam bagaikan seorang “pelacur” dengan hanya modal uang, tanpa adanya kasih-sayang dan tanggung jawab.

Memperlakukan alam dengan tanpa “kasih-sayang” yang tidak diiringi tanggun jawab benar-benar-benar telah menjadi realitas hidup keseharian. Dengan demikian, sungguh nyata kerusahan baik di darat maupun di laut karena ulah manusia. Semoga, kerusakan yang telah dilakukan oleh manusia diperlihatkan Allah, sehingga manusia kembali ke jalan yang benar. (Qs. al-Rūm [30]: 41).Untuk itu, manusia dewasa ini harus semakin menyadari dan sekaligus menuruti perintah Allah,“Janganlah kamu melakukan kerusakan di bumi ini ….” (Q.s. al-A‘rāf [7]: 56).

Lebih dari itu, manusia seyogyanya untuk mulai belajar meneladani Allah sebagai khalifah-Nya di bumi: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allāh ilayka wa la tabghi al-fasād fī al-arḍ inna Allāh la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” Q.s. al-Qaṣāṣ [28]: 77). Lagi pula, manusia harus mengisafi menurut ajaran al-Qur’an bahwa manusia dapat ditimpakan hukuman mati hanya pada dua kasus, yaitu membunuh dengan tanpa alasan dan melakukan kerusakan di bumi. (QS. al-Ma’idah [5]: 32)

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies], UIN Suska Riau).