“UTOPIA KHILAFAH ISLAM DI INDONESIA”

“UTOPIA KHILAFAH ISLAM DI INDONESIA”

Isu khilafah Islam mulai mengemuka secara massif, setelah era reformasi terjadi di Negara Indonesia. Kran kebebasan yang muncul seiring dengan reformasi, memungkinkan bagi para pengusung Khilafah Islamiyah untuk menyuarakannya. Lebih-lebih menjelang Pilpres 2019 yang lalu, isu khilafah ramai dibicarakan. Adanya kelompok-kelompok konservatif – seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) – yang mendukung Prabowo membantu kubu Jokowi-Ma’ruf untuk menggunakan isu ini dalam diskursus Pilpres 2019.

Tren asumsi yang mendukung khilafah juga memang sedang meningkat di Indonesia, terutama di kalangan muda. Hasil survei Alvara menunjukkan bahwa satu dari lima siswa di Indonesia memiliki pandangan yang pro terhadap khilafah.

Selain itu, terdapat 18 kelompok ekstrem di Indonesia juga pernah memberikan baiat terhadap pemimpin ISIS Abu Bakar Al-Bagdadhi. Rohan Gunaratna dari Rajaratnam School of International Studies (RSIS) menjelaskan bahwa kelompok-kelompok ini mempelajari Islam di Timur Tengah.

Meskipun terdapat pandangan-pandangan pro khilafah di Indonesia, apakah mungkin khilafah benar-benar dapat menggantikan ideologi Pancasila?

            Khilafah adalah sistem kepemimpinan bagi seluruh kaum Muslimin di dunia untuk menegakkan syariat Islam, dan mengembangkan dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Dalam system khilafah, umat Islam di penjuru dunia terikat dalam satu kesatuan kekhilafahan yang dipimpin oleh seorang khalifah. Dalam kekhilafahan ini seorang khalifah adalah seorang imam bagi seluruh kaum muslim di dunia. Artinya, akan terjadi peleburan beberapa negera dalam satu kekuasaan, yaitu Negara Islam.

Jika itu terjadi mungkinkah? Apakah mungkin Malaysia, Brunai, Thailand, singapura bersatu membentuk satu Negara dengan satu bendera Islam? Rasanya akan sangat sulit untuk dilakukan. Selain masing-masing Negara sudah memiliki konsep dan bentuk Negara yang sudah jelas, mereka juga memiliki batas teritori yang independen, yang tidak mungkin dapat dipengaruhi oleh Negara lainnya.

Pancasila Ideologi Final

Indonesia adalah negara demokrasi dengan pancasila sebagai ideologi negaranya. Pancasila adalah hasil kompromi yang dilakukan oleh para pendiri bangsa ini dalam merumuskan sistem negara Indonesia. Perdebatan tentang upaya membenturkan Islam politik dengan negara, selalu berujung pada jalan buntu.

Berbagai tantangan dan rintangan telah dilalui oleh Pancasila dalam perjalanannya sepanjang sejarah berdirinya Republik ini. Namun Pancasila telah menunjukkan kesaktiannya dengan tetap tegak dan tegar sampai hari ini. Dan bahkan kita sangat bersyukur bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia ini masih tetap aman dan damai berkat masih teguhnya Pancasila sebagai satu-satunya Ideologi Negara Indonesia.

Dalam usianya hari ini, Pancasila dan melihat dinamika kehidupan berbangsa saat ini ada usaha-usaha dari sebagian kecil masyarakat kita yang hendak menggeser, mengenyampingkan bahkan mau mengganti Pancasila sebagai ideologi negara dengan ideologi lainnya yang belum pernah teruji dan bahkan ideologi yang telah gagal dibelahan bumi dan sejarah yang lain. Jelas upaya mengganti Ideologi Pancasila dengan ideologi lain harus kita tolak dan wajib kita lawan. Setiap warga bangsa wajib menjaga dan merawat komitmen kebangsaan kita yang sudah menjadi kesepakatan bersama sejak awal Indonesia ini didirikan dalam bingkai NKRI.

Pancasila sebagai ideologi negara sudah final, tidak bisa diganggu gugat. Sejarah telah membuktikan bahwa Pancasila adalah ideologi yang terbaik untuk saat ini dan yang akan datang karena dengan Pancasila ini seluruh anak bangsa dengan berbagai suku, bahasa dan agama dapat hidup dalam satu bangunan negara bangsa Indonesia dengan rukun dan bersatu, bermusyawarah, bergotongroyong satu sama lain sebagaimana terkandung dalam kelima butir-butir sila Pancasila.

Adalah kewajiban kita bersama untuk menjaga dan merawat Pancasila dari rongrongan kelompok atau golongan yang berusaha mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lain yang tidak sesuai dengan kesejatian bangsa Indonesia. Pancasila sudah terbukti menjadi perekat dan pemersatu bangsa yang bhineka ini dalam naungan NKRI dari Sabang sampai Merauke, dari Mianggas sampai Pulau Rote.

Berdasarkan hal tersebut, maka bisa dilihat bahwa gerakan HTI dan aktivis pro khilafah yang ingin menjadikan Indonesia sebagai negara khilafah pasti susah. Karena masyarakat Indonesia telah mempunyai konsepsi Pancasila sebagai landasan ideologi bangsa. Selain itu, mereka juga akan berhadapan dengan dua sayap besar organisasi politik Islam besar seperti NU dan Muhammadiyah yang mempunyai jasa besar di Indonesia dan bekerja keras agar umat Islam menjadi umat yang moderat dan taat kepada Pancasila.

Jika dilihat berdasarkan sejarah khilafah juga HTI dan aktivis pro khilafah terkesan abu-abu ingin membentuk Indonesia berdasarkan Khilafah di periode yang mana? Jika yang pertama, sudah ada sistem demokrasi di Indonesia. Sementara periode kedua akan susah diterima di Indonesia, karena sudah terbukti bahwa sistem kerajaan tidak mampu untuk menyatukan bangsa. Jadi sudah jelas kedua periode khilafah tersebut sangat berbeda walaupun sama-sama berbasis agama Islam.

Jadi sangat tidak mungkin konsep khilafah diterapkan di Indonesia, karena landasan Pancasila dan slogan NKRI sudah mendarah daging di Indonesia. Pancasila juga dapat merangkul keutuhan NKRI karena sistem politiknya yang menjadikan negara berdasarkan pada kesamaan bangsa dan sejarah bukan karena kesamaan agama.

Jadi, marilah kita membuka mata. Karena untuk membenahi Indonesia bukan dengan mengganti konsep ideologinya melainkan dengan membangun mental dan pola fikir rakyatnya. Jika hal tersebut sudah bisa dilakukan maka cita-cita Indonesia yang damai dan sejahtera bukan tidak mungkin akan segera terwujud.

by: Alviandre Prabowo adalah Mahasiswa Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

MEMILIH “JALAN TENGAH” DALAM KERAGAMAN INDONESIA

MEMILIH “JALAN TENGAH” DALAM KERAGAMAN INDONESIA

Hingga saat ini, Indonesia sangat dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan beranekaragam (multicultural). Hal ini, tentunya menjadi ciri khas Indonesia yang majemuk (Plural). Kemajemukan Indonesia ini, tidak boleh dibiarkan begitu saja, akan tetapi harus kita rawat dan kita pertahankan.

Dalam sebuah masyarakat yang majmuk, dihadapkan pada dua persoalan penting; karena keragaman yang dimilikinya bisa jadi akan menjadi “integrating force” yang mengikat kemasyarakatan, namun dapat juga menjadi penyebab terjadinya konflik atau benturan antar  budaya,  antar  suku, ras, etnik dan agama yang ada di Indonesia.

Konflik-konflik itu, misalnya mengatasnamakan suku, ras dan agama. Beberapa konflik yang kita ketahui adalah konflik Ambon, Poso, Dayak- Madura dan lainnya. Sehingga semua konflik itu selalu merenggut nyawa dan kerugian harta benda.

Konflik-konflik tersebut, pada dasarnya juga tidak lepas dari gejolak politik yang tidak stabil dan ekonomi yang tidak menentu. Dimana kontrol pemerintahan pada saat itu tidak lagi mampu melihat persoalan daerah. Misalnya, sistem demokrasi secara langsung dan sistem otonomi daerah telah memberikan ruang yang begitu terbuka bagi warga Negara untuk menyuarakan haknya. Sehingga memunculkan kebebasan berekspresi tanpa batas. Tentunya ekspresi yang tanpa batas ini akan memicu lahirnya konflik. Sebagaimana kita lihat dalam kasus pilkada yang ada didaerah ketika ada pasangan yang dirugikan. Maka para pendukungnya melakukan demontrasi yang berujung pada perusakan. Padahal seharusnya disampaikan secara damai dan santun dengan mengedepankan dialog yang beretika.

Dalam masyarakat yang multikultural seperti Indonesia ini perlu adanya pemahaman sikap yang baik agar tidak terjadi konflik dan benturan. Sikap yang dimaksud ialah dalam memahami keragaman itu sendiri, seperti sikap keberagamaan yang ekslusif yang hanya mengakui kebenaran dan keselamatan secara sepihak (merasa benar sendiri), tentu dapat menimbulkan gesekan antar kelompok agama, suku, ras dan etnik. Banyak konflik keagamaan yang terjadi di Indonesia, salah satunya konflik di Ambon umumnya dipicu adanya sikap keberagamaan yang ekslusif, serta adanya kontestasi antar kelompok agama dalam meraih dukungan umat yang tidak dilandasi sikap toleran, karena masing-masing menggunakan kekuatannya untuk menang sehingga memicu konflik yang dapat memakan korban jiwa.

 

Memilih Jalan Tengah

Fenomena yang hangat di Indonesia beberapa tahun ini ialah menggaungkan moderasi beragama. Kontek beragama yang moderat, atau cara ber-Islam dengan “jalan tengah”, yang inklusif atau sikap beragama yang terbuka, yang sering disebut sikap moderasi beragama. Moderasi itu artinya moderat, lawan dari ekstrem, atau berlebihan dalam menyikapi perbedaan dan keragaman.

Kata moderat dalam bahasa Arab dikenal dengan al-wasathiyah sebagaimana terekam dari QS.al-Baqarah [2] : 143. Kata al-Wasath bermakana terbaik dan paling sempurna. Dalam hadis yang juga disebutkan bahwa sebaik-baik persoalan adalah yang berada di  tengah-tengah. Dalam melihat dan menyelesaikan satu persoalan, Islam moderat mencoba melakukan pendekatan kompromi dan berada di  tengah – tengah, dalam menyikapi sebuah perbedaan, baik perbedaan agama ataupun mazhab, Islam moderat mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai, dengan tetap meyakini kebenaran keyakinan masing-masing agama dan mazhab, sehingga semua dapat menerima keputusan dengan kepala dingin, tanpa harus terlibat dalam aksi yang anarkis. (Darlis 2017)

Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah di tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderasi merupakan budaya Nusantara yang berjalan  seiring, dan tidak saling menegasikan antara agama dan kearifan lokal (local wisdom). Tidak saling mempertentangkan namun mencari penyelesaian dengan toleran.

Dalam kontek beragama, memahami teks agama saat ini terjadi kecenderungan terpolarisasinya pemeluk agama dalam dua kutub ekstrem. Satu kutub terlalu mendewakan teks tanpa menghiraukan sama sekali kemampuan akal/ nalar. Teks Kitab Suci dipahami lalu kemudian diamalkan tanpa memahami konteks. Beberapa kalangan menyebut kutub ini sebagai golongan konservatif. Kutub ekstrem yang lain, sebaliknya, yang sering disebut kelompok liberal, terlalu mendewakan akal pikiran sehingga mengabaikan teks itu sendiri. Jadi terlalu liberal dalam memahami nilainilai  ajaran agama juga sama ekstremnya. Moderat dalam pemikiran Islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam  perbedaan. Keterbukaan menerima keberagamaan (inklusivisme). Baik beragam dalam mazhab maupun beragam dalam beragama. Perbedaan tidak menghalangi  untuk menjalin kerja sama, dengan asas kemanusiaan  (Darlis, 2017).

Untuk itu dengan meyakini agama Islam yang paling benar, tidak berarti harus melecehkan agama orang lain. Sehingga akan terjadilah persaudaraan dan persatuan antar agama, sebagaimana yang pernah terjadi di Madinah di bawah komando Rasulullah SAW. Moderasi harus dipahami ditumbuhkembangkan sebagai komitmen bersama untuk menjaga keseimbangan yang paripurna, di mana setiap warga masyarakat, apapun suku, etnis, budaya, agama, dan pilihan politiknya mau saling mendengarkan satu sama lain serta saling belajar melatih kemampuan mengelola dan mengatasi perbedaan di Indonesia.

Oleh karena itu moderasi beragama sangat erat terkait dengan menjaga kebersamaan dan kedamaian  dengan memiliki sikap “tenggang rasa” untuk saling memahami keragaman dan menjaga perbedaan. Seruan untuk menggaungkan moderasi beragama di Indonesia untuk mengambil jalan tengah perlu tindakan serius baik secara perkataan dan perbuatan untuk kita semua. Agar tidak terjadi peristiwa yang baru beberapa bulan terjadi di Slandia baru penembakan 50 jemaah shalat jum’at.

 

Muhammad Syaprul adalah Mahasiswa Fakultas Tarbiyah UIN Suska Riau

“AGAMA PEMICU KEKERASAN”

“AGAMA PEMICU KEKERASAN”

Melihat keindahan dalam perbedaan itu sangat penting. Momok yang mengerikan selalu menghantui keanekaragaman Indonesia saat ini, -terlebih masalah kepercayaan–. Agama dijadikan kambinghitam dalam memperkeruh setiap keadaan. Satu persatu konflik menyebar tanpa henti untuk menyerang bangsa dari berbagai golongan. Adu domba perihal agama dan pemerintahan mulai merajalela.

Agama sangat berperan dalam memicu kekerasan. Berdasarkan historis, terbukti dengan terjadinya perang saudara diantara umat Islam, -salah satunya perang Jamal–. Pada awal kekhalifan Ali bin Abi Thalib tepatnya pada tahun 36 H, perang jamal terjadi. Kaum muslimin bercucuran darah, banyak sekali yang tewas terbunuh. Demikianlah yang terjadi, apabila peperangan telah berkecamuk maka tidak ada seorang pun yang dapat menghentikannya.

Tidak hanya perang antar umat Islam, bahkan perang beda agama pun terjadi, -contohnya perang salib–. Berlangsung selama kurang lebih 2 abad, yaitu pada tahun 1095-1291. Lagi-lagi pemicunya adalah agama dengan faktor lain perihal politik, sosial dan ekonomi. Peperangan ini sudah pasti merusak hubungan Islam dan Kristen dalam segala bidang.

Hingga saat ini, kekerasan beragama kian meningkat seiring berkembangnya zaman. Pada tahun 2018 lalu, terjadi serentetan kasus kekerasan beragama. Penyerangan tempat ibadah kembali terjadi. Kali ini, masjid Baiturrahim tepatnya di Tuban, Jawa Timur diserang sekolompok orang. Peristiwa ini terjadi hari selasa, 13 Februari pukul 01.00 WIB. Dalam proses pemeriksaan, pelaku kepolisian menemukan buku-buku ilmu sufi dan buku makrifat. Tidak disangka buku yang dimilikinya tersebut tak sesuai dengan amalannya. Ilmu tersebut menyimpang, agama hanya dijadikan jubbah kekerasan.

Agama yang pada hakikatnya mendambakan penganut yang hidup penuh kedamaian, kenyamanan, keamanan, kasih sayang, tolong-menolong serta toleransi, justeru malah berbalik arah menjadi pemicu kekerasan. Charles Kimball, yaitu seorang Guru Besar Studi Agama di Universitas Wake Forest, Amerika Serikat, menuliskan dalam bukunya, Kala Agama Jadi Bencana perihal faktor-faktor yang dapat menyeret dan membawa agama sebagai sumber masalah.

Charles Kimball, memberikan penjelasan bahwa pemahaman seseorang terhadap agama sangat mempengaruhi tindakan yang mereka kerjakan sebagaimana dikatakan, “Struktur dan doktrin keagamaan dapat digunakan nyaris seperti senjata. Kita akan melihat contoh-contoh orang yang diperbudak oleh gagasan atau begitu jauh berbuat untuk melindungi institusi agama dari ancaman yang mereka duga. Jika institusi dan ajaran agama tidak luwes dan tidak memiliki sistem check and balance, hal itu sungguh mempunyai kesempatan untuk tumbuh menjadi bagin terbesar dari masalah

Dalam bukunya, Kimball mengulas secara detail dan sangat jelas bahwa agama akan menjadi kekuatan destruktif dan menimbulkan banyak masalah, sebagaimana halnya kalangan penganut agama melakukan lima hal yaitu: Pertama, bila suatu agama mengklaim kebenaran agamanya sebagai kebenaran yang mutlak dan satu-satunya. Kedua, kepatuhan atau ketaatan buta kepada pemimpin agama. Ketiga, kegandrungan akan zaman ideal baik di masa silam maupun di masa yang akan datang dan direalisasikan dalam bentuk gerakan keagamaan. Kempat, tujuan yang membenarkan segala cara untuk meraihnya. Kelima, bilang perang suci dijadikan norma dan etika sehingga meniadakan komunitas beragama laiannya.

Setiap teks maupun buku atau kitab sangat memprioritaskan interpretasi dari seorang pembaca. Penulis akan terpisah jati dirinya ketika tulisan tersebut telah beredar dan diaca banyak orang dari berbagai sudut pandang. Tulisan intelektual yang biasa saja akan memiliki interpretasi yang berbeda. Apalagi alqur’an dan hadits, -terdapat banyak penafsiran yang berbeda–.

Makna tulisan mungkin saja berubah berdasarkan siapa pembacanya dan bagaimana karakter pembacanya. Jika pembaca tidak bertanggungjawab dan penuh kebencian, maka hasil bacaan dan tafsirnya pun akan menjustifikasi dan mendorong intoleransi.

Jika seseorang memiliki interpretasi fundamentalistik terhadap teks agama kemudian melihat eksistensi orang lain sebagai ancaman dan lawan yang harus disingkirkan maka interpretasinya akan melahirkan sikap-sikap diskriminatif, provokatif hingga destruktif. Salah dalam menafsirkan mengakibatkan salah tindakan. Hal ini sangat berbahaya dan mampu menghancurkan bangsa nantinya

Kekerasan beragama dapat diminimalisir dengan orasi perdamain, diskusi intelektual, kajian-kajian bersama ahli agama serta memperbanyak membaca tafsir-tafsir agama berdasarkan sumber yang jelas. Maka perlahan persaingan beda agama mulai memudar. Agama akan kembali kepada fitrahnya sebagai petunjuk bukan pemicu kekerasan.

Sehingga konsekuensinya setiap umat beragama memiliki kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, tanpa perlu meninggikan atau merendahkan suatu agama. Mengingat pluralitas agama merupakan realitas sosial yang nyata, maka sikap keagamaan yang perlu dibangun selanjutnya adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama.

Menurut pandangan Nurcholish Madjid (1992:195) Piagam Madinah merupakan dokumen politik resmi pertama yang meletakkan prinsip kebebasan beragama. Bahkan sesungguhnya Nabi juga membuat perjanjian tersendiri yang menjamin kebebasan dan keamanan umat Kristen di mana saja, sepanjang masa.

Semoga kekerasan lekas surut, dan kedamaian secepatnya menghampiri 🙂

By: Nurhayati Nupus, Mahasiswa Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU

“MEMBUMIKAN JIHAD ILMU”

“MEMBUMIKAN JIHAD ILMU”

“Pada hari Minggu ku ikut ayah ke kota”. Itu adalah sepenggal lirik lagu yang menggambarkan keceriaan di hari Minggu. Lirik lagu tersebut berbeda 180 derajat dengan apa yang terjadi pada hari Minggu (13/5/2018) di Surabaya, Jawa Timur. Pada hari itu terjadi peristiwa berdarah, yakni pemboman 3 gereja di lokasi yang berbeda. Polisi mengatakan pelaku yang melakukan aksi ini berasal dari kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT). Dua kelompok itu adalah pendukung utama ISIS di Indonesia. Mereka mengatasnamakan agama dengan menggunakan kata jihad untuk melakukan pemboman di Surabaya. Namun apakah benar makna jihad yang mereka lakukan itu?

Kata Jihad seringkali disalahpahami, baik di kalangan umat muslim maupun non-muslim. Jihad dianggap sebagai “perang suci” (holy war) atau “perang senjata” (jihad fisik-militer). Makna jihad semakin menyempit ketika direduksi sebagai suatu sikap mengangkat senjata lalu diarahkan kepada setiap orang yang dianggap “kafir”. Bahkan tidak sedikit masyarakat Barat yang kerap mengasosiasikan jihad dengan ekstremisme, radikalisme dan terorisme belaka.

Jihad adalah kata yang sudah tidak asing bagi kebanyakan orang. Jihad berasal dari kata jahada-yujahidu-jihadan-mujahadah. Kata ini berasal dari bahasa Arab, yang memiliki arti usaha atau mengeluarkan segala kekuatan dengan sungguh-sungguh. Menurut KBBI, arti Jihad salah satunya adalah usaha dengan segala daya upaca untuk mencapai kebaikan. Secara etimologi, jihad adalah mencurahkan usaha, kemampuan dan tenaga. Secara literal, jihad adalah menanggung kesulitan. Jadi, Jihad adalah kegiatan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh untuk mencapai hal-hal yang diinginkan dengan cara kebaikan.

Di dalam Al-Quran, kata jihad dengan berbagai bentuk disebutkan sebanyak 34 kali. Jihad memiliki banyak makna, yang kemudian kata ini digunakan dalam arti peperangan untuk menolong agama dan membela kehormatan umat. Namun kata jihad tidak sesempit itu maknanya. Jihad memiliki makna yang lebih luas dari peperangan. Banyak cara melakukan jihad salah satunya dengan pendidikan. Di dalam artikel ini, saya akan menjabarkan tentang jihad ilmu dan pendidikan.

Pada surah At-Taubah ayat 122, Allah berfirman “Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya

Dengan ayat tersebut, jelas bahwa jihad tidak hanya soal perang, namun memperdalam ilmu juga termasuk jihad di jalan Allah. Penjelasan ini diperkuat dengan sabda Rasullullah yaitu “Barang siapa yang keluar untuk mencari ilmu, maka ia sedang ada di jalan Allah hingga ia kembali”.

Jihad ilmu dan pendidikan salah satu yang efektif untuk penyebaran informasi. Secara tidak sadar kita sudah melakukan jihad ilmu dan pendidikan setiap hari. Contohnya, khutbah di masjid-masjid, diskusi keagamaan yang sering dilakukan lembaga ISAIS UIN Suska Riau, program-program yang ada di media televisi, radio atau di youtube. Di ISAIS ada diskusi mingguan yang dilaksanakan setiap hari Rabu dan Jumat, membahas tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam. Contoh hal yang dibahas antara lain sejarah Islam, jihad, khilafah, moderasi beragama dan kekerasan agama.

Di bidang ilmu dan pengetahuan juga kita bisa memperbaiki pandangan dunia terhadap Islam, dengan cara menulis artikel-artikel Islami yang menyebarkan kebaikan dan kedamaian. Dengan tulisan-tulisan itu bisa menjelaskan seperti apa Islam itu sebenarnya, Islam rahmatan lil alamin yang sangat berbeda dengan pandangan dunia yang selalu mengkaitkan terorisme dengan Islam. Doktrin tersebut dibuktikan ketika terjadi serangan di Selandia Baru pada hari Jumat tanggal 15 Maret 2019. Serangan tersebut ditujukan kepada umat Muslim yang sedang melakukan ibadah solat Jumat. Tak lama kemudian muncullah berita tentang hal tersebut. Namun tidak ada yang menyatakan tersebut dengan “terorisme”. Mengapa? Apakah karena yang melakukan serangan bukan umat Muslim?

Oleh karena itu, jihad ilmu dan pengetahuan sangat penting dilakukan. Dengan mengedukasi masyarakat dunia seperti apa itu Islam yang rahmatan lil alamin.
by: Danang Esha, Mahasiswa Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau

“KAMUFLASE ATAS NAMA TUHAN”

“KAMUFLASE ATAS NAMA TUHAN”

Pada tanggal 4 November 1995, Perdana Menteri Israel Yitzhak Rabin dibunuh oleh seorang pemuda Yahudi, Yigal Amir. Ketika ditanya oleh polisi atas tindakanya itu, ia menjawab “Saya bertindak sendirian dan atas perintah Tuhan,” dan “saya tidak menyesal”. Begitu juga yang terjadi pada Letnan Khalid al-Islambuli, seorang tentara di Mesir yang telah membunuh Presiden Anwar Sadat. Ketika ia ditangkap, ia berteriak “Nama saya adalah Khalid al-Islambuli, saya telah membunuh Fir‘aun (Sadat), dan saya tidak takut mati”.

Dua orang dengan latarbelakang agama yang berbeda, menshahihkan pembunuhan atas dasar kebencian dan perintah Tuhannya. Keduanya memiliki keyakinan yang sama bahwa tindakan pembunuhan dan kekerasan semacam itu, merupakan perintah Tuhan mereka. Dan yang menarik bahwa perilaku tersebut, justru dilakukan oleh agama yang berbeda. Artinya, disetiap agama sesungguhnya memiliki potensi yang kuat untuk melakukan tindakan pembunuhan dan kekerasan lainnya, atas nama Tuhan. Kelompok kaum beragama ini, disatukan oleh keyakinan bahwa tindakan kekerasan yang mereka lakukan (seakan-akan) telah disetujui oleh Tuhan, bahkan diperintahkan oleh Dia.

Sebagai sebuah agama yang rahmatan lil alamin, ia mengajarkan kepada para penganutnya untuk menyelamatkan bahkan melindungi setiap makhluk yang bernyawa di atas permukaan Bumi. Ajaran ini, menjadikan setiap penganutnya menjadi terkekang oleh setiap tindakan kekerasan dan kedzoliman. Hal ini, menjadi sebuah keniscayaan jika kita temui dalam ajaran Islam bahwa seekor semut pun perlu mendapatkan haknya sebagai makhluk Tuhan. Islam mengajarkan penganutnya untuk tidak menyakiti, menganiaya atau bahkan membunuh binatang tanpa alasan yang jelas.

Namun demikian, seiring dengan semakin berkembangnya zaman, yang ditandai dengan ‘hiruk-pikuk’ teknologi dan ilmu pengetahuan, ajaran Islam mulai menghadapi berbagai gelombang tantangan yang cukup serius. Pada era teknologi harini, kita dihimpit oleh jarak yang tidak ada batas antara satu orang dengan orang lain. Semua orang bisa berinteraksi dan berjumpa dengan siapa saja, tanpa ada batas teritori maupun jarak waktu. Dan semua orang bisa bicara apa saja, tak perduli tua dan muda, kaum cendikia atau buta warna, orang tua atau muda, dan seterusnya.

Persoalan lain yang hingga hari ini masih menggelayut pada agama Islam adalah bentuk keresahan penganutnya akibat adanya tindakan terorisme, pembunuhan, aksi bom bunuh diri yang dilakukan sekelumit oknum yang mengatas namakan Islam.  Aksi bela agama atau dalam bahasa ajarannya adalah jihad, menjadi dalih bagi mereka melakukan tindakan kebiadaban  yang menurut mereka adalah aksi suci.

Jika ditarik garis lurus kebelakang, fenomena ini memang sudah ada sejak peristiwa Tahkim di zaman khalifah Ali bin Abi Thalib. Peristiwa Tahkim tersebut memecah belah ummat muslim menjadi berkeping-keping.  Salah satu kelompok yang lahir saat kejadian politik tersebut adalah kelompok Khawarij. Yaitu, kelompok yang terkenal ekstrim dan beringas memandang orang-orang yang tidak sepaham dengannya, dan tidak segan-segan membunuhnya sebab dianggap kafir dan halal darahnya. Kekejaman dan ekstrimnya kelompok ini disebabkan oleh rendahnya tingkat pengetahuan mereka. Karena menurut sejarah, kaum Khawarij adalah sekelompok Bangsa Arab Badui yang tinggal di pelosok dengan segala keterbatasan.

Kelompok khawarij saat ini memang sudah musnah seiring bergantinya zaman. Namun, praktek-praktek ajarannya kembali muncul dengan kemesan yang berbeda. Mereka tampil eksis di depan media dengan senjata canggih dan mematikan. Ajarannya setiap saat memasuki pikiran generasi saat ini, massif hapir tidak terdeteksi. Setiap saat ada saja anggota yang berhasil direkrut oleh mereka. Hal ini karena tidak sedikitnya para pencari Tuhan yang lugu dan mau disulap menjadi monster pembunuh dengan alasan jihad fi sabilillah.

Padahal Allah tidak pernah memaknai Jihad semata-mata untuk membunuh, melainkan mempertahankan diri dari musuh yang ingin mencelakai Islam. Bahkan Allah tegaskan bahwa berjihad adalah semata-mata untuk mencari ridha Allah. Hal ini tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Ankabut 69: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari ridha Allah) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.

Kemudian  Rasulullah pun mengajarkan bahwa perang bukanlah jihad yang paling besar, melainkan jihad yang paling utama yaitu memerangi hawa nafsu. Rasul bersabda: “ Berjihadlah kalian melawan nafsu kalian sebagaimana kalian berjihad melawan musush-musuh kalian” (HR. Abu Daud) lain kesempatan saat rasul pulang dari perang badar mengatakan bahwa “ Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad yang besar. Sahabat bertanya, apakah jihad yang paling besar itu? Beliau bersabda: Jihadunnafs (jihad melawan diri sendiri).

Maka daripada itu, tidak benar dan salah besar menganggap bahwa jihad semata-mata bermakna peperangan, pembunuhan dan aksi teror lainnya, sebagai jihad suci. Malainkan Allah dan Rasulullah menjelaskan bahwa betapa hanya Allah-lah yang paling berhak menghukumi seseorang bersalah. Dan bahwa melakukan jihad pun bukan karena nafsu. Melain, karena mengharap keridhoan Allah semata. Sebab, fenomena jihad saat ini bukanlah murni ajaran Islam,. Melainkan adanya oknum jahat karena kurangnya pengetahuan atau adanya kepentingan memanfaatkan jihad sebagai kedok merekrut pencari kebenaran yang lugu lalu di sulap menjadi badut pembunuh.

by: Mhd Novedy Husaini, Mahasiswa Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau

“MENGGUGAT ANTI KEMAJEMUKAN”

“MENGGUGAT ANTI KEMAJEMUKAN”

Ahir-ahir ini, di Indonesia telah sering terjadi konflik antar agama yang berujung pada kekerasan beragama. Sebut saja misalnya konflik beragama di Ambon. Konflik antar saudara yang saling menolak berada dalam satu tempat dengan kaum yang berbeda keyakinan, berujung pada pertumpahan darah. Kaum muslim dan kristen saling melempar  batu, merusak kendaraan di sejumlah titik kota di Ambon, memblokir jalan bahkan rumah warga dibakar. Akibat peristiwa ini, banyak korban berjatuhan, anak anak memiliki trauma dan memiliki anggapan bahwa kaum yang berbeda keyakinan memiliki niat yang buruk terhadap mereka.

Persekusi terhadap seorang biksu dan pengikutnya di tangerang adalah contoh lain dari kekerasan beragama yang terjadi. Sekelompok orang yang tiba tiba mendatangi kediaman biksu tersebut dan menuding adanya praktek yang mengajar warga sekitar untuk brpindah agama. Sekelompok orang ini bahkan meminta biksu tersebut meninggalkan rumahnya dan menyetujui surat pernyataan akan di proses secara hukum jika tidak pergi dari tempat itu dalam tenggat waktu yang telah ditentukan.

Kasus lain yang baru-baru ini terjadi adalah seorang warga yang ditolak dari desa karena memiliki agama yang berbeda. Sebuah desa di Bantul memiliki aturan yang melarang umat non muslim untuk tinggal di dusun tersebut. Ini adalah contoh masyarakat yang mempunyai pola pikir anti kemajemukan. Mereka tidak bisa menerima perbedaan yang ada dalam suatu masyarakat.

Kasus kasus kekerasan beragama dan intoleransi yang terjadi di Indonesia adalah bentuk dari sikap masyarakat yang anti akan adanya keberagaman beragama. Tingkah laku masyarakat yang seperti ini didasari oleh pola pikir yang tidak dapat mentoleransi ajaran lain dan kekekliruan dalam menafsirkan ajaran yang mereka anut. Jika hal ini terus berlangsung, perdamaian antar umat beragama sangat sulit untuk dicapai.

Diantara sebab lahirnya kondisi ini adalah pola pikir masyarakat yang anti kemajemukan, sebuah model cara berfikir yang menolak keragaman. Padahal keragaman ini merupakan keniscayaan. Ia mutlak ada. Ia merupakan pemberian mutlak dari Tuhan, yang tidak bisa tidak harus kita terima.

Sejak kecil kita dihadapkan oleh model berfikir yang tidak beragam. Kita selalu dihadapkan pada pilihan yang tunggal atau monokultural. Orang yang berbeda dengan kita dianggap sebagai bukan dari bagian dari kita. Sehingga di kepala kita, yang ada adalah diri kita sendiri. Sesuatu yang benar adalah kita sendiri atau yang sama dengan kita, sementara yang berbeda dianggap bukan kita, yang harus dihindari atau dilawan.

Mengubah pola pikir masyarakat yang sudah terbentuk sejak dulu merupakan suatu hal yang sulit. Namun, setiap warga negara yang beragama hendaknya menyadari bahwa sikap menerima satu sama lain adalah jalan terbaik demi mewujudkan perdamaian. Menjadi kaum yang tidak menyalahkan ajaran agama manapun dan tetap yakin pada keyakinan yang dianutnya dapat menghindari ekstrimisme ini.

Diantara upaya menghilangkan cara piker di atas adalah dengan terus melakukan perjumpaan dengan yang lain, yang berbeda dengan kita. Perjumpaan dengan yang berbeda ini, menjadi penting agar terjadinya pengenalan. Dalam bahasa agamanya, proses ini disebut dengan silaturrahmi. Proses saling menjaga silaturahmi antar umat beragama ini, merupakanupaya agar tidak muncul sikap saling curiga. Sehingga akan melahirkan sikap saling berkomunikasi antar satu umat Bergama satu dengan umat beragama lainnya.

Dengan melakukan perjumpaan, juga akan menggiring seseorang untuk saling berdiskusi. Aktivitas ini, menjadi penting agar kita tahu seperti apa ajaran dari agama-agama lainnya. Dari situ wawasan dan pikiran kita terbuka luas. Dengan begitu, rasa saling curiga, perilaku menghakimi orang atau kelompok lain, serta sikap intoleransi tak terjadi.

Sejatinya, setiap agama memiliki ajaran yang mulia, yaitu tidak ada satu agamapun yang menyebutkan bahwa agama lain adalah ajaran yang salah dan pantas untuk di tolak dengan kekerasan. Jika seorang umat mengaku beragama, pastinya akan bertindak sesuai dengan ajaran agamanya dan menghindari penolakan keyakinan lain dengan cara kekerasan. Orang yang melakukan kekerasan beragama, merupakan umat yang tidak memahami ajaran keyakinannya dengan baik.

by: Rahmi Putri Nanda, Mahasiswi Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Suska Riau