Jejak Prestasi Gusdur Menuju Indonesia Makmur

Jejak Prestasi Gusdur Menuju Indonesia Makmur

Bangsa Indonesia patut bersyukur saat dipimpin seorang presiden dengan segudang prestasi selama kepemimpinannya. Hal ini merupakan anugerah yang menjadi titik balik dalam sejarah bangsa bahwa negara ini pernah merasakan sentuhan dari pemimpinnya berupa karya dan prestasinya. Ia begitu fous pada permasalahan kemanusaan. Selain itu, dalam bidang siar Islam, ia senantiasa menyiarkan islam secara lisa dan tulisan. Abdurrahman Wahid atau yang tenar disebut Gus Dur senantiasa memperlihat intelektualitasnya dalam bingkai cinta damai dan kaish sayang serta nilai-nilai kemanusiaan di seluruh penjuru Indonesia. Tokoh sekaligus pemimpin yang satu ini sangat perhatian terhadap perkembangan zaman. Misalnya dalam membela kaum minoritas, seperti suku, agama, ras dan antar golongan yang mendapatkan diskriminasi.

Dari sekelumit deskripsi di atas, kita dapat menangkap bahwa semua itu dilakukan untuk daat meningkatkan wawasan bangsa Indonesia terhadap pola pikir dan sepak terjang para pemimpin negeri ini, terutama Gus Dur dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Selanjutnya kita jga dapat membuka mata dan hati kita terhadap urgensi nilai keterbukaan (transparansi)dan berjiwa demokrasi (menerima pendapat dari banyak orang). tak hanya itu, hal ini dapat memperkuat pemahaman keagamaan bangsa Indonesia untuk lebih mementingkan urusan kemanusiaan dan keumatan di Indonesia.

Gus Dur patut dikatakan sebagai seorang pelopor. Untuk menjelasakan kata `pelopor` itu, kit amesti melihat sejenak ke belakang saat masa pemerintahannya yang tebilang singkat, yakni dari tahun 1999 hingga 2001. Secara prestasi, memang tidak sebanyak presiden lainnya, akan tetapi beliau telah berhasil memperkenalkan betapa ide-idenya muncul begitu brilian. Sehingga pada pemerintahab setelahnya, ide-ide tersebut dapat dilaksanakan, berangkat dari rencana besarnya yang amat mulia.

Dalam hal agama, Gusdur telah melegalkan agama Konghucu sebagai agama yang diakui di negara Indonesia. Semasa pemerintahannya, agama yang diakui di negara Indonesia telah berjumlah 6 agama, yakni agama Kong Hu Cu. Padahal lebih dari satu dasa warsa para penganut Kong Hu Cu tidak dapat mengemukakan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, sebab agama mereka tidak diakui negara. Sehingga tampak jelas bahwa seorang Gus Dur benar-benar tidak menyukai adanya pelakuan diskriminai terhadap agama yang satu ini.

Sampai pada tahap berikutnya, Gus Dur juga memberikan kelapangan berupa memberikan hari libur nasional pada perayaan Imlek. Padahal perayaan tahun baru Imlek pada masa colonial Belanda, sempat dilarang. Setelah Jepang memerintah, barulah Imlek dijadikan sebagai libur nasional. Sampai ke masa kemerdekaaan, Imlek jug amasih bisa dirasayakan. Akan tetapi, masa orde baru membatasi peryaan Imlek, walau pun tidak dilarang sepenuhnya, sebgaaimana Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967. Dari sikapnya yang demikian, kita dapat menangkap, bahwa beliau telah membuat agama keturunan etnis Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan dari agama yang ada di Indonesia, yang mana etnis tersebut mendapatkan diskriminasi pada masa pemerintahan orde baru. Akhirnya ia memutuskan untuk mencbut Inpres nomor 14 tahun 1967 dengan manggantinya dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Secara kedinasan, sampai pada akhirnya Imlek dijadikan sebagai libur fakultatif atau libur yang dikhususkan kepada para penganutnya yang merasayakan. Sehingga, pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri Imlek berhasil dijadikan libur nasional pada tahun 2002, yang sudah bisa diberlakukan pada tahun 2003.

Pembaca juga mesti mengingat semasa Gus Dur turut berperan serta dalam perdamaian di Aceh secara transparan. Pasalnya, pada masa pasca kemerdekaan, pihak Aceh sudah tidak percaya pada Jakarta semasa pemerintahan Soekarno. Gus Dura amat piawai dalam memformulasikan perundingan keduanya hingga mendapatkan titik terang perdamaian di Aceh. Gus Dur memilih pihak ketiga untuk memediasi permasalahan ini bersama Henry Dunant Centre di kota Swiss. Meskipun perdamaian itu berhasil diwujudkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melallui Crisis Management Initiatives.

Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta, telah meninggalkan jejak yang tak terhenti di sana. Ia adlaah seorang cendikiawan dan aktivis pejuang kemanusiaan yang diamanahi sebagai ketua organisasi masa Islam terpopuler di Indonesia, yakni Nahdhatul Ulama (NU). Peran dari ormas Islam yang satu ini tidak diragukan lagi di Indonesia. NU telah banyak berperan andil dalam pembangunan di Indonesia dari tahun ke tahun. Paham kebangsaan menjadi arah gerak utama Gus Dur semasa menjabat sebagai ketua umum. Sehingga persoalan keumatan dan persoalan kebangsaan dapat dijembatani secara arif dan bijaksana.

Tak terbatas pada sisi peerintahan, sentuhan tangan Gus Dur juga dirasakan para pegawai negeri sipil (PNS). Betapa tidak, beliau berfokus pada peningkatan kesejahteraan PNS dengan strategi jitunya. Langkahnya adalah dengan memberikan dorongan terhadap kenaikan gaji PNS secara signifikan selama Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia. Buktinya, gaji PNS mengalami peningkatan sebesar 100 persen yang mana ini merupakan prestasi yang luar biasa dan sangat menolong para PNS dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dan pelayan publik kepada masyarakat. Otomatis kesejahteraan PNS pada masa tersebut cukup lega dan amat berbekas di hati para PNS. Tak hanya itu, peningkatan itu juga merembes pada kenaikan pangkat da golongan pada PNS menjadi lebih baik.

Gus Dur juga dikenal sebagai pendorong ekonomi Indonesia. Buktinya sebagai Presiden Repubik Indonesia yang ke-4, beliau telah berhasil menstabilkan bahan pangan, yakni beras. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa besar yang saat itu diperjual belikan adalah beras yang berasal dari produk lokal. Sementara beras dari luar negeri tidak dipasarkan. Nilai ekonomi di Indonesia menjadi lebih maju, ditandai dengan minus 3 menjadi minus 7,5 persen dalam kurun waktu dua tahun. Secara hutang dunia, sema Gus Dur berhasil berkurang sebanyak 4,5 miliar dolar dari berbagai jenis hutang. Selanjutnya, barang-barang kebutuhan ekspor menjadi lebih banyak sebanyak dua kali lipat dari nilai ekspor sebelumnya. Hal ini membawa para nilai ekonomi menjadi stabi kembali. Dalam hal badan usaha milik negara, yakni PLN, meraih angka dari minus 9 triliun menjadi 104 triliun. Kemudian, hutang harga pembuatan listrik menjadi berkurang dari 85 miliar menjadi 35 miliar. Sehingga mendapatkan potongan sebesar 50 miliar. Secara proyek juga mengalami peningkatan, yakni pada proyek semasa Presiden Habibie yang mengalami kerugian ratusan miliar menjadi untuk sebesar 14 miliar dalam kurun waktu dua tahun pula.

Semua hal di atas dapat terlakasan karena sebuah prinsip yang diterapkan Gus Dus yakni apa pun yang dinilai secara rasional, maka harus dilakukan. Selanjutnya, pada pelaksanaannya, Gus Dur selalu memilih orang-orang terbaiknya sebagai orang kepercayaan. Sehingga dalam pelaksanaan setiap kebijakan di kementerian mendapatkan keberhasilan, meskipun terdapat kendala-kendala di lapangan. Namun, setiap perjalnaan pasti akan ada cobaan dan ujian yang melanda. Berkat kerja keras dan semangat kebersamaan inilah, bangsa Indonesia telah mendapatkan sentuhan hangat dari seorang presiden yang berjiwa toleran dalam bingkai bhineka tungga ika. Semangat inilah yang patut dicontoh oleh generasi muda Indonesia saat ini. semangat untuk kembali merajut kebersamaan untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur.

By: Bambang Wiranto

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Dewasa ini, ungkapan “al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinya hanya berlaku pada tataran idealitas, dan bukan pada tataran realitas. Dulu umat Islam memang pernah membuktikan ungkapan tersebut dalam realitas yang menyejarah. Lalu, bagaimana objektivikasi ungkapan tersebut di masa kini dan di masa-masa mendatang? Dalam mengejawantahkan ugkapan itu lagi, umat Islam terlebih dahulu harus membuktikan bahwa bagaimana Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān” (selaras dalam setiap waktu dan tempat) dalam menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.

Dalam mewujudkan agar Islam tetap “saliḥ fī kulli zamān wa makān”, tidaklah semudah “memalingkan wajah” dari belang ke depan. Salah satu upaya untuk lebih memudahkan “pemalingan wajah” itu, menurut hemat saya, di antaranya adalah memaknai sungguh-sungguh apa yang terkandung dalam lafadz:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
(memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Lama yang baik dan baru yang lebih baik seyogyanya beriringan dan saling komplementer dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus menafikkan satu dengan yang lainnya. Yang satu tidak akan kokoh dan sempurna tanpa yang lainnya. Misalnya, kalau seorang sangat “percara diri” dan hanya mau menoleh ke belakangan sementara kakinya melangkah ke depan, akibanya bisa jatuh terjungkal. Sebaliknya, kalau seseorang begitu “ngotot” dan hanya mau menatap ke depan sementara tercerabut dari akar, akibatnya menjadi a historis.

Dalam konteks ini ada pertanyaan yang selalu diajukan: “Apakah Islam (baca: pemamahan atasnya) yang harus mengikuti/ disesuaikan dengan perkembangan zaman; atau zaman yang harus mengikuti/disesuaikan dengan Islam? Bagi kalangan yang sangat “percara diri pada masa lalu”, sebagaimana disebut di atas, akan memberikan jawab mutlak bahwa zamanlah yang harus mengukuti Islam, dan bukan sebaliknya. Sementara itu, bagi kalangan yang “ngotot pada masa depan” akan menjawab, “Islamlah yang harus mengikuti zaman”, dan bukan sebaliknya. Kedua jawaban “mutlak-mutlakan” ini tidak akan pernah bisa menjadikan Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān”. Keduanya, sekali lagi, harus saling “isi-mengisi” dalam menghadapi perkembangan “waktu dan tempat” pada saat ini, terlebih-lebih masa-masa mendatang.

Kalau kita ingin melihat Islam tetap relevan dengan tuntutan “zaman” dan “waktu”, maka konsekwensi logisnya harus ada keberanian untuk memahami “noktah-noktah” tidak melulu secara harfiah (lahiriyah), tetapi ada kalanya harus pula dipahami secara maknawi (bathiniyah). Bukankan al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, meminjam ungkapan ulama besar dari Syiah (Iran), ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dalam karyanya, “Mengungkap Rahasia al-Qur’an”, menyebutkan bahwa bahwa al-Qur’an mempunyai arti lahir dan batin. Dalam pengertian yang disebut belakangan ini, ulama besar pengarang tafsir “al-Mizan” mengutip hadis bahwa: ““Inna lil-Qur’ān zahran wa baṭnan wa libaṭnih baṭnan ilā sab‘ah abṭnan”.

Jadi, dari hadis ini nyata betul bahwa al-Qur’an tidak saja memiliki makna lahir, tetapi juga makna batin. Bahkan dalam makna batin al-Qur’an ada sejumlah makna batin lagi yang terdalam, dan hebatnya sampai tujuh makna batin.

Betapapun khazanah intelektual warisan ulama dan ilmuan Islam klasik (yang baik) harus tetap ditoleh. Sikap ini dipandang penting demi memudahkan pengembangan intelektualisme Islam pada masa kini dan mendatang yang lebih kretif dan inovatif. Dengan demikian, dalam sejarah pembahruan pemikiran Islam lahir tokoh yang dinamis, sehingga di kalangan mereka lahir tesa dan anti-tesan dan sintesa, (dialektika), sebagaiman tercermin pada empat tipologi gerakan pemikiran Islam, menurut Fazlur Rahman.

Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat. Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa. Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya. (Lihat, Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 17-20; bandingkan, Abu A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: 1-3 dan 20).

Agaknya, ummat ini pada abad pertengahan selama lima abad (dari abad ke- 13 sampai akhir abad ke-19) sudah membuat Islam jauh “ketinggalan kareta” dari segi “zamān” (waktu) dan “mākan”, sehingga harus terus menurus melanjutkan perjuangan dan pemikiran para pembaharu Islam sejak akhir abad ke-19. Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran sebab-sebab keterbelakangan kaum Muslim dan sekaligus upaya solusi pemecahannya.

Pertama, pemikir kelompok Muslim ini melihat bahwa biang keladi seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah kerena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan furifikasi, seperti yang dimotori oleh gerakan Wahabiah di Hijaz.

Kedua, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya; yang terkenal dengan pemikirannya tentang Pan-Isalamisme.

Ketiga, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari menambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Di antara tokoh dari kelompok ini yang sangat artikulatif adalah Muhammad Abduh yang sangat mashur denga rasonalisme, dan belakangan dielaborasi oleh Syed Ameer Ali dari anak benua India.

Namun, rumusan sebab dan upaya pemecahan keterbelakangan itu, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Artinya, harus diakui bahwa kini ummat Muslim tidak/belum bisa menjadi ke mbali“al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh”. Gambaran bahawa Islam “yang tinggi dan tidak ada yang mengatasinya” yang pernah dicatat oleh tinta emas sejarah Islam klasik selama kurang lebih 5/7 abad (abad ketujuh sampai abad duabelasa/empat belas) hanya indah untuk dikenang sambil menepuk-nepuk dada sebagai wujud “onanisme”. Memang ini memuaskan untuk jangka waktu sesaat, tetap setelah itu yang ada adalah lara yang berkempanjangan. Romatisisme sejarah ibaratnya mimpin indah yang membuai, tetapi setelah tersentak dari tidur, kita mendapatkan diri kita dalam posisi kebalikan 180 derajat dari mimpi indah tersebut.

Lihatlah dewasa ini dunia Islam tetap merupakan kawasan di bumi ini yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini. Menurut Cak Nur, negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. (Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 21).

Sebetulanya kondisi memilukan ini tidak perlu berlanjut hingga kini, minimal mengurangi jarak ketertinggalan, kalau saja umat Islam, misalanya, mau menyahuti seruan gagasan beberapa pembaharu, khususnya seperti Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan, masing-masing dari Mesir dan Indo-Pakistan, untuk kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, segaligus lebih otentik serta mampu menangkap “api Islam” dan meninggakalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. Namun kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.” (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 22; Fazlur Rahman, Islam: 322-323; dan Albert Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939: 130-159).

Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini, akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melekat dalam) agama itu sendiri. Sebalkinya, pada orang Barat menjadi rasional adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 165). Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. (Fazlur Rahman, Islam: 322-323). Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, agama Islam ada lah agama rasional yang mengantarkan kepada kemajuan. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), 435).

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid

K.H. Abdurrahman Wahid siapa yang tidak kenal dengan beliau. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas“.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.[7] Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun.(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah Madrasah.

Gus Dur  juga di minta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Namun, Gus Dur akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana, agar kegiatan yang akan dilakukan selama menjalankan tugasnya Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama dapat di laksankan dengan mudah, Gus Dur pun akhirnya memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat bergabung dengan NU Gus Dur pun juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Gus Dur menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan melakukan penangkap orang-orang seperti dirinya tujuannya agar merusak Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jenderal Benny Moerdani. NU merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Semenjak Gus Dur masih hidup, banyak sekali tokoh-tokoh dari agama lain yang senang dengan Gus Dur, karena sikapnya yang bersahaja dan juga Gus Dur mempunyai prinsip toleransi, dengan toleransi semua orang akan bersikap baik juga.  Sikap lain yang dimiliki Gus Dur adalah tidak pernah membeda-bedakan dan sikapnya yang terbuka untuk semua kalangan, selalu menjawab pertanyaan dengan kehumoran yang bermakna Kehumoran Gus Dur dapat mencairkan suasana yang tegang, salah satu humor Gus Dur adalah mengungkapkan kata-kata “gitu saja kog repot !”. kata-kata tersebut sering diucapkan ketika dalam pertemuan atau di undang di acara-acara, dan sering di beri pertanyaan yang menyangkut tentang tugas dan wewenang Gus Dur ketika masih menjabat Presiden, bahkan ketika di lengserkan dari kursi kepresidenan. Berbicara tentang dilengsernya Gus Dur dalam kursi kepresidenan adalah, Gus Dur di berbicara “tingginya apa si menjadi seorang presiden itu, sampai mau ada pertumpahan darah di bumi ini”.

Kata-kata tersebut diucapkan oleh Gus Dur dengan rasa yang gembira dan tanpa ada beban. Begitu pahamnya Gus Dur dengan kehidupan di bumi ini, sampai-sampai sudah tidak ada beban sama sekali ketika Gus Dur di lengserkan di kursi kepresidenan.

Sebelumnya dilengserkan Gus Dur juga melakukan hal yang kontroversional, yaitu menyapa masyarakat/orang-orang berada di luar dengan menggunakan celana yang dibuat untuk bersantai (celana color pendek), hal tersebut juga sempat membuat ramai di jagat media sosial, dan sebagainya itu. Gus Dur, dikatakan sebagai ulama, presiden kontroversional namun memiliki makna tersendiri, tokoh humoris, toleransi, plurasimen, dan menjadi guru bangsa untuk masyarakat. Dari berbagai hal tersebut menjadikan Gus Dur memiliki kekhasan dan keunikan yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Mulai dari tingkah laku, perbuatan, pemikiran, dan ucapakan Gus Dur yang dilakukan semasa mas hidupnya.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai GuruBangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.

organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU.

Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.

Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Gus Dur pun tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritikan itu lama-lama menyebabkan Pak Harto risih. Puncaknya terjadi pada Mukhtamar NU di Cipasung 1994. Pemerintah berupaya menjegal Gus Dur. Tapi Gus Dur tetap terpilih untuk periode kedua. Hal ini terekspresikan dari ketidaksudian Presiden Soeharto menerima Gus Dur dan pengurus PBNU lainnya.

Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

By: Agus Neni

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

Saya merasa beruntung dan bangga dilahirkan dari rahim seorang ibu yang gemar dan terbiasa mengaji. Seingat saya, semasih kecil, ibu saya selalu mengaji sebelum anak-anaknya bangun-beranjak dari tempat tidurnya; dan mengaji (lagi) menjelang sewaktu anak-anaknya terlelap tidur dalam mimpi-mimpinya. Salah satu surah dari tujuh surah yang sering di baca ibu saya, selain surat Yāsīn, al-Wāqi‘ah, al-Mulk, al-Kaḥfi, al-Raḥmān, al-Sajadah, adalah surah al-Insān. Seringnya ibu saya membaca ketujuh surah dan dengan termotivasi atas fadhilah kadungan dari membaca surah-surah itu, dapat dipasatikan berkat pengajian yang diterimanya dari seorang ulama besar, yaitu K.H. Husain Hap (1928-1999).

Tuan Guru (Anddregurtta) K.H. Husain Hap termasuk salah seorang dari tiga rentetan ulama besar Indragiri Hilir pada abad ke-20 (tanpa bermaksud menafi’kan kalau ada ulama besar lainnya), selain Tuan Guru K.H. Abdurrhamn Ya’qub (1912-1970) dan Tuan Guru K.H. Abdurrahman Siddiq (1857-1939). K.H. Husain Hap –yang merupakan abang kandung ayah saya sendiri, H. Husan Hap– pernah menempuh pendidikan di Dar al-‘Ulum, Mekah. Awal kepulangan dari tempat Kelahiran Rasul Allah saw., K.H. Husain Hap mendirikan pengajian “Al-Husniyah”, dan di sinilah Ibu saya mendapat pengajian agama, termasuk fadhilah membaca surah-surah disebutkan tadi.

Dari bacaan ibu saya atas surah al-Insān ini untuk kali pertamanya saya mendengar kata “kafūra” dalam rentetan ayat: “inna al-abrāra yashrabūna min ka’sin kanā misājuhākafūra.” Saya mendengar ibu saya memabaca ayat ini “sambil lalu” saja, kadang antara saya “sadar dan tidak sadar” (menjelang dan akan bangun tidur), dan seringkali tidak peduli. Ketidakpedulian saya atas bacaan al-Qur’an ibu saya itu disebabkan bukan saja karena tidak mengerti, tetapi karena kepedulian “dunia anak” belum sampai di situ.

Akan tetapi, karena ibu acapkali memperdengarkan keseluruhan surah-surah tersebut, maka menjadikan saya terasa akrab, dan relatif lancar membacanya tatkala mengaji. Hal yang serupa, tetapi dengan cara berbeda sering pula dilakukan oleh ayahanda (semoga Allah merahmatinya) semasa saya kecil, yaitu menyetel kaset yang melantunkan bacaan (surah) al-Qur’an, di antaranya yang sering kali saya dengar, misalnya adalah surah al-Naba’, dan sesekali terdengar –belakangan baru saya tahu namanya– surah al-Shaff danṬaha.

Kembali kepada kata “kafūrā”, pemahaman atas kata itu dalam konteks kajian keilmuan, saya dengar kali pertama pada saat Diskusi Bedah Desertasi, “Jaringan Ulama” karya Azyumardi Azra yang diselenggran di Gedung “Wisma Sajahtera” di komlpeks Kampus IAIN (kini UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta pada 1992 (maaf, sekiranya salah ingat tahun; dugaan kuat ini benar sebab tahun itu saya menjadi Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 1991-1992 sebagai Sekretaris Umum; dan saat menghadiri Kongres HMI ke-19 dipenghujung 1992 status kepengurusan kami demisioner). Dalam forum bedah desertasi itu, selain Azyumardi Azra sebagai penulis, adalah Bapak (kini Prof.) Dr. Atho Mudzhar, MA sebagai pembedahnya. Dalam diskusi terungkap bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh orang Barat (orientalis) terungkap bahwa asal-usul kata “kafūra” berakar dari bahasa MELAYU.

Pada waktu itu saya bingung memahaminya, justru karena membingungkan itulah menjadi menarik bagi saya. Kebingungan saya pada waktu itu bercampur rasa bangga. Apa mungkin ada bahasa Melayu dalam al-Qur’an? Disebutkan jaga bahwa barangkali “kāfūrā” inilah satu-satunya term Melayu yang “dipinjam” oleh Allah dalam menurunkan wahyu yang ditermaktub dalam al-Qur’an. Saya sendiri sampai saat ini tidak berupaya untuk membuktikan dugaan bahwa apakah hanya “kāfūrā” satu-satunya bahasa Melayu dalam al-Qur’an?

Sementra itu, kosa kata dari bahasa asing yang diserap oleh bahasa Arab banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Misalnya, terdapat kata “jahannam” (neraka jahanam) dari bahasa Ibrani; kata “zanjabīlā” (jahe) berasal dari Persia. Kata “sundusin” (sutra tipis) berasal dari India; kata “ṭūr” (gunung) berasal dari bahasa Syiriah; kata “al-qisṭās” (timbangan) berasal dari bahasa Romawi; kata “mishkāt” (lentera) berasal dari bahasa Habsyah. Ini sekedar menyebut bebarapa kosa kata dari berbagai bahasa suka bangsa yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. (lihat, Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Leiden: Briil, 2007).

Untuk kata “kafūrā” itu sendiri selain dikatakan berasal dari bahasa Melayu, ada juga pendapat menyatkan bahwa bahasa itu berasal dari bahasa Persia. Bagaimana menjelaskan asal-usul kata “kafūrā” ini, apakah berasal dari bahasa Melayu atau bahasa Persia? Saya secara pribadi (bukan karena saya orang terlahir di dunia “heartland” Melayu, Riau) lebih setuju pendapat yang menyebutkan bahwa kata “kafūrā” berasal dari bahasa Melayu dengan merujuk pada dua logika dan argumentasi historis.

Pertama, kata “kafūrā” sebelum diserap oleh bahasa Arab terlebih dahulu diserap oleh bangsa Persia. Oleh karena itu, Buya Hamka menyatakan bahwa kata “kāfūrā” termasuk salah satu bahasa ‘ajam yang terdapat dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu, yaitu “kapur”. (Lihat juga, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983: 268-269).

Kedua, sebelum Islam dirisalahkan hubungan perdangan antara dunia Arab dan Cina dengan melewati rute pedangan Persia, India dan Nusantara sudah berlansung lama. Belakangan, setelah Islam berkembang, disebut-sebut pada masa dinasti Umayyah terjalin hubungan perdangan dengan Melayu-Nusantara. Disebut bahwa salah satu pelabuhan sebagai bandar niaga internasional adalah Barus dengan komoditas utamanya yang paling diminati adalah “kafūrā” (kamper).

Pada abad ke-4 dalam catatan sejarah terbilang awal ditulis oleh pedagang Cina yang menyusuri perdagangan “jalur sutra” menyebutkan kamper bagian dari komuditas perdagangan sangat digemari. Selain itu kronik Cina pada masa Disnati Liang (502-557) mengungkapkan kamper yang digaitkannya dengan suatu daerah dikenal Barus. Sementara itu di Barat terdapat catatan tertua yang menyebutkan tentang kamper yang ditulis oleh Actius (502-578), seorng dokter Yunani berasal dari Mesopotamia.

Jauh sebelum data-data itu, kenyataan ini dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian berupa kapur barus. Bahkan ada dugaan kuat bahwa kamper adalah termasuk salah satu bahan untuk mengawetkan jenazah, tentu termasuk jenazah para Fir’aun di Mesir.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa di antara komoditas perdagangan yang paling disukai oleh orang Arab adalah kamper (“kafūrā”). Disebutkan bahwa kamper ini kalau diekstrak (disulin sedemikan rupa), lalu dicampurkan pada minuman akan membuat minuman itu menjadi yang sangat enak dan menyegarkan. Untuk itu, al-Qur’an mempergunakan kata “kāfūrā”yang diperuntukkan kepada orang-orang Arab agar senatiasa terdorong berbuat kebaikan sebagai balasan setelah kehidupan di dunia ini, di surga nantinya (Q.s. al-Insān [76]: 5).

Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan “kāfūrā” berikut ini: “Kāfūr is literally Camphor. It is fountain in the Realms of Bliss. It is a seasoning added to the Cup of pure, beatific Wine, which cause no intoxication (lvi.18-19) but stands for all that wholesome, agreeable, and refreshing. Comphor is cool and refreshing, and is given as a sooting tonic in Eastern medicine. In minute doses its odour and flavour are also agreeable.” (Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 1571-1572, catatan kaki no. 5835).

Dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal ṣaleh, manusia berhak mendapat kedamaian dan kebahagian hidup di akhirat kelak (Q.S. al-Baqarah [2]: 62). Bagi penghuni surga, menurut Raja Ali Haji, akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan “biologis” berupa makanan dan minuman serta seks, seperti tulisnya dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: “Demikianlah halnya mereka yang di dalam surga itu. Maka apabila sampai ia ke pintu surga, maka disambutlah oleh segala malaikat, dibawanya kepada istrinya “bidadari” di dalam mahligai itu. Maka apabila sampai ia ke dalam mahligainya bersuka-sukaanlah ia dengan segala istrinya “khawaral ‘ain” itu dan “khadam-khadamnya”, “wadan-wadan” namanya. Maka makan minumlah yang lezat-lezat serta berpeluk dan bercium dan berbelai dan berjimak dengan sepuas-puasanya hawa nafsu. Pada hal kekal senantiasa dengan demikian itu ada.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 33).

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Raja Ali Haji memberikan gambaran kehidupan surga bagi lelaki yang “full sex” (“berjimak dengan sepuas-puas hawa nafsu”) bersama istri-istrinya dan para bidadari yang konon jumlahnya sampai sembilan puluh sembilan. Selain itu, kehidupan di surga digambarkan bergelimang dengan kelezatan materi. Karenanya, untuk tetap memberikan vitalitas bagi lelaki abrār (pelaku kebajikan di dunia), Allah mengiming-imingi makanan-makanan enak dan lezat dan beraneka buah-buahan dan minuman yang sangat menyegarkan dari berbagai aliran sungai atau telaga yang berbeda-beda warna dan cita rasanya, termasuk minuman yang dicampur dengan “kafūrā”.

Penjelasan Raja Ali Haji di atas tentang kehidupan surga digambarkannya “dengan beberapa makan-makanan yang lezat-lezat dan minum-minuman dan beberapa istri daripada hurul ‘ain dengan beberapa kesukaan dan permainan yang tiada pernah dilihat oleh mata dan tiada didengar oleh telinga.” (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓām, 2-3). Bahkan hati sekalipun tidak akan pernah mampu membayangkan tentang gambaran surga yang sedemikian baik dan indahnya. Pernyataan Raja Ali Haji ini didasarkan pada hadis Rasul Allah: “Dari Abi Hurayrah ra. berkata: Rasul Allah saw. bersabda: “Aku janjikan kepada hamba-Ku sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terbetik dalam hati. Apabila kamu menginginkan maka bacalah: ‘Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih tersembunyi bagi mereka.’” (HR. al-Bukhāry, Muslīm, al-Tirmidhy, al-Nasā’i dan Ibn Mājah).

Mengingat kehidupan di surga itu sukar sekali untuk memahaminya, maka di akhir hadis di atas, Rasul Allah menyarakan agar membaca ayat: “Falāta‘lamu nafsun mā ikhfiya lahum min qurrati a‘yunin jazā’u bimākānū ya‘lamūn” (Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Sajadah [32]: 17). Artinya, karena surga termasuk “realitas tinggi” (higt reality) yang tidak seorangpun dapat memahami secara hakiki, maka al-Qur’an menggambarkan dengan cara “perumpamaan”.

Allah menjelasakan kehidupan di surga dengan mengawalinya kata “perumpaan”, sebagaimana firman-Nya: “Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka. (Q.s. Muḥammad [47]: 15).

Al-Qur’an memang memberikan gambaran yang sangat “meterial” (sangat visual) tentang kenikmatan surga yang berupa makanan dan minuman dari kebun-kebun dan sungai-sungai beserta pada bidadarinya. Akan tetapi, akhirnya Allah menegaskan bahwa riḍa Allah jauh lebih besar keindahnnya, wa riḍwān min Allāh akbar dari semua yang disebutkan sebelumnya. Firman Allah, “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.s. al-Tawbah [9]: 72).

Meskipun demikian, dari ayat di atas tidak boleh dipahami dengan mengambi kesimpulan bahwa kehidupan eskatologis di surga atau di neraka itu bersifat non-fisik. Paham semacam ini adalah konsekwesi langusung dari paham filosuf bahwa tidak ada kebangkitan jasmani. Dengan kata lain, bagi filosuf yang ada adalah hanya kebangkitan rohani (spiritual), sehingga balasan surga dan neraka juga bersifat rohani (spiritual).

Betapun, Allah tentu tidak akan mengecewakan, dan bahkan tidak akan pernah mengingkari janji-Nya terhadap orang-orang abrar (senantiasa berbuakan kebajikan). Untuk itu, Allah menyediakan kehidupan surga, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an secara “material”, termasuk “kāfūrā” sebagai minimuan yang menyegarkan dan membangkitkan vitalitias dalam melakukan hubungan seksual dengan bidadari-bidadari. Bukankah tujuan sebagai dari mereka terdorong melakukan amal-amal kebajikan lantaran ingin masuk surga yang demikian ini?

Akan lain hal bagi orang-orang tertentu yang beribadah tidak berhasrat pada kehidupan surga yang bersifat material dan visual tersebut. Bagi orang semacam ini ia tidak menginginkan kebun (jannah)nya. Namun, ia lebih mendambakan Sang Pemilik kebun (jannah)-Nya. Yang lebih dirindukannya adalah kehidupaan surgawi yang sejati dan hakiki, yaitu rida Allah yang lebih besar (wa riḍwān min Allāh akbar). Wa Allāh a’lam bi al-Ṣawāb.

 

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).

Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Islam: “Antara Cinta dan Benci”

Berbicara tentang cinta dan benci tentu setiap manusia telah merasakannya. Cinta dan benci merupakan sebuah naluri manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. Tidak heran jika Agama islam memberikan petunjuk menyangkut hal tersebut.  Dengan suatu nasihat yang nilai oleh sebagian ulama sebagai hadis Nabi Muhammad SAW.: “Cintailah kekasihmu secara wajarnya saja, siapa tahu suatu ketika ia menjadi seterumu. Dan bencilah seterumu secara wajar juga, siapa tahu suatu saat ia menjadi kekasihmu”.  Sebagaimana petunjuknya menyangkut cinta dan benci tesebut bahwa jelas manusia memiliki potensi-potensi untuk berfikir dalam memahami petunjuk itu. Dalam hal memahami dan mengaplikasikan makna cinta dan benci dalam kehidupannya.

Nasihat di atas tentunya ditujukan kepada manusia, cinta dan benci tidak terlepas dari hati yang dimiliki manusia, hati yang sering di sebut kalbu. Memiliki makna dalam bahasa aslinya berararti,”bolak-balik”.  Manusia yang hatinya sangat mudah terbolak-balikkan, bahkan berubah-ubah, terkadang ke kiri dan sekali-kali ke kanan. Tentunya apabila manusia tidak memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang pasti, manusia akan terombang-ambingkan oleh pengaruh dunia yang fana.

Cinta dan benci yang sudah ditakdirkan akan selalu mengisi suatu waktu pada sesi kehidupan manusia, sedangkan waktu itu akan selalu terus belalu. Karenanya, cinta dan benci pun dapat berlalu. Hal itu perlu dipahami sebelum bercinta, seseorang merasa dirinya adalah salah  satu yang “ada”. Tetapi, ketika bercinta, ia dapat merasa mimiliki segala yang “ada” atau tidak menghiraukan yang “ada”. Dalam puisi cinta yakni “dunia serasa milik berdua, yang lain ngontrak”. Nah, hal inilah membuat manusia selalu lupa akan segalanya, jika di eramilenial sekarang sering kita dengar sebutan bucin. Setelah itu berlalu, ketika cintanya putus, ia merasa “tidak ada” bahkan “hampa”. Akibatnya prustasipun ia rasakan pahitnya putus cinta, dan hilang secercah harapan. Demikianlah cinta mempermainkan manusia.

Cinta dan persahabatan sekarang yang terjalin oleh anak—muda menurut sebagian pakar—didorong oleh usaha memperoleh kelezatan semata atau bahkan kesenangan dunia. Karenanya, ia serba cepat, yaitu cepat terjalin dan cepat pula putus, lihatlah contoh lingkungan anda untuk saat ini. Sedangkan cinta dan persahabatan orang dewasa adalah demi memperoleh manfaat, yaitu memperoleh keuntungan atau beragam hal lain yang dimaksud. Hal itupun, bersifat sementara. Kemudian Abu Hayyan At-Tauhidy menulis: “perjalanan yang paling panjang adalah perjalanan mencari sahabat”. Sahabat, menurut Aristoteles, adalah anda sendiri, hanya saja dia orang lain.

Dia adalah Anda sendiri, dan ingatlah anda memiliki kalbu yang sering kali berubah-ubah. Karenanya tidak ada persahabatan yang kekal, apalagi dalam dunia kelezatan dan kepentingan dunia. Karenanya sebagai muslim perlu ketakwaan kepada Allah SWT agar memiliki pegangan hidup dan tolok ukur yang  pasti dalam menjalani kehidupan dunia yang sementara ini.

Lihatlah peristiwa pertumpahan darah antara Irak dan Iran delapan tahun lamanya mereka berperang. Selama delapan tahun juga Kuwait memberikan bantuan dana yang tidak sedikit kepada Irak demi kelanjutan perangnya. Tetapi, dengan serta-merta, teman yang dielu-elukan kemarin, berubah menjadi musuh. Musuh kemarin dirangkul agar menjadi teman, sementara penyesalan dan permohonan maaf pun mengalir dari mereka yang kemarin mengutuknya. Julukan saudara bekas musuh pun terdengar. Demikianlah yang didasari oleh “kepentingan sementara” yang senantiasa berubah. Ambillah hikmah dari peristiwa tersebut.

Dalam agama Islam, Allah SWT memberikan petunjuk yakni Al-Quran untuk menjadi pedoman hidup manusia, agar mendapat keselamatan di dunia dan di akhirat. Untuk itu, Al-qur’an mengingatkan kita: janganlah kebencianmu terhadap sesuatu kaum mendorong kamu tidak berlaku adil ! Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa (QS 5:8). Sungguh banyak pelajaran yang dapat kita petik dari berbagai peristiwa masa kini yang dapat menjadikan kita semakin peracaya akan kebenaran petunjuk-petunjuk agama.[]

Sumber: M.Quraish shihab, Lentera Al-Quran, kisah dan hikmah kehidupan

By: Muhammad Syaprul Alamsyah (Mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA RIAU)

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

Tawhid Husuniyyah: Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi

“TAWḤID ḤUSŪNIYYAH:
Pembentukan Iman dan Akhlaq Anti Korupsi
(Kamis, 23 Maret 2017)

Negeriku, negerimu, dan negeri kita, Indonesia tidak pernah berhenti dirundung malang masalah korupsi. Belakangan ini, berita paling hanyar diramaikan dengan kasus korupsi e-KTP. Sayangnya, kebanyakan para “tikus-tikus” penguras “lumbung padi” negeri ini adalah ber-e-KTP (kolom agama): Islam. Barang kali ini adalah konsekwensi wajar dari Islam sebagai agama yang dianut mayoritas oleh warga negeri ini.

Akan tetapi, kalau kita mau “berjujur-jujur” pada diri sendiri, bahwa ini adalah indikasi, sepertinya doktrin Islam belum bisa “diandalkan” oleh penganutnya sebagai pembedung dalam mencegah prilaku korupsinya. Dapat dikatakan bahwa manusia semacam ini seperti orang Arab Badui, sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an, mengaku-ngaku telah beriman, padahal baru dalam kategori Islam sebab iman belum meresap dalam hatinya (QS. Al-Hujurat [49]:14-15).

Orang Islam nominal yang tidak beriman akan menjadi “benalu”, dan bahkan bisa menjadi “racun” dalam kehidupan berbangasa. Dengan demikian, sebagai agama yang paling banyak/terbesar dianut, bagaimana Islam bisa mengantar negara mencapai tujuannya. Padahal, Cak Nur pernah berkata bahwa “Kemenangan Islam adalah kemenangan bagi semua golongan.” Artinya, kalau idealitas ajaran Islam tidak dipahami, dihayati dan diamalkan dengan penuh keimanan, maka kemenagan Islam dalam memberantas korupsi, layaknya seperti “panggang jauh dari api”.

Parahnya masalah korupsi di negeri ini, sepertinya sulit untuk mencegah/mengatasinya kalau kita hanya mengandalkan dua tawhid dalam doktrin Islam, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah”. Untuk mencegah maraknya korupsi itu, karenanya, perlu di buat tawhid “baru”, yaitu “Tawḥid Husūniyyah”. Mohon maaf kelancangan pemikiran ini, sekali berharap saran, koreksi atas kekeliruan, kesalahan tulisan tentang tawhid dimaksud, berikut ini.

Pengertian “Tawḥīd Ḥūsūniyyah

Kata “tawḥīd”, menurut Nurcholish Madjid (Islam, Doktrin dan Peradaban, 1992: 72), secara harfiah tidak terdapat dalam kitab suci al-Qur’an (yang ada dalam al-Qur’an ialah kata “aḥad” dan “wāḥid” ). Kata “tawḥīd” adalah istilah teknis dalam Ilmu Kalam (yang diciptakan oleh para mutakallimīn [atau ahli theologi dialektis Islam]). Term “tawḥīd” termasuk dalam kata benda kerja (aktif) yang merupakan derivasi dari kata “waḥīd” yang artinya “satu” atau “esa”. Jadi, makna harfah “tawḥīd” ialah “menyatukan” atau “mengesakan”. Dalam konteks ini, kata “tawḥīd” dimaksudkan sebagai paham “me-Maha Esa-kan” Allah atau paham “Monotheisme”, yaitu bahwa Allah (hanya) satu-satunya Wujud; tidak wujud, selain Allah (lā wujūd illa Allah).

Term ḥusūniyyah adalah derivasi dari kata dasar “ḥasana” yang bermakna “baik”; atau satu akar kata dengan “iḥsan” yang berati “berbuat terbaik”. Dan pada tingkatan lebih tinggi, iḥsan berarti bahwa seseorang akan berbuat yang baik dan bahkan yang terbaik karena ia selalu (merasa) dalam pengawasan dan bimbingan Allah dan, karenanya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, pengertian tawḥīd ḥusūniyyah adalah sebuah “kesadaran ketuhanan” (God-consciousness), yaitu bahwa Allah satu-satunya Pencipta Yang Terbaik dan satu-satunya Pengawas Yang Maha Hadir agar manusia senantiasa (pula) berbuat yang terbaik.

Term “tawḥīd ḥusūniyyah ” dimaknai sebagai kelanjutan logis dan hirarkis dari dua jenis tawhid yang telah dirumuskan oleh ulama salafiah sebelumnya, yaitu “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah”. Term tawḥīd ḥusūniyyah sendiri dimaksudkan sebagai pengganti dari term “asmā’ wa sifāt” yang telah diciptakan sebagai bagian tak terpisahkan dari doktrin tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah. Ada dua pertimbangan, setidakanya, kenapa term asmā’ wa sifāt perlu diganti dengan term tawḥīd ḥusūniyyah.

Pertama, secara etimologis (lughawi [bahasa]) term asmā’ wa sifāt tidak satu “timbangan” (wasan) dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah. Tambahan pula, berbeda dengan term rubūbiyyah dan ulūhiyyah, term asmā’ wa sifāt sulit untuk ditambahkan di depannya kata “tawḥīd”. Maka dengan sendirinya akan sulit dipahami kalau kita menuliskan/ mengatakan “tawḥīd asmā’ wa sifāt”

Kedua, secara terminologis (istilāḥ) term asmā’ wa sifāt memiliki konsep dan kandungan pemahaman yang terlalu luas, dan pada gilirannya tidak gamblang, sebagaimana tercemin dari term-term itu sendiri. Kata asmā’ mengandung makna konotasi pada nama-nama baik (asmā’ al-ḥusnā) Allah yang jumlahnya 99; dan kata sifāt boleh jadi mengacu kepada sifat-sifat Allah yang jumlahnya 20, sebagaimana diajarkan dalam doktrin teologis Asy’ariyah (Ahl Sunnah wa al-Jamā‘ah).

Latar BelakangTawḥīd Ḥusūniyyah

Latar belakang lahirnya istilah tawḥīd ḥusūniyyah –sebagai kelanjutan dari dua tawhid sebelumnya– karena konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” melulu pada konsep hubungan manusia dengan Tuhan (ḥabl min Allāh) yang bersifat ukhrawi dan bermuara semata-mata pada keshalehan individual. Kemudian, kedua jenis konsep tawh}id itu, sepertinya tidak (atau kurang) menekankan kaitannya dengan hubungan dengan manusia (ḥabl min al-nās) dan terlepas dari konteks kehidupan duniawi serta mengabaikan kesalehan sosial. Pernyataan ini sesuai dengan pengertian “tawḥīd rubūbiyyah” itu sendiri, yaitu seorang berkeyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta dan Pemelihara; dan pengertian tawḥīd ulūhiyyah itu sendiri, yaitu seorang berkeyaninan bahwa Allah adalah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian.

Pada dasarnya, tawḥīd rubūbiyyah dan tawḥīd ulūhiyyah meskipun berhirarkis, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan dan jalin-berkelindan yang tidak dapat dipisahkan. Kalau konsep “tawḥīd rubūbiyyah” dan “tawḥīd ulūhiyyah” dipahami secara terpisah dan terlepas (tidak ada hirkisitas yang berkesinambungan) satu dengan yang lainnya, maka konsep tawhid itu menjadi tidak utuh dan salah. Dalam kenyataan hidup, misalnya, orang-orang kafir Quraish (hanya) memiliki tawḥīd rubūbiyyah (meyakini bahwa Allah adalah satu-satu Pencipta dan Pemelihara. Q.s. al-Zumar [39]: 38]; atau Q.s. al-Ankabu>t [26]: 63). Namun, mereka tidak memiliki tawḥīd ulūhiyyah (bahwa Allah satu-satunya Sesembahan dan Pengabdian), sehingga mereka menyembah selain Allah. Bahkan sesembahan mereka itu, diyakininya juga diciptakan Allah (Q.s. al-Zukhruf [43]:87), yaitu al-Lāt, al-‘Uzza al-Manāt (Q.s. al-Najm [53]: 19-22).

Oleh karena itu, menurut Nurcholish Madjid, bagi siapapun baik masyarakat manusia pada umumnya, maupun masyarakat yang bercampur kepercayaannya kepada Allah pada khususnya, mereka harus melakukan proses pembebasan, yaitu pemurnian kepercayaan kepada Allah dengan dua cara. Pertama, dengan pemusatan keperacayaan hanya kepada Allah dengan penegasan bahawa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak dan transendental. Menurut Ibn Taymiyyah, cara pemurnian kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd rubūbiyyah yang terangkum dengan baik dalam Q.s. al-Ikhlās [112].

Kedua, dengan melepaskan diri dari kepercayaan kepada yang palsu dengan penegasan bahwa Allah adalah satu-satunya Wujud yang mutlak jadi sesembahan. Sekali lagi, menurut Ibn Taymiyyah, cara pembebasan kepercayaan ini adalah kandungan dari tawḥīd ulūhiyyah yang terangkum dengan tepat dalam Q.s. al-Kāfirūn [109]. Sedemikian penting kedua surah pendek itu, maka, menurut sejumlah hadis, Rasulullah saw. paling sering membacanya dalam shalat. (Islam, Doktri dan Peradaban: 80)

Proses pemurnian kepercayaan kepada Allah, karenanya, tidak boleh berhenti hanya sampai pada “tawḥīd rubūbiyyah” dan tawḥīd ulūhiyyah, tetapi harus pula diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah. Artinya, setelah seorang mengakui bahwa Allah satu-satunya Wujud yang mencipta/ memelihara; dan bahwa Allah satu-satunya Wujud yang harus disembah, maka seseorang harus meneruskan pada sebuah kesadaran tawhid bahwa Allah adalah satu-satu Wujud Yang Terbaik dan Pengawas serta senantiasa Hadir agar manusia berbuat (juga) yang terbaik. Kalau tawḥīd ulūhiyyah tidak diikuti dengan tawḥīd ḥusūniyyah, maka seseorang hanya memiliki kesalahan individual yang berorientasi ukhrawi, tanpa memiliki kesalehan sosial yang berorientasi duniawi.

Islam memang mengajarkan bahwa sesorang Muslim dituntut untuk mengejar kebahagian hidup di akhirat. Akan tetapi, Islam segera mengajarkan bahwa jangan sampai melupakan kebahagian hidup di dunia ini. (Q.s. al-Qasās [28]: 77). Dengan demikian, seseorang niscaya memaknai kehidupan di dunia ini sebagai “jembatan” menuju akhirat (al-dunyā masra‘ah al-ākhirah). Artinya, untuk bahagia di akhirat (dengan modal kes}alehan individual) terlebih dahulu harus bahagia di dunia (dengan modal keshalehan sosial).

Untuk itu, kebahagian yang paling hakiki di dunia ini adalah yang beralaskan pada kecerdasan emosional dan spritual, yaitu ketika kita bermafaat (memberi kebahagian) bagi sesama manusia. Sehingga, karenanya, Nabi saw. menyebut manusia itu: “Khayr al-nās yanfa‘u li al-nās” (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermafaat kepada manusia). Makanya, manusia tawḥīd ḥusūniyyah semacam ini akan merahi kebahagian di dunia (fi al-dunyā hasanah) dan sekaligus akan menggapai kebahagian di akhirat (fi al-ākhirah hasanah), sebagaimana sering dipanjatkan kepada Allah di setiap akhir doa [pemungkas] seusai melaksanakan s}alat.

Landasan Tawḥīd Ḥusūniyyah

Konsep tawḥīd ḥusūniyyah dibangun beralas pada asas-asas doktrin Islam, yaitu Firman Allah dan Hadis Nabi. Pertama, salah satu sifat Allah ialah ih}san, yaitu membuat semua ciptaan-Nya baik, dan sebaik-baiknya. Di antara Firman Allah tentang ini: “Dialah yang membuat semua yang diciptakan-Nya baik” (Q.s. al-Sajadah [32]:7); “Dan Dialah yang memberi bentuk kepadamu sekalian, kemudian Dia membuat bentukmu baik” (Q.s. al-Ghafīr [40]: 64; juga Q.s. al-Taghābun [64]:3).

Kemudian, Allah mempertegas ayat-ayat ini dengan memerintahkan manusia sebagai khalifah di bumi (khalīfah fī al-arḍ) agar meneladani Allah, firman-Nya: “… wa aḥsin kamā aḥsan Allah ilayka wa la tabghi al-fasād fi al-arḍ inna Allah la yuhibb al-mufsidīn (dan berbuat baiklah engkau sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesugguhnya Allah tidak menyukai orang yag berbuat kerusakan.” (Q.s. al-Qasās [28]: 77).

Berikutnya, ayat-ayat tersebut ditopang hadis Qudsi yang menganjurkan: “takhallaqū fī akhlaqi Allāh (berakhlaklah engkau sebagaimana akhlaknya Allah). Diantara perbuatan iḥsan (kebajikan) itu adalah berinfak (apalagi dalam kondisi kurang punya), mampu manahan amarah dan sekaligus memberi maaf. (Q.s. ‘Ali Imrān: [3]: 134. Pada ayat lain, Allah berulang-ulang menyebutkan kaitan antara keimanan dan ketakwaan yang diringi dengan perbuatan kebajikan. (Q.s. al-Maidah [5]: 93).

Kedua, hadis Nabi [hadis nomor ke-2 dalam kumpulan hadis ‘Arba‘īn], terutama menyangkut pertanyaan malaikat Jibril tentang iḥsan: “Akhbirny ‘an al-iḥsan?” Kemudian, Nabi Muhammad saw. menjawab: “‘an ta‘bud Allah ka’annaka tarāh fa ‘illam takun tarāh fa innahū yarāka” (Sembahlah Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, tetapi kalau kamu tidak bisa melihatnya, maka yakinilah bahwa Dia (yang) melihatmu. HR. Bukhari-Muslim). Pada hadis senada lainnya disebutkan: “‘An takhsya Allah ka’annaka tarāh fainnaka in la takun tarāhu fainnahū yarāk” (takutlah kepada Allah sekan-akan kamu melihatnya, maka sesungguhnya kamu tidak meliaht-Nya, maka sungguh Dia melihatmu. (HR. Bukhari-Muslim).

Term “iḥsan” itu, sebagaimana termaktub dalam rentetan hadis riwayat Bukhari-Muslim di atas, adalah kelanjutan hirarkis dan logis dari dua pertanyaan malaikat Jibril sebelumnya, yaitu: “mā huwa al-īmān” yang kemudian dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Iman”; dan “mā huwa al-islām” yang belakang dirumuskan menjadi doktrin “Rukum Islam”. Artinya, kesadaran ihsan sejatinya baru bisa ada dalam diri seseorang kalau kesadaran iman dan islam sudah dimiliki sebelumnya. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa inti nilai-nilai yang terdapat dalam konsep iman dan islam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari nilai-nilai iḥsan.

Demikian pula konsep simpul-simpul keagamaan pribadi, yaitu “taqwa”, “tawakal” dan “ikhlas” menjadi kualitas-kualitas seseorang yang beriman kepada Allah yang tidak bisa dilepaskan dari tawḥīd ḥusūniyyah. Jadi, manusia yang memiliki tawḥīd ḥusūniyyah, taqwa menjadi kesadaran berbuat baik demi ridha Allah; tawakal menjadi sumber kekuatan jiwa dan keteguhan hati dalam menghadapi tantangan dan persoalan hidup, terutama dalam perjuangan memperoleh ridha-Nya; Ikhlas menjadi ruh segala amal ibadah yang sangat rahasia dalam diri seseorang, dan hanya diketahui oleh yang bersangkutan, terutama oleh Allah Yang Maha Tahu (al-‘Alīm).

Demikinan pula dengan simpul-simpul keagamaan sosial, misalnya, terutama keadilan (‘adl) juga memiliki hubungan erat dengan keimanan. Untuk itu, keadilan imani terkait erat dan jalin-berkelindan dengan iḥsan, sehingga Allah memeritahkan keduanya secara bersamaan untuk dilaksankan terhadap sesama manusia dengan setulus-tulus dan semurni-murninya (Q.s. al-Nahl [16]: 90), karena kita melakukan itu di hadapan Allah untuk menjadi saksi bagi-Nya (Q.s.al-Nisā [4]: 136). Bagi Allah segala perbuatan dan kenyataan serta detak hati nurani tidak akan pernah dapat di rahasiakan (Q.s. al-Māidah [5]: 8).

Signifikansi “Tawḥid Husūniyyah”

Dewasa ini, tidak sulit melihat dengan kasat mata ada orang yang saleh secara individul dengan indikasi, misalnya, rajin s}alat lima waktu, naik haji ke Mekkah sampai dua-tiga kali serta ‘umrah saban waktu dikehendakinya. Adalah benar bahwa ibadah ‘umrah, haji, dan terutama shalat sebagai wujud nyata pengejawantahan yang paling representatif dari tawḥīd ulūhiyyah. Akan tetapi, ia tidak memaknai ibadah-ibadah tersebut sebagai kesalehan pribadi yang mempunyai implikasi kesalehan sosial, sehingga shalatnya tidak fungsional, yaitu tidak dapat mencegahnya untuk berbuat keji dan jahat terhadap sesama manusia dan ciptaan Allah lainnya, seperti alam dan lingukangannya.

Makanya, tidak mengherankan kalau ada orang begitu “kelihatan” shaleh secara individual sewaktu di masjid (salatnya begitu khusyu, berdoanya raja‘ wa khawf [harap dan cemas] kepada Allah) ; atau sewaktu di haramayn, Mekkah dan Madinah (seluruh rangkaian ibadah haji/’umrahnya begitu dekat sama Allah, doanya disertai cucuran air mata karena menyesal atas dosa-dosanya). Namun, setelah pulang dari shalat atau pulang dari haji atau umrah, “Allah”-nya di tinggal dalam masjid atau di depan Ka’bah. Artinya, ia tidak lagi memiliki tawḥid ḥusūniyyah, yaitu Allah tidak mengawasinya lagi, dan Allah tidak lagi hadir dalam dirinya. Sehingga, matanya menjadi “hijau” kalau melihat uang rakyat. Karena tidak bisa dikorupsi secara langsung (kalau itu dilakukanya secara langsung juga, lalu apa bedanya ia dengan perampok), kemudian ia rekayasalah sedemikian rupa sehingga uang rakyat itu “sah” menjadi miliknya.

Seandainya, (sekali lagi, ini seandainya) orang tersebut tidak “meninggalkan” Allah di dalam masjid atau depan Ka’bah di Mekkah sana, dan dalam kalbunya tertanam tawḥid ḥusūniyyah, tentu ia selalu merasa diawasi Allah kapan, dimanapun serta bagaimanapun Allah senantiasa Hadir dalam dirinya. Sehingga, misalnya, kalau mau menyuap ia akan mengurungkan niatnya karena Allah mengawasinya; dan/ atau kalau mau disuap ia akan memenafikkan karena Allah selalu hadir dalam hidupnya. Sayangnya, ia hanya pengandaian, dan kalau hanya terus menjadi mengandaian, maka penyegahan korupsi tinggal agan-angan yang absurd dan utopis.

Ironisnya lagi, lambat-laun, orang semacam ini hatinya tidak lagi memancarkan “cahaya” (hatinya tidak lagi “nurani” [bersifat cahaya-terang], tetapi sudah “zulmāni [bersifat gelap-gulita]). Dengan begitu, ia tidak dapat lagi melihat kejahatan yang dilakukannya sebagai kejahatan. Malahan, kejahatan yang dilakuknannya sudah dilihatnya seolah-olah menjadi “baik” dan “halal”. Termasuk kejahatan uang hasil korupsi yang ia sumbangan ke masjid-masjid baginya “baik-baik” saja; atau uang hasil korupsi yang pergunkan naik haji dan ‘umrah berulang-ulang kali itu buat dirinya “halal-halal” saja.

Padahal, hakekat tujuan ibadah mahdah, terutama s}alat adalah agar manusia menjadi baik dan terhidar dari perbuatan keji dan mungkar (inna al-ṣalah tanhā ‘an al-fahshāi wa al-munkar [Q.s. al-Ankabut [29]: 45]). Bahkan bagi orang yang shalat sekalipun, tetapi tidak memiliki tawḥid ḥusūniyyah, justru ia menjadi orang yang celaka (“wayl li al-muṣallīn; al-lathīna hum ‘an ṣalātihim sāhūn; al-lathīna hum yurā’ūn; wa yamnā‘ūn al-mā‘ūn (maka celakalah orang yang shalat, yaitu orang-orang lalai terhadap s}alatnya, yang berbuat ria, dan enggan memberikan bantuan. (Q.s. al-Mā‘ūn [107]: 4-7).

Seseorang yang tidak memililki tawḥid ḥusūniyyah pada satu sisi boleh saja (kelihatan) khushu’ dalam salatnya, tetapi pada sisi lain rakus korupsi dalam jabatannya. Meskipun segara harus ditambahkan, bahwa “khushu’ dalam salat di sini bukan dalam makna sebenarnya (hakiki), tetapi dalam makna artifisial, sekedar dipermukaan dengan motivasi ingin pamer, riyā (ingin dilihat orang lain). Sedemikian berbahaya penyakit hati ini bagi keintregralan harkat dan martabat kemanusiaan, sampai-sampai Nabi menyatakan: “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu sekalaian ialah syirik kecil, yaitu riyā.”

Begitu pula, seseorang yang tidak mempunyai kesadaran tawḥid ḥusūniyyah, kalaupun ia berbuat kebaikan, misalnya memberikan derma kepada orang lain, dapat dipastikan tidak ada keikhlasan dalam berbuatannya itu, sebab bukan Allah yang menjadi motivasi dan orientasinya. Ketika akan berderma, misalnya, ia mengundang wartawan untuk konferensi press agar semua orang mengenalnya sebagai seorang dermawan. Dan sifat “kedermawannya” itu hanya akan muncul pada waktu-waktu tertentu, seperti kalau ada pemilihan legeslatif dan eksekutif.

Dalam ajaran Islam, berbuat baik, misalnya berderma/ bersedakah, meskipun tidak akan batal karena disampaikan (diumumkan) kepada orang banyak secara wajar, akan lebih baik apabila dilakukan secara diam-diam. (Q.s. al-Baqarah [2]: 271). Untuk itu, sesorang yang beriman dengan memiliki tawḥid ḥusūniyyah dalam segala amal ibadahnya, ia hanya terdorong untuk merahi ridha atau “wajah” Allah. (Q.s. al-Baqarah [2]: 272; al-Insān [76]: 9). Konsekwensi logisnya, manusia tawḥid ḥusūniyyah tidak lagi berada pada tataran, meminjam term dalam tawasuf, “takhalli”, yaitu mengosongkan dirinya dari perbuatan buruk dan keji (munkar dan fahsha), tetapi sudah berada pada tataran “taḥalli”, yaitu mengisi dirinya dengan perbuatan baik dan terpuji (al-ma‘ruf dan al-khayr).

Akhir Kata

Dalam mencegah dan memberantas kejahatan korupsi, penegak hukum, khususnya lembaga KPK mesti tegas menjatuhkan hukuman seberat-beratnya, kalau perlu dengan hukuman mati. Meskipun demikian, seorang difigur intleketual Melayu-Riau, Raja Ali Haji menyarankan kepada penegak hukum agar lebih mengutama penyegahan kejahatan korupsi ketimbang pemberantasannya. Pencegahan yang dimaksud Raja Ali Haji adalah lewat pendidikan dan internalisasi nilai-nilai, seperti “bermalu” (etika-personal), “beradab-bersopan” (etika-sosial) dan “takut akan Allah” (etika-teologis).

Dengan internalisasi nilai-nilai ini terutama yang disebut terakhir (takut pada Allah) menjadikan manusia senantiasa berbuat benar dan baik lantaran ia selalu merasa dalam pengawasan Allah. Dan pada gilirannya, Allah selalu hadir dalam dirinya (omnipresent). Dengan demikian, orang bersangkutan telah memiliki “puncak” tawh}id, yaitu “tawḥīd ḥusūniyyah”, setelah tawḥīd ulūhiyyah dan tawh}id rububiyyah secara berturut-turut.

Tanpa pencegahan semacan itu kejahatan korupsi akan terus berulang dan merajalela. Pada gilirannya, para penegak hukum akan direpotkan penyengahan korupsi, terlebih-lebih pemberantasannya. Dalam konteks ini, mari kita tutup dengan mengutip penyataan Raja Ali Haji dalam Thamarāt al-Muhimmah: “… karena takut akan raja juga, bukannya karena takut akan Allah Ta’ala atau beradab dan bersopan dan bermalu, maka apabila alfa sedikit kawal raja dan jaga raja, kembali pula ia semula pada pekerjaannya demikian halnya.”

Sebaliknya, kalau mereka memiliki etika-personal, etika-sosial dan etika-teologis atau tawḥīid ḥusūniyah serta memiliki akal yang dapat mengetahui benar dan salah; dan memiliki hati nurani yang dapat membendakan baik dan buruk, niscaya mereka sendirilah yang akan mengontrol dan mencegah dirinya untuk melakukan kejahatan dan berpuatan tercela lainnya. Artinya, kata Raja Ali Haji, “tiada susuh dan payah atas raja-raja dan orang besar-besar membuangnya” — [memberantas kejahatan – penulis].

Wa Allah ‘alam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-hidayah illā bi Allah.

Si al-Fakīr

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)