Beragama dan Menjalin Keberagaman

Beragama dan Menjalin Keberagaman

By: Agus Nurwansyah

Indonesia adalah negara yang besar dengan keanekaragaman budaya, bahasa dan agamanya. Tercatat secara resmi ada enam agama yang diakui. Kehidupan beragama menarik untuk dibahas. Selain karena agama dapat menjadi sumber perdamaian, agama juga dapat menjadi sumber pertikaian. Ada banyak contoh kasus pertikaian yang mengatasnamakan agama, konflik antara Palestina dan Israel yang merebutkan the solomon tample yang telah melebar sampai bidang politik, hukum dan wilayah kekuasaan. Belum lagi, konflik antara Muslim dan Hindu di India yang berujung pada pembakaran Masjid. Di Myanmar, Muslim Rohingnya dibantai dan diusir dari kampung halamannya oleh Umat Budha Rakhine. Agama seolah menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan dan pertikaian.

Indonesia juga pernah memiliki sejarah kelam konflik antar agama. Konflik yang ada di Ambon tersebut berubah menjadi perang dan pembantaian saudara se-bangsa dan se-tanah air. Sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, Kristen mengajarkan cinta kasih, sedangkan Islam mengajarkan rahmah atau kasih sayang, begitupun Hindu, Budha, Protestan dan Konghucu juga mengajarkan hal serupa.

Salah satu penyebab terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama ialah Truth Claim atau klaim kebenaran. Dalam setiap agama pasti ada yang namanya klaim kebenaran, misalnya, di agama Kristen ada kata-kata Yesus “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun dapat datang kepada bapa kalau tidak melalui aku”. Sedangkan dalam Islam terdapat dalam surah Ali Imran ayat 19 “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Ini membuktikan bahwa setiap agama pasti ada klaim kebenarannya bagi para pemeluknya, untuk memperkuat iman umatnya dan bukan menjadi landasan dalam melakukan kemunkaran kepada sesama makhluk Tuhan.

Meskipun klaim kebenaran ada dalam setiap agama, namun setiap agama juga mewajibkan seseorang menghargai dan menghormati sesamanya. Klaim kebenaran sah-sah saja digunakan oleh umat beragama dalam ruang lingkup agamanya agar menjadi landasan untuk memperkokoh keimanannya. Tetapi juga tidak benar jika dalam ruang lingkup yang beragam seperti di Indonesia ini memaksakan kehendak atas klaim kebenarannya, ini justru akan menghilangkan sikap toleransi dalam beragama. Sedangkan setiap agama mewajibkan toleransi bagi pengikutnya. Dalam Islam sendiri sikap toleransi disebut Tasamuh atau tenggang rasa.

Sikap tasamuh di Indonesia sendiri semakin hari semakin terkikis. Penyebabnya adalah berkembang pesatnya paham-paham eksklusisvisme. Idiologi yang menggunakan klaim kebenaran dan orientasi diri secara berlebihan. Kemudian paham ini menjadi gerakan radikalisme, kata yang sering diagung-agungkan adalah “Jihad Suci” yang berlindung dibalik topeng agama untuk melakukan kekerasan dan sikap Intoleransi yang jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Intelejen Negara (BIN) di tahun 2017 ada 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia terpapar paham radikalisme sebagai akibat dari sikap eksklisivisme. Penelitian juga merilis hasil peningkatan paham konservatif dalam beragama. Ada sekitar 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan Jihad demi tegaknya negara Islam. Pemahaman agama yang salah akan melahirkan perilaku yang salah pula. Memahami agama secara tekstual, tanpa pembimbing yang bersanad dan menggunakan satu sumber hanya akan menjadikan agama sebagai pemicu konflik.

Peran pemuda khususnya mahasiswa sangat diperlukan dalam mengikis paham eksklusivisme dan radikalisme. Terutama dalam meluruskan pemahaman yang salah di kalangan mahasaiswa. Menilik penelitian yangi dilakukan BIN, maka sebetulnya mahasiswa mempunyai perananan penting dalam menentukan arah bangsa. Betul jika mahasiswa disebut sebagai Agent of Change, tergantung ke arah manakah perubahan itu dilakukan. Jika pemahaman eksklusif tidak segera diimbangi dengan pemahaman inklusif, bukan tidak mungkin Indonesia bisa seperti Suriah yang dipenuhi peperangan dan pertikaian yang sama-sama berlindung dibalik kata suci Allahu Akbar.

Tentu kita ingin NKRI hancur hanya karena oknum beragama yang salah memahami agama dan menjadikan agama sebagai ruang sempit sebagai satu kelompok saja. Negara kita dihuni lebih dari 300 suku yang memiliki 700 bahasa dan berbagai agama. Keberagaman ini seharusnya kita jaga sebagai bangsa yang majemuk. Agar kita dapat menjalankan aktivitas kita sebagaimana mestinya dan dapat hidup tentram tanpa ada rasa khawatir menjalankan kegiatan keagamaan maupun kebudayaan di tanah kelahiran.

Dinamika kehidupan beragama dan bernegara masih meninggalkan pekerjaan rumah, salah satu yang masih menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Ikatan pernikahan beda agama masih belum mendapatkan pengakuan di negara kita. Ada banyak kasus pernikahan beda iman yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor catatan sipil. Pernikahan yang seharusnya dipermudah untuk menyatukan dua insan yang saling memadu kasih, malah dipersulit. Begitu intolerannya kehidupan kita sehingga pernikahan lintas iman tidak diperbolehkan secara undang undang yang mengharuskan pernikahan se-iman, padahal di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat surat Al-Maidah ayat 5 yang membolehkan pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab.

Sudah seharusnya kita membuka mata dan menerima perbedaan yang mustahil untuk kita hindari, karena kita hidup di negara yang majemuk. Perbedaan bukanlah hal yang mesti kita perdebatkan, tetapi perbedaan menjadi warna bagi kehidupan kita. Pelangi bisa indah karena perbedaan warnanya, pernikahan juga demikian. Perbedaan agama dalam ikatan pernikahan bukan berarti melunturkan keimanan seseorang, sejatinya pernikahan untuk menyatukan cinta yang fitrah agar dapat menjadi keluarga dalam ikatan yang sah.

Solusi dari kehidupan plural saat ini ialah, dialog keberagaman untuk membuka mindset dalam beragama dan menerima keberagaman. Ini penting di era kehidupan global seperti sekarang ini, di mana kita hidup dalam tatanan yang disebut sebagai Global Village atau perkampungan dunia. Artinya, keberagaman sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi. Mencari perbedaan hanya akan melahirkan pertikaian, tetapi mencari persamaan akan melahirkan perdamaian. Kita sama-sama hidup di Alam yang diciptakan tuhan, dengan keanekaragaman yang tujuannya hanyalah “lita’arafu” untuk saling mengenal. Bagaimana kita bisa mengenal kalau pemikiran untuk kenal saja tidak ada dalam benak kita.

Tetapi kenyataanya sekarang toleran dianggap liberal, konservatif dianggap paling beriman. Toleransi adalah sebuah keharusan di negeri kita yang majemuk. Namun kenyataannya dalam beragama masih saja ada dinding pembatasnya. Pengecaman terhadap penganut Ahmadiyah yang berujung pada pembakaran masjid adalah bukti masih terkekangnya seseorang dalam menjalankan kepercayaannya, belum lagi sweeping pengajian Syi’ah, serta tidak diakuinya aliran-aliran kepercayaan seperti Samin, Kejawen dan Sunda Wiwitan yang berujung pada pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk mereka.

Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa harus berdiri paling depan dalam memerangi paham radikalisme dan menjaga indahnya keberagaman di negeri ini. Bukan bertanya agamamu apa? Sukumu apa? Dari pulau mana?. Tetapi kita sebagai anak bangsa berhak atas semua apa yang ada di tanah air kita, sesama makhluk tuhan dan memilih jalan sesuai apa yang kita yakini kebenarannya. Menghormati dan menghargai sesama, beragama sudah dijamin kebebasannya oleh Undang Undang Dasar. Saatnya kita mendewasakan pemik

Inklusivisme dan Moralitas Generasi Bangsa

By: Tumpuk Saleah

Inklusivisme

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki beragam agama, budaya dan ras. Terhitung ada 6 agama yang disahkan oleh pemerintah dan dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berdasarkan persentase sensus penduduk pada tahun 2010, agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebagai berikut;Islam 87,2%; Kristen 6,9%; Hindu 1,7%; Budha 0,7%; Konghucu 0,05%; dan Khatolik 2,9%.

Keragaman agama ini yang patut di syukuri. Karena sampai saat ini keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia tidak mempengaruhi dalam bernegara dan bernegara. Sikap dan perilaku saling menghargai di tandai dengan adanya kerukunan dan kedamaian yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan tentu berbeda dalam menciptakan suatu kedamaian.

Pada era globalisasi ini, kedamaian sulit untuk dicapai. Ini disebabkan pada salah satu paham dari Tipologi Tripolar yang dipopulerkan oleh Alan Race yaitu; eklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.  Tipologi Tripolar digunakan untuk memetakan beragam pendekatan para teolog dan non-teolog Kristen mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain. Pemetaan ini didasarkan pada kesamaan dan perbedaan cara pandang penganut Kristen terhadap agama-agama lain diluar Kristen.

Dari tiga teologi ini, paham inklusivisme mempengaruhi kedamaian yang diinginkan masyarakat Indonesia. Kedamaian ini tidak terlepas dari moralitas anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Penerus perjuangan, pemeliharaan terhadap cinta tanah air, rasa kepedulian serta penuntun pentingnya akan arti kedamaian yang sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.

Paham inklusivisme adalah paham yang beranggapan bahwa sikap atau pandangan yang melihat agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, tetapi pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Kristus hadir dan bekerja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi. Dalam pandangan ini, orang-orang dari agama lain melalui anugerah atau rahmat Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah.

Inti dari inklusivisme tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak dianut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan terhadap agama yang dianut. Bagi Islam, paham ini adalah paham kufur atau ingkar terhadap Islam dan pelakunya disebut kafir. Pahan yang seperti ini harus ditolak oleh semua pihak. Karena paham ini dapat menjerumuskan moral generasi bangsa khususnya pada kepedulian serta sikap toleransi terhadap sesama.

Paham inklusivisme dapat menimbulkan dampak buruk bagi moralitas generasi bangsa. Karena inklusivisme mempondasikan agama Kristen dalam pemberian rahmat dari Allah. Sedangkan di Indonesia memiliki beragam agama yang berpendapat bahwa ajaran yang mereka anut adalah ajaran yang paling benar dibandingkan pada ajaran yang lain. Dampak yang seperti ini sangat dikhawatirkan.

Khususnya pada generasi yang kurang akan ilmu pengetahuan agama dan umum serta pemahaman sikap. Keterbatasan ini timbul akibat terbatasnya ekonomi masyarakat kecil untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun, keterbatasan ekonomi tidak dapat disalahkan. Hanya saja tergantung pada minat serta niat anak muda dalam keseriusan mencari dan menuntut ilmu. Hal ini sangat berbahaya, karena dapat merusak kedamaian dan kerukunan bangsa yang sejak dulu sudah dibangun oleh para pejuang bangsa.

 

Agama dan Moralitas

Dalam agama terdapat aturan-aturan tentang bagaimana menjalani hidup di dunia, baik hubungan dengan sesama manusia,  manusia dengan lingkungan serta manusia dengan Tuhannya. Hubungan semacam ini berpengaruh pada pola sikap manusia dalam mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari. Tindakan yang merujuk pada implementasi ini adalah moralitas, yang mencakup berbagai aspek untuk bertindak dan berbuat.

Moral merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan. Moral menjadi tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia dalam berinteraksi. Sehingga seorang dapat memiliki moral bersifat baik ataupun moral yang bersifat buruk. Moral tidak akan terlepas dari agama, karena di dalam agama terkandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai ini hendaknya dapat dicapai oleh anak muda generasi bangsa.

Moralitas dalam agama juga dipandang sebagai sesuatu yang luhur, tatanan dalam kehidupan sosial yang dijadikan pedoman. Dapat dikatakan, agama melahirkan moral. Sehingga seseorang yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik semestinya juga memiliki moral yang baik. Baik buruknya moralitas tergantung pada manusia itu sendiri dalam meyakini dan mepelajari agama yang telah dianut.

Perluasan paham inklusivisme melemahkan moralitas anak muda yang berbeda agama. Hal ini berdampak pula pada tindakan keseharian mereka yang tidak menerima perbedanaan. Tindakan pemisahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Maksudnya seperti contoh antara golongan Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen tanpa menyatu dan berbaur satu sama lain. Pemisahan ini yang menjadi masalah utama dalam kedamaian bangsa.

Tindakan seperti ini dapat mendorong anak muda untuk bertindak buruk bahkan bertindak kriminal. Karena ingin mempertahankan sifat apatis dari golongan masing-masing. Sehingga mengakibatkan anak muda berpikiran bahwa kebenaran yang hakiki bukan lah milik bersama, melainkan milik golongan yang dapat menang dalam permusuhan dan perselisihan. Kejadian ini sangat tidak diinginkan oleh bangsa Indonesia.

Tindakan yang dilakukan tidak hanya pada dunia nyata, melainkan mereka lakukan dalam dunia maya menggunakan media sosial. Media sosial lebih berbahaya dalam perluasan permusuhan, bisa jadi diantara mereka melakukan pembulian terhadap agama musuh mereka dan membuat berita-berita hoax yang mengacu pada pertengkaran. Semua tindakan yang dilakukan tentulah sangat berbahaya pada diri mereka dan orang lain.

Setiap agama menjunjung tinggi nilai moralitas sesuai dengan sumber  ujukan untuk bertindak sesuai dengan ajaran masing-masing. Setelah mengetahui sumber rujukan tersebut, tentulah sebagai generasi penerus bangsa untuk meninggalkan paham inklusivisme. Paham yang dapat merobohkan suatu kedamaian dan dapat merusak moralitas anak muda penerus bangsa.

 

Rujukan Sikap Moralitas

Dalam agama Islam, rujukan moralitas terdapat dalam al-Quran Surah Al-Ahzab 23 ayat 21 “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulallah itu suri teladanyang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Pada ajaran Kristen, moralitas terdapat dalam al-kitab (Filipi 2:5) “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus Kristus”.

Selanjutnya pada agama Hindu yang terdapat di kitab Weda pada Karmapala Sinddha “ Keyakinan terhadap phala dari perbuatan, sebagai landasan sikap mental dan budi pekerti serta membangkitkan kesadaran untuk mengendalikan diri dalam berpikir, berbicara dan berbuat. Kemudian, dalam agama Buddha terdapat dalam Tripitaka Anguttam Nikaya 6.63 “Dewa bhikkhu, cetana (kehendak) lah sing kunyatakan sebagai kamma. (setelah berkehendak orang melakukan tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran menyatukan kebersamaan)

Beberapa rujukan sikap moralitas berdasarkan ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia sama-sama menginginkan kedamaian dan kebersamaan. Apabila pahan inklusivisme terus merambat di negeri Ibu Pertiwi, maka dapat merusak nilai moralitas anak muda di Indonesia. Untuk itu, hendaklah bersikap tegas dan perpikir kritis dalam menghadapi perbedaan agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan yang mengakibatkan runtuhnya nilai luhur Bangsa Indonesia.

Anak Muda dan Inklusivisme Beragama

Anak Muda dan Inklusivisme Beragama

By: Nurliza

Anak muda adalah fase dimana puncaknya seseorang masih sangat aktif, antusias, frontal, ingin terlihat, serta ingin diakui keberadaanya. Masa ini disebut juga era milineal dimana anak muda sekarang tempatnya untuk mencari jati diri, mengenal dan mencari sosok yang bisa dijadikan panutan untuk mengokoh dirinya menjadi sosok yang bisa menjadi dipercai oleh dirinya dan orang lain. Tidak jarang pula sosok anak muda diusia remaja sering mengikuti dan meniru apa yang menurutnya benar. Sehingga tidak jarang anak muda melakukan perilaku diluar batas kemampuan sehingga menimbulkan sikap menyimpang dan anarkis.

Kemampuan anak muda di era milineal membuat kegelisahan para orang tua yang ingin anaknya menjadi seseorang yang berguna bagi keluarga, bangsa dan agama. karena sifat yang dimiliki anak muda memang mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan sekitar. tetapi tidak jarang pula anak muda yang memiliki sikap yang tidak perduli dengan lingkungan bersosial. kebebasan pergaulan tanpa pengawasan orang tua juga bisa menimbulkan anak muda yang anarkis dan frontal.

Jadi penanaman dasar terhadap agama perlu diberikan oleh orang tua kepada anak muda, karena banyak sekali orang tua tidak memperhatikan dan menanam sikap ketauhidan kepada anaknya sehingga anak tidak mempercayai adanya tuhan, dan mencari kemudahan dalam beragama. Apa yang dilihat tanpa mencari kebenaran mudah sekali untuk di ikuti. Anak muda mudah sekali terpengaruh oleh teman sebaya karena sifatnya yang suka meniru dan mencontoh sikap baik dan buruk. Anak muda seperti ini memiliki tingkat keimanan yang lemah.

Diera milenial misalnya banyak perilaku kriminal yang di dasarkan sikap dan tindakan dari anak muda karena memiliki keimanan yang lemah. kejadian terkadang tidak didasarkan hal yang penting terkadang juga hal yang sepele tetapi dibesarkan-besarkan oleh pihak lainnya sehingga terjadilah keributan yang menimbulkan kriminal dan membuat polisi ikut campur dalam menegaskan tindakan yang dilakukan oleh anak muda ini.

Dilihat dari sisi lain seperti agama, menjadi panutan dan pegangan yang sangat penting untuk umat manusia. Sehingga ajaran agama yang diajarkan menjadikan panutan untuk menjalankan kehidupan bersosial.  Sikap bersosial di masyarakat menggambarkan ketaatan kepada tuhan sesuai yang dipercayai dan dianut.

Kegelisahan yang menjadi dasar penting untuk orang tua juga tidak kalah terhadap ketaatannya kepada tuhan, di lihat dari pandangan islam sendiri kegelisahan yang mendasar orang tua terhadap anak muda tentu menjadi hal yang di khawatirkan oleh orang tua,yang mana inklusivisme bisa saja menjadi tantangan terbesar yang bisa merubah pemikiran anak muda untuk mengikuti perintah agama menjadi berbeda karena pemahaman yang mendasar terhadap agama kurang dimiliki dan kurang pengawasan dari orang tua.

Hal beragama dikalangan anak muda menjadi faktor penting karena anak muda adalah penerus bangsa dan menjadi pondasi yang penting untuk agama serta bangsa. jika pemahaman terhadap agama sangat dangkal maka anak muda tersebut bisa saja terjerumus kedalam aliran yang menurut nya bisa merugikan untuknya tanpa mencari tahu kebenaran dari suatu yang telah diajarkan atau yang didapatkan.

Kepercayaan terhadap tuhan di era anak muda memiliki nilai positif, akan tetapi tidak jarang dari kalangan milenial memaknai ketauhidan yang diyakininya mendasarkan kepada inklusivisme beragama yang mana maksud dari inklusivisme sendiri adalah bentuk pemahaman dan keyakinan  bahwa seluruh agama diluar agama kristiani memiliki kebenaran tetapi yang paling benar adalah agama Kristen.

Pemahaman inklusivisme beragama dikalangan anak muda seperti ini jika ditinjau dari pandangan islam memang bertentangan dengan ketauhidan islam yaitu kepada Allah SWT. Jika di percayai oleh kalangan anak muda bahwa agama yang paling benar adalah agama kristiani maka ketauhidan yang dimiliki oleh anak mudater sebut telah hilang.

Sehingga pandangan dari agama selain Kristen juga dapat diselamatkan oleh ”Tuhan Allah” tetapi sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam ajaran “Yesus”. dan inti pandangan dari inklusivisme ini adalah bahwa agama selain Kristen itu tidak mendapat keselamatan dengan rahmat dari “Tuhan Allah”. hanya agama kristiani yang memiliki keselamatan yang hakiki.

Anak muda yang diserang inklusivisme ini memberikan dampak pada pemikiran yang negatif, sehingga mereka meyakini bahwa kepercayaan yang didapat memang benar dari agama Kristen, dan membuat pemikiran anak muda terhadap selain agama Kristen tidak mempercayai agama lain. Dan pandangan para ahli menyatakan bahwa orang yang menganut agama selain Kristen juga tergabung kedalam gereja agama Kristen, sehingga keselematan yang dianut didapat oleh umat selain penganut agama Kristen itu merupakan keselamatan dan rahmat dari “Tuhan Yesus”

Inklusivisme beragama di era anak muda menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh setiap manusia, karena pelajaran yang diberikan  sekolah belum mampu merubah pemikiran anak manjadi taat beragama, pengawasan orang tua juga penting. karena sifat anak yang suka mengikuti hal yang baru bisa mengakibatkan hal yang fatal untuk keluarga bahkan bisa merugikan orang lain.

Hal ini merasuki pikiran anak muda bahwa agama Kristen tidak memiliki keselamatan sehingga menganggap selain dari agama yang dianut, akan masuk neraka. Padahal jika dilihat dari masing-masing agama mereka mempercayai setiap agama yang dianutnya adalah benar dan menjadi penolong. tetapi pemikiran inklusivisme ini memberikan hal yang berbeda dipemikiran anak muda. bahwa keselamatan di dapat dari agama kristiani.

Jadi inklusivisme maksudnya adalah ustau pemahamn bahwaseluruhagama di luar agamakristenan diyakini memiliki kebenaran tetapi yang paling benar adalah agama Kristen. kemudian menurut pandangan ini,nantinya penganut dari agama-agama selain Kristen juga dapat diselamatkan oleh “Tuhan Allah”  tetapi sesuai dengan syaratdan ketentuan dalam ajaran Yesus. Pada intinya pandangan inklusivisme ini tidak mendiskriminasi bahwa agama  selain Kristen itu tidak mendapat keselamatan tetapi dengan rahmat dari “Tuhan Allah” agama diluar kekristenan pun mendapatkan keselematan.

Pandangan terhadap inklusivisme beragama sendiri penting untuk di perhatikan dan dipahami oleh setiap umat manusia yang memiliki keyakinan dan kokoh akan agamanya. Agar tidak terpengaruh terhadap inklusivisme beragama. Terutama anak muda yang sangat mudah untuk terpengaruh kedalam hal-hal yang suka mengikuti suatu kaum.

Dari paham inklusivisme beragama terhadap anak muda disini memberi pengaruh yang besar terhadap pemahaman remaja bahwa tuhan yang dipercai dari agama kristen adalah dari Yesus Kristus sebagai sumber pemberi keselamatan, dan keselamatan yang diberikan kepada agama selain Kristen adalah berasal dari agama Kristen.

Keperacayaan terhadap paham inklusivisme ini memberi pemahaman bahwa kasih sayang yang diberikan oleh tuhan kepada umat agama Kristen adalah sangat besar. Dan menganggap bahwa setiap orang boleh mempercayai hal tersebut. Paham ini juga memberikan agama lain untuk mempercayai kepada kristus. Tetapi jika agama lain diselamatkan oleh kristus maka  agama selain Kristen harus mengimani kepada agama Kristen yaitu yang dibawa oleh ”Tuhan Allah” atau Kristus.

Pemuda itu Meyakini, Bukan Menghakimi

Pemuda itu Meyakini, Bukan Menghakimi

By: Mhd. Novedy Husain

Indonesia adalah tanah surga” begitulah sederet kalimat yang dinyanyikan sebuah grup musik bernama Koes Plus yang dibentuk pada tahun 1969. Kalimat tersebut bukanlah sekedar nyanyian hiburan semata. Sebab, Indonesia adalah benar negeri kaya akan perbedaan dan keragaman, mulai dari suku, bahasa,  ras, budaya, adat istiadat, dan agama.

Keragaman negeri ini tidak ada satupun negara di dunia yang  memilikinya sama persis. Hal ini sepatutnya menjadikan warga negara Indonesia harus bangga dan bersyukur. Anugrah ini menjadi keberkahan yang diberikan tuhan untuk tetap dijaga dan dilestarikan. Multikultural bangsa Indonesia menjadikannya ibarat sebuah taman yang ditumbuhi bunga-bunga dengan berbagai macam warna. Begitu juga halnya kehidupan, tanpa warna dunia ini terasa kurang indah dan hambar.

Jika ditarik garis lurus kebelakang, Indonesia telah merdeka lebih kurang sejak 73 tahun yang lalu. Tepatnya, pada tanggal 17 agustus 1945 yang di proklamirkan oleh presiden pertama ir. Soekarno. Semenjak itu, Indonesia bangkit dan berdiri diatas kaki sendiri dengan dasar negara Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika menjadi semboyan negara, yang artinya “ berbeda-beda tetapi tetap  satu jua”. Semboyan ini melambangkan betapa Indonesia meyakini dan menghargai perbedaan. Pendiri bangsa ini meyakini bahwa dengan perbedaan yang ada mampu menjembatani Indonesia melangkah lebih maju ke-depan.

Namun sayangnya seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan nilai-nilai persatuan  tersebut mulai sirna  dari bangsa ini. Akhir-akhir ini Indonesia tengah dihebohkan dengan berbagai konflik yang menciderai keberagamannya. Konflik antar ummat beragama menjadi masalah yang merusak tatanan sosial bangsa ini. Hal tersebut di ibaratkan seperti fenomena mencairnya gunung es yang mampu merusak kawasan disekitarnya. Masalah tersebut tidak seharusnya terjadi di negeri ini, namun karena beberapa faktor seperti dinamika politik, ekonomi, dan tingginya egoisme dalam diri, membuatnya lupa bahwa ada semboyan yang di perjuangkan sejak lama oleh pendiri bangsa ini.Berbagai peristiwa seperti konflik di Poso, konflik Ambon, konflik Tolika, bahkan Konflik Aceh yang dipicu oleh sikap Intoleransi adalah sederet peristiwa-peristiwa yang telah terjadi di Indonesia. Munculnya berbabagai macam konflik antar ummat beragama ini, disinyalir karena kurangnya pemahaman penganut agama tersebut. Bangsa ini sendiri memiliki enam agama yang secara resmi telah di akui, yaitu: Islam, Hindu, Budha, Kristen, katolik dan konghucu. Beragamnya agama di negeri ini sepatutnya dijadikan sebagai bentuk ajang saling menghargai dan saling menyayangi antar sesama ummat beragama. Inilah yang dinamakan penerapan nilai-nilai dari semboyan Bhineka Tunggal Ika.

Jika ditelisik lebih dalam lagi, setiap agama memiliki tujuan yang sama dalam menuntun ummatnya, yaitu agar berlaku baik dan menghindari perpecahan. Sebab, tidak ada satu agama apapun di Indonesia  yang mengajarkan kebencian dan perpecahan. Agama Islam sendiri sangat menjunjung tinggi sikap toleransi. Hal ini secara jelas di sebutkan dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah Ayat 256, yang artinya “ Tidak ada paksaan dalam memeluk agama”. Bahkan di ayat yang lain Allah swt  menjelaskan “ Bagimu agamamu, Bagiku agamaku”. Ini menjadi bukti kuat bahwa Islam adalah agama yang menghargai antar sesama ummat beragama.

Namun yang menjadi persoalan dalam masalah ini adalah bukan terletak di ajaran agama tersebut, melainkan terjadi di dalam diri penganut agama tersebut. Munculnya berbagai konflik  belakangan seharusnya membuka mata kita betapa pentingnya memahami agama yang kita yakini. Terutama bagi kaula muda, dengan semangat yang membara, dan pemahaman yang seadanya membuatnya mudah tersulut api amarah. Kaum millenial atau generasi sekarang ini sebagaimana di tuntut pula oleh era revolusi industri 4.0, harus lebih aktif  dan menambah wawasan secara mendalam lagi.

Oleh sebab itu, inilah saatnya pemuda untuk bangkit membenahi kesalahan-kesalahan yang dahulu pernah terjadi. Perbaikan demi perbaikan harus terus dilakukan dengan konsisten dan berkepanjangan, agar semboyan “ Bhineka Tunggal Ika” itu kembali di junjung  dan di gaungkan seperti dulu. Berbagai upaya bisa dilakukan pemuda untuk membenahi bangsa ini, yaitu seperti:pertama, memahami konsep agama yang diyakini masing-masing pemeluknya. Pemuda Islam memahami ajaran agamanya secara kaffah, yaitu memahami bukan sekedar tekstual akan tetapi juga secaraa kontekstual. Sebab, hal ini dapat menimbulkan kejumudan dan taqlid buta, hingga menjadikannya radikal. Begitu pula pemuda-pemuda yang memeluk agama selain islam, memahami ajaran agama dengan secara matang, tidak mudah terprofokasi oleh pihak-pihak yang memanfaatkan kesempatan untuk menghancurkan bangsa ini.

Kedua, menghargai inklusivisme dan perbedaan yang ada dalam ajaran agama yang diyakini. Dalam ajaran islam, disebutkan bahwa diciptakannya manusia dari berbagai suku dan etnis agar saling mengenal dan menghargai antara satu dengan yang lain. Meyakini bukan berarti menghakimi. Bersatu untuk tidak bersiteru.

Ketiga, meningkatkan literasi agar tidak mudah terprovokasi oleh litter informasi (Hoax). Dengan berbagai upaya tersebut diharapkan pemuda Indonesia saat ini mampu melek terhadap ketimpangan dan persoalan yang dapat membahayakan bangsa ini, dan memberikan solusi-solusi yang berkualitas, demi mengembalikan nilai-nilai semboyan bangsa ini.

Multikultural Sebagai Penangkal Radikal

Multikultural Sebagai Penangkal Radikal

by: Nurhyati Nupus 

Hari ini ketidaknyamanan seolah menjadi bayang-bayang masa depan. Hiruk pikuk pemuda bangsa mulai terngiang di penjuru Indonesia. Kini, kerap kali perbedaan diupayakan menjadi keseragaman, -baik satu pemikiran, keyakinan bahkan golongan–. Padahal, kekuatan negeri ini berawal dari keberagaman yang melimpah ruah. Besarnya toleransi menjadi alasan utama terciptanya kedamaian dan kenyamanan saat itu.

Keberagaman yang dulunya menyatukan, kini seperti momok yang sangat mengerikan. Sangat disayangkan, secara perlahan pertikaian dan perselisihan mulai merajalela. Hal ini mengakibatkan retaknya persatuan Indonesia. Memberikan luka tidak hanya pada hati bangsanya melainkan juga fisiknya. Pemuda bangsa haruslah gencar melakukan perubahan. Beralih dari kawasan ancaman ke kawasan yang terjaga keamanannya.

Radikalisme menjadi masalah utamanya. Salah satu paham yang juga memicu maraknya terorisme. Bom silih berganti mengguncang negeri ini. Pertumpahan darah tak kenal lelah membuat Indonesia menghitam, -penuh kedukaan dan kekecewaan–. Semua kalangan menjadi sasaran. Hal ini hanya karena perbedaan paham dan keinginan kekuasaan yang membabi buta. Merugikan banyak pihak yang tak bersalah dan berdosa. Mereka yang tidak berkecimpung pun ikut merasakan kemirisan negeri ini.

Satu persatu konflik pun bermunculan, mulai dari hal kecil seperti konflik pada diri sendiri sampai kepada konflik besar yang terjadi antar golongan. Sudah terlalu banyak contoh kasus memilukan. Berbeda golongan menjadikan landasan permusuhan. Hal ini dikarenakan setiap golongan menganggap dirinyalah yang paling benar dan besarnya keinginan dalam gerakan perubahan dengan berbagai cara, -meskipun dengan cara ekstrim atau kekerasan–. tanpa memikirkan imbasnya kepada orang lain.

Lagi-lagi bidang pendidikan menjadi sorotan dan sasarannya. Tidak jarang pemikiran mereka merasuki setiap kalangan dari berbagai usia. Incarannya adalah mahasiswa yang lemah baca dan tidak memiliki wawasan yang luas. Pemuda yang putus sekolah atau berpendidikan rendah juga sangat mudah dipengaruhi. Boleh dikatakan strategi cuci otak adalah andalannya. Berbagai macam organisasi ataupun kelompok diperluas wilayahnya dengan mengatasnamakan agama. Bahkan memakai topeng dengan sebutan kajian ataupun diskusi ajaran agama.

Benih radikalisme mulai merambat secara berkesinambungan dalam segala aspek, terutama dalam bidang pendidikan. Hal ini mengakibatkan corak eksklusivisme beragama semakin pekat. Maknanya, semakin banyak golongan maupun individual yang mengklaim bahwa hanya agamanya sendirilah yang paling benar serta menjadi satu-satunya jalan keselamatan di dunia maupun akhirat. Sehingga mereka tidak menerima pendapat agama lain dan menganggap berada pada kekeliruan dan ketidakselamatan.

Radikalisme sangat sulit terpecahkan. Hal ini terbukti belum terberantasnya radikalisme dan terorisme yang sudah merajalela sejak puluhan tahu lalu. Piciknya, Islam menjadi kambing hitam atas segala permusuhan dan tindakan kekerasan. Radikal bukanlah semata-mata sebagai gerakan sosial, melainkan sudah merupakan ideologi yang tidak bisa diselesaikan sekaligus, melainkan harus secara perlahan dengan berbagai pendekatan.

Meskipun radikalisme tidak semena-mena berkonotasi negatif, -hanya sebatas pemikiran maupun ideologi saja–. Namun, paham yang bernilai ekstrim, terlalu fanatik serta menghalalkan segala cara dengan mengatasnamakan agama ini haruslah segera dibasmi hingga akarnya. Pemuda berperan penting dalam upaya menangkal paham radikal, -salah satu caranya adalah mengelola multikultural yang ada–.

Berbagai upaya haruslah gencar dilakukan sejak dini. Semakin berkembangnya zaman maka akan semakin sulit untuk memberantas radikalisme. Hal ini dikarenakan kecanggihan teknologi, tidak terbatasnya komunikasi dan ketidakberdayaan masyaakat dalam memilah-milah informasi maupun masuknya budaya luar, -yang dapat merusak kemurnian kebudayaan leluhur kita–. Tidak hanya pemuda yang mulai di incar kaum radikal. Para pelajar yang katanya anak milenial sudah mulai teracuni.

Sudahlah rusak akhlak, rusak pula keimanannya. Sungguh menakutkan generasi Indonesia masa depan jika tidak segera dibenahi. Pendidikan sangatlah berperan penting dalam memberikan pelajaran, makna hidup, penebar kedamaian, pertahanan keamanan, peningkat keimanan dan akhlak serta berbagi hal lainnya. Mudah saja untuk menyebarkan radikal dikalangan pelajar milenial. Hal ini dikarenakan kurangnya sosialisasi, motivasi, serta diskusi langsung bersama pakar ilmunya.

Indonesia merupakan negara kaya akan keberagamannya, -multikultural terbesar di dunia–. Sudah seharusnya pengelolaan multikultural diupayakan mampu meminimalisir paham radikal. Terdiri dari banyak pulau, suku, ras, bahasa maupun agama menjadi modal utama terciptanya kawasan inklusif. Bertolak belakang dengan eksklusif, dimana inklusif adalah sikap toleran yang tinggi, bersikap terbuka serta berupaya menghargai perbedaan, -perbedaan pemikiran, pendapat, budaya, ras, tradisi maupun agama–.

Pemuda bangsa Indonesia haruslah bekerjasama dalam mewujudkan kawasan inklusif. Hal ini dimaksudkan demi mewujudkan masa depan kawasan yang lebih menghargai keragaman identitas. Digalakkannya gerakan-gerakan perdamain akan meningkatkan rasa menghargai dan memiliki keberagaman di Indonesia tanpa mempertimbangkan identitas seseorang. Berada pada lingkungan dan kondisi yang berbeda dengan individual bangsa akan membentuk pola pikir yang kaya akan wawasan nusantara.

Kawasan inklusif dan multikultural adalah dua hal yang berhubungan erat dan tidak dapat terpisahkan. Hal ini dikarenakan kawasan inklusif hanya akan mampu terwujud apabila Indonesia tetap kaya multikultural. Kemampuan mengelola, mengembangkan serta memberikan inovasi baru terhadap tradisi warisan nenek moyang adalah tugas besar para pemuda. Karena jika multikultural yang ada tidak mampu dikelola secara baik, maka lama-kelamaan akan segera punah dan tidak terealisasikan sebagaimana mestinya.

Kawasan impian masa depan tidak hanya kawasan inklusif saja, namun juga kawasan yang terbebas dari radikal, adanya kebebasan beragama dan kawasan yang selalu berpegang teguh pada pedoman ajaran agamanya yaitu al-qur’an dan al-hadits bagi penganut agama Islam. Indahnya keberagaman dan mampu menghargai suatu perbedaan akan membasmi radikal secara perlahan. Sehingga hanya aka nada kedamaian bukan lagi perdebatan maupun perpecahan.

Kedamaian termasuk salah satu fokus perhatian organisasi internasional UNESCO. UNESCO dalam Declaration of a Culture of Peace menyebutkan sejumlah karakteristik perdamaian: (1) perdamaian itu dinamis; (2) perdamaian itu merupakan penyelesaian masalah yang adil tanpa kekerasan; (3) perdamaian itu menghasilkan keseimbangan dalam interaksi sosial sehingga manusia hidup dalam relasi yang harmonis; (4) perdamaian itu baik untuk masyarakat; (5) bila ada kekerasan, tidak aka nada perdamaian; (6) supaya ada keseimbangan dalam dinamika interaksi sosial, perdamaian harus berdiri di atas keadilan dan kebebasan; (7) bila ada ketidakadilan dan ketidakbebasan, tidak akan ada perdamaian.

Perdamaian harus selalu berusaha dikembangkan demi memberantas radikalisme, permusuhan, pertikaian serta permusuhan antar bangsa Indonesia. Penyesalan tidak akan menggelumuri perasaan bangsa Indonesia jika pemuda bersatu dan membangun kawasan inklusif, menyemai keberagaman dengan berbagai cara seperti adanya festival budaya, sosialisasi, seminar maupun pertukaran pemuda dalam mempelajari budaya yang berbeda.

Keberagaman tidak akan menjadi ancaman, bahkan mampu menjadi pengokoh persatuan. Indahnya keberagaman dalam perdamaian. Tidak akan terjadi perpecahan bahkan pertumpahan darah sebagai seleksi alam. Pertahankan multikultural sebagai penangkal radikal yang akan mengakibatkan munculnya kawasan-kawasan inklusif sebagai kawasan impian di masa depan. Semangat pemuda, semangat bangsa Indonesia. Kita bias jika bersama.

BERPONDASIKAN ISLAM, CIPTAKAN NETIZEN BERPENDIDIKAN

BERPONDASIKAN ISLAM, CIPTAKAN NETIZEN BERPENDIDIKAN

by: Nurhayati Nupus

Pada hakikatnya manusia dikatakan sebagai makhluk sosial yang saling membutuhkan dan saling ketergantungan antara satu sama lainnya. Makhluk yang tidak dapat berdiri sendiri dalam kelangsungan hidupnya. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh Aristoteles bahwa manusia sebagai zoon politicon yang bermakna manusia ingin selalu berkelompok dan hidup bersama sebagai manusia yang bermasyarakat. Sebagai makhluk social, manusia memiliki hasrat dan naluri untuk saling bekerjasama membantu secara maksimal, toleransi, kesetiakawanan, merasa empati maupun simpati terhadap lingkungan sekitarnya. Keadaan tersebutlah yang diharapkan semakin hari semakin membaik agar terciptanya kehidupan yang rukun, aman dan nyaman.

Sebagai pemuda-pemuda pelurus bangsa, seharusnya kita memperhatikan permasalahan-pemasalahan yang terjadi pada saat ini serta ikut andil dalam penanggulangannya. Tidak ada yang sulit dalam melakukan perubahan, kita hanya membutuhkan niat, nekad dan selalu berusaha membiasakan. Keluarlah dari zona nyaman untuk merasakan indahnya peningkatan dalam kehidupan.

Semakin berkembangnya zaman dengan kemajuan di bidang teknologi tentunya memberikan dampak yang besar terhadap perubahan dunia, baik berdampak positif maupun berdampak negatif. Tanpa kita sadari di zaman millennial ini terjadi kemerosotan perilaku sosial. Hal ini dikarenakan oleh kecanggihan teknologi dimana setiap manusia lebih nyaman berada di dunia maya dibandingkan dunia nyata.

Pada zaman millennial atau yang biasa kita dengar abad ke-21 ini setiap kita adalah netizen yaitu seorang penduduk net yang dengan aktif menggunakan internet dalam berbagai keperluan. Interaksi antar manusia mengalami kemerosotan dengan munculnya internet, terlebih lagi ketika maraknya penggunaan media sosial. Media sosial berperan dalam memfasilitasi hubungan manusia yang satu dan manusia lainnya, dimana hubungan tersebut memiliki tujuan untuk meningkatkan kehidupan manusia menjadi kehidupan yang lebih baik, berkuantitas serta berkualitas. Media sosial mengakibatkan pengguna sulit melepaskan ponsel maupun gadgetnya. Bahkan tak dapat dipungkiri ketika berada di kalangan masyarakat, rasa peduli terhadap sesama sudah sangat menurun diakibatkan sibuk sendiri dengan gadgetnya. Salah satunya dapat dibuktikan dengan banyaknya waktu yang dihabiskan dalam sehari untuk menggunakan media sosial.

Terlihat jelas bahwa di zaman millennial ini, memunculkan perumpamaan “orang yang jaraknya jauh namun terasa dekat sedangkan orang yang jaraknya dekat namun terasa jauh”. Contohnya saja ketika berkumpul dengan kelompok tertentu namun malah asik dengan gadget seolah kita tak menghargai kehadiran kelompok tersebut, sedangkan seseorang yang berjarak jauh dengan kita dapat terasa dekat dengan kecanggihan teknologi. Hal kecil lainnya yang sering terjadi yaitu ketika terjadi suatu bencana ataupun masalah pada diri seseorang, maka kebanyakan manusia lainnya bukan turut menolong melainkan mendokumentasikan dengan ponselnya dan merasa bangga karena menjadi orang pertama yang mendapatkan berita tersebut ataupun berada dilokasi kejadian itu.

Dimulai dari hal-hal kecil tersebut, perlahan masalah kian membesar. Kecerdasan dan kebijaksanaan mulai diabaikan. Inilah tugas besar para pemuda bangsa. Kita tidak boleh gagap teknologi namun ketika menggunakan teknologi pun kita harus mampu mengambil keuntungan secara maksimal, bukan malah menjadi budaknya teknologi. Hal yang sangat berpengaruh dan kian melejit adalah permasalahan oleh subjek maupun pengguna dalam media sosial. Padahal banyak pengaruh positif media sosial yang dapat diperoleh khususnya dalam mendapatkan informasi.

Namun, tak dapat dipungkiri, penyalahgunaan media sosial bagi netizen yang dianggap kurang berpendidikan perlahan akan menjadi penghancur generasi. Bagaimana tidak, media sosial digunakan sebagai penyebar kebencian, penyebar berita bohong dengan tujuan tertentu yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya sendiri maupun kepentingan suatu golongan. Rendahnya toleransi serta tumbuhnya sikap-sikap intoleran dalam diri netizen benar-benar memprihatinkan. Jika netizen tidak mampu memfilter segala informasi yang telah menyebar pesat itu, maka berkemungkinan akan menjadi berita bohong dan ujaran kebencian secara berantai.

Sebagai Negara demokrasi, tercantum dalam pasal 28 E ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Adapun bangsa Indonesia ini merasa bahwa hal yang sangat wajar jika mengekspresikan pendapatnya baik di media sosial maupun dalam bermusyawarah. Menyebarkan ujaran kebencianpun dianggap sebagai hal yang wajar dalam berpendapat di Negara Indonesia ini. Padahal bebas berpendapat disini bukan bermakna bebas semaunya saja akan tetapi bebas yang bertanggung jawab. Netizen yang juga disebut dengan masyarakat online itu seharusnya dapat bekerja sama dalam memajukan Negara ini seperti sering bertukar pikiran, ilmu pengetahuan serta saling membimbing menuju arah kebaikan.

Kebebasan berpendapat disini telah disalahartikan, dapat kita lihat dengan pernyataan yang diberikan oleh netizen, sebagian besar pernyataan terungkap seakan merasa paling sempurna, tanpa dicari kebenarannya, tanpa dipikirkan makna sebenarnya, serta  tidak adanya sikap menghargai antar sesama yang bahkan dapat menghancurkan nama baik seseorang.

Kurangnya wawasan intelektual serta rendahnya budaya membaca kebanyakan netizen mampu memperkeruh suasana, mengakibatkan banyaknya adu domba, pertikaian, pelecehan, bahkan tak jarang berujung pada pembunuhan. Kejadian yang viral belakangan ini ialah pencemaran nama baik melalui media sosial, setelah permasalahan tersebut diketahui banyak orang maka sang pelaku akan mengklarifikasi melalui video permintaan maafnya. Hal ini sangat jauh dengan dunia sosial yang sebenarnya, karena dalam pembuatan video belum tentu permintaan maaf tersebut tulus, berbeda halnya jika kita meminta maaf secara langsung kepada orang yang bersangkutan.

Tertanam dalam diri manusia millennial ini bahwa ia harus terlihat lebih baik daripada orang lain. Padahal sampai kapanpun setiap manusia tidak akan pernah menjadi sosok yang lebih baik daripada diri orang lain, faktanya kemungkinan yang akan terjadi hanyalah menjadi lebih baik daripada diri kita yang sebelumnya. Setiap manusia memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing yang membuat ia akan bersinar dibidangnya.

Ujaran kebencian ini harus segera kita hentikan dengan tindakan preventif yang dimulai dari berbagai hal kecil yang bernilai positif, maka lambat laun netizen akan berubah dari penghancur generasi menjadi pemersatu bangsa. Kita harus memberi batasan-batasan dalam mengeluarkan pendapat dengan cara memperhatikan ras, agama, etnik serta menghormati dan menjaga reputasi seseorang. Netizen yang cerdas haruslah mampu membedakan serta memfilter informasi yang diterima maupun yang akan disebarluaskankan. Haruslah dapat menilai antara sisi yang benar dan sisi yang salah.

Adanya norma maupun aturan-aturan tata krama yang diberlakukan baik dalam masyarakat maupun hukum yang telah dicetuskan dalam perundang-undangan negara tentunya belumlah cukup, oleh sebab itu pondasi yang sesungguhnya mampu mencakup segala bentuk permasalahan dunia dan akhirat hanyalah pemahaman ajaran agama Islam. Pemahaman tersebut haruslah kita terapkan dalam kehidupan ini.

Ajaran agama Islam berlandaskan pada warisan rasulullah saw yaitu al-qur’an juga al-hadist yang sudah pasti dapat direalisasikan tidak hanya oleh penganut agama Islam itu sendiri, melainkan juga sesuai dengan ajaran agama lainnya. Sebagaimana dikatakan ajaran agama Islam merupakan penyempurna bagi agama lainnya. Jadikanlah Islam sebagai pondasi dalam hidup ini serta al-qur’an dan al-hadist menjadi petunjuk dan pedomannya.

Islam sebagai pondasi kita dalam kehidupan. Hal utama yang dapat kita lakukan adalah memperbaiki akhlak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah saw. salah satunya dengan manjaga ucapan, pemikiran negative serta perbuatan yang menyimpang dari ajaran agama Islam. Jiwa-jiwa netizen haruslah selalu memupuk keimanan dan berpondasikan kepada ajaran Islam, maka sudah dapat dipastikan tidak akan ada lagi ujaran kebencian, pencemaran nama baik dan adu domba serta kejahatan-kejahatan lainnya. Hal ini dikarenakan karena di dalam Islam selalu diajarkan pada kebaikan bukan kejahatan. Jadilah netizen yang menerapkan amar ma’ruf nahi munkar. Maka secara tidak langsung kita telah dikatakan netizen yang berpendidikan. Bukan lagi menyebar kebencian tetapi menyebar kebaikan.

Sudah seharusnya kita melakukan perubahan dengan menggunakan media sosial yang tujuan memberi motivasi kepada orang lain, menggerakkan hati seseorang untuk menjadi lebih baik ketika membaca tulisan kita baik secra online maupun secara offline. Maka hal tersebut akan jauh lebih baik karena mampu menjadi amal jariah bagi kita ketika ada yang menerapkan serta menyebarkannya.

Berpondasikan Islam mengakibatkan kecanggihan teknologi terutama media sosial secara perlahan akan berupah menjadi alternatif mengasah kecerdasan intelektual, menggali pengetahuan agama secara mendalam serta perbedaan tak kan lagi menjadi boomerang, bahkan perbedaanlah yang menyatukan. Hal ini berdasarkan semboyan Negara Indonesia, yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti “Berbeda-beda tetapi tetap satu”.

Salam semangat J