Resolusi Konflik

Resolusi Konflik

By: M. Syaprul Alamsyah

Indonesia memiliki banyak kemajemukan. Diantaranya keragaman sosial dalam hidup berbangsa dan bernegara. Seperti; suku, agama, ras, antar golongan, budaya dan adat istiadat yang berbeda-beda. Kemajemukan yang dimiliki sangat berpengaruh besar dalam pembangunan bangsa dan negara,sertasangat rawanterjadinya konflik di Indonesia. Kemampuan yang akan terjadi sangat dipengaruhi dari kehidupan bersosial. Hal ini menyebabkan munculnya konflik sosial dan konflik ideologis di masyarakat.[1]

Dalam konflik tersebut, akan bermunculan perbedaan presepsi dari berbagai golongan yang ada di masyarakat mengenai suatu hal berupa pemikiran dalam kehidupan. Sementara di tingkatan politisi, konflik akan terjadi apabila adanya pertentangan dalam pembagian sumber kekuasaan yang tidak adil. Sehingga, timbul pertengkaran saling menjatuhkan satu sama lain. Walaupun demikian, konflik yang adadi masyarakat Indonesia dapat diminimalisir dengan menyelesaikan konflik tersebut secara konstruktif yakni (resolusi konflik).[2]

Adapun solusi  dalam mengatasi dan mencegah terjadinya konflik sosial di Indonesia.Pertama, adanya peran Islam sebagai agama mayoritas, memiliki kontribusi yang besar. Sebagai agama perdamaian mampu menjadi rahmatanlil alamin bagi seluruh umat beragama.

Kedua, adanya peran pendidikanyang humanis. Menekankan aspek memanusiakan manusia, dengan memperhatikan aspekkecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual. Dengan adanya peran-peran ini Indonesia mampu memberikan solusi nyata terhadap konflik sosial dan ideologis.[3]

Sejak era globalisasi, telah banyak terjadi peristiwa sosial di Indonesia. Yakni dalam suku, etnis, agama dan politik yang cendrung menghancurkan sesama,  tanpa memikirkan rasa kemanusian. Dengan mudah menaruh kebencian, curiga dan tidak memiliki rasa persaudaraan. Seperti konflik sosial yang terjadi di Ambon, Poso, Kalimantan Barat, Sukabumi serta kerusuhan tahun1998 yang terjadi di berbagai daerah lain nya di Indonesia.[4]

Kemajemukan yang dimiliki Indonesia bersifat unik, mampu membentuk lapisan-lapisan kelas sosial dan struktur sosial di masyarakat. Adapun lapisan masyarakat terbagi dua;, lapisan horizontal yaitu adanya pebedaan etnis, suku, agama, dan adat istiadat. Sedangkan lapisan vertikal ialah lapisan atas dan bawah yang dilihat dari tingkatan ekonomi seperti (tingkatan pekerjaan, pendidikan dll). Hal inilah mengakibatkan selalu terjadinya konflik sosial.[5]

Kondisi sosial masyarakat Indonesia  memiliki kesamaan dengan Madinah. Pada waktu Nabi Muhammad saw memimpin, penuh kedamaian dalam hidup bertoleransi. Hingga tercipta nya hidup harmonis dalam keragaman. Oleh sebab itu, Indonesia seharusnya mampu menjadikan konsep tersebut sebagai hikmah pelajaran untuk kedepan nya. Karna banyak konflik yang terjadi selalu berbau agama, utamanya agama Islam. Padahal agama Islam selalu mengajarkan perdamaian. Kemudian anti kekerasan serta selalu menghargai perbedaan dalam kemajemukan.[6]

Tentunya, ajaran sosial agama Islam sangat perlu di implementasikan, adanya sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda : “Berilah salam kepada orang yang kau kenal atau yang tidak kau kenal”.Artinya, dalam berbuat baik kepada orang lain, kita harus menunjukkan rasa kemanusian yang setinggi-tingginya. Allah adalah damai, salam(QS al-hasyr[59]:23), sumber kedamaian dan aktivitas damai ( HR Muslim,Turmudzi dan Nasa’i).[7]

 

Islam menjanjikan adanya rahmat berupa kedamaian. Kehidupan yang dapat damai menimbulkan ketentraman hati, hingga terbuka kepada semua invidu yang beragam. Pastinya setiap umat yang beragama butuh ketenangan. Sudah selayaknya setiap manusia memulai kedamaian dari diri sendiri walaupun berada pada suasana ramai.[8]

Dalam agama islam, pemeluknya di sebut sebagai muslim. Kata Islam sendiri berasal dari kata salam yang secara harfiah artinya selamat, damai dan sejahtera. Maksudnya mempunyai misi universal, Islam sebagai pembawa rahmat bagi sekalian alam (QS al-anbiya [21]:107).[9]

Dengan demikian, nilai-nilai yang terkandung dalam Islam sangatlah universal yang harus di implementasikan dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Khususnya mayoritas umat muslim yang harus mengerti dan paham akan ajarannya. Hingga dapat menjadikan islam rahmatan lil alamain dalam resolusi konflik. Serta dapat menghalau dan meminimalisir penghancur perdamaian.

Selanjutnya, resolusi konflik yang harus di pelajari ialah pendidikan yang humanis. Masyarakat Indonesia harus memiliki karakter yang kuat pada dirinya. Oleh karna itu, pendidikan sangat penting dalam sebuah negara. Sebagai sarana membangun masyarakat, dengan saling membuka diri hingga  menjadikan hidup damai bukan saling mentup diri dan membenci sesama.

Pendidikan humanis haruslah berorientasi pada pendidikan multikultural dan pendidikan karakter. Untuk meresolusi konflik yang akan terjadi di Indonesia. Peran pendidikan multikultural mampu menciptakan kesadaran pluralitas agama dan budaya. Sehingga pendidikan multikultural dapat menjadi solusi nyata terhadap konflik yang akan terjadi di kehidupan bermasyarakat.

Kemudian melalui  pendidikan karakter, masyarakat Indonesia mampu menumbuhkembangkan sikap empati, jujur, adil, amanah, bijaksana, sopan santun dan sikap patriotisme yang tinggi. Dalam memperlakukan manusia lain sebagai sesama makhluk Tuhan yang memiliki kodrat dan hak-hak yang sama. Dengan menghormati serta menjunjung tinggi harkat-martabat sesama manusia.[10]

Dari beberapa nilai-nilai yang telah di jelaskan, jika di implementasiakan dalam hidup berbangsa dan bernegara akan melahirkan perdamaian dan persatuan. Dengan mengokohkan keislaman, sebagai agama rahmatan lil alamin dan peran pendidikan humanis. Kita mampu menjaga persatuan dan kedamaian di Indonesia,  walaupun hidup dalam umat berbeda agama. Serta hidup dalam bangsa yang kuat dengan saling menjaga dan menghindari pertikaian, sesuai undang-undang dasar 1945 dan pancasila.

[1]Sagaf S. Pettalongi, Islam Dan Pendidikan Humanis Dalam Resolusi Konflik Sosial  (Palu Sulawesi Tengah: Stain Datokarama, Cakrawala Pendidikan – Jurnal Pendidikan, Juni 2013,No. 2)

[2]Jakiatin Nisa, resolusi konflik dalam presfektif komunikasi ( Jakarta : UIN syarif hidayatullah :2015 )permalink https://www.academia.edu/15117008)

[3]Sagaf S. Pettalongi, Loc.Cit

[4]Arya Hadi Dharmawan,Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-Budaya(Kalimantan Barat : Seminar PERAGI Pontianak 10-11 Januari 2006)

[5]Jakiatin Nisa,Loc.Cit

[6]Sagaf S. Pettalongi, Loc.Cit

[7]Budhy Munawar – Rachman , pendidikan karakter dengan pendekatan living values education (Jakarta : The asia foundation 2019) h.18

[8]Ibid.h.18

[9]Ibid.18

[10]Sagaf S. Pettalongi.Loc.Cit

Toleransi di Era Digital

Toleransi di Era Digital

By: Danang Esha M.

Indonesia merupakan negara yang beragama, ini biasa dilihat dari dasar Negara dan juga undang-undangnya. Sila pertama Pancasila, yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa”, serta pasal 28E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakanan bahwa “Setiap orang bebas memeluk agama danber ibadat menurut agamanya..”Landasan tersebut sudah jelas, Indonesia adalah negara yang beragama dan berketuhanan. Ada 6 agama yang diakui di Indonesia mencerminkan keberagaman,keberagaman inilah yang terkadang menimbulkan pergesekan antar umat beragama.

Di Indonesia, Islam adalah agama mayoritas, umat Muslim di Indonesia adalah yang terbanyak di dunia, namun tak heran banyak juga yang Islam “KTP”. Maksudnya, ketika seseorang hanya di identitasnya saja Islam, namun prilakunya jauh dari itu. Sebagai mayoritas, beberapa oknum yang beragama Islam bertindak otoriter, contohnya salah satunya yaitu pemotongan nisan salib di pemakaman tepatnya di Yogyakarta pada akhir 2018. Berita tersebut dengan cepat viral melalui media sosial, misalnya Twitter. Contoh lainnya, pada bulan Februari tahun ini, beredar sebuah video berasaldari pemilikakun Twitter @beamerboyy_. Di dalam video tersebut, Nampak seorangpemuka agama non-Islam, membacakan surat pernyataan bahwa, agama tersebut tidak akan melakukan kegiatan keagamaan dalam waktu yang ditentukan, yang mana tempat ibadah mereka di lingkungan kaum Muslim. Di dalam video itu, pemuka agama mengatakan bahwa tidak ada paksaan dari pihak manapun, namun berdasarkan pengamatan penulis ketika melihat video tersebut, jelas beliau terpaksa melakukan itu dan mendapatkan intervensi dari masyaakat yang berbondong-bondong mengelilinginya. Meskipun begitu, sebagai umat Muslim, penulis mencoba berprasangka baik, semoga yang dikatakan beliau benar adanya.

Dari dua contoh di atas, sebagai negara yang beragama dan berketuhanan yang memiliki semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”, seharusnya peristiwa tersebut tidak perlu terjadi.Ini sudah jelas di dalam Al-Quran, terjemahan Qs Al – An’am: 108, Allah berfirman:“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti  akan memaki Allah melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan”.

Dari ayat di atas, kita sebagai kaum Muslim seharusnya bertoleransi dengan non-muslim, dengan cara tidak mencela mereka terhadap yang mereka lakukan saat berbadah.

Pada era digital ini dan juga kebebasan berpendapat, tak heran terkadang timbul perpecahan antar umat beragama.Ini bisa dilihat melalui Youtube, Twitter, dan media sosial lainnya. Ada juga beberapa oknum non-muslim yang sengaja memancing amarah umat Muslim, bahkanada pula perselisihan sesama Muslim, yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, yang mana itu seharusnya pendapat saling menghormati, bukannya saling memaki. Dengan kecanggihan media sosial, bermunculanlah “hoax”yang mana menimbulkan perpecahan umat beragama. Hoax atau sebuah pernyataan yang bohong, yang digunakan segelintir masa untuk memecah suatu kelompok, dan hoax kini pun banyak dijumpai diberbagai berita, terutama di Facebook. Di sinilah banyak dijumpai berita-berita bohong yang bertujuan memecah kerukunan umat.

Sebagai pengguna media sosial yang bisa dibilang aktif, penulis telah memperhatikan pengguna-pengguna media sosial, terutama yang berada di Indonesia.Yang pertama, penggunaakun Twitter. Di jejaring media seperti ini, biasanya penggunanya berumur 15 tahunkeatas.Setiapujarankebencianataucandaanyang  menyangkut agama , pasti akan mendapatkan banyak respons. Dari sekian banyak candaan yang menyangkut agama, ketika Islam yang menjadi sumber candaan, maka banyak warganet yang turut berkomentar dengan nada pedas dan menyayangkan sikapsi pembuat candaan. Warganet yang tidak terima mengatakan bahwa agama bukan bahan untuk dibuat bercanda. Tetapi, di lain sisi banyakjuga yang memuji. Mereka yang mendukung terhadap candaan ini, biasanya menganggapi tubukanlah sesuatu yang berlebihan dan masih dalam batas kewajaran. Dalam kasus ini, penulis mengambil tempat sebagai warganet yang menentang candaan yang melibatkan agama. Ini sesuai dengan firman Allah Qs: At Taubah: 65-66 sebagai berikut terjemahannya.“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersendagurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakahdengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.Jika kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab   golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa”.

Berbeda dengan Twitter, usia pengguna Instagram mulai dari 10 tahun, yang mana pada usia tersebut jiwa anak-anaknya masih mendominasi, jadi ketika mereka mengirim konten atau berbalas komentar di Instagram, mereka belum memikirkan dampak yang akan ditimbulkan. Bisa saja perpecahan persatuan umat beragama rusak disebabkan oleh kiri mandarin anak-anak yang belum mengerti dampak yang akanciptakan. Seringkali, pengguna Instagram mengambil kiriman yang viral di Twittertanpa meyantumkan sumber. Ini membuat pengguna Twitter yang kirimannya diambil oleh pengguna Instagram merasa geram. Mereka menanggap pengguna Instagram tidak kreatif, karena hanya mampu mencuri atau mengambil konten dari Instagram.

Di sosial media YouTube juga banyak konten video yang mengujar kebencian, salahsatunya yaitu kanal Louis Budi Prasetyo. Di kanal tersebut, ada seorang pria non muslim, yang mencoba mempengaruhi umat muslim dengan cara mencari kesalahan-kesalahan yang dilakukan ulama. Salah satu videonya berjudul “Mengungkap kekeliruan Ustad Abdul Somad”. Memang di era sekarang ini kita bebas berpendapat namun tidak etis jika seseorang mencari-cari kesalahan orang lain, apalagi orang tersebut bukanlah termasuk golongan, jadi dia tidak tahu menahu tentang topic tersebut. Tujuannya hanya untuk mempengaruhi kaum muslim dan memecah umat beragama.

Akhir-akhir ini heboh tentang NU yang meminta agar non-muslim disebutkafir. Penulis mememukan berita ini di halaman Line Today , di dalam berita tersebut NU meminta agar sebutan kafir bagi non-muslim di Indonesia diganti menjadi muwathinun yang artinya warganegara. Jelas, ini ada yang mendukung dan menolak. Di kolom komentar nampak beberapa komentar, salah satunya dari Angel, “mau dibilang kafir atau apapun juga, iman kami kuat kok bedaamay glaen, jadi terserah situ simau manggil apa dosa juga masing-masing”. Dari sini jelas, bahwa penyebutan kafir di Indonesia masih kurang dipahami dengan baik. Kafir sendiri memiliki artiya itu menutup diri dari kebenaran, asal katanya dari bahasa Arab. Pada zaman nabi juga banyak yang kafir, seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka orang Arab, tidak marah dipanggil kafir, karena mereka paham apa arti kafir tersebut. Berbeda dengan di Indonesia, arti kafir sendiri masih dianggap tabu dan memiliki nilai negatif. Jadi, penulis berharap agar ulama-ulama Indonesia makin gencar untuk memberi pemahaman bagi mereka yang salah paham akan arti tersebut. Karena di Al-Quran juga sudah jelas penyebutannya yaitu kafir, seperti salah satu surah di Al-Quran yaitu surah Al-Kafirun.

Diakhir penulis ingin menyampaikan bahwa setiap agama pasti mengajarkan tentang nilai-nilai kebaikan, tetapi mengapa kita sebagai umat beragama tidak bisa mengimplementasikannya dikehidupan sehari-hari atau bersosial media, malah saling menebar kebencian. Penulis ingin mengutip kata-kata dari Kim Phuc, beliau adalah korban selamat dari perang Vietnam, yang penulis lihat videonya di Twitter, beliau berkata bahwa “Jika setiap orang bisa belajar untuk hidup dengan cinta, harapan dan memaafkan, jika semua orang bisa melakukan itu, sudah jelas bahwa kita tidak memerlukan perang”.

Dari uraian di atas, penulis berharap agar masyarakat Indonesia makin rukun kedepannya, makin toleransi antar umat beragama di kehidupan sehari-hari maupun didunia maya menggunakan sosial media, jangan mau dipecah belah sebagai bangsa. Bhinneka Tunggal Ika! Kita satu, kita Indonesia!

Keberagaman dalam Beragama

Keberagaman dalam Beragama

By: Ikhsan Ramadhan

Indonesia adalah bukan negara yang tidak berlandaskan pada agama tertentu saja dan tidak juga negara yang memisahkan antara negara dan agama. Namun yang sebenarnya adalah negara pancasila yang justru berdiri untuk mengayomi keberagaman agama. Setiap warga diberi kebebasan dalam memeluk agamanya sesuai yang ia percayai.

 

Indonesia lahir atas perjuangan dan pengorbanan seluruh rakyat Indonesia dengan latar belakang yang berbeda. Meskipun agama menjadi hal yang bersifat pribadi, pemerintah memberikan pengakuan pada kehidupan beragama dan menetapkan 6 agama resmi di Indonesia dan tidak ada ruang bagi orang yang tidak mengimaninya. Sejak Indonesia lahir, kehidupan beragama memberikan warna tersendiri dan juga telah berkontribusi terhadap pembangunan, seperti penyelenggaraan kegiatan sosial dan juga pembangunan tempat ibadah. Kegiatan kegiata yang social yang mampu menyatukan weluruh umat dan dapat meredakan konflik antar agama. Bangunan tempat ibadah umat beragama bias menjadi daya Tarik tersendiri untuk menjadi tempat wisata.

 

Secara teori, agama dimaknai sebagai ajaran Tuhan yang tertera dalam kitab suci setiap agama, dan di imani oleh umatnya untuk sebagai pedoman hidup. Setiap agama mengajarkan umatnya tentang persaudaraan, kebaikan, persatuan, kerukunan, dan masih banyak lagi. Tapi yang terjadi sekarang adalah banyak terjadi kekerasaan dengan agama sebagai alasan. Orang yang memiliki agama berbeda dianggap bertentangan, kemudian menebar kebencian, bahkan diperangi. Agama bukanlah organisasi yang tujuannya untuk memperbanyak jumlah anggota, tapi bagaimana suatu agama tersebut mengajarkan kebaikan. Agama juga bukan hal dalam siapa yang paling banyak anggotanya, tapi bagaimana suatu a  gama tersebut menuntun umatnya ke jalan yang benar.

 

Secara garis besar ada beberapa sikap yang di anut oleh banyak orang, di antaranya adalah ekslusivisme dan inklusivisme. Sikap sikap ini diterima secara luas walaupun banyak perbedaan mengenai pendeskripsiannya. Istilah insklusivisme beragama merupkan prinsip dasar dalam keberagaman dalam beragama yang wajib di tegasi. Inklusivisme merujuk pada sikap menerima terhadap perbedaan, dalam hal ini yairu menerima berbedaan terhadap keberagaman agama. Disini masih dapat kita temui sikap toleransi beragama dimana masing masing agama memiliki standarisasinya. Setiap agama juga memiliki pandangan yang berbeda terhadap suatu hal.

 

Ada juga istilah eksklusivisme yang dalam artian sikap yang merasa paling benar, sampai sampai menganggap agama lain itu adalah ajaran sesat, sehingga terjebak dalam sifat relativisme dalam beragama. Namun, yang paling penting untuk dipahami adalah bahwa setiap umat beragama jangan sampai terjebak dalam sikap eksklusivisme yang mengklaim kebenaran sendiri. Sebagai orang islam kita harus bijak dalam bertindak terutama dalam hal hal yang diskriminatif. Toleransi harus dijujung karna toleransi merupakan ajaran islam. Mungkin boleh boleh saja kita mengklaim agama kita adalah agama yang paling benar, namun tidak dibenarkan sampai kita menyalahkan agama orang lain. Kita cukup menyampaikan kebenaran sesuai yang di ajarkan oleh agama kita tanpa harus menjelek jelekkan agama lain, karna setiap agama mengajarkan kita kebaikan dan kedamaian.

 

Sikap yang mengarah pda inklusivisme wajib di pertahankan. Tapi sekarang inklusivisme di anut oleh minoritas saja. Bahkan beberapa tokoh agama juga banyak yang tidak menganut sikap ini. Mereka justru menyebar kebencian dengan membandingkan dan menjelekkan antara agama satu dengan agama lain. Hal seperti ini dapat memicu konflik antar agama seperti yang pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.

 

Walaupun agama yang kita anut berbeda, tetapi semuanya mengajarkan hal yang sama yaitu kebaikan. Sebaik baiknya orang beragama adalah orang yang menghargai dan menjaga satu sama lain. Jangan lupa dengan semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika”. Berbeda beda tapi tetap satu. Disini lah Indonesia yang sesungguhnya, menghargai setiap perbedaan apapun itu termasuk dalam hal kepercayaan. Semoga penganut sikap inklusivisme untuk kedepannya semakin banyak dan tidak ada lagi sikap yang menyalahkan agama orang lain. Dengan ini maka perdamaian dan sikap toleransi antar beragama pun dapat terjalin. Bukankah kedamaian itu indah? Tentram rasanyaKetika melihat orang Kristen yang memberikan koran untuk alas sholat ketika hari raya. Orang Islam menjaga gereja ketika natal, begitu juga dengan agama agama yang lainnya.

Beragama dan Menjalin Keberagaman

Beragama dan Menjalin Keberagaman

By: Agus Nurwansyah

Indonesia adalah negara yang besar dengan keanekaragaman budaya, bahasa dan agamanya. Tercatat secara resmi ada enam agama yang diakui. Kehidupan beragama menarik untuk dibahas. Selain karena agama dapat menjadi sumber perdamaian, agama juga dapat menjadi sumber pertikaian. Ada banyak contoh kasus pertikaian yang mengatasnamakan agama, konflik antara Palestina dan Israel yang merebutkan the solomon tample yang telah melebar sampai bidang politik, hukum dan wilayah kekuasaan. Belum lagi, konflik antara Muslim dan Hindu di India yang berujung pada pembakaran Masjid. Di Myanmar, Muslim Rohingnya dibantai dan diusir dari kampung halamannya oleh Umat Budha Rakhine. Agama seolah menjadi legitimasi untuk melakukan kekerasan dan pertikaian.

Indonesia juga pernah memiliki sejarah kelam konflik antar agama. Konflik yang ada di Ambon tersebut berubah menjadi perang dan pembantaian saudara se-bangsa dan se-tanah air. Sejatinya tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan, Kristen mengajarkan cinta kasih, sedangkan Islam mengajarkan rahmah atau kasih sayang, begitupun Hindu, Budha, Protestan dan Konghucu juga mengajarkan hal serupa.

Salah satu penyebab terjadinya konflik yang mengatasnamakan agama ialah Truth Claim atau klaim kebenaran. Dalam setiap agama pasti ada yang namanya klaim kebenaran, misalnya, di agama Kristen ada kata-kata Yesus “Akulah jalan, kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun dapat datang kepada bapa kalau tidak melalui aku”. Sedangkan dalam Islam terdapat dalam surah Ali Imran ayat 19 “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”. Ini membuktikan bahwa setiap agama pasti ada klaim kebenarannya bagi para pemeluknya, untuk memperkuat iman umatnya dan bukan menjadi landasan dalam melakukan kemunkaran kepada sesama makhluk Tuhan.

Meskipun klaim kebenaran ada dalam setiap agama, namun setiap agama juga mewajibkan seseorang menghargai dan menghormati sesamanya. Klaim kebenaran sah-sah saja digunakan oleh umat beragama dalam ruang lingkup agamanya agar menjadi landasan untuk memperkokoh keimanannya. Tetapi juga tidak benar jika dalam ruang lingkup yang beragam seperti di Indonesia ini memaksakan kehendak atas klaim kebenarannya, ini justru akan menghilangkan sikap toleransi dalam beragama. Sedangkan setiap agama mewajibkan toleransi bagi pengikutnya. Dalam Islam sendiri sikap toleransi disebut Tasamuh atau tenggang rasa.

Sikap tasamuh di Indonesia sendiri semakin hari semakin terkikis. Penyebabnya adalah berkembang pesatnya paham-paham eksklusisvisme. Idiologi yang menggunakan klaim kebenaran dan orientasi diri secara berlebihan. Kemudian paham ini menjadi gerakan radikalisme, kata yang sering diagung-agungkan adalah “Jihad Suci” yang berlindung dibalik topeng agama untuk melakukan kekerasan dan sikap Intoleransi yang jelas tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Intelejen Negara (BIN) di tahun 2017 ada 39 persen mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Indonesia terpapar paham radikalisme sebagai akibat dari sikap eksklisivisme. Penelitian juga merilis hasil peningkatan paham konservatif dalam beragama. Ada sekitar 24 persen mahasiswa dan 23,3 persen pelajar SMA setuju dengan Jihad demi tegaknya negara Islam. Pemahaman agama yang salah akan melahirkan perilaku yang salah pula. Memahami agama secara tekstual, tanpa pembimbing yang bersanad dan menggunakan satu sumber hanya akan menjadikan agama sebagai pemicu konflik.

Peran pemuda khususnya mahasiswa sangat diperlukan dalam mengikis paham eksklusivisme dan radikalisme. Terutama dalam meluruskan pemahaman yang salah di kalangan mahasaiswa. Menilik penelitian yangi dilakukan BIN, maka sebetulnya mahasiswa mempunyai perananan penting dalam menentukan arah bangsa. Betul jika mahasiswa disebut sebagai Agent of Change, tergantung ke arah manakah perubahan itu dilakukan. Jika pemahaman eksklusif tidak segera diimbangi dengan pemahaman inklusif, bukan tidak mungkin Indonesia bisa seperti Suriah yang dipenuhi peperangan dan pertikaian yang sama-sama berlindung dibalik kata suci Allahu Akbar.

Tentu kita ingin NKRI hancur hanya karena oknum beragama yang salah memahami agama dan menjadikan agama sebagai ruang sempit sebagai satu kelompok saja. Negara kita dihuni lebih dari 300 suku yang memiliki 700 bahasa dan berbagai agama. Keberagaman ini seharusnya kita jaga sebagai bangsa yang majemuk. Agar kita dapat menjalankan aktivitas kita sebagaimana mestinya dan dapat hidup tentram tanpa ada rasa khawatir menjalankan kegiatan keagamaan maupun kebudayaan di tanah kelahiran.

Dinamika kehidupan beragama dan bernegara masih meninggalkan pekerjaan rumah, salah satu yang masih menjadi persoalan adalah pernikahan beda agama. Ikatan pernikahan beda agama masih belum mendapatkan pengakuan di negara kita. Ada banyak kasus pernikahan beda iman yang tidak dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) maupun di Kantor catatan sipil. Pernikahan yang seharusnya dipermudah untuk menyatukan dua insan yang saling memadu kasih, malah dipersulit. Begitu intolerannya kehidupan kita sehingga pernikahan lintas iman tidak diperbolehkan secara undang undang yang mengharuskan pernikahan se-iman, padahal di dalam Al-Qur’an sendiri terdapat surat Al-Maidah ayat 5 yang membolehkan pernikahan dengan perempuan Ahli Kitab.

Sudah seharusnya kita membuka mata dan menerima perbedaan yang mustahil untuk kita hindari, karena kita hidup di negara yang majemuk. Perbedaan bukanlah hal yang mesti kita perdebatkan, tetapi perbedaan menjadi warna bagi kehidupan kita. Pelangi bisa indah karena perbedaan warnanya, pernikahan juga demikian. Perbedaan agama dalam ikatan pernikahan bukan berarti melunturkan keimanan seseorang, sejatinya pernikahan untuk menyatukan cinta yang fitrah agar dapat menjadi keluarga dalam ikatan yang sah.

Solusi dari kehidupan plural saat ini ialah, dialog keberagaman untuk membuka mindset dalam beragama dan menerima keberagaman. Ini penting di era kehidupan global seperti sekarang ini, di mana kita hidup dalam tatanan yang disebut sebagai Global Village atau perkampungan dunia. Artinya, keberagaman sudah bukan menjadi hal yang tabu lagi. Mencari perbedaan hanya akan melahirkan pertikaian, tetapi mencari persamaan akan melahirkan perdamaian. Kita sama-sama hidup di Alam yang diciptakan tuhan, dengan keanekaragaman yang tujuannya hanyalah “lita’arafu” untuk saling mengenal. Bagaimana kita bisa mengenal kalau pemikiran untuk kenal saja tidak ada dalam benak kita.

Tetapi kenyataanya sekarang toleran dianggap liberal, konservatif dianggap paling beriman. Toleransi adalah sebuah keharusan di negeri kita yang majemuk. Namun kenyataannya dalam beragama masih saja ada dinding pembatasnya. Pengecaman terhadap penganut Ahmadiyah yang berujung pada pembakaran masjid adalah bukti masih terkekangnya seseorang dalam menjalankan kepercayaannya, belum lagi sweeping pengajian Syi’ah, serta tidak diakuinya aliran-aliran kepercayaan seperti Samin, Kejawen dan Sunda Wiwitan yang berujung pada pengosongan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk mereka.

Sebagai generasi penerus bangsa, mahasiswa harus berdiri paling depan dalam memerangi paham radikalisme dan menjaga indahnya keberagaman di negeri ini. Bukan bertanya agamamu apa? Sukumu apa? Dari pulau mana?. Tetapi kita sebagai anak bangsa berhak atas semua apa yang ada di tanah air kita, sesama makhluk tuhan dan memilih jalan sesuai apa yang kita yakini kebenarannya. Menghormati dan menghargai sesama, beragama sudah dijamin kebebasannya oleh Undang Undang Dasar. Saatnya kita mendewasakan pemik

Inklusivisme dan Moralitas Generasi Bangsa

By: Tumpuk Saleah

Inklusivisme

Indonesia adalah negara berkembang yang memiliki beragam agama, budaya dan ras. Terhitung ada 6 agama yang disahkan oleh pemerintah dan dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berdasarkan persentase sensus penduduk pada tahun 2010, agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia sebagai berikut;Islam 87,2%; Kristen 6,9%; Hindu 1,7%; Budha 0,7%; Konghucu 0,05%; dan Khatolik 2,9%.

Keragaman agama ini yang patut di syukuri. Karena sampai saat ini keyakinan yang dianut oleh masyarakat Indonesia tidak mempengaruhi dalam bernegara dan bernegara. Sikap dan perilaku saling menghargai di tandai dengan adanya kerukunan dan kedamaian yang diciptakan oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan dan perkotaan tentu berbeda dalam menciptakan suatu kedamaian.

Pada era globalisasi ini, kedamaian sulit untuk dicapai. Ini disebabkan pada salah satu paham dari Tipologi Tripolar yang dipopulerkan oleh Alan Race yaitu; eklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.  Tipologi Tripolar digunakan untuk memetakan beragam pendekatan para teolog dan non-teolog Kristen mengenai relasi kekristenan dengan agama-agama lain. Pemetaan ini didasarkan pada kesamaan dan perbedaan cara pandang penganut Kristen terhadap agama-agama lain diluar Kristen.

Dari tiga teologi ini, paham inklusivisme mempengaruhi kedamaian yang diinginkan masyarakat Indonesia. Kedamaian ini tidak terlepas dari moralitas anak muda sebagai generasi penerus bangsa. Penerus perjuangan, pemeliharaan terhadap cinta tanah air, rasa kepedulian serta penuntun pentingnya akan arti kedamaian yang sesuai dengan semboyan bangsa Indonesia “Bhinneka Tunggal Ika”.

Paham inklusivisme adalah paham yang beranggapan bahwa sikap atau pandangan yang melihat agama-agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan bisa diselamatkan, tetapi pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam Yesus Kristus. Kristus hadir dan bekerja juga di kalangan mereka yang mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi. Dalam pandangan ini, orang-orang dari agama lain melalui anugerah atau rahmat Kristus, diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah.

Inti dari inklusivisme tidak menutup kemungkinan ada kebenaran pada agama lain yang tidak dianut, dan sebaliknya terdapat kekeliruan terhadap agama yang dianut. Bagi Islam, paham ini adalah paham kufur atau ingkar terhadap Islam dan pelakunya disebut kafir. Pahan yang seperti ini harus ditolak oleh semua pihak. Karena paham ini dapat menjerumuskan moral generasi bangsa khususnya pada kepedulian serta sikap toleransi terhadap sesama.

Paham inklusivisme dapat menimbulkan dampak buruk bagi moralitas generasi bangsa. Karena inklusivisme mempondasikan agama Kristen dalam pemberian rahmat dari Allah. Sedangkan di Indonesia memiliki beragam agama yang berpendapat bahwa ajaran yang mereka anut adalah ajaran yang paling benar dibandingkan pada ajaran yang lain. Dampak yang seperti ini sangat dikhawatirkan.

Khususnya pada generasi yang kurang akan ilmu pengetahuan agama dan umum serta pemahaman sikap. Keterbatasan ini timbul akibat terbatasnya ekonomi masyarakat kecil untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Namun, keterbatasan ekonomi tidak dapat disalahkan. Hanya saja tergantung pada minat serta niat anak muda dalam keseriusan mencari dan menuntut ilmu. Hal ini sangat berbahaya, karena dapat merusak kedamaian dan kerukunan bangsa yang sejak dulu sudah dibangun oleh para pejuang bangsa.

 

Agama dan Moralitas

Dalam agama terdapat aturan-aturan tentang bagaimana menjalani hidup di dunia, baik hubungan dengan sesama manusia,  manusia dengan lingkungan serta manusia dengan Tuhannya. Hubungan semacam ini berpengaruh pada pola sikap manusia dalam mengimplementasikan di kehidupan sehari-hari. Tindakan yang merujuk pada implementasi ini adalah moralitas, yang mencakup berbagai aspek untuk bertindak dan berbuat.

Moral merujuk kepada nilai-nilai kemanusiaan. Moral menjadi tolak ukur yang dipakai masyarakat untuk menentukan baik buruknya tindakan manusia dalam berinteraksi. Sehingga seorang dapat memiliki moral bersifat baik ataupun moral yang bersifat buruk. Moral tidak akan terlepas dari agama, karena di dalam agama terkandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai ini hendaknya dapat dicapai oleh anak muda generasi bangsa.

Moralitas dalam agama juga dipandang sebagai sesuatu yang luhur, tatanan dalam kehidupan sosial yang dijadikan pedoman. Dapat dikatakan, agama melahirkan moral. Sehingga seseorang yang beragama dan menjalankan ajaran agamanya dengan baik semestinya juga memiliki moral yang baik. Baik buruknya moralitas tergantung pada manusia itu sendiri dalam meyakini dan mepelajari agama yang telah dianut.

Perluasan paham inklusivisme melemahkan moralitas anak muda yang berbeda agama. Hal ini berdampak pula pada tindakan keseharian mereka yang tidak menerima perbedanaan. Tindakan pemisahan antara golongan yang satu dengan golongan yang lain. Maksudnya seperti contoh antara golongan Islam dengan Islam, Kristen dengan Kristen tanpa menyatu dan berbaur satu sama lain. Pemisahan ini yang menjadi masalah utama dalam kedamaian bangsa.

Tindakan seperti ini dapat mendorong anak muda untuk bertindak buruk bahkan bertindak kriminal. Karena ingin mempertahankan sifat apatis dari golongan masing-masing. Sehingga mengakibatkan anak muda berpikiran bahwa kebenaran yang hakiki bukan lah milik bersama, melainkan milik golongan yang dapat menang dalam permusuhan dan perselisihan. Kejadian ini sangat tidak diinginkan oleh bangsa Indonesia.

Tindakan yang dilakukan tidak hanya pada dunia nyata, melainkan mereka lakukan dalam dunia maya menggunakan media sosial. Media sosial lebih berbahaya dalam perluasan permusuhan, bisa jadi diantara mereka melakukan pembulian terhadap agama musuh mereka dan membuat berita-berita hoax yang mengacu pada pertengkaran. Semua tindakan yang dilakukan tentulah sangat berbahaya pada diri mereka dan orang lain.

Setiap agama menjunjung tinggi nilai moralitas sesuai dengan sumber  ujukan untuk bertindak sesuai dengan ajaran masing-masing. Setelah mengetahui sumber rujukan tersebut, tentulah sebagai generasi penerus bangsa untuk meninggalkan paham inklusivisme. Paham yang dapat merobohkan suatu kedamaian dan dapat merusak moralitas anak muda penerus bangsa.

 

Rujukan Sikap Moralitas

Dalam agama Islam, rujukan moralitas terdapat dalam al-Quran Surah Al-Ahzab 23 ayat 21 “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulallah itu suri teladanyang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Pada ajaran Kristen, moralitas terdapat dalam al-kitab (Filipi 2:5) “Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Yesus Kristus”.

Selanjutnya pada agama Hindu yang terdapat di kitab Weda pada Karmapala Sinddha “ Keyakinan terhadap phala dari perbuatan, sebagai landasan sikap mental dan budi pekerti serta membangkitkan kesadaran untuk mengendalikan diri dalam berpikir, berbicara dan berbuat. Kemudian, dalam agama Buddha terdapat dalam Tripitaka Anguttam Nikaya 6.63 “Dewa bhikkhu, cetana (kehendak) lah sing kunyatakan sebagai kamma. (setelah berkehendak orang melakukan tindakan lewat tubuh, ucapan atau pikiran menyatukan kebersamaan)

Beberapa rujukan sikap moralitas berdasarkan ajaran agama yang dianut masyarakat Indonesia sama-sama menginginkan kedamaian dan kebersamaan. Apabila pahan inklusivisme terus merambat di negeri Ibu Pertiwi, maka dapat merusak nilai moralitas anak muda di Indonesia. Untuk itu, hendaklah bersikap tegas dan perpikir kritis dalam menghadapi perbedaan agar tidak terjadi perpecahan dan permusuhan yang mengakibatkan runtuhnya nilai luhur Bangsa Indonesia.

Anak Muda dan Inklusivisme Beragama

Anak Muda dan Inklusivisme Beragama

By: Nurliza

Anak muda adalah fase dimana puncaknya seseorang masih sangat aktif, antusias, frontal, ingin terlihat, serta ingin diakui keberadaanya. Masa ini disebut juga era milineal dimana anak muda sekarang tempatnya untuk mencari jati diri, mengenal dan mencari sosok yang bisa dijadikan panutan untuk mengokoh dirinya menjadi sosok yang bisa menjadi dipercai oleh dirinya dan orang lain. Tidak jarang pula sosok anak muda diusia remaja sering mengikuti dan meniru apa yang menurutnya benar. Sehingga tidak jarang anak muda melakukan perilaku diluar batas kemampuan sehingga menimbulkan sikap menyimpang dan anarkis.

Kemampuan anak muda di era milineal membuat kegelisahan para orang tua yang ingin anaknya menjadi seseorang yang berguna bagi keluarga, bangsa dan agama. karena sifat yang dimiliki anak muda memang mudah sekali terpengaruh oleh lingkungan sekitar. tetapi tidak jarang pula anak muda yang memiliki sikap yang tidak perduli dengan lingkungan bersosial. kebebasan pergaulan tanpa pengawasan orang tua juga bisa menimbulkan anak muda yang anarkis dan frontal.

Jadi penanaman dasar terhadap agama perlu diberikan oleh orang tua kepada anak muda, karena banyak sekali orang tua tidak memperhatikan dan menanam sikap ketauhidan kepada anaknya sehingga anak tidak mempercayai adanya tuhan, dan mencari kemudahan dalam beragama. Apa yang dilihat tanpa mencari kebenaran mudah sekali untuk di ikuti. Anak muda mudah sekali terpengaruh oleh teman sebaya karena sifatnya yang suka meniru dan mencontoh sikap baik dan buruk. Anak muda seperti ini memiliki tingkat keimanan yang lemah.

Diera milenial misalnya banyak perilaku kriminal yang di dasarkan sikap dan tindakan dari anak muda karena memiliki keimanan yang lemah. kejadian terkadang tidak didasarkan hal yang penting terkadang juga hal yang sepele tetapi dibesarkan-besarkan oleh pihak lainnya sehingga terjadilah keributan yang menimbulkan kriminal dan membuat polisi ikut campur dalam menegaskan tindakan yang dilakukan oleh anak muda ini.

Dilihat dari sisi lain seperti agama, menjadi panutan dan pegangan yang sangat penting untuk umat manusia. Sehingga ajaran agama yang diajarkan menjadikan panutan untuk menjalankan kehidupan bersosial.  Sikap bersosial di masyarakat menggambarkan ketaatan kepada tuhan sesuai yang dipercayai dan dianut.

Kegelisahan yang menjadi dasar penting untuk orang tua juga tidak kalah terhadap ketaatannya kepada tuhan, di lihat dari pandangan islam sendiri kegelisahan yang mendasar orang tua terhadap anak muda tentu menjadi hal yang di khawatirkan oleh orang tua,yang mana inklusivisme bisa saja menjadi tantangan terbesar yang bisa merubah pemikiran anak muda untuk mengikuti perintah agama menjadi berbeda karena pemahaman yang mendasar terhadap agama kurang dimiliki dan kurang pengawasan dari orang tua.

Hal beragama dikalangan anak muda menjadi faktor penting karena anak muda adalah penerus bangsa dan menjadi pondasi yang penting untuk agama serta bangsa. jika pemahaman terhadap agama sangat dangkal maka anak muda tersebut bisa saja terjerumus kedalam aliran yang menurut nya bisa merugikan untuknya tanpa mencari tahu kebenaran dari suatu yang telah diajarkan atau yang didapatkan.

Kepercayaan terhadap tuhan di era anak muda memiliki nilai positif, akan tetapi tidak jarang dari kalangan milenial memaknai ketauhidan yang diyakininya mendasarkan kepada inklusivisme beragama yang mana maksud dari inklusivisme sendiri adalah bentuk pemahaman dan keyakinan  bahwa seluruh agama diluar agama kristiani memiliki kebenaran tetapi yang paling benar adalah agama Kristen.

Pemahaman inklusivisme beragama dikalangan anak muda seperti ini jika ditinjau dari pandangan islam memang bertentangan dengan ketauhidan islam yaitu kepada Allah SWT. Jika di percayai oleh kalangan anak muda bahwa agama yang paling benar adalah agama kristiani maka ketauhidan yang dimiliki oleh anak mudater sebut telah hilang.

Sehingga pandangan dari agama selain Kristen juga dapat diselamatkan oleh ”Tuhan Allah” tetapi sesuai dengan syarat dan ketentuan dalam ajaran “Yesus”. dan inti pandangan dari inklusivisme ini adalah bahwa agama selain Kristen itu tidak mendapat keselamatan dengan rahmat dari “Tuhan Allah”. hanya agama kristiani yang memiliki keselamatan yang hakiki.

Anak muda yang diserang inklusivisme ini memberikan dampak pada pemikiran yang negatif, sehingga mereka meyakini bahwa kepercayaan yang didapat memang benar dari agama Kristen, dan membuat pemikiran anak muda terhadap selain agama Kristen tidak mempercayai agama lain. Dan pandangan para ahli menyatakan bahwa orang yang menganut agama selain Kristen juga tergabung kedalam gereja agama Kristen, sehingga keselematan yang dianut didapat oleh umat selain penganut agama Kristen itu merupakan keselamatan dan rahmat dari “Tuhan Yesus”

Inklusivisme beragama di era anak muda menjadi hal yang perlu diperhatikan oleh setiap manusia, karena pelajaran yang diberikan  sekolah belum mampu merubah pemikiran anak manjadi taat beragama, pengawasan orang tua juga penting. karena sifat anak yang suka mengikuti hal yang baru bisa mengakibatkan hal yang fatal untuk keluarga bahkan bisa merugikan orang lain.

Hal ini merasuki pikiran anak muda bahwa agama Kristen tidak memiliki keselamatan sehingga menganggap selain dari agama yang dianut, akan masuk neraka. Padahal jika dilihat dari masing-masing agama mereka mempercayai setiap agama yang dianutnya adalah benar dan menjadi penolong. tetapi pemikiran inklusivisme ini memberikan hal yang berbeda dipemikiran anak muda. bahwa keselamatan di dapat dari agama kristiani.

Jadi inklusivisme maksudnya adalah ustau pemahamn bahwaseluruhagama di luar agamakristenan diyakini memiliki kebenaran tetapi yang paling benar adalah agama Kristen. kemudian menurut pandangan ini,nantinya penganut dari agama-agama selain Kristen juga dapat diselamatkan oleh “Tuhan Allah”  tetapi sesuai dengan syaratdan ketentuan dalam ajaran Yesus. Pada intinya pandangan inklusivisme ini tidak mendiskriminasi bahwa agama  selain Kristen itu tidak mendapat keselamatan tetapi dengan rahmat dari “Tuhan Allah” agama diluar kekristenan pun mendapatkan keselematan.

Pandangan terhadap inklusivisme beragama sendiri penting untuk di perhatikan dan dipahami oleh setiap umat manusia yang memiliki keyakinan dan kokoh akan agamanya. Agar tidak terpengaruh terhadap inklusivisme beragama. Terutama anak muda yang sangat mudah untuk terpengaruh kedalam hal-hal yang suka mengikuti suatu kaum.

Dari paham inklusivisme beragama terhadap anak muda disini memberi pengaruh yang besar terhadap pemahaman remaja bahwa tuhan yang dipercai dari agama kristen adalah dari Yesus Kristus sebagai sumber pemberi keselamatan, dan keselamatan yang diberikan kepada agama selain Kristen adalah berasal dari agama Kristen.

Keperacayaan terhadap paham inklusivisme ini memberi pemahaman bahwa kasih sayang yang diberikan oleh tuhan kepada umat agama Kristen adalah sangat besar. Dan menganggap bahwa setiap orang boleh mempercayai hal tersebut. Paham ini juga memberikan agama lain untuk mempercayai kepada kristus. Tetapi jika agama lain diselamatkan oleh kristus maka  agama selain Kristen harus mengimani kepada agama Kristen yaitu yang dibawa oleh ”Tuhan Allah” atau Kristus.