Oleh Alimuddin Hassan Palawa
Pembenuhuan yang dilakukan oleh Raja Kecil kepadaSultan Abdul Jalil, dan perlakuan terhadap keluarganya, membuat sang “putra mahkota”, Raja Sulaiman beserta saudara perempuannya, Tengku Tengah tidak puas.Keduanya sepakat ingin menuntut balas atas kematian orang tuanya. (Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Hikayat Siak, 127; Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 191; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 54-61).Akan tetapi, menurut Hikayat Siak, sesungguhnya yang lebih sakit hati kepada Raja Kecil adalah saudara perempuan Raja Sulaiman bernama Tengku Tengah. Dia sakit hati kerena sewaktu ayahnya, Sultan Abdul Jalil, masih hidup, Tengku Tengah telah dipinang oleh Raja Kecil. Akan tetapi, perkawinan itu tidak pernah terwujud, lantaran Raja Kecil lebih tertarik dan memilih adiknya, Tengku Kamariah yang lebih cantik dan jelita. Pada akhirnya Tengku Kamariah dinikahi oleh Raja Kecil, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.
Untuk mewujudkan maksud tersebut, Raja Sulaiman dan Tengku Tengah meminta bantuan kepada keturunan bangsawan Bugis putra Opu Tendri Borong Daeng Rilekka lima bersaudara: Daeng Parani, Daeng Manambung, Daeng Marewa, Daeng Calla’dan Daeng Kamase yang berasal dari Sulawesi Selatan.Menurut Tuḥfat al-Nafīs, tersebutlah di kerajaan Luwu’, Sulawesi Selatan seorang Raja bernama La Maddusilat yang mempunyai tiga orang putra, masing-masing bernama Pajung, Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dan Opu Daeng Biasa.
Sewaktu Raja La Maddusilat mangkat, naiklah putra sulungnya, Pajung menggantikan singgasana ayahndanya.Sedangkan kedua adiknya diangkat menjadi menteri-menteri kerajaan. Akan tetapi, tidak lama kemudian, kedua adiknya tersebut bermohon kepada kakandanya untuk pergi merantau dan mengembara di negeri orang di sebelah barat Nusntara. Belakangan adik bungsunya, Opu Daeng Biasa menjadi kelana di tanah Jawa dan belakangan menjadi bagian pasukan Belanda dalam menduduki tanah Jawa. Atas jasanya, pihak Belanda mengangkatnya menjadi pimpinan keturunan Bugis di negeri Batavia.
Sedangkan Opu Tendri Borung Daeng Relakka –karena ketidakstabilan pemerintahan di kerajaan asalnya –beserta lima orang putranya pergi merantau dan mengembara ke Siantan, Malaka dan Johor serta sampai di Kamboja. Di Kamboja, misalnya Opu Tendribuang Daeng Rialaga beserta putra-putranya disambut dan dimuliakan oleh raja Kamboja [di sini putranya, Daeng Parani dikawinkan dengan putri raja Kamboja –ketika belakangan putranya lahir dari hasil pernikahan itu diberi nama Daeng Kamboja].
Akhirnya, tidak lama setalah meninggalkan wilayah Kamboja Opu Tendri Borong Daeng Rilekka wafat.Sepeninggalan ayahnya, putra tertuanya, Daeng Parani menggantikan kedudukan ayahndanya untuk memelihara adik-adiknya yang masih muda, khusus adiknya, Daeng Kamase dan Daeng Calla’. Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 181-182; A. Samad Hasan, Kerajaan Johor-Riau (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1985), 1-8; Untuk ejaan nama-nama keturunan Bugis lebih benar dan sekaligus lebih dapat dipertanggungjawabkan dari hasil penelitian Andi Ima Kesuma. Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis: Penglusuran Kehadiran Opu Daeng Rilakka Pada Abad XVII di Johor (Penerbit Ombak, 2004), 96-100.
Ketidakstabilan politik di Sulawesi Selatan setelah hegemoni kerajaan Goa dikalahkan oleh penjajah Belanda, menyebabkan pengembaraan dan diaspora para bangsawan Bugis/Makassar ke berbagai daerah di Nusantara. Di bagian sebelah barat Nusantara mereka menyebar di pulau Jawa, Kalimantan, di kawasan perairan Selat Malaka, dan bahkan sampai di Ayuthia, Siam (Mung Thai). (Lihat, Taufiq Abdullah, “Abad 18 di Selat Malaka dan Raja Haji Yang Terlupakan”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 170; Leonard Y. Andaya, “The Bugis-Makassar Diaspora”, JMBRAS, Vol. 68, Part 1 (1995), 119-138; lihat juga Christian Pelras, “Petualangan Orang Makassar di Ayuthia (Mung Thai) pada Abad Ketujuhbelas”, Masyarakat Indonesia, Jilid IX, no. 2 (Desember 1982), 207227; Christian Pelras, “Beberapa Penjelasan Mengenai Dua Anak Bangsawan Makassar yang Pernah ke Perancis pada Abad ke XVIII”, Masyarakat Indonesia, Jilid IX, no. 1, (Juni 1982), 57-67).
Kesepakatan mereka terjadi dalam undangan Raja Sulaiman untuk jamuan makan malam kepada keturunan bangsawan Bugis lima bersaudara. Salah satu bentuk komitmen Tengku Tengah dengan saudaranya, Raja Sulaiman demi mengobati rasa sakit hatinya, iab ersedia “disandingkan” dengan salah seorang dari lima keturunan bangsawan Bugis. Sewaktu jamuan makan malam sedang berlangsung, seperti dituturkan Raja Ali Haji dalam Tuḥfat al-Nafīs:
“… kemudian Tengku Tengah keluar dan berdiri di pintu selasar membuka bidai, melepas subang di telinganya, seraya dia berkata, “Hai raja Bugis, jikalau sungguh hamba berani, tutuplah kemaluan hamba ini akan anak beranak saudara bersaudara! Maka (apabila) kemaluan beta semua (ini) tertutup, maka relalah beta (semua ini) menjadi hamba raja Bugis, jika hendak disuruh menanak nasi (raja) sekalipun relalah beta.” Setelah mendengar pernyataan Tengku Tengah itu, maka Opu Daeng Perani menjawab, seraya berkata, “Insya Allah, seboleh-bolehnya hamba tolonglah dan hamba tutupkan kemaluan Tengku semua anak beranak adik beradik.” (Matheson, Tuḥfat al-Nafīs, Sejarah Melayu-Islam, 191; Raja Haji Ahmad dan Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 59-60; Muhammad Yussof Hashim, Hikayat Siak, 128).
Ada beberapa argumen, kenapa pilihan Raja Sulaiman memohon bantuan kepada keturunan bangsawan Bugis, lima bersaudara putra-putra Opu Tendri Borong Deng Rilekka, dan bukannya pada kekuatan lainnya. Pertama, setelah runtuhnya kerajaan Malaka pada 1511 telah memperlihatkan kemerosotan kepemimpinan penguasa Melayu. Proses degradasi ini terus berlanjut hingga terbunuhnya Sultan Mahmud II pada 1699. Penyebab utama kemerosotan tersebut, menurut Andaya, karena kelompok “Orang Laut” merupakan pendukung utama dari kerajaan, terutama berhubungan dengan kekuatan militer di perairan, sudah tidak bersedia lagi memberikan pengabdiannya kepada penguasa baru bukan keturunan langsung dinasti kerajaan Melaka. Menurut mareka, pengabdiannya secara total berakhir pada penguasa keturunan terakhir kerajaan Malaka. (Lihat, Leonard Y. Andaya, The Kingdom of Johor, 323; Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, dalam SejarahPerjuangan Raja Haji Fisabililla, 282-283).
Kedua, sebelum masa Sultan Sulaiman, campur tangan Bugis pernah terjadi (kali pertama) pada tahun 1679 atas undangan Sultan Ibrahim ketika diusir dari Johor dan lari ke Riau. Sejak itu dan khususnya memasuki abad ke-18 sejarah Riau dan daerah sekitarnya selalu terikat dengan kekuatan opu-opu Bugis yang muncul dengan pesat dan memainkan peranan sangat penting di perairan Malaka. Di kalangan ahli sejarah menyebutkan bahwa dalam abad ke-16 dan ke-17 ada dua kekuatan berpengaruh di Riau dan daerah sekitarnya, yaitu pada abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 adalah Aceh; dan pada paroh kedua abad ke-17 hingga abad ke-18 adalah Bugis. (Lihat, Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya, ed. S. Budisantoso, 1986:185).
Orang-orang Bugis menjadi kekuatan sangat diperhitungkan pada masa akhir abad ketujuh belas dan awal abad ke delepan belas karena La Maddusalat merupakan keturunan raja-raja Luwu’, Bone, Soppeng dan Wajo, sehingga keturunannya Opu Tendri Borong Daeng Rilekka dan putra-putranya lima bersaudara mempunyai hubungan geneologi yang luas di Sulawesi Selatan. Dengan begitu, Opu Tendri Borong Daeng Rilekka beserta putra-putranya lima bersaudara dapat diterima oleh suku-suku bangsa Bugis dari berbagai asal “kerajaan” (seperti, Luwu, Gowa, Bone, Wajo, Soppeng, Tanete, Suppa dan Pammanah, dan lainnya) sebagai pemimpin mereka di perantuan. Karenanya, tampilnya lima orang bersaudara memulihkan dan menegakkan kedaulatan kerajaan Johor dari serangan Raja Kecil tidak dapat disangkal kalau keberhasilan itu didukung secara serempak dari kaum migrant Bugiss di Johor. (Lihat, Andi Ima Kesuma, Migrasi dan Orang Bugis, 103).
Ketiga, Pada abad ke-18 dalam pengembaraan keturunan lima orang bangsawan Bugis semakin memperlihatkan kekuatan dan kedikjayaannya di bidang peperangan di perairan wilayah bagain Barat Nusantara, khususnya di daerah Melaka dan sekitarnya. Pada masa ini para pengembara keturunan Bugis terlibat secara aktif dan menjadi kekuataan utama di Selat Malaka. Dengan Riau berada di tangan mereka, sekali lagi Selat Malaka dikontrol oleh pasukan yang mampu memberikan kondisi aman dan stabil dalam bidang perdagangan di kawasan ini. Apa lagi setalah mereka mengalahkan Raja Kecil pada 1728, kekacauan dan gangguan perdagangan yang sebelumnya lazim terjadi di Selat Malaka kini mulai memperlihatkan kondisi lebih mapan dan stabil. (M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Medern 1200-2004, 159).
Dengan bantuan bangsawan Bugis lima bersaudara tersebut Raja Kecil berhasil dihalau dari Kerajaan Melayu-Riau pada 1722, dan putra Abdul Jalil, Raja Sulaiman, diangkat menjadi sultan menduduki singgasana kerajaan Melayu Johor-Riau. ( D.G.E. Hall, A History of South-East Asia (London: Macmillan & Co Ltd, 1964), 328). Dalam Tuḥfat al-Nafīs dilukiskan bahwa tidak kurang dari sebelas kali terjadi konflik perang/ kontak pisik langsung antara pihak Raja Kecil dengan pihak opu-opu keturunan lima orang bangsawan Bugis dalam memperebutkan kekuasaan di kerajaan Melayu-Riau. Lebih lanjut lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 155-157.
Setelah pengangkatan Raja Sulaiman menjadi sultan, diikuti dengan pengangkatan Daeng Marewa sebagai Yang Dipetuan Muda (YDM) I dalam pemerintahan kerajaan Melayu Johor-Riau.Setelah pengukuhan Raja Sulaiman menjadi Sultan kerajaan Melayu Johor-Riau, ia kemudian bertitah kepada keturunan bangsawan Bugis: “Janganlah balik ke Bugis dulu dimintanyalah salah seorang dari opu-opu lima beradik itu menjadi Yang Dipertuan Muda dalam memerintah kerajaan Riau dan Johor dan Pahang dengan segala takluk daerahnya.”
Ketika Daeng Parani –sebagai yang paling senior –mengungkapkan bahwa apapun keputusan banginda Sultan ia akan menerimanya. Namun, khusus untuk dirinya, ia tidak mau menjadi YDM dan menyerahkan kepada adik-adiknya. Selanjutnya, sebagai tertua yang kedua, Daeng Manambung memberikan jawaban bahwa ia tidak sanggup mengemban jabatan itu, di samping ia telah mengikat janji dengan Sultan Matan di Mempewa. Kemudian Daeng Chellak memberikan jawaban bahwa ia tidak mau menjadi YDM selagi kakaknya, Daeng Marewa masih ada. Sementara Daeng Kumisi juga memberikan jawaban bahwa ia tidak berhajat untuk memangku jabatan YDM dan lebih memilih untuk tinggal di Sambas.
Kini tiba giliran Daeng Marewa untuk memberikan jawaban bahwa ia tidak mau menjadi YDM sekiranya ia ditinggal saudara-saudaranya. Mendengar jawaban kelima bersaudara bangsawan Bugis itu, baginda sultan terdiam. Dalam situasi hening, lalu Daeng Manumpuk, sebagai orang dituakan, berkata (dalam bahasa Bugis), diterjemahkan kedalam bahasa Melayu, kira-kira seperti ini, “Janganlah kiranya paduka anaknda sekalian hampakan maksud (paduka kakanda baginda) Sultan Sulaiman itu, tiada sedap dihampakan, karena yang kitapun (telah) mengangkat serta membesarkan dia, adapun titahnya kepada paduka anaknda sekalian pasti berlaku.
Setelah itu, Daeng Parani berucap bahwa adapun keberatan adinda Daeng Marewa untuk tidak mau ditinggalkan oleh saudaranya, maka ia menyanggupi untuk membantunya. Setelah sepakat dengan baginda Sultan Sulaiman maka dilantiklah Daeng Marewa sebagai Yang Dipetuan Muda I Kerajaan Johor-Riau. Adapun Daeng Chellak, tidak lama, dalam minggu itu juga, ia dikawinkan dengan Tengku Madak, saudara Sultan Sulaiman sendiri. Virginia Matheson, Tuḥfat al-Nafīs Sejarah Melayu-Islam (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1991),213-215; Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 61-62.
Pengangkatan Daeng Merewa sebagai YDM sebagai konsekwensi logis dari “sumpah setia” dari kedua belah pihak yang diikrarkan sebelumnya, yaitu bahwa “apabila bangsawan Bugis berhasil memulihkan kehormatan Raja Sulaiman maka bangsawan Bugis akan diangkat menjadi Yang Dipertuan Muda Kerajaan Melayu Johor-Riau secara turun-temurun.”(Lihat, Raja Ali Haji, Silsilah Melayu Bugis, 1973), 67-68).
Jabatan Yang Dipertuan Muda di kerajaan Johor Riau-Lingga, menurut Muhammad Yusoff Hashim, tidak dikenal dalam tradisi pemerintahan Melayu sebelumnya, tetapi merupakan “jawatan ciptaan baru yang dilakukan oleh/ untuk kuturuan lima bangsawan Bugis yang telah mengembalikan kekuasaan dan kehormatan Sultan Sulaiman.” Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu: Kajian Tentang Tradisi Sejarah Melayu Nusantara, 1992: 457). Mereka berjanji untuk saling mengakui persaudaraan satu dengan lainnya dan berjanji untuk saling tolong-menolong di antara mereka dengan melakukan sumpah setia di bawah persaksian kitab suci al-Qur’an. (Buyong bin Adil, Sejarah Johor (Kuala Lumpur: Dewan dan Pustaka Kementerian Pelajaran Melayu, 1971: 101).
Jabatan Yang Dipertuan Muda, menurut Muhammad Yusoff Hashim, tidak dikenal dalam tradisi pemerintahan di kerajaanAlam Melayu sebelumnya. Akan tetapi, jabatan penting Yang Dipertuan Muda itu merupakan “jawatan ciptaan baru yang dilakukan oleh keluarga Bugis.” (Lihat, Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu, 457). Meskipun sebelumnya dalam tradisi Melayu ada jabatan yang, warisan dari kerajaan Malaka, disebut “Raja Muda”, tetapi jabatan ini memiliki pengertian dan fungsi berbeda dengan jabatan Yang Dipertuan Muda yang dipangku secara turun-tumurun oleh bangsawan Bugis dari Sulawesi Selatan yang memiliki kewenangan besar dan dominan dalam pemerintahan.Di awal abad ke-18 hirarki pentadbiran (kekuasaan dan pemerintahan)di kerajaan Johor-Riau yang diwarisi dari kerajaan Malaka terdiri dari berbagai kedudukan dan jabatan: Sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, diikuti jabatan berturut-turut: Raja Muda (kandidat sultan), Bendahara, Temenggung, Laksamana, dan Kadi. Khusus untuk jabatan Raja Muda, misalnya Raja Indra Bungsu menduduki jabatan ini pada tahun 1708.
Dengan demikian, menurut Hamid Abdullah, kepemimpinan gabungan di kerajaan Melayu Johor-Riau itu merupakan tipe kepemimpinan pertama yang terjadi di dalam sejarah Semenanjung dan/atau di Nusantara yang lahir pada abad ke-18. Inilah peristiwa pertama kali terjadi dikawasan ini suatu kelompok etnis datang dari luar telah berjaya masuk dalam struktur kekuasaan Melayu. Untuk itu, pengangkatan YDM dalam struktur pemerintahan kerajaan (apalagi secara turun-temurun), menurut Hamid Abdullah, mempunyai implikasi politik. Pertama, bangsawan Bugis yang semula “out sider”, lalu tampil ke depan dan menjadi “determinator” dalam struktur politik dan pemerintahan Melayu Johor-Riau. Kedua, pemerintahan gabungan ini telah membawa kerajaan Melayu Johor-Riau kepada kejayaan dan dominasi politik di perairan selat Malaka dan sekitarnya lebih dari setengah abad. (Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabililla, 282-283).
Meskipun secara teoritis, kekuasaan tertinggi berada di tangan sultan, namun secara oprasional kekuasaan berada di tangan Yang Dipertuan Muda. Wilkinson memberikan satu ilustrasi yang menarik: “Yang Dipertuan Besar, menempati posisi sebagai “seorang istri”, ia baru dapat makan kalau diberi makanan kepadanya. Akan tetapi, Yang Dipertuan Muda, menempati posisi sebagai “seorang suami”, setiap keinginannya harus menjadi kenyataan.”(“The Yang Dipertuan Besar is to occupy the position of a woman only, he is to be fed when we choose to feed him, but the Yamtuan Muda is to be in position of a husband, his will is always prevail”). (Pernyataan Wilkinson dalam karyanya, A History of the Peninsular Malays, dikutip dari Hamid Abdullah, “Melacak Perjuangan Raja Haji”, 282-283; lihat juga Muhammad Yusoff Hashim, Pensejarahan Melayu, 457).
Belakangan, ilustrasi Wilkinson ini tergambar dalam pergantian pemilihan baik pemilihan sultan (Yang Dipertuan Besar) maupun pemilihan Yang Dipertuan Muda, bahwa pihak Bugis kerapkali memaksakan kehendaknya, dan pada akhirnya menjadi kenyataan.
Ketika Sultan Sulaiman wafat (1722-1760) setelah putranya, Sultah Abdul Jalil (1760-1761) dan cucunya, Sultan Ahmad (1761-1761) keduanya wafat sewaktu masih bayi, pihak Melayu mengajukan calon yang sesuai dengan keinginan mereka, tetapi pihak Bugis memiliki keinginan calon, dan memaksakan keinginannya tersebut. Akhirnya, mereka mengangkat Sultan Mahmud (1761-1812) yang beribukan putri dari Daeng Cella’ untukmenjadi sultan. Apa lagi pemilihan YDM, sultan sebagai penguasa tertinggi di kerajaan tidak dapat menentukan sesuai dengan keinginannya, tanpa ada persetujuan dari pihak Bugis. Bahkan apabila keinginan keduanya berbeda tentang siapa akan diangkat menjadi YDM, dalam banyak kejadian keinginan pihak Bugislah yang harus menjadi kenyataan. Misalnya, peristiwa ketika YDM VII Riau Abdul Rahman (1831-1844) wafat, pihak sultan mengajukan beberapa calon pengganti, tetapi pihak Bugis tetap memaksakan keinginginannya, dengan sokongan dari pihak Belanda, untuk mengangkat Raja Ali bin Ja’farjadi YDM. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 138-139).
Jadi, menurut Taufik Abdullah, tidaklah mengherankan jika sultan kadang-kadang merasa dirinya “terbelenggu” dominasi kelompok Bugis. Maka sultan dan kelompok orang Melayu terus berusaha mengembalikan keunggulannya dipercaturan politik internal kerajaan Johor-Riau. (Taufik Abdullah, “Abad 18 di Selat Malaka dan Raja Haji yang Hampir Terlupakan”, dalam Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 174).
Dalam perjalanan sejarah kerajaan Melayu Johor-Riau yang panjang, kehadiran bangsawan etnis Bugis dan peranan dominan sebagai Yang Dipertuan Muda kerajaan Melayu-Riau kerapkali menimbulkan pertentangan dan persengketaan antara keduanya, kondisi ini tentu saja dapat mengancam kelangsungan kerajaan. Fakta sejarah menunjukkan bahwa peran dominan keturunan Bugis belum dapat diterima sepenuhnya oleh keturunan etnis Melayu, misalnya dengan melancarkan fitnah. (Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 103,145, dan 245).
Meskipun demikian, pertentangan secara terbuka di kalangan orang-orang Bugis dan Melayu dengan latarbelakang etnik, menurut Putten, sepertinya hanya sedikit bukti pendukungnya. Jelas memang ada pertentangan di antara mereka, misalnya sewaktu pemecatan Sultan Mahmud dengan dukungan orang-orang Bugis pada 1857. Akan tetapi, pertentangan itu lebih disebabkan masalah politik, ketimbang dilatarbelakangi perbedaan etnik diantara sebagai orang Bugis danMelayu. (Lihat, Putten, A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across Boundaries, ed. Barnard, Timothy, J. (Singapore: Singapore University Press, t.t), 121; lihat juga Putten, “A Malay of Bugis Ancestry: Haji Ibrahim’s Strategy of Survival,” dalam Journal of Southeast Asia Studies, Vol. 32, No. 3 (Oktober 2001), 343).
Memahami posisinya sebagai keturunan berdarah dari kedua etnis tersebut, Raja Ali Haji berusaha untuk menghilangkan pertentangan dan permusuhan di antara keduanya. Meskipun permusuhan antara kedua etnis ini pada masanya relatif sudah mereda dibandingkan beberapa dekade sebelumnya. Namun, Raja Ali Haji senantiasa memberikan peringatan dan nasehat untuk meredam “hawa nafsu” agar benih-benih permusuhan tidak mencuat ke permukaan.
Raja Ali Haji dengan arif mencermati dan menyiasati gejala-gejala keruntuhan yang sedang mengancam masyarakat. Ancaman keruntuhan itu, menurutnya, berasal dari perselisihan di kalangan orang-orang Melayu dan Bugis. Raja Ali Haji acap kali memperingatkan agar masyarakat di kerajaan Melayu Johor Riau-Lingga dapat mengekang hawa nafsu dan senantiasa merenungkan akibat negatif yang akan ditimbulkannya. Untuk itu, Raja Ali Haji menganjurkan untuk selalu memuliakan rasa malu (rendah hati), ilmu (pengetahuan), dan akal (nalar). Dengan tanpa memiliki sifat ini adalah pangkal awal dari keruntuhan negeri. (Lihat, Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa, 1986: 230; Andaya dan Matheson, “Islamic Thougth and Malay Tradition – Writing of Raja Ali Haji of Riau”, dalam Perceptions of The Past in Southeast Asia, ed. Anthony Reid dan David Marr, 1979), 117).
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh
Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.