Membaca Ulang Gerakan Keagamaan Kaum Milenial

Membaca Ulang Gerakan Keagamaan Kaum Milenial

oleh: Imam Hanafi

Hingga hari ini, opini tentang kecendrungan beragama generasi milineal terus mengundang diskusi yang cukup menarik. Banyak riset yang membuat kaget kita semua, dimana generasi milenial di Indonesia mula tergerus oleh kuatnya diskursus keagamaan yang mengarah pada konservatisme. Tertangkapnya Pepi Fernando sebagai “otak teror bom” buku dan bom di Serpong, yang merupakan jebolan IAIN Syarif Hidayatullah, semakin memperkuat opini di atas. Demikian Imam Hanafi sebagai perwakilan ISAIS UIN Suska Riau memberikan pengantar pada Seminar Nasional secara online pada tanggal 18 Maret 2021 pukul 09.30 hingga jam 12.00 beberapa minggu yang lalu.

Kegiatan yang mengambil tema “Membaca Ulang Gerakan Keagamaan Kaum Milenial” ini, menghadirkan Dr. M. Iqbal Ahnaf, MA dari CRCS UGM Yogyakarta dan Drs. Dardiri Husni, MA yang merupakan dosen FakultasTarbiyah UIN Suska Riau. Selain bekerja sama dengan  Academic Tv, kegiatan ini juga diprakarsai oleh ISAIS UIN Suska Riau dengan STAI Luqman Edy Pekanbaru.

Dalam seminar ini, Dardiri menguraikan dinamika keagamaan kaum milenial yang terkontaminasi oleh gerakan-gerakan yang mengarah pada konservatisme. Misalnya dalam beberapa literature terdapat 4 corak literatur yang berkembang: Pertama, keislaman ideologis, ditemukan dalam literatur jihadi, Tahriri (HizbutTahrir) danTarbawi; Kedua, Puritan: Salafi-purifications literatur, (Buku2 dariTimur Tengah); Ketiga, kesalehan populer. literatur Islam umum, (La Tahzan, UdahPutusinAja!, Yuk Berhijab, Ayat-ayat Cinta, dan Beyond the Inspiration, Ku Pinang Kau dengan; Keempat, Kepanikan Moral Seperti: Felix Siauw ; Udah Putusin Aja! dan Yuk Berhijab, Salim A Fillah, Nikmatnya Pacaran setelah Menikah dan Agar Bidadari Cemburu Padamu. Kesemuanya telah mempengaruhi anak-anak muda saat ini.

Sementara Iqbal Ahnaf menambahkan bahwa diantara factor penting yang mempengaruhi sikap apatis masyarakat atas adanya gerakan-gerakan keagamaan yang menggiring para generasi milenial saat ini. Lebih-lebih dengan adanya pola gerakan keagamaan yang memang mampu menarik perhatian kaum milenial. Oleh karena itu, menjadi penting bagi kita semua untuk menjaga generasi hari ini untuk mampu menjaga kesatuan dan model beragama yang ramah dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini.

KELIRU MEMILIH USTADZ

Author : Mahmud Hibatul Wafi

 

Orang menjadi apa dan bersikap seperti apa tergantung dari faktor-faktor yang mengitarinya, lalu bagaimana ia menghayati, memproses, dan mengaktualisasi ragam faktor itu dalam pikiran dan laku.

Sosok ustadz, di antara faktor yang dapat memengaruhi seseorang. Terutama di Indonesia, ustaz punya privilege tersendiri, meski tidak semua. Selain karena berangkat dari kebutuhan religius-teologis, ustaz juga berposisi sebagai ‘reseller ideologi’, yang cenderung bias.

Apalagi di bulan Ramadhan, para ustadz berduyun-duyun nongol di ruang publik, baik online maupun offline, umum maupun privat. Tampil dengan rupa-rupa atribut, retorika, dan metode. Saya tidak tahu apakah ada atau belum lembaga yang mendata total keseluruhan ustaz di Indonesia, lengkap dengan keterangan afiliasinya. Namun yang pasti, jumlah mereka tidak sedikit, mungkin sama banyaknya dengan jumlah politisi.

Karena banyaknya model ustaz (belum lagi yang merasa ustaz), ada baiknya kita selektif, terutama terkait dengan afiliasi ideologi. Dampaknya begitu krusial, yang paling akut terjerat paham ekstremisme. Artinya, salah mengidolakan ustaz hidup bisa celaka.

Selain itu, disrupsi informasi yang luar biasa juga cenderung membuat orang sulit untuk selektif, sehingga pertimbangannya seringkali mengarah pada kemasan (form). Prinsipnya: daripada ribet, praktis, dan instan.

Mental praktis dan instan dalam beragama mengindikasikan anjloknya daya literasi bangsa kita. Percepatan media baru dan teknologi, bahkan kian memperkeruh hal tersebut. Zaman sudah 5.0, mental masih 1.0. Duh, payah.

Singkatnya, sikap keliru memilih ustaz menandakan rendahnya daya selektif, dan berarti pula dangkalnya daya literasi. Maka, sebuah kewajaran jika sikap truth claim, takfiri, reaktif, dan sejenisnya berkembang menyesaki ruang publik, bahkan sudah sampai pada tingkat darurat.

Bagaimana pun, kita tidak bisa melihat fenomena ini dari satu sudut. Saya lebih cenderung melihatnya sebagai gejala sosiologis. Sebab, meminjam istilah Peter L. Berger, society is a human product. Masyarakat dibentuk oleh sejumlah entitas, yang berupaya mengekspresikan diri untuk tujuan eksistensi (eksternalisasi).

Artinya, keterhubungan seseorang pada satu ustaz atau kelompok agama tertentu merupakan upaya penegasan eksistensi, dan itu lumrah. Namun, yang perlu disorot ialah bagaimana proses internalisasi (penanaman) ajaran-ajaran yang diterima dari ustaz itu berlangsung. Karena kaitannya begitu signifikan terhadap ‘pelembagaan’ ajaran dalam bentuk ideologi atau regulasi. Moderat ataukah ekstrim?

Oleh karena itu, pada proses internalisasi, individu hendaknya mampu menapis (menyensor) informasi yang diterima dengan disiplin lainnya, semisal, sospol, antropologi, ekonomi, sejarah, indigenous wisdom, dan seterusnya. Apakah proses ini terkesan ruwet? Saya pikir tidak, jika relasi dialogis terus kita kembangkan.

Dengan kata lain, ia jadi ruwet plus ribet jika kita masih mempertahankan pendekatan monodisiplin dan menolak untuk ‘ngopi bareng’.

Pekanbaru, 15 April 2021
50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan  Kerajaan Johor-Riau

50 PERSEBATIAN MELAYU-BUGIS (5) Era Kemunduruan dan Penghapusan Kerajaan Johor-Riau

Oleh Alimuddin Hassan Palawa

 

Sepeninggalan Raja Haji pada 1784, sebagai akibat kekalahan perang melawan Belanda, kerajaan Melayu-Riau dalam politik-militer bukanlah lagi suatu kerajaan berdaulat penuh. Dalam kenyataannya pemerintah Hindia Belanda kerapkali turut campur dan menentukan kebijakan dalam pemerintahan kerajaan Melayu Riau. Di akhir tahun 1784, misalnya, karena kebencian Belanda kepada orang-orang Bugis, pemerintah Belanda memberikan ultimatum kepada Sultan Mahmud –sebagai salah satu upaya adu domba– untuk mengusir orang Bugis dari kerajaan dan jabatan Yang Dipertuan Muda selama ini dijabat secara turun temurun di kalangan orang Bugis diperintahkan untuk dihapus.

Untuk itu, sultan sendiri harus menghadap kepada Jacob Van Braam di kapal komando Utrecht. Tentu saja ultimatum dan keinginan pemerintah Belanda ditolak sultan. Akibatnya terjadilah perang dengan Belanda dipimpin YDM V Raja Ali. Tentu saja perlawan ini dengan mudah dikalahkan Belanda. Akibatnya, YDM V Riau Raja Ali bin Kamboja beserta keluarganya meninggalkan Kerajaan Melayu Johor- Riau. (Lihat, Raja Ali Haji, Tuḥfat al-Nafīs, 213-222).

Konsekwensi logis dari kekalahan itu, Sultan Mahmud Syah terpaksa (tepatnya dipaksa) menandatangani perjanjian di bawah tekanan pemerintahan Belanda pada 10 November 1784.Dalam pasal-pasal perjanjian tersebut antara lain dinyatakan bahwa seluruh pelabuhan dalam kerajaan Melayu Riau menjadi milik pemerintahan Hindia Belanda. Untuk itu, Hindia Belanda akan menempatkan tentaranya di kawasan kerajaan Melayu Riau dan pemegang monopoli perdagangan di kawasan Riau,danapabila sultan mangkat, penggantinya harus mendapat persetujuan dari pihak kolonial Hindia Belanda.

Kerajaan Melayu Riau semakin tidak berdaya menghadapi persekutuan pihak Belanda dan Inggris yang melahirkan Konvensi London 1814. Perjanjian kedua negara itu adalah bahwa Indonesia kembali diserahkan dan menjadi jajahan pemerintahan Hindia Belanda. Satu dekade berikutnya perjanjian itu diteguhkan dengan “The Anglo-Datch Treaty of London” atau lebih sering disebut “Traktat London 1824”. Sehingga kerajaan Melayu-Riau semula mencakup daerah Johor diserahkan kepada Inggris. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 252-254). Kemudian, setelah perjanjian ini ditanda tangani, pemerintah memperbarui kontrak politik antara pemerintah Hindia-Belanda dengan Sultan Riau-Lingga yang semakin membatasi kekuasan dan wewenang sultan pada 29 Oktober 1830. (Hasan Junus, “Residen C.P.J. Elout: Arsitek Kontrak Politik 29 Oktober 1830” dalam Engku Putri Raja Hamidah Pemegang Regalia Kerajaan Riau (Pekanbaru: Unri Press, 2002), 196).

Pasca perjanjian-perjanjian disebut di atas, sesungguhnya dapat dikatakan bahwa Kerajaan Melayu Riau-Lingga bukan lagi sebagai kerajaan yang berdaulat penuh. Meskipun dalam kondisi demikian, tidak berarti penguasa kerajaan Melayu Riau-Lingga tidak melakukan perlawanan dan mengupayakan kembalinya kedaulatan negerinya. Belakangan, pada 1903 raja terakhir kerajaan Melayu Riau, Sultan Abdul Rahman Muazzam Syah melakukan perlawanan kultural yang sangat berani, yaitu dengan mengibarkan bendera kerajaan Belanda dipasang di bawah bendera Kerajaan Riau Lingga di depan istana. Residen Riau melaporkan persitiwa itu ke Batavia, dan Sultan Abdul Rahman mendapatkan peringatan keras dari Gubernur Jenderal Rooseboon di Batavia.

Pada kejadiaan lainnya, dalam menegakkan marwah dan kedaulatan kerajaan, Sultan Abdul Rahman menuntut agar Residen Riau tidak melakukan pengangkatan pejabat kerajaan sebab itu menjadi wewenang kerajaan.Sikap perlawanan sultan semakin jelas saat sultan enggan bekerja sama dan menolak untuk menandatangani Surat Perjanjian (kontrak baru) pada 1910. (Hasan Junus, Raja Ali Haji Budayawan, 225; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century Islamic Centre of Riau”, Archepel, 37(1989: 163).

Konsekwensinya, pada bulan Februari 1911 sultan dimakzulkan dari tahta kekuasaannya, dan putranya, Tengku Besar Umar dicoret namanya sebagai calon sultan. (Lihat, Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 56). Surat abdikasi sultan dibacakan Residen Riau G. F. de Bruyn Kops(1911-1913) di markas gedung “Rushdiah Klab”, sebuah lembaga perkumpulan intelektual Melayu-Riau yang selalu kritis dan melakukan perlawanan secara moral terhadap kebijakan pemerintahan kolonial Belanda. (Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 189).

Di kalangan pengurus Rusydiah Klab, setelah pemakzulan sultan, melakukan upaya diplomasi, misalnya tahun 1904-1905 kerajaan Melayu Riau mengutus Raja Ali Kelana untuk menemui Sultan Turki Utsmani di Istambul (Turki) guna meminta bantuan, tetapi upaya ini tidak berhasil. Selanjutnya, upaya diplomasi yang sama juga dilakukan pada 1905 oleh pihak kerajaan untuk menemui konsul Jepang di Singapura. Upaya diplomatis itu dilanjutkan lagi pada tahun 1912-1913 dengan mengutus Raja Khalid Hitam ke Tokyo untuk menemui Mahara Jepang guna meminta bantuan di dalam menghadapi penjajahan Belanda. Namun usaha-usaha diplomasi tersebut tidak berhasil di dalam menjalankan misinya. Malah Raja Khalid Hitam sendiri yang sedang menjalankan misinya di Jepang terbunuh pada 1914. Pembunuhan ini diduga kuat dilakukan oleh mata-mata Belanda. (Barbara W. Andaya, “From Rum to Tokyo: The Search for Anticolonial Allies by the Rules of Riau 1899-1914, dalam Indonesia, No. 24, (1977), 153-154).

Setelah keputusan pemakzulan Sultan Abdul Rahman tersebut, pemerintah Hindia Belanda menyatakan bahwa seluruh tugas dan kewenangan sultan di kerajaan Melayu-Riau dan seluruh daerah kekuasaannya berada langsung di bawah kendali Residen Belanda. Seluruh rakyat Melayu Riau terpaksa/persisnya dipaksa untuk menaati segala peraturan kolonial Belanda. (Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326).Dalam kondisi seperti ini Sultan ‘Abd Rahman meninggalkan kerajaannya pergi ke Singapura, dan wafat dalam “pengasingannya” di sana pada 1930. Sebagian besar masyarakat mengikuti sultan meninggalkan Pulau Penyengat menuju Singapura. (Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190; Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 163). Bahkan dapat dikatakan masyarakat “eksodus” meninggalkan tanah kelahiran mereka menuju Singapura, Johor dan daerah-daerah sekitar lainnya.

Dari hasil penelitian Muhammad Afan, sebagaimana dikutip Hasan Junus, menyebutkan “… dari sekian ribu penduduk pulau kecil yang menjadi pusat pemerintahan di kerajaan itu hanya lebih kurang lima ratus jiwa saja yang tetap tinggal, karena sebagian besar penduduk pindah ke Johor dan Singapura.” Lihat, Hasan Junus, “Upaya Menjual Riau”, 190). Untuk mengetahui berapa jumlah masyarakat yang “eksodus” meninggalkan Pulau Penyengat dapat dilihat dari data “perbandingan” berikut ini: (i) bahwa masyarakat yang tidak meninggalkan Pulau Penyengat haya tinggal 500 orang; (ii)_bahwa jumlah penduduk di pulau kecil ini pada akhir abad ke-19 diperkirakan mencapai sekitar 9.000 jiwa. Kedua data nyata menunjukkan bahwa Pulau Penyengat benar-banar ditinggal-pergi oleh penduduknya. (Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Raja Ali Kelana juga meninggalkan negeri kelahirnya dan menetap hingga wafatnya di Johor pada 1927. Raja Ali Kelana meninggalkan negerinya lantaran, menurutnya, telah “berubah kelakuannya” (diperintah Belanda). Raja Ali Kelana menyatakan prinsip ini, seperti katanya dalam Bughyāt al-‘Any fī Ḥurūf al-Ma‘āni: “Apabila negeri itu berubah kelakuannya maka tinggalkanlah dia!”Akhirnya, pemerintahan Belanda mengeluarkan keputusan penghapusan kerajaan Melayu Riau-Lingga dari “peta bumi” pada 11 Maret 1913. (Hasan Junus &UU. Hamidi, “Sumbangan dan Peranan Cendikiawan Riau”, 136; Rustam S. Abrur, Sejarah Perjuangan Raja Haji Fisabilillah, 326.

Dengan penghapusan kerajaan Melayu-Riau dari “peta bumi” pada sisi kekuasaan dan pemerintahan dapat dikatakan kerajaan Melayu Riau-Lingga ini tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran dan kejayaannya di masa silam.Apa penyebabnya Pulau Penyengat sebagai pusat pemerintahan YDM Riau hampir tidak meninggalkan “bekas-bekas” kebesaran pada masa lalu. Menurut penelitian Matheson ini disebabkan orang-orang di Pulau Penyengat pada umumnya, dan raja-raja dan keluarga istana pada khususnya lebih memilih memusnahkan harta benda dan barang-barang yang ada dalam rumah mereka (melakukan semacam “bumi hangus” daripada (mereka khawatir kalau) Belanda akan menyita seluruh harta kekayaannya. (Lihat, Virginia Matheson, “Pulau Penyengat: Nineteenth Century”, 162).

Akan tetapi, dari sisi persuratan intelektual-keagamaan dan kebudayaan, kerajaan Melayu-Riau telah meninggalkan “jejak-jejak”kebesaran dan kejayaan masa lalunya –kendatipun belum/tidak sampai pada puncak kejayaan tertinggi– lewat generasi-generasi terpelajar yang menghasilkan “bertaburan” karya di Pulau Penyengat sepanjang menjelang paroh kedua abad ke-19 hingga awal abad ke-20. (Ong Hok Ham, “Pemikiran Tentang Sejarah Riau”, dalam Masyarakat Malayu Riau dan Kebudayaannya, 185).

Dengan situasi politik yang tidak menentu, maka ketika Indonesia memasuki era sastera modern yang ditandai dengan lahirnya Balai Pustaka pada dasawarsa kedua abad ke-20, Sapardi Djoko Damono menyebutkan, “tampaknya peran para sastrawan dari Riau tidak begitu menonjol”, untuk tidak mengatakan tenggelam sama sekali. (Lihat, Sapardi Djoko Damono, “Sastrawan Riau dan Sastra Indonesia Mutahir”, dalam Masyarakat Melayu dan Budaya Melayu dalam Perubahan, ed. Heddy Shri Ahimsa-Putra (Yogyakarta: Balai Kajian dan Pengambangan Budaya Melayu, 2007: 289-290).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
Mā tawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh

Alimuddin Hassan Palawa,
Direktur & Peneliti ISAIS (Institute for Southeast Asian Islamic Studies) UIN Suska Riau.
BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

BERDAMAI DENGAN MENELADANI NABI

Helmaya Indra Sari

Sebagaimana agama-agama lainnya, Islam sesungguhnya merupakan agama yang peduli dan mendorong kepada umatnya untuk menjaga kedamaian seluruh umat manusia. Merujuk pada makna dasar Islam sendiri, yakni salam, maka Islam membawa misi keselamatan dan kedamaian. Namun demikian, kedamaian tidak bisa ditanggung oleh beberapa pihak saja namun seluruh elemen kehidupan harus berperan di dalamnya, agar tercipta sebuah kedamaian.

Secara historis, peran dan aktualisasi dari hal itu telah melekat dan tergambar pada profil Nabi Muhammad, sang pembawa risalah. Wajah keteduhan dan kedamaian terekspresi dengan baik bersama Nabi. Sehingga Alquran memproklamirkan Nabi sebagai sosok pembawa rahmat bagi sekalian alam (rahmatan lil alamin). Tidak lah heran jika kemudian kita diberikan sitiran Hadits bahwa ”Sesungguhnya aku diutus (Tuhan) untuk menyempurnakan kemuliaan Akhlaq”.

Ketika Nabi di Mekkah, sedang mengalami tahun kesedihan dan penolakan kafir Quraisy yang keras, maka beliau hijrah ke Thaif, dengan harapan mendapatkan tempat baru yang representatif. Tetapi di Thaif justru memperoleh perlakuan yang semakin keras, bahkan nabi dilempari batu, dan melukai beliau. Tetapi beliau tetap sabar. Bahkan ketika malaikat datang, untuk membantu nabi menurunkan bencana kepada masyarakat Thaif, nabi menolak. Dengan landasan, bahwa beliau masih optimis, anaknya atau keturunan orang Thaif yang memusuhinya masih berpotensi menjadi pengikut rasulullah.

Pada saat Rasulullah Saw. pulang dari masjid dan diludahi oleh seorang kafir, namun beliau tak marah. Bahkan, beliau bergegas menjenguk ketika orang tersebut diketahui sedang sakit, sehingga orang tersebut kemudian masuk Islam.

Dari kisah-kisah tersebut, kita melihat keluhuran budi atau akhlak Rasulullah Saw. Kedzaliman, kemarahan, dan kebencian yang dilancarkan pada beliau tak dibalas dengan hal serupa, namun justru dibalas dengan kasih sayang, perhatian, dan harapan yang baik. Dari sanalah sinar kedamaian Islam itu terpancar, sehingga bisa menerangi dan memberi hidayah bagi mereka yang belum mengerti.

Dalam hal toleransi, keteladanan Nabi ditunjukkan dengan perlakuan Nabi Muhammad ketika berhadapan dengan kelompok Yahudi maupun Nasrani. Nabi selalu menonjolkan perdamaian dari pada konflik. Misalnya, sebuah perjanjian yang ditulis pada masa Nabi ketika menerima delegasi Kristen yang mengunjungi Nabi SAW pada 628 Masehi di Madinah. Isinya adalah:

“Ini adalah pesan dari Muhammad bin Abdullah, sebagai perjanjian bagi siapa pun yang menganut kekristenan, jauh dan dekat, bahwa kami mendukung mereka. Sesungguhnya saya, para pelayan, para penolong, dan para pengikut saya membela mereka, karena orang-orang Kristen adalah penduduk saya; dan karena Allah! Saya bertahan melawan apa pun yang tidak menyenangkan mereka.

Tidak ada paksaan yang dapat dikenakan pada mereka. Sekalipun oleh para hakim mereka, maka akan dikeluarkan dari pekerjaan mereka maupun dari para biarawan-biarawan mereka, dari biara mereka. Tidak ada yang boleh menghancurkan rumah ibadah mereka, atau merusaknya, atau membawa apa pun daripadanya ke rumah-rumah umat Islam.

Jika ada yang memgambil hal-hal tersebut maka ia akan merusak perjanjian Allah dan tidak menaati Rasul-Nya. Sesungguhnya, mereka adalah sekutu saya dan mendapatkan piagam keamanan melawan apa pun yang mereka benci.

Tidak ada yang memaksa mereka untuk bepergian atau mengharuskan mereka untuk berperang. Umat Islam wajib bertempur untuk mereka. Jika ada perempuan Kristen menikahi pria Muslim, hal ini tidak dapat dilakukan tanpa persetujuan perempuan itu. Dia tidak dapat dilarang untuk mengunjungi gerejanya untuk berdoa.

Gereja-gereja mereka harus dihormati. Mereka tidak boleh dilarang memperbaiki dan menjaga perjanjian-perjanjian sakral mereka. Tidak ada dari antara bangsa (Muslim) yang boleh tidak mematuhi perjanjian ini hingga Hari Akhir.”

Betapa mulianya Nabi dalam memperlakukan kelompok lain yang berbeda. Dengan nalar humanisnya, Rasulullah tetap memberikan hak kepada siapa pun untuk menjalankan aktivitas. Bahkan, pihak-pihak yang secara nyata menghujat Rasulullah tidak dibalas dengan perlawanan serupa. Rasulullah justru menunjukkan sebuah senyuman yang justru bisa meluluhkan siapa pun yang pernah menghina dirinya.

Dengan mewarisi kemuliaan beliau, maka menjaga perdamaian dalam Islam merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran Islam. Untuk itu setiap umat Islam haruslah menjadi ‘agen of change’ dan ‘maintain peace on earth’, agar Islam semakin berkembang, dianut oleh banyak orang, dan dicintai oleh seluruh umat.

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

MERAWAT PANCASILA MERAWAT ISLAM

Oleh: Fadila Khusnun

 

Sejak awal republik ini berdiri, perdebatan tentang dasar negara serta bentuk negara, sudah mencuat. Wacana untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Khilafah (Baca: berlandaskan syariat Islam) bukanlah ihwal baru. Serupa dengan diskursus menjadikan Indonesia sebagai negara sekuler. Setelah melalui perdebatan dan renungan panjang, dengan kearifan serta kebijaksanaan para pendiri bangsa ini, kemudian sepakat untuk menjadikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai dasar negara Indonesia.

Namun pada perjalananya, pada saat sidang Konstituante tahun 1959, faksi Islam kembali memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Akhirnya, memaksa Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar negara Indonesia. Di era Orde Baru, di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto, beliau menegaskan kembali bahwa hanya Pancasila dan UUD 1945 yang menjadi dasar negara bagi bangsa ini, bukan Islam, sekularisme, apalagi komunisme. Ketika Orde Baru tumbang, masyarakat bebas bersuara, dinamika perdebatan dan dialektika wacana mengenai hal ini menguap kembali ke permukaan, seiring dengan menguatnya isu radikalisme berbasis agama.

Trend radikalisme berbasis agama, saat ini merambah ke kampus-kampus serta pelajar Indonesia. Di lingkup akademis inilah paham-paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 tumbuh subur. Hal ini tidak bisa dilihat secara kasat mata, tapi dampaknya terasa. Pelajar dan mahasiswa dipupuk dengan ideologi Indonesia mesti menjadi negara Islam, perang dibolehkan melawan musuh Islam, dan kafir bagi kaum yang tidak mendukung syariat Islam (Hassanuddin Ali, 2019).

Mengembalikan tujuh kata yang dihilangkan dari Piagam Jakarta (Jakarta Charter), “berkewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” kembali diembuskan sebagai napas perjuangan mereka. Alasan-alasan seperti Islam sebagai mayoritas tidak mendapatkan haknya secara penuh serta Islam sebagai solusi di segala lini, khususnya atas permasalahan yang terjadi di Indonesia, dijadikan spirit untuk mengganti dasar negara dan bentuk negara menjadi negara Islam. Bagi mereka, agama—dalam hal ini Islam dan negara sejatinya merupakan integralistik yang tidak dapat dipisahkan. Semestinya, ini menjadi alarm wake up call bagi kita: the ideology of the nation is under attack.

Jika ditilik ke belakang, secara historikal, umat Islam sendiri mulai hidup bernegara sejak Nabi saw. hijrah ke Yatsrib (saat ini Madinah). Di Madinah, suatu komunitas bangsa dengan cita-cita bersama membangun negara berlandaskan kehidupan yang majemuk terlahir. Kemajemukan itu dibuktikan dengan adanya kaum muslim dan non muslim, kaum Muhajirin pengikut Nabi dari Mekah dan kaum Anshar pengikut Nabi dari Madinah.

Setelah menetap di Madinah, Nabi merumuskan dan mengumumkan Piagam Madinah. Isi Piagam Madinah yang dinyatakan di antaranya, “Kaum Muslimin adalah umat bersatu utuh, mereka hidup berdampingan dengan dengan kelompok-kelompok masyarakat lain. Semua warga akan saling bahu membahu dalam menghadapi pihak lain yang melancarkan serangan terhadap Yatsrib (Madinah) dan Surat Perjanjian ini tidak mencegah (membela) orang yang berbuat aniaya dan dosa. Setiap orang dijamin keamanannya, baik sedang berada di Madinah mau pun sedang di luar Madinah, kecuali berbuat aniaya dan dosa.” Kandungan pokok Piagam Madinah tersebut mencerminkan sifat pluralisme sebagai suatu bangsa, bukan sebagai suatu negara berdasarkan agama tertentu (Dahlan, 2014). Piagam Madinah menjadi bukti bahwa sejak awal,peran Islam amat krusial dalam hal kenegaraan,dengan visi mempersatukan seluruh masyarakat dalam ikatan politik kenegaraan, bukan dalam ideologi agama Islam.

Prinsip hidup bernegara yang dibangun oleh Nabi, dipandang bersifat egaliter, inklusif, pluralis, dan aspiratif (Dahlan, 2014).  Hal ini dapat dilihat dari Perjanjian Hudaibiyah yang ketika itu Nabi mendengarkan aspirasi dari Suhail bin Amr, Seorang utusan Quraisy. Nabi meminta Ali bin Abi Thalib menulis “Dengan Nama Tuhan Maha Penyayang dan Maha Pengasih”, Suhail menyela bahwasannya dia tidak mengenal sifat Tuhan yang Maha Penyayang dan Maha Pengasih, kemudian ia meminta untuk diganti menjadi, “Dengan nama-Mu ya Tuhan”. Lalu, Nabi meminta Ali untuk menuliskan seperti apa yang diingini Suhail. Ketika Nabi meminta Ali menulis, “Berikut ini merupakan naskah perjanjian yang dicapai antara Muhammad utusan Allah dan Suhail bin Amr”, Suhail juga menyelanya dengan mengatakan bahwa, “Jika aku memercayai Beliau sebagai utusan Allah, maka aku tidak akan memusuhinya” dan ia meminta agar kata-kata “Muhammad utusan Allah itu dihapus menjadi Muhammad bin Abdullah”, yang hal ini kemudian menjadikan sahabat marah. Tetapi, sekali lagi Nabi meminta Ali untuk menulis seperti apa yang dikehendaki Suhail. Melalui prinsip hidup bernegara tersebut, Nabi mencapai kesepakatan dengan kaum Quraisy, sehingga Nabi dan para sahabatnya masih bisa menjalankan ibadah umrah di Makkah.

Sebagai satu negara yang berdiri di atas kemajemukan, mestinya kita bisa belajar dari hal tersebut. Para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang yang tidak berpikir panjang. Mereka memfinalkan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai sebuah negara, dengan dasar negara Pancasila dan UUD 1945 di tengah puspa ragam perbedaan bukanlah tanpa alasan. Pancasila merupakan bentuk kompromi para pendiri bangsa, tidak ada keberpihakan di dalamnya. Penghapusan tujuh kata dari Piagam Jakarta bukan pula tanpa alasan, para pendiri bangsa mendengar aspirasi masyarakat Timur, meski pun mereka sebagai minoritas.

Kalangan yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam, mungkin hendaknya diingatkan kembali. Barangkali, kalangan tersebut ialah kalangan ahistoris yang lupa proses dialektika sejarahnya, bahwa bangsa ini meraih kemerdekaannya bukan karena satu atau sekelompok gologan saja, namun dihasilkan dari keberhasilan banyak kelompok atau golongan yang berhasil mengubur egonya. Tak lagi membedakan agama, suku, dari mana mereka berasal serta hal yang bersifat primordial lainnya.

Pertentangan terhadap Pancasila dengan nilai Islam, semestinya memang tidak perlu. Pancasila ialah manifestasi dari bentuk negara Islami. Nilai-nilai dasar dalam Pancasila mengandung unsur-unsur keIslamian meski pun tidak tertulis secara gamblang, yang dijadikan acuan dalam bertindak sebagai bangsa yang berkeadaban. Sehingga, dari pada disibukkan dengan wacana mengganti dasar dan bentuk negara berlandaskan syariat Islam, alangkah lebih arif jika nilai-nilai Islam sendiri digunakan untuk merawat Pancasila.

LAKI-LAKI JUGA SEORANG FEMINIS

LAKI-LAKI JUGA SEORANG FEMINIS

“Isu feminisme di Indonesia masih mengalami kompleksitas persoalan. Islam dan feminisme di Indonesia masih mengalami ketegangan” begitu Prof. Alimatul Qibtiyah mengawali pembahasannya pada diskusi minggu, tanggal 08 November 2020. Guru Besar UIN sunan Kalijaga Yogyakarta ini, kemudian menunjukkan bagaimana pola berfikit, penafsiran, dan keyakinan umat Islam yang masih mengakar dan membudaya dalam menempatkan perempuan yang tidak sebanding dengan atau bahkan di bawah kaum laki-laki. “Hal ini lah, yang kemudian melahirkan banyak persoalan dan penderitaan pada perempuan. Kaum perempuan seringkali mengalami diskriminasi dan bahkan perlakuan-perlakuan tidak adil” imbuh anggota Komnas Perempuan ini.

Kegiatan tersebut merupakan rangkaian kegiatan ISAIS UIN SUSKA RIAU yang bekerjasama dengan MAARIF Institute. Suguhan diskusi kali ini, mengungkap topik”Arah Gerakan Feminis Muslim”.Selain Prof. Alimatul Qibtiyah, ada Syafiq Hasyim, Ph.D, Direktur Perpustakaan dan Budaya Universitas Islam Internasional Indonesia,yang juga memberikan uraian tentang gerakan feminisme di Indonesia. Webinar yang dimulai pukul 13.00 dan berahir jam 15.00 ini, dibuka oleh Abd. Rahim Ghazali, selaku Direktur Maarif Institute. Diskusi kali ini dimoderatori oleh Heru Lesmanda selaku Mahasiswa Pascasarjana UIN SUSKA Riau.

Secara historis, sesungguhnya perempuan dan laki-laki diciptakan sama. Bahkan Rasulullah SAW. memberikan contoh nyata kepada kita betapa beliau memulyakan perempuan. Nabi telah mampu mengangkat peran perempuan. Persoalan waris misalnya, perempuan memperoleh hak waris, setelah perempuan seperti tidak bernilai dimata kaum Jahiliyah.Gerakan feminisme bukan berarti melakukan penunggalan atau domistifikasi peran perempuan, melainkan mendorong agar perempuan bebas memilih peran terbaiknya, asalkan itu pilihan bebas dan tanpa paksaan.

Di Indonesia, kata Prof. Alimatul Qibtiyah, tidak semua pembela hak-hal perempuan bersedia menyebut dirinya sebagai feminis. Yang berani menyebut feminis justru dari kalangan LSM itupun yang muda-muda. Generasi tua, kebanyakan mereka enggan menyebut dirinya feminis. Beberapa mengatakan “Meskipaun kami berjuang untuk perempuan, tapi kami bukanlah feminis”. Penolakan ini, sebut perempuan jebolan UWS Australia ini, disebabkan oleh adanya stigma yang melekat pada istilah feminisme, misalnya feminisme sering dikaitkan dengan pengaruh Barat, individualistis, berkaitan dengan Gerakan Wanita PKI (Gerwani), anti laki-laki, dan pendukung lesbianisme. Bahkan di Barat sekalipun, ditahun-tahun 1990-an, mereka sering mengatakan “I am not feminis but …. i love equality”.

Pada tahun-tahun 90-an, para tokoh seperti Masdar F. Mas’udi, K. H. Husein Muhammad, dan lainnya sudah melakukan kajian serius untuk melakukan rekonstruksi tentang peran dan reproduksi perempuan. Pria Alumni Berlin Graduate School Muslim Cultural and Societis, Free University Berlyn German ini, menegaskan bahwa soal mendasar terkait dengan isu feminisme ini adalah soal persepsi mengenai tubuh perempuan. “Seringkali orang menganggap bahwa tubuh perempuan ini, merupakan obyek, tempat untuk dilakukan penindasan” imbuhnya. Padahal pertanyaan ini, sesungguhnya sudah pernah dikemukakan oleh Ahmad Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah, tegas pria yang menulis tentang Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Perempuan dalam Islam (Mizan, 2001) ini.

Tubuh perempuan yang lemah dan lembut itu, sesungguhnya sama dengan konstruksi tubuh laki-laki. Semua memiliki potensi yang sama untuk dilatih, dibina, dan dikembangkan sedemikan rupa. Sehingga, jangan melihat sisi “lembut” tubuh perempuan. Dengan demikian, laki-laki pun sesungguhnya memiliki kecendrungan yang sama jika lingkungannya mengkontruksi “tubuhnya” menjadi perempuan. Dengan demikian, persoalan feminisme ini, bisa mengalami rekonstruksi selama budaya dan lingkungannya mendukung atas pembelaan hak-hak perempuan. Jika Nabi Muhammad sendiri seorang feminis, maka muslim di Indonesia pun bisa menjadi pejuang feminis, semoga.