Belajar Berbangsa dari Mereka

Belajar Berbangsa dari Mereka

Sebagai orang muda saya belajar banyak tentang bangsa dan bagaimana caranya berkebangsaan di negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan agama, hal ini tentunya tidak mudah saya harus tahu betul tentang dari mana sumber kebangsaan itu saya peroleh. Jika kita mau menelisik kembali dan berupaya untuk memahami bagaimana upaya kalangan islam dalam membangun Nusantara yang pada akhirnya menjadi Indonesia kita akan menemukan tokoh-tokoh islami dan nasionalis yang sangat gigih dalam wacana dan idealisme mereka dalam beragama dan berkebangsaan pada saat itu.

Di sekitar era proklamasi 1945 dan era 1950-an kita memang terganggu oleh masalah pertarungan pancasila versus islam sebagai dasar negara. Namun dengan di kukuhkannya pancasila sebagai dasar filosofis negara di era 1980-an dan di terima kemudian oleh kalangan masyarakat luas, sebenarnya masalah fundamental ini telah selesai. Kita menemukan pergolakan itu melalu salah satu tokoh asal sumatera barat yang pada akhirnya menjadi wakil presiden pada periode awal bangsa ini berdiri. Kiranya sampai di situ kita akan finis dalam masalah islam dan berkebangsaan sebagaimana kata wakil presiden Mohammad Hatta “Perjuangan umat islam dalam menegakan islam haruslah berpedoman pada ilmu garam, bukan pada ilmu gincu”. Di mana pada garam filosofisnya adalah terasa tapi tak kelihatan sedangkan gincu, terlihat tapi tak terasa”.

Sebagai orang muda yang lahir di era teknologi saya merasa beruntung bisa dengan mudah belajar tentang bangsa dan kebangsaan serta agama dan keagamaan, litarasi yang di sediakan saat ini cukup banyak bahkan cukup menjamin kita dalam mencari apa yang menjadi kebutuhan kita dalam bernegara dan beragama. Tinggal kembali kita kitanya.

Dari putra Sumpur Kudus Sumatera Barat, saya melihat bagamana sistem negara kita yang mampu melindungi setiap orang yang beragama. Sebagai orang yang lahir dan tumbuh dalam tiga era sekaligus, pemikiran Buya Syafii atau yang di kenal dengan nama asli AHMAD SYAFII MAARIF (13 Maret 1935) sedikit banyak memberikan saya masukan rasa optimismi untuk bangga sebagai orang muda yang tumbuh dan besar dalam negara yang sangat plural. Meskipun belakangan kita di tawarkan berbagai sumber pengetahuan tentang kebenaran yang di lahirkan oleh sebagain kelompok yang mencaplok kebenaran itu berdasarkan kebenaran menurut mereka sendiri.

Optimisme itu saya dapat dan yang akhirnya juga membantu saya dalam melihat kekisruan kelompok beragama yang belakangan ini suaranya melengking di mana-mana tentang mana yang hak dan mana yang batil lantas sering kali mengebiri kemanusiann orang lain. Saya ingat betul satu buku menarik dari Buya yang di terbitkan sekitar bulan maret 2017 lalu, buku dengan judul “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” dari buku yang kebetulan mendapatkan catatan pengatar dari salah satu tokoh membaharuan islam Nurcholis Madjid. Saya mengenal negara dan agama dengan sudut pandang yang cukup luas. Saya melihat “Islam dan cita-cita politik, islam dan indonesia pada abad ke-20, islam dan pancasila sebagai dasar negara dan islam dan dasar negara di indonesia”. Dari buku yang awalnya adalah hasil disertasi Ph.D-nya dengan judul “Islam as the basic of state : A Study of the Islamic Political Ideal as Reflected in the Constituent Assembly Debates in Indonesia” di Universitas Chicago Amerika Serikat ini. Saya melihat bagaimana kuatnya literasi dari seorang Buya untuk  membangun sebuah argumen yang kiranya tidak hanya memberikan kita suatu informasi tetapi juga sekaligus memberikan kita pemahaman yang baik untuk melihat islam dan negara itu sendiri.

Tidak hanya sampai di situ saya membaca pemikiran beliau dalam subjudul yang lain, di sana beliau memberikan kita suguhun yang menarik tentang islam, negara dan kemanusian. Dengan judul “ Islam dalam Bingkai Keindonesian dan Kemanusian”. Mulai dari Barat hingga Timur Tengah dan Indonesia, lagi-lagi saya harus mengakui kekuatan literasi yang beliau punya dalam menyajikan sesuatu yang memang pas dalam menjawab kebimbangan saya sebagai orang muda di persimpangan jalan. Dengan judul seperti itu saya yang pada waktu itu menjadi mahasiswa awal di salah satu universitas islam  menjadi merasa tidak rugi dalam mempelajari islam baik itu dari kalangan yang ke kanan-kanan sampai yang ke kiri-kirian. Tentunya saya berani dalam melakukan pengembaraan itu adalah salah satu faktor dari pengenalan saya tentang pemikiran beliau, sebab di sana saya mengenal “ Islam dan nusantara, islam dan demokrasi, islam indonesia:masalah kualitas, masa depan agama hingga islam dalam bingkai keindonesian dan kemanusiaan”.

Dengan kekuatan narasi sejarah yang beliu sering kali menuangkannya di dalam tiap sub pembahasan mengantarkan saya kembali pada masa di mana kalangan islam dan kalangan nasionalis dalam membangun satu tujuan bersama dalam bernegara ini tidak merasa kalau mereka pada masa itu saling gontok-gontokan dalam memilih bagaimana idealnya negara kita yang pada akhirnya menyepakati pancasila sebagai landasan filosofis kita dalam bernegara, dimana kita sudah sama-sama tahu kalau dalam bulir-bulir pancasila ada lima silah yang setidaknya sudah mampu mengakomodir kepentingan kita dalam berbangsa dan bernegara yang sangat plural ini. Ya kalau pun pada poin kelima dalam lima silah itu rasanya yang paling “apes” nasipnya adalah silah kelima “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indoensia”.

Tapi orang muda kita harusnya sudah punya cukup banyak guru bangsa yang bisa kita belajar dari mereka, kita juga punya cukup banyak tokoh bangsa yang bisa kita berpanutan pada mereka. Saya malah sering kali mengatakan kita bisa meminta nasehat pada siapa saja tapi kita tidak bisa berpanutan pada siapa pun, kecuali orang yang kita berpanutan padanya itu adalah orang yang datang dengan sesuatu yang kita tahu benar apa yang di perbuatkannya itu berdasarkan hasil analisa kita terhadap pemikiran dan tindakannya dalam bersosial dan bermasyarakat seperti kebanyakan tokoh yang sebagian telah mendahului kita dan berjumpa dengan Tuhan mereka.

Dalam dinamika berbangasa dan bernegara di era teknologi saat ini rasanya kita mulau kekurangan orang muda yang optimis sebagai sebagai orang muda yang nantinya amanah bangsa dan negara berada di pundaknya, hal ini bisa di lihat dari sejauh mana hari-hari ini orang muda yang mulai tidak malu-malu terlibat dalam politik pratis dan rasanya kita orang muda telah kehingan kekritisan yang harusnya kita punya sebagai benteng terakhir dari orang muda.

Akhir dari tulisan ini saya hanya ingin berdoa semoga semua guru bangsa yang hari-hari ini mendampingi saya baik melalui karya-karya luar biasa mereka mendapatkan ridho dari Tuhan agar bisa memperolah surganya tanpa banyak proposal yang harus di ajukan sebab amal jariah yang mereka tinggalkan. Serta Tuhan jangan matikan akal sehat kami orang muda Indonesia. ***

By: Mauludin Wamoi

Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Filsafat Islam: Respon Filosuf Muslim Terhadap Filsafat Hellenisme

Gelombang hellenisme yang melanda dunia Islam merupakan akibat wajar dari kegiatan penerjemahan karya-karya Yunani ke dalam bahasa Arab. Lebih jauh, hasil logis dari penerjemahan itu melahirkan suasana kondusif dan kegairahan yang subur di kalangan umat Islam tertentu guna mengembangkan pemikiran spekulatif. Gelombang hellenisme tersebut merupakan suatu pengalaman yang, menurut Nurcholish Madjid, “tercampur antara mamfaat dan mudharat bagi umat Muslimin”. Akibat dari itu membuat mereka terbagi antara yang menyambut (respon-positif) dan menolak (respon-negatif). Respon umat Islam atas hellenisme dapat menjadi ukuran kreativitas mereka dalam menghadapi suatu bentuk tantangan zaman. Lebih jauh Nurcholish Madjid memaparkan:“Sebagian besar Ummat, khususnya mereka yang ada di bawah naungan ideologi Jama’ah dan Sunnah, semula cukup enggan, kalau tidak memusuhi, Hellenisme itu. Tapi secara umum terhadap banyak kaum Muslimin yang mempelajari pikiran-pikiran asing itu dengan tekun, disertai kematapan beragama dan kepercayaan diri kepada diri sendiri secukupnya. Mereka ini, dengan kebebesan berfikir yang masih lebih besar lagi daripada kaum Mu’tazilah, mengembangkan filsafat itu dan memberi watak keislaman kepadanya. Maka lahirlah suatu disiplin ilmu dalam khazanah intelektual Islam yang secara tekhnis disebut al-falasafah. Dari kalangan mereka ini timbul kelompok baru kaum tepelajar Muslim, yaitu al-falasifah (kaum Failusuf), suatu penamaan khusus kepada kaum intelektual Muslim yang sengat terpengaruh oleh filsafat Yunani.”

Dalam merespon positif pemikiran hellenisme itu, filosuf Muslim terbagi dalam dua aliran yang besar, yang keduanya mengklaim dirinya sebagai pengikut filsafat Yunani. Pertama, aliran Peripatetik (Masysya’iyyah) [disebut demikian karena tatkala Aristotels mengajar ia berjalan-jalan di tengah-tengah (maha)siswanya] yang memiliki ajaran gabungan ide-ide dari Aristoteles dan (sebagian) ide Neo-Platonik. Ide yang terpenting yang diambil dari Aristoteles adalah doktrin tentang Akal (Nous) , wujud yang lebih tinggi dari semua realitas jiwa yang ada. Akal adalah penaggerak pertama yang tidak bergerak; dan akal yang bersifat immortal (tidak mati). Akal adalah supreme deity (Tuhan Maha Tinggi) yang selalu berpikir dan meruenungkan diri-Nya. Sementara itu, ide yang diambil dari Neo-Platonisme adalah doktrin yang mengajarkan tentang the One (yang Tunggal) sebagai prinsip tertinggi atau sumber penyebab. Aliran ini juga dikenal sebagai cerminan upaya terbaik pemikiran manusia untuk mencapai kebenran. Aliran ini biasanya berawal dari filosuf al-Kindi dan mencapai puncaknya pada diri filosuf Andalusia, Ibn Rusyd.

Kedua, aliran Illuminasi (Isyraqiyah) [disebut demikian karena merupakan kearifan spritual yang muncul dari timur] yang lebih bersimpati kepada gabungan ajaran dan tradisi Pytagoras-Platonik. Ajaran dualis Plato kemudian diusahakan penyatuannya oleh para penganut Neo-Pytagoras. Ajaaran ini menyatkan mereka menuruti doktrin bukan saja dri golangan Pytaagoras, tetapi bahkan juga dari nabi-nabi kuno, khususnya Nabi Sulaiman dan Idris (tradisi Hermetis) dan juga dari ajaran-ajaran bijak, seperti Zoroaster. Dalam Islam alaiaran ini berawal dari Ibn Sina dan mencapai puncaknya pada diri Suhrawardi al-Maqtul. Dengan demikian, aliran ini dipandang sebagai ajaran yang lebih berdasrkan pada ilmu ilahah tinimbang pada ilmu manusiawi.
Berikut ini akan dicoba untuk mengangkat beberapa persoalan-persoalan filosufis yang krusial (dan “anah” di mata ortodoksi Sunni) yang berasal (sebagian besar) dari tradisi Hellenisme.

Konsep Wujud Tuhan

Salah satu di antara ajaran filsafat dalam Islam yang relatif tidak bertentangan dengan doktrin agama, dan tidak syak lagi juga diterima oleh kalangan ortodoksi Sunni Islam adalah tentang Wujud Tuhan. Dalam ajaran filsafat ini, wujud ada dua: Wājib al-Wujūd (Wujud yang Wajib) dan mumkīn al-wujūd (wujud yang mungkin). Adapun yang disebut pertama adalah Allah; sementara wujud yang disebut belakangan adalam alam (wujud selain Allah). Dengan bahasa yang berbeda, Wujud Allah wujud yang “pasti”; sedangkan alam adalah wujud yang “tergantung”. Artinya, alam semesta yang tercipta memeerlukan tempat untuk bergantung, yaitu Allah. Lebih jauh ini bermakna alam sebagai akibat yang memerlukan sebab, itu Allah.

Dalam membangun ajaran ini filosuf Muslim mencari bantuan dari doktrin Neo-Platonis, yaitu monisme tentang emanasi (al-fayḍ). Dalam kerangkan Aristolean, meskipun mereka menolak ajaran Aristoteles tentang dualitas: matter dan form (materi dan bentuk), tetapi di sisi lain tampak sekali ajaran Aristoteles lainnya, yaitu konsep tentang “Nous”; akal sebagai supreme deity (Tuhan Tertinggi) [boleh jadi tuhan yang dimaksu oleh Aristoteles berbeda dengan apa yang dipahami dan diyakini oleh ummat Islam. Begitu pula doktrin lainnya dari Aristoteles, misalnya mengenai akan yang immortal (tidak mati) atau wujud penggerak pertama yang tidak bergerak.

Masalah yang berhubungan dangan Wujud Tuhan, antara para filosuf, termasuk juga para mutakallimin, adalah doktrin bahwa Allah Tunggal. Penjelsanya bahwa doktrin ini menafikan adanya dualitas antara essensi dan sifat. Bagi mereka Tuhan adalah wujud semata, tanpa sifat. Satu-satunya sifat (kalau juga terpaksa menggunakan kata sifat) Tuhan adalah keniscayaan wujud-Nya. Jadi Tuhan tidak mempuyai sifat sebagaimana diyakini oleh aliran kalam rasional dalam Islam, Mu’tazilah.

Konsep al-Qur’an Qadim

Persoalan apakah al-Qur’an (Kalam) Allah itu diciptakan (baharu) atau tadak diciptakan (qadim), telah menajdi perdebatan di kalangan teolog (mutakallimīn) sejak masa-masa awal. Bahkan belakarang pada masa pemerintahan al-Makmum, dinasti Abbasyiah, ketika paham Mu’tazilah dijadikan paham resmi negara, mengakibatkan terjadikanya “noda hitam” dalam sejarah Islam dengan dilancarakannya “mihnah” (inquisisi), yaitu pemeriksaan keyakinan: apakah al-Qur’an itu baharu atau qadim. Bagi Mu’tazilah, al-Qur’an itu adalah baharu (diciptakan), karena kalau tidak (dikatakan qadim) ini dapat merudak sistem keimanan kepada Allah. Artinya kalau al-Qur’an itu adalah qadim, maka ada yang qadim selain Allah. Kalau demikian halnya, sama artinya menduakan Allah (syirik)

Kecenderungan pemikiran Mu’tazilah tersebut didasarkan pada ajaran Aristoteles bahwa tidak ada yang tercipata dari tiada (critio ex nihilo). Dengan begitu mereka menyimpulkan bahwa Tuhan telah menciptakan al-Qur’an. Di samping itu, pendapat Mu’tazilah sedikit banyak dipengaruhi dan dilatarbelakangi oleh sistem kepaarcayaan ajaran agama Kristen dengan konsep Trinitasnya. Karena pengaruh ajaran Kristen itulah Mu’tazilah tampil untuk membela sistem keiman dalam Islam.

Konsep Penciptaan: Alam Qadim

Dalam pandangan filosuf Muslim yang paling asasi dalam konsep penciptaan adalah pengingkaran terhadap konspe “Critio ex Nihilo” (penciptaan dari tiada). Pandangan filosuf dalam masalah ini berbedadengan kaum mutakallimin, apalagi dari kalangan ortodoksi Islam. Karenanya, penciptaan alam: apakah qadim atau baharu merupakan perdebatan antara para filosuf dan mutakallimin. Dan kalau disederhanakan adalah pertentangan pada figur yang diwakili oleh al-Farabi dan al-Ghazali secara berturut-turut.

Pandangan para filosuf dalam masalah ini berawal dari suatu kenyataan bahwa mustahil penciptaan sesuatu itu dari tiada. Pernyataan mereka ini didasarkan pada konsep tentang emanasi (pelimpahan). Akan tetapi, perlu ditegaskan, menurut filosuf Islam, alam itu qadim dari segi waktu (qadim zaman). Artinya, wujud alam bersama-sama adanya dengan eksistensi Wujud Allah. Meskipun begitu, segara harus ditambahkan pula bahwa alam itu “huduth li zati” (baharu dari segi zat). Sedangkan Allah adalah Qadim Zat dan Qadim Zaman.

Filosuf menjelaskan, misalnya Ibn Sina, bahwa yang dimaksud dengan qadim zaman (bagi alam) itu adalah karena Tuhan Maha Sempurna, maka Tuhan menciptakan sejak zaman azali; dan senantiasa meciptakan (berbuat) dan tidak hanaya pada saat tertentu. Karena didorong oleh keinginan untuk mengagungkan dan mensucikan Tuhan dengan konsep emanasi, maka pemikiran tentang penciptaan alam itu qadim tidak bertentangan dangan Islam.

Konsep Tentang Pengetahuan Tuhan

Menurut Fazlur Rhman (Islam: 169), konsep bahwa Tuhan tidak mengatahui yang partikular merupakan kerangka teori dari Aristoteles dal Plonitus. Akan tetapi, sayangnya, Rahman tidak mengurai secara detail bagimana keterkaitan dan pengaruh kedua filusuf klasik Yunani kepada balantika filosofis dalam Islam. Dalam konsep ini para filosuf Islam berpendapat bahawa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang partikular (juz’iyyat), tetapi Tuhan hanya mengetahui yang universal (kulliyat). Menurut para filosuf penegasan semacam ini penting, karena kalau Tuhan mengatahui hal-hal yang partikular yang senantiasa berubah-rubah bentuk dan beralih-alih waktu dan tempat, maka ilmu Tuhan juga akan turut berubah-rubah. Padahal dalam pandangan yang prinsipil di kalangan para filosuf bahwa mustahil ilmu pengetahuan Tuhan mengalami perubahan.

Konsep semacam ini, lagi-lagi, bagaimana para filosuf Islam berupaya untuk menyucikan Tuhan dari “kemungkinan” ketidaksempurnaan. (Ini tidak dimaksudkan bahwa manusia [para filosuf] menjadi subjek penentu bagi kesempurnaan Tuhan, sekali lagi tidak]. Akan tetapi, tak ayal, “hasrat baik” para filosuf itu dituduh macam-macam oleh golongan ortodoksi Islam Sunni. Golongan yang disebut terakhir ini berargumentasi bahwa Tuhan tidak boleh “dibatas-batasi” sedemikian itu, sehingga pengetahuan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal universal semata, sementara Tuhan dibatasi untuk mengatahui yang partikular. Kalau memang demikian, kata golongan ortodoksi Islam Sunni ini, dikemanakan kemahakuasaan Allah; dan bagaimana dengan “Inna Allah ‘ala kulli syai’in alīm” (Sungguh Allah mengetahu atas segala sesuatu).

Agaknya, sulit juga untuk menegahi kedua perdebatan kedua kelompak antara para filosuf dan ortodoksi Islam Sunni di atas. Karena masing-masing mereka berargumentasi dengan “mengatasnamakan” Allah. Paran filosuf berdalih atas “kemahasempurnaan” Allah. Sebaliknya ortodoksi Islam Sunni beralasan atas “kemahakuasaan” Allah. Perdebatan dan polemik di antara kedua golongan ini belakangan dapat dipersonifikasikan secara pas pada diri al-Ghazali mewakili golongan ortodoksi Islam Sunni dan Ibn Rusyd mewakili para filosuf Islam. Bahkan perdebatan dan polemik tersebut terus berlanjut setalah sepeninggalan keduanya.

Selama ini, sudah banyak buku-buku filsafat yang mengulas polemik “posthumous” antara al-Ghazali dan Ibn Rusyd. Polemik kedua figur ini sangat penomenal dalam sejarah pemikiran umat manusia, dan menyita perhatian sekian banyak sarjana sejak masa keduanya hingga dewasa ini. Lewat bukunya, Tahāfut al-Falāsifah, al-Ghazali mempreteli 20 (dua puluh) teori-teori biḍ‘ah filosuf (Islam) sebelumnya, khususnya al-Farabi dan Ibn Sina. Tiga di antara teori-teri tersebut: kekadiman alam; Tuhan tidak tahu yang pertikular; dan penolakan kebangkitan jasmani, menurut al-Ghazali, dikategorikan sebagai “kafir”. Belakangan, sekitar delapan puluh tahun setelah itu, tanpil seorang filosuf Muslim Andalusia, Ibn Rusyd, lewat bukunya, Tahāfut al-Tahāfut, guna membela para filosuf Muslim dan menyerang-balik (counterattack) al-Ghazali.

Konsep Tentang Keabadian Jiwa dan Kebangkitan Akhirat

Problem keabadian jiwa dan kebangkitan di akhir, tidak diragukan lagi, termasuk dalam tiga serangkai (kekadiman alam, Tuahn tidak mengetahui yang partikular dan kembangkitan jiwa) doktrin filosuf yang dikafirkan oleh al-Gazali. Kalau yang dua pertama dinayatakan berasal dari filosuf Islam, khususnya Ibn Sina dan al-Farabi, maka doktrin yang ketiga, keabadian jiwa adalah “murni” berasal Aristotels. Aristioteles, sebagaimana telah disebut sebelumnya, mengatakan bahwa jiwa itu adalah immortal (tidak mati). Belakangan doktrin ini dikembangkan oleh filosuf Islam, khususnya Ibn Sina.

Menurut Ibn Sina manusia sebagai makhluk memiliki unsur ganda: sebagai benda (matter) dan mempunyai bentuk (form). Raga adalah matter; dan jiwa adalah form. Raga dan jiwa adalah dua substansi yang distingtif dan terpisah satu dengan yang lainnya, terutama setelah manusia mati. Jiwa adalah substansi rohani yang terlimpah ke dalam wadah berupa raga, kemudia jiwa menghidupkan raga. Lebih jauh raga dipergunakan sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan. (Fuad al-Ahwani: 162-163). Dengan begitu, dalam pandangan para filosuf Islam, yang mengetahui Tuhan adalah jiwa. Karenanaya, ketika manusia mati yang kembali kepada Tuhan adalah yang mengetahui Tuhan, yaitu jiwa.

Mengingat jiwa yang mengetahui Tuhan dan pada akhirnya kembali kepada Tuhan, maka jiwa pulalah yang akan dibangkitkan. Sementara raga tinggal membusuk dihimpit bumi dan dimakan cacing. Kongkritnya, konsep Ibn Sina ini mengingkari kebangkitan jasmani, dan hanya mengakui kembagkitan ruhani. Malahan, di anatara para filosuf, ada yang berpendapat bahwa hanya jiwa yang cerdas lagi suci sajalah yang akan dipanggil oleh Allah, “yā ayyatuha al-nafsu al-muṭma’nnah ‘irji’ī ilā Rabbiki raḍiyah al-marḍiyah fa adkhulī fī ‘ibādī wa adkhulā jannatī” (hai, jiwa yang tenang kembali kepada Tuhanmu dalam keadaan rela-merelakan dan masuklah golongan hamba-Ku dan masuklah surga-Ku).

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Jejak Prestasi Gusdur Menuju Indonesia Makmur

Jejak Prestasi Gusdur Menuju Indonesia Makmur

Bangsa Indonesia patut bersyukur saat dipimpin seorang presiden dengan segudang prestasi selama kepemimpinannya. Hal ini merupakan anugerah yang menjadi titik balik dalam sejarah bangsa bahwa negara ini pernah merasakan sentuhan dari pemimpinnya berupa karya dan prestasinya. Ia begitu fous pada permasalahan kemanusaan. Selain itu, dalam bidang siar Islam, ia senantiasa menyiarkan islam secara lisa dan tulisan. Abdurrahman Wahid atau yang tenar disebut Gus Dur senantiasa memperlihat intelektualitasnya dalam bingkai cinta damai dan kaish sayang serta nilai-nilai kemanusiaan di seluruh penjuru Indonesia. Tokoh sekaligus pemimpin yang satu ini sangat perhatian terhadap perkembangan zaman. Misalnya dalam membela kaum minoritas, seperti suku, agama, ras dan antar golongan yang mendapatkan diskriminasi.

Dari sekelumit deskripsi di atas, kita dapat menangkap bahwa semua itu dilakukan untuk daat meningkatkan wawasan bangsa Indonesia terhadap pola pikir dan sepak terjang para pemimpin negeri ini, terutama Gus Dur dalam memperjuangkan bangsa Indonesia. Selanjutnya kita jga dapat membuka mata dan hati kita terhadap urgensi nilai keterbukaan (transparansi)dan berjiwa demokrasi (menerima pendapat dari banyak orang). tak hanya itu, hal ini dapat memperkuat pemahaman keagamaan bangsa Indonesia untuk lebih mementingkan urusan kemanusiaan dan keumatan di Indonesia.

Gus Dur patut dikatakan sebagai seorang pelopor. Untuk menjelasakan kata `pelopor` itu, kit amesti melihat sejenak ke belakang saat masa pemerintahannya yang tebilang singkat, yakni dari tahun 1999 hingga 2001. Secara prestasi, memang tidak sebanyak presiden lainnya, akan tetapi beliau telah berhasil memperkenalkan betapa ide-idenya muncul begitu brilian. Sehingga pada pemerintahab setelahnya, ide-ide tersebut dapat dilaksanakan, berangkat dari rencana besarnya yang amat mulia.

Dalam hal agama, Gusdur telah melegalkan agama Konghucu sebagai agama yang diakui di negara Indonesia. Semasa pemerintahannya, agama yang diakui di negara Indonesia telah berjumlah 6 agama, yakni agama Kong Hu Cu. Padahal lebih dari satu dasa warsa para penganut Kong Hu Cu tidak dapat mengemukakan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia, sebab agama mereka tidak diakui negara. Sehingga tampak jelas bahwa seorang Gus Dur benar-benar tidak menyukai adanya pelakuan diskriminai terhadap agama yang satu ini.

Sampai pada tahap berikutnya, Gus Dur juga memberikan kelapangan berupa memberikan hari libur nasional pada perayaan Imlek. Padahal perayaan tahun baru Imlek pada masa colonial Belanda, sempat dilarang. Setelah Jepang memerintah, barulah Imlek dijadikan sebagai libur nasional. Sampai ke masa kemerdekaaan, Imlek jug amasih bisa dirasayakan. Akan tetapi, masa orde baru membatasi peryaan Imlek, walau pun tidak dilarang sepenuhnya, sebgaaimana Instruksi Presiden (Inpres) No. 14 Tahun 1967. Dari sikapnya yang demikian, kita dapat menangkap, bahwa beliau telah membuat agama keturunan etnis Tionghoa sebagai bagian tak terpisahkan dari agama yang ada di Indonesia, yang mana etnis tersebut mendapatkan diskriminasi pada masa pemerintahan orde baru. Akhirnya ia memutuskan untuk mencbut Inpres nomor 14 tahun 1967 dengan manggantinya dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2000. Secara kedinasan, sampai pada akhirnya Imlek dijadikan sebagai libur fakultatif atau libur yang dikhususkan kepada para penganutnya yang merasayakan. Sehingga, pada masa kepemimpinan Megawati Soekarno Putri Imlek berhasil dijadikan libur nasional pada tahun 2002, yang sudah bisa diberlakukan pada tahun 2003.

Pembaca juga mesti mengingat semasa Gus Dur turut berperan serta dalam perdamaian di Aceh secara transparan. Pasalnya, pada masa pasca kemerdekaan, pihak Aceh sudah tidak percaya pada Jakarta semasa pemerintahan Soekarno. Gus Dura amat piawai dalam memformulasikan perundingan keduanya hingga mendapatkan titik terang perdamaian di Aceh. Gus Dur memilih pihak ketiga untuk memediasi permasalahan ini bersama Henry Dunant Centre di kota Swiss. Meskipun perdamaian itu berhasil diwujudkan pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono melallui Crisis Management Initiatives.

Gus Dur yang wafat pada 30 Desember 2009 di Jakarta, telah meninggalkan jejak yang tak terhenti di sana. Ia adlaah seorang cendikiawan dan aktivis pejuang kemanusiaan yang diamanahi sebagai ketua organisasi masa Islam terpopuler di Indonesia, yakni Nahdhatul Ulama (NU). Peran dari ormas Islam yang satu ini tidak diragukan lagi di Indonesia. NU telah banyak berperan andil dalam pembangunan di Indonesia dari tahun ke tahun. Paham kebangsaan menjadi arah gerak utama Gus Dur semasa menjabat sebagai ketua umum. Sehingga persoalan keumatan dan persoalan kebangsaan dapat dijembatani secara arif dan bijaksana.

Tak terbatas pada sisi peerintahan, sentuhan tangan Gus Dur juga dirasakan para pegawai negeri sipil (PNS). Betapa tidak, beliau berfokus pada peningkatan kesejahteraan PNS dengan strategi jitunya. Langkahnya adalah dengan memberikan dorongan terhadap kenaikan gaji PNS secara signifikan selama Gus Dur menjadi presiden Republik Indonesia. Buktinya, gaji PNS mengalami peningkatan sebesar 100 persen yang mana ini merupakan prestasi yang luar biasa dan sangat menolong para PNS dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai pelaksana kebijakan pemerintah dan pelayan publik kepada masyarakat. Otomatis kesejahteraan PNS pada masa tersebut cukup lega dan amat berbekas di hati para PNS. Tak hanya itu, peningkatan itu juga merembes pada kenaikan pangkat da golongan pada PNS menjadi lebih baik.

Gus Dur juga dikenal sebagai pendorong ekonomi Indonesia. Buktinya sebagai Presiden Repubik Indonesia yang ke-4, beliau telah berhasil menstabilkan bahan pangan, yakni beras. Sebagaimana yang telah diketahui, bahwa besar yang saat itu diperjual belikan adalah beras yang berasal dari produk lokal. Sementara beras dari luar negeri tidak dipasarkan. Nilai ekonomi di Indonesia menjadi lebih maju, ditandai dengan minus 3 menjadi minus 7,5 persen dalam kurun waktu dua tahun. Secara hutang dunia, sema Gus Dur berhasil berkurang sebanyak 4,5 miliar dolar dari berbagai jenis hutang. Selanjutnya, barang-barang kebutuhan ekspor menjadi lebih banyak sebanyak dua kali lipat dari nilai ekspor sebelumnya. Hal ini membawa para nilai ekonomi menjadi stabi kembali. Dalam hal badan usaha milik negara, yakni PLN, meraih angka dari minus 9 triliun menjadi 104 triliun. Kemudian, hutang harga pembuatan listrik menjadi berkurang dari 85 miliar menjadi 35 miliar. Sehingga mendapatkan potongan sebesar 50 miliar. Secara proyek juga mengalami peningkatan, yakni pada proyek semasa Presiden Habibie yang mengalami kerugian ratusan miliar menjadi untuk sebesar 14 miliar dalam kurun waktu dua tahun pula.

Semua hal di atas dapat terlakasan karena sebuah prinsip yang diterapkan Gus Dus yakni apa pun yang dinilai secara rasional, maka harus dilakukan. Selanjutnya, pada pelaksanaannya, Gus Dur selalu memilih orang-orang terbaiknya sebagai orang kepercayaan. Sehingga dalam pelaksanaan setiap kebijakan di kementerian mendapatkan keberhasilan, meskipun terdapat kendala-kendala di lapangan. Namun, setiap perjalnaan pasti akan ada cobaan dan ujian yang melanda. Berkat kerja keras dan semangat kebersamaan inilah, bangsa Indonesia telah mendapatkan sentuhan hangat dari seorang presiden yang berjiwa toleran dalam bingkai bhineka tungga ika. Semangat inilah yang patut dicontoh oleh generasi muda Indonesia saat ini. semangat untuk kembali merajut kebersamaan untuk mewujudkan Indonesia adil dan makmur.

By: Bambang Wiranto

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Islam: “Salih Fi Kulli Zaman Wa Makan”? (Respon Pemikir Muslim atas Modernisme)

Dewasa ini, ungkapan “al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh” (Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengatasinya), sepertinya hanya berlaku pada tataran idealitas, dan bukan pada tataran realitas. Dulu umat Islam memang pernah membuktikan ungkapan tersebut dalam realitas yang menyejarah. Lalu, bagaimana objektivikasi ungkapan tersebut di masa kini dan di masa-masa mendatang? Dalam mengejawantahkan ugkapan itu lagi, umat Islam terlebih dahulu harus membuktikan bahwa bagaimana Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān” (selaras dalam setiap waktu dan tempat) dalam menghadapi dan menjawab tantangan modernitas di kekinian dan di kedisinian.

Dalam mewujudkan agar Islam tetap “saliḥ fī kulli zamān wa makān”, tidaklah semudah “memalingkan wajah” dari belang ke depan. Salah satu upaya untuk lebih memudahkan “pemalingan wajah” itu, menurut hemat saya, di antaranya adalah memaknai sungguh-sungguh apa yang terkandung dalam lafadz:

المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
(memelihara sesuatu tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Lama yang baik dan baru yang lebih baik seyogyanya beriringan dan saling komplementer dalam menjawab tantangan zaman, tanpa harus menafikkan satu dengan yang lainnya. Yang satu tidak akan kokoh dan sempurna tanpa yang lainnya. Misalnya, kalau seorang sangat “percara diri” dan hanya mau menoleh ke belakangan sementara kakinya melangkah ke depan, akibanya bisa jatuh terjungkal. Sebaliknya, kalau seseorang begitu “ngotot” dan hanya mau menatap ke depan sementara tercerabut dari akar, akibatnya menjadi a historis.

Dalam konteks ini ada pertanyaan yang selalu diajukan: “Apakah Islam (baca: pemamahan atasnya) yang harus mengikuti/ disesuaikan dengan perkembangan zaman; atau zaman yang harus mengikuti/disesuaikan dengan Islam? Bagi kalangan yang sangat “percara diri pada masa lalu”, sebagaimana disebut di atas, akan memberikan jawab mutlak bahwa zamanlah yang harus mengukuti Islam, dan bukan sebaliknya. Sementara itu, bagi kalangan yang “ngotot pada masa depan” akan menjawab, “Islamlah yang harus mengikuti zaman”, dan bukan sebaliknya. Kedua jawaban “mutlak-mutlakan” ini tidak akan pernah bisa menjadikan Islam “saliḥ fī kulli zamān wa makān”. Keduanya, sekali lagi, harus saling “isi-mengisi” dalam menghadapi perkembangan “waktu dan tempat” pada saat ini, terlebih-lebih masa-masa mendatang.

Kalau kita ingin melihat Islam tetap relevan dengan tuntutan “zaman” dan “waktu”, maka konsekwensi logisnya harus ada keberanian untuk memahami “noktah-noktah” tidak melulu secara harfiah (lahiriyah), tetapi ada kalanya harus pula dipahami secara maknawi (bathiniyah). Bukankan al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama, meminjam ungkapan ulama besar dari Syiah (Iran), ‘Allamah Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i dalam karyanya, “Mengungkap Rahasia al-Qur’an”, menyebutkan bahwa bahwa al-Qur’an mempunyai arti lahir dan batin. Dalam pengertian yang disebut belakangan ini, ulama besar pengarang tafsir “al-Mizan” mengutip hadis bahwa: ““Inna lil-Qur’ān zahran wa baṭnan wa libaṭnih baṭnan ilā sab‘ah abṭnan”.

Jadi, dari hadis ini nyata betul bahwa al-Qur’an tidak saja memiliki makna lahir, tetapi juga makna batin. Bahkan dalam makna batin al-Qur’an ada sejumlah makna batin lagi yang terdalam, dan hebatnya sampai tujuh makna batin.

Betapapun khazanah intelektual warisan ulama dan ilmuan Islam klasik (yang baik) harus tetap ditoleh. Sikap ini dipandang penting demi memudahkan pengembangan intelektualisme Islam pada masa kini dan mendatang yang lebih kretif dan inovatif. Dengan demikian, dalam sejarah pembahruan pemikiran Islam lahir tokoh yang dinamis, sehingga di kalangan mereka lahir tesa dan anti-tesan dan sintesa, (dialektika), sebagaiman tercermin pada empat tipologi gerakan pemikiran Islam, menurut Fazlur Rahman.

Pertama, gerakan revivalisme pramodernis yang lahir pada abad ke-18 dan 19 di Arabia yang dicetuskan oleh Muhammad ibn Abd Wahhab; di India oleh Shah Wali Allah; dan di Afrika oleh al-Sanusi. Gerakan revivalisme pramodernis dengan sendirinya tidak terkena sentuhan/ pengaruh Barat. Adapun ciri-ciri umum dari gerakan pemikiran revivalisme pramodernis ini adalah: (i) keperihatian yang mendalam terhadap degenerasi dan dekandensi sosial-moral umat Islam disertai usaha sungguh-sungguh untuk merubahnya; (ii) menghimpau umat Islam untuk kembali kepada ajaran Islam yang sejati dengan mengenyahkan takhayyul, bid’ah dan khurafat yang ditanamkan oleh bentuk-bentuk sufisme populer; (iii) menyeru umat Islam untuk meninggalakan gagasan tentang obsolutisme dan finalitas mazhab-mazhab hukum serta berupaya untuk melakukan ijtihad; (iv) mengajak umat Islam untuk meninggalkan corak pemikiran dan prilaku predeterministik; dan (v) menyeru umat Islam untuk melaksanakann pembaharuan yang dianutnya, kalau perlu lewat kekuatan senjata.

Kedua, modernisme klasik muncul pada pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20. Gerakan modernisme klasik ini terpengaruh dan terbuka terhadap ide-ide dari Barat dan karenanya lebih aprisiatif terhadap intelektualisme. Dengan begitu, menimbulkan kesan bahwa gerakan modernisme klasik ini bersifat westernized (kebarat-baratan). Gerakan modernisme klasik ini meneruskan dan memperluas cakupan ijtihad yang dilakukan oleh gerakan sebelumnya. Gerakan modernisme klasik ini menciptakan kaitan yang baik antara pranata-pranata Barat dengan tradisi Islam melalui seumber al-Qur’an dan hadis. Rahman sendiri memberikan apresiasi atas upaya ini sebagai suati prestasi besar yang tidak bersifat artifisial dan terpaksa. Meskipun demikian salah satu kekurangan gerakan ini belum mengelaborasi secara tuntas metode yang dikembangkannya. Menariknya, hakekat penafsisran Islam gerakan ini didasarkan pada al-Qur’an dan ”Sunnah historis” (biografi Nabi) yang dibedakan dengan ”Sunnah teknis” (hadis-hadis Nabi). Gerakan modernisme klasik pada umumnya sekeptis terhadap hadis, tetapi skeptisisme ini tidak ditopang oleh kritisisme ilmiah.

Ketiga, neorevivalisme atau revivalisme pascamodernis lahir sebagai reakasi tidak menerima metode dan semangat modernisme klasik. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengembangan metodologi apa pun untuk menegskan posisinya, selaih hanya berupaya membedakan Islam dan Barat. Meskipun dalam realitasnya gerakan ini menerima masalah-malasah substantif yang diangkat oleh gerakan modernis, misalnya demokrasi, tetapi penerimaan mereka lebih bersifat terpaksa.

Keempat, neomodernisme lahir dibawah pengaruh dan sekaligus tantangan terhadap neorivivalisme. Untuk gerakan ini, Rahman sendiri mengklaim dirinya sebagai juru bicaranya. Gerakan pembaharuan ini, tentu saja sangat berbeda dengan gerakan-gerakan sebelumnya, berupaya untuk melihat dan menyikapi secara kritis dan obejektif hasil-hasil pemikiran umat Islam dan sekaligus pemikiran orang Barat. Melalui sikap kritis dan objektif, neomodernisme ingin membangun Islam dalam berbagai dimensinya dalam satu kerangka yang utuh, menyeluruh, sistimatis serta mencerminkan nilai-nilai al-Qur’an dan teladan Nabi yang sebenarnya. (Lihat, Taufik Adnan Amal (peny.), Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam Fazlur Rahman: 17-20; bandingkan, Abu A’la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal: 1-3 dan 20).

Agaknya, ummat ini pada abad pertengahan selama lima abad (dari abad ke- 13 sampai akhir abad ke-19) sudah membuat Islam jauh “ketinggalan kareta” dari segi “zamān” (waktu) dan “mākan”, sehingga harus terus menurus melanjutkan perjuangan dan pemikiran para pembaharu Islam sejak akhir abad ke-19. Dalam mencermati problem-problem dihadapi dunia Islam, di kalangan intelektual dan pemikir pembaharu Muslim terdapat beberapa variasi pandangan dan pemikiran sebab-sebab keterbelakangan kaum Muslim dan sekaligus upaya solusi pemecahannya.

Pertama, pemikir kelompok Muslim ini melihat bahwa biang keladi seluruh keterbelakangan dunia Islam adalah kerena berkembangnya paham khurafat dan telah menjauhnya kaum Muslim dari ajaran aslinya, al-Qur’an dan Hadis. Menurut kelompok ini, jika umat Islam ingin meraih kembali kejayaan masa silam yang pernah dimiliki, mereka harus kembali ke pangkal; mengikis segala khurafat dan bid’ah serta kembali kepada al-qur’an dan al-Sunnah. Gerakan ini kemudian dikenal sebagai gerakan furifikasi, seperti yang dimotori oleh gerakan Wahabiah di Hijaz.

Kedua, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa sebab-sebab ketidakberdayan dunia Islam tersebut dikarenakan perpecahan dan tidak adanya persatuan di kalangan umat Islam yang mengakibatkan mereka menjadi terjajah. Untuk itu, menurut kelompok ini, umat Islam harus menggalang persatuan dan membebaskan diri belenggu penjajahan. Dalam kelompok ini termasuk Jamaluddin al-Afghani sebagai pelopor utamanya; yang terkenal dengan pemikirannya tentang Pan-Isalamisme.

Ketiga, pemikir Muslim dalam kelompok ini melihat bahwa biang kerok dari segala keterbelakangan dunia Islam adalah karena kejumudan pemikiran lantaran tertutupnya pintu ijtihad. Sebagai jalan keluarnya agar ummat Islam dapat kembali membangun peradabanaya, mereka harus membuka lebar-lebar pintu ijtihad dengan mempergunakan rasionalitas-liberalitas secara kental, sembari menambil nilai-nilai dari barat yang relevan dan tidak bertentangan dengan ajaran dasar Islam. Di antara tokoh dari kelompok ini yang sangat artikulatif adalah Muhammad Abduh yang sangat mashur denga rasonalisme, dan belakangan dielaborasi oleh Syed Ameer Ali dari anak benua India.

Namun, rumusan sebab dan upaya pemecahan keterbelakangan itu, sepertinya masih jauh “panggang dari api.” Artinya, harus diakui bahwa kini ummat Muslim tidak/belum bisa menjadi ke mbali“al-Islām ya‘lū walā yu‘la ‘alayh”. Gambaran bahawa Islam “yang tinggi dan tidak ada yang mengatasinya” yang pernah dicatat oleh tinta emas sejarah Islam klasik selama kurang lebih 5/7 abad (abad ketujuh sampai abad duabelasa/empat belas) hanya indah untuk dikenang sambil menepuk-nepuk dada sebagai wujud “onanisme”. Memang ini memuaskan untuk jangka waktu sesaat, tetap setelah itu yang ada adalah lara yang berkempanjangan. Romatisisme sejarah ibaratnya mimpin indah yang membuai, tetapi setelah tersentak dari tidur, kita mendapatkan diri kita dalam posisi kebalikan 180 derajat dari mimpi indah tersebut.

Lihatlah dewasa ini dunia Islam tetap merupakan kawasan di bumi ini yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar di jagad ini. Menurut Cak Nur, negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia baru yang bergama Protestan; oleh Eropa Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israil yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina, Korea Selatan, Taiwan dan Hongkong serta Singapura yang Budhis-Konfusionis; oleh Jepang yang Budhis-Teois; dan oleh Thailan yang Budhis. (Nurcholis Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 21).

Sebetulanya kondisi memilukan ini tidak perlu berlanjut hingga kini, minimal mengurangi jarak ketertinggalan, kalau saja umat Islam, misalanya, mau menyahuti seruan gagasan beberapa pembaharu, khususnya seperti Muhammad Abduh dan Syed Ahmad Khan, masing-masing dari Mesir dan Indo-Pakistan, untuk kembali menangkap ajaran agama Islam yang lebih kreatif, dinamis dan logis, segaligus lebih otentik serta mampu menangkap “api Islam” dan meninggakalkan “abunya”, sebagaimana yang pernah diperagakan oleh umat dalam sejarah Islam klasik selama berabad-abad. Namun kenyatannya tidaklah demikian, jangankan menangkap “api” Islam, umat Islam justru meninggalkan ajaran agamanya dan hanya menggenggam “abunya”. Karenanya, Muhammad Abduh benar ketika mengatakan, “umat Kristen maju karena meninggalkan agamanya; dan ummat Islam mundur karena meninggalkan agamanya.” (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam, 22; Fazlur Rahman, Islam: 322-323; dan Albert Hourani, Arabic Thoughth in the Liberal Age 1798-1939: 130-159).

Jika direnungkan lebih mendalam ungkapan Muhammad Abduh ini, akan menghasilkan argumen bahwa menjadi rasional dalam Islam adalah inheren (melekat dalam) agama itu sendiri. Sebalkinya, pada orang Barat menjadi rasional adalah tantangan terhadap agamanya. Jika alur logika ini diteruskan, argumen berikutnya bahwa menjadi modern dan ilmiah dalam Islam adalah konsisten dengan ajaran agama Islam, sedangkan pada orang Barat berarti penyimpangan dari agamanya. (Nurcholish Madjid, Kaki Langit Peradaban Islam: 165). Belakangan, menurut Rahman, pandangan pemikiran semacam ini dipopolerkan dan diperdebatkan dengan intens oleh ahli hukum dan pemikir Anak-Benua India yang terkemuka: Syed Ameer Ali. (Fazlur Rahman, Islam: 322-323). Maka sangat logis dan relevan kalau ia mengungkapkan bahwa agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad bukanlah agama yang membawa kepada kemunduruan. Tetapi sebaliknya, agama Islam ada lah agama rasional yang mengantarkan kepada kemajuan. (Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, (Delhi: Idarah-I Adabiyat Delli, tt.), 435).

Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

By: Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau)

Abdurrahman Wahid

Abdurrahman Wahid

K.H. Abdurrahman Wahid siapa yang tidak kenal dengan beliau. Ia lahir dengan nama Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Kata “Addakhil” tidak cukup dikenal dan diganti nama “Wahid”, dan kemudian lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur. “Gus” adalah panggilan kehormatan khas pesantren kepada seorang anak kiai yang berati “abang” atau “mas“.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Wahid lahir dalam keluarga yang sangat terhormat dalam komunitas Muslim Jawa Timur. Kakek dari ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan. Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam Gerakan Nasionalis dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Saudaranya adalah Salahuddin Wahid dan Lily Wahid. Ia menikah dengan Sinta Nuriyah dan dikaruniai empat putri: Alisa, Yenny, Anita, dan Inayah.

Pada tahun 1944, Wahid pindah dari Jombang ke Jakarta, tempat ayahnya terpilih menjadi Ketua pertama Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), sebuah organisasi yang berdiri dengan dukungan tentara Jepang yang saat itu menduduki Indonesia. Setelah deklarasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Gus Dur kembali ke Jombang dan tetap berada di sana selama perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Pada akhir perang tahun 1949, Wahid pindah ke Jakarta dan ayahnya ditunjuk sebagai Menteri Agama. Abdurrahman Wahid belajar di Jakarta, masuk ke SD KRIS sebelum pindah ke SD Matraman Perwari. Wahid juga diajarkan membaca buku non-Muslim, majalah, dan koran oleh ayahnya untuk memperluas pengetahuannya.[7] Gus Dur terus tinggal di Jakarta dengan keluarganya meskipun ayahnya sudah tidak menjadi menteri agama pada tahun 1952. Pada April 1953, ayah Wahid meninggal dunia akibat kecelakaan mobil.

Pendidikan Wahid berlanjut dan pada tahun 1954, ia masuk ke Sekolah Menengah Pertama. Pada tahun itu, ia tidak naik kelas. Ibunya lalu mengirim Gus Dur ke Yogyakarta untuk meneruskan pendidikannya dengan mengaji kepada KH. Ali Maksum di Pondok Pesantren Krapyak dan belajar di SMP. Pada tahun 1957, setelah lulus dari SMP, Wahid pindah ke Magelang untuk memulai Pendidikan Muslim di Pesantren Tegalrejo. Ia mengembangkan reputasi sebagai murid berbakat, menyelesaikan pendidikan pesantren dalam waktu dua tahun.(seharusnya empat tahun). Pada tahun 1959, Wahid pindah ke Pesantren Tambakberas di Jombang. Di sana, sementara melanjutkan pendidikannya sendiri, Abdurrahman Wahid juga menerima pekerjaan pertamanya sebagai guru dan nantinya sebagai kepala sekolah Madrasah.

Gus Dur  juga di minta untuk memainkan peran aktif dalam menjalankan NU. Permintaan ini berlawanan dengan aspirasi Gus Dur dalam menjadi intelektual publik dan ia dua kali menolak tawaran bergabung dengan Dewan Penasihat Agama NU. Namun, Gus Dur akhirnya bergabung dengan Dewan tersebut setelah kakeknya, Bisri Syansuri, memberinya tawaran ketiga. Karena mengambil pekerjaan ini, Gus Dur juga memilih untuk pindah dari Jombang ke Jakarta dan menetap di sana, agar kegiatan yang akan dilakukan selama menjalankan tugasnya Sebagai anggota Dewan Penasihat Agama dapat di laksankan dengan mudah, Gus Dur pun akhirnya memimpin dirinya sebagai reforman NU.

Pada saat bergabung dengan NU Gus Dur pun juga mendapat pengalaman politik pertamanya. Pada pemilihan umum legislatif 1982, Gus Dur berkampanye untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sebuah Partai Islam yang dibentuk sebagai hasil gabungan 4 partai Islam termasuk NU. Gus Dur menyebut bahwa Pemerintah mengganggu kampanye PPP dengan melakukan penangkap orang-orang seperti dirinya tujuannya agar merusak Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Namun, Wahid selalu berhasil lepas karena memiliki hubungan dengan orang penting seperti Jenderal Benny Moerdani. NU merupakan Organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Semenjak Gus Dur masih hidup, banyak sekali tokoh-tokoh dari agama lain yang senang dengan Gus Dur, karena sikapnya yang bersahaja dan juga Gus Dur mempunyai prinsip toleransi, dengan toleransi semua orang akan bersikap baik juga.  Sikap lain yang dimiliki Gus Dur adalah tidak pernah membeda-bedakan dan sikapnya yang terbuka untuk semua kalangan, selalu menjawab pertanyaan dengan kehumoran yang bermakna Kehumoran Gus Dur dapat mencairkan suasana yang tegang, salah satu humor Gus Dur adalah mengungkapkan kata-kata “gitu saja kog repot !”. kata-kata tersebut sering diucapkan ketika dalam pertemuan atau di undang di acara-acara, dan sering di beri pertanyaan yang menyangkut tentang tugas dan wewenang Gus Dur ketika masih menjabat Presiden, bahkan ketika di lengserkan dari kursi kepresidenan. Berbicara tentang dilengsernya Gus Dur dalam kursi kepresidenan adalah, Gus Dur di berbicara “tingginya apa si menjadi seorang presiden itu, sampai mau ada pertumpahan darah di bumi ini”.

Kata-kata tersebut diucapkan oleh Gus Dur dengan rasa yang gembira dan tanpa ada beban. Begitu pahamnya Gus Dur dengan kehidupan di bumi ini, sampai-sampai sudah tidak ada beban sama sekali ketika Gus Dur di lengserkan di kursi kepresidenan.

Sebelumnya dilengserkan Gus Dur juga melakukan hal yang kontroversional, yaitu menyapa masyarakat/orang-orang berada di luar dengan menggunakan celana yang dibuat untuk bersantai (celana color pendek), hal tersebut juga sempat membuat ramai di jagat media sosial, dan sebagainya itu. Gus Dur, dikatakan sebagai ulama, presiden kontroversional namun memiliki makna tersendiri, tokoh humoris, toleransi, plurasimen, dan menjadi guru bangsa untuk masyarakat. Dari berbagai hal tersebut menjadikan Gus Dur memiliki kekhasan dan keunikan yang berbeda dengan orang-orang pada umumnya. Mulai dari tingkah laku, perbuatan, pemikiran, dan ucapakan Gus Dur yang dilakukan semasa mas hidupnya.

Setelah tidak lagi menjabat presiden, Gus Dur kembali ke kehidupannya semula. Kendati sudah menjadi partisan, dalam kapasitasnya sebagai deklarator dan Ketua Dewan Syuro PKB, ia berupaya kembali muncul sebagai GuruBangsa. Seperti sosoknya sebelum menjabat presiden.

organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota sekitar 38 juta orang. Namun ia bukanlah orang yang sektarian. Ia seorang negarawan. Tak jarang ia menentang siapa saja bahkan massa pendukungnya sendiri dalam menyatakan suatu kebenaran. Ia seorang tokoh muslim yang berjiwa kebangsaan.

Salah satu kiprah Gus Dur yang paling menonjol saat memimpin NU, adalah ketika ia membawa organisasi itu kembali ke khittahnya, keluar dari politik praktis pada 1984. Kendati, pada tahun 1999, ia pula yang membawa NU kembali ke dunia politik meski dalam format yang berbeda karena dilakukan melalui pembentukkan PKB, partai yang selalu dirujuk sebagai ‘anak kandung’ NU.

Gus Dur sering berbicara keras menentang politik keagamaan sektarian. Pendiriannya sering menempatkannya pada posisi sulit, melawan pemimpin Islam lainnya di Indonesia. Seperti saat didirikannya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), yang diketuai BJ Habibie, Gus Dur secara terbuka menentang. Ia menyebut ICMI akan menimbulkan masalah bangsa di kemudian hari, yang dalam tempo kurang dari sepuluh tahun ternyata pernyataannya itu bisa dibuktikan benar atau tidak. Lalu, ia mendirikan Forum Demokrasi sebagai penyeimbang ICMI.

Meski diakui ia besar antara lain karena NU, visi politiknya diyakini rekan-rekan dekatnya sebagai melebihi kepentingan organisasi tersebut, bahkan kadang melampaui kepentingan Indonesia. Hal ini tercermin dari kesediaannya menerima kedudukan di Shimon Peres Peace Center dan saat dia mengusulkan membuka hubungan dengan Israel.
Di masa Orba, saat Soeharto amat berkuasa, Gus Dur, dikenal sebagai salah seorang tokoh yang licin untuk dikuasai. Bahkan Gus Dur dapat memanfaatkan Keluarga Cendana dengan mengajak Mbak Tutut berkeliling mengunjungi pondok-pondok pesantren. Gus Dur juga beberapa kali menyempatkan diri mengunjungi Pak Harto setelah lengser.

Gus Dur pun tergolong rajin melontarkan kritik kepada pemerintah. Kritikan itu lama-lama menyebabkan Pak Harto risih. Puncaknya terjadi pada Mukhtamar NU di Cipasung 1994. Pemerintah berupaya menjegal Gus Dur. Tapi Gus Dur tetap terpilih untuk periode kedua. Hal ini terekspresikan dari ketidaksudian Presiden Soeharto menerima Gus Dur dan pengurus PBNU lainnya.

Ia juga dikenal sebagai sosok pembela yang benar. Apakah itu kelompok minoritas atau mayoritas. Pembelaannya kepada kelompok minoritas dirasakan sebagai suatu hal yang berani. Reputasi ini sangat menonjol di tahun-tahun akhir era Orde Baru. Begitu menonjolnya peran ini sehingga ia malah dituduh lebih dekat dengan kelompok minoritas daripada komunitas mayoritas Muslim sendiri. Padahal ia adalah seorang ulama yang oleh sebagian jamaahnya malah sudah dianggap sebagai seorang wali.

By: Agus Neni

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

KĀFŪRĀ MINUMAN DI SURGA: Term Bahasa Melayu dalam Al-Qur’an

Saya merasa beruntung dan bangga dilahirkan dari rahim seorang ibu yang gemar dan terbiasa mengaji. Seingat saya, semasih kecil, ibu saya selalu mengaji sebelum anak-anaknya bangun-beranjak dari tempat tidurnya; dan mengaji (lagi) menjelang sewaktu anak-anaknya terlelap tidur dalam mimpi-mimpinya. Salah satu surah dari tujuh surah yang sering di baca ibu saya, selain surat Yāsīn, al-Wāqi‘ah, al-Mulk, al-Kaḥfi, al-Raḥmān, al-Sajadah, adalah surah al-Insān. Seringnya ibu saya membaca ketujuh surah dan dengan termotivasi atas fadhilah kadungan dari membaca surah-surah itu, dapat dipasatikan berkat pengajian yang diterimanya dari seorang ulama besar, yaitu K.H. Husain Hap (1928-1999).

Tuan Guru (Anddregurtta) K.H. Husain Hap termasuk salah seorang dari tiga rentetan ulama besar Indragiri Hilir pada abad ke-20 (tanpa bermaksud menafi’kan kalau ada ulama besar lainnya), selain Tuan Guru K.H. Abdurrhamn Ya’qub (1912-1970) dan Tuan Guru K.H. Abdurrahman Siddiq (1857-1939). K.H. Husain Hap –yang merupakan abang kandung ayah saya sendiri, H. Husan Hap– pernah menempuh pendidikan di Dar al-‘Ulum, Mekah. Awal kepulangan dari tempat Kelahiran Rasul Allah saw., K.H. Husain Hap mendirikan pengajian “Al-Husniyah”, dan di sinilah Ibu saya mendapat pengajian agama, termasuk fadhilah membaca surah-surah disebutkan tadi.

Dari bacaan ibu saya atas surah al-Insān ini untuk kali pertamanya saya mendengar kata “kafūra” dalam rentetan ayat: “inna al-abrāra yashrabūna min ka’sin kanā misājuhākafūra.” Saya mendengar ibu saya memabaca ayat ini “sambil lalu” saja, kadang antara saya “sadar dan tidak sadar” (menjelang dan akan bangun tidur), dan seringkali tidak peduli. Ketidakpedulian saya atas bacaan al-Qur’an ibu saya itu disebabkan bukan saja karena tidak mengerti, tetapi karena kepedulian “dunia anak” belum sampai di situ.

Akan tetapi, karena ibu acapkali memperdengarkan keseluruhan surah-surah tersebut, maka menjadikan saya terasa akrab, dan relatif lancar membacanya tatkala mengaji. Hal yang serupa, tetapi dengan cara berbeda sering pula dilakukan oleh ayahanda (semoga Allah merahmatinya) semasa saya kecil, yaitu menyetel kaset yang melantunkan bacaan (surah) al-Qur’an, di antaranya yang sering kali saya dengar, misalnya adalah surah al-Naba’, dan sesekali terdengar –belakangan baru saya tahu namanya– surah al-Shaff danṬaha.

Kembali kepada kata “kafūrā”, pemahaman atas kata itu dalam konteks kajian keilmuan, saya dengar kali pertama pada saat Diskusi Bedah Desertasi, “Jaringan Ulama” karya Azyumardi Azra yang diselenggran di Gedung “Wisma Sajahtera” di komlpeks Kampus IAIN (kini UIN) Syarif Hidaytullah Jakarta pada 1992 (maaf, sekiranya salah ingat tahun; dugaan kuat ini benar sebab tahun itu saya menjadi Pengurus HMI Cabang Ciputat Periode 1991-1992 sebagai Sekretaris Umum; dan saat menghadiri Kongres HMI ke-19 dipenghujung 1992 status kepengurusan kami demisioner). Dalam forum bedah desertasi itu, selain Azyumardi Azra sebagai penulis, adalah Bapak (kini Prof.) Dr. Atho Mudzhar, MA sebagai pembedahnya. Dalam diskusi terungkap bahwa dari hasil penelitian yang dilakukan oleh orang Barat (orientalis) terungkap bahwa asal-usul kata “kafūra” berakar dari bahasa MELAYU.

Pada waktu itu saya bingung memahaminya, justru karena membingungkan itulah menjadi menarik bagi saya. Kebingungan saya pada waktu itu bercampur rasa bangga. Apa mungkin ada bahasa Melayu dalam al-Qur’an? Disebutkan jaga bahwa barangkali “kāfūrā” inilah satu-satunya term Melayu yang “dipinjam” oleh Allah dalam menurunkan wahyu yang ditermaktub dalam al-Qur’an. Saya sendiri sampai saat ini tidak berupaya untuk membuktikan dugaan bahwa apakah hanya “kāfūrā” satu-satunya bahasa Melayu dalam al-Qur’an?

Sementra itu, kosa kata dari bahasa asing yang diserap oleh bahasa Arab banyak sekali ditemukan dalam al-Qur’an. Misalnya, terdapat kata “jahannam” (neraka jahanam) dari bahasa Ibrani; kata “zanjabīlā” (jahe) berasal dari Persia. Kata “sundusin” (sutra tipis) berasal dari India; kata “ṭūr” (gunung) berasal dari bahasa Syiriah; kata “al-qisṭās” (timbangan) berasal dari bahasa Romawi; kata “mishkāt” (lentera) berasal dari bahasa Habsyah. Ini sekedar menyebut bebarapa kosa kata dari berbagai bahasa suka bangsa yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. (lihat, Arthur Jeffery, The Foreign Vocabulary of the Qur’an, Leiden: Briil, 2007).

Untuk kata “kafūrā” itu sendiri selain dikatakan berasal dari bahasa Melayu, ada juga pendapat menyatkan bahwa bahasa itu berasal dari bahasa Persia. Bagaimana menjelaskan asal-usul kata “kafūrā” ini, apakah berasal dari bahasa Melayu atau bahasa Persia? Saya secara pribadi (bukan karena saya orang terlahir di dunia “heartland” Melayu, Riau) lebih setuju pendapat yang menyebutkan bahwa kata “kafūrā” berasal dari bahasa Melayu dengan merujuk pada dua logika dan argumentasi historis.

Pertama, kata “kafūrā” sebelum diserap oleh bahasa Arab terlebih dahulu diserap oleh bangsa Persia. Oleh karena itu, Buya Hamka menyatakan bahwa kata “kāfūrā” termasuk salah satu bahasa ‘ajam yang terdapat dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Melayu, yaitu “kapur”. (Lihat juga, Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983: 268-269).

Kedua, sebelum Islam dirisalahkan hubungan perdangan antara dunia Arab dan Cina dengan melewati rute pedangan Persia, India dan Nusantara sudah berlansung lama. Belakangan, setelah Islam berkembang, disebut-sebut pada masa dinasti Umayyah terjalin hubungan perdangan dengan Melayu-Nusantara. Disebut bahwa salah satu pelabuhan sebagai bandar niaga internasional adalah Barus dengan komoditas utamanya yang paling diminati adalah “kafūrā” (kamper).

Pada abad ke-4 dalam catatan sejarah terbilang awal ditulis oleh pedagang Cina yang menyusuri perdagangan “jalur sutra” menyebutkan kamper bagian dari komuditas perdagangan sangat digemari. Selain itu kronik Cina pada masa Disnati Liang (502-557) mengungkapkan kamper yang digaitkannya dengan suatu daerah dikenal Barus. Sementara itu di Barat terdapat catatan tertua yang menyebutkan tentang kamper yang ditulis oleh Actius (502-578), seorng dokter Yunani berasal dari Mesopotamia.

Jauh sebelum data-data itu, kenyataan ini dikuatkan oleh sebuah peta kuno yang dibuat oleh Claudius Ptolemaus, seorang gubernur dari Kerajaan Yunani yang berpusat di Alexandria, Mesir pada abad ke-2. Di peta itu disebutkan, di pesisir barat Sumatera terdapat sebuah bandar niaga bernama Barousai (Barus) yang menghasilkan wewangian berupa kapur barus. Bahkan ada dugaan kuat bahwa kamper adalah termasuk salah satu bahan untuk mengawetkan jenazah, tentu termasuk jenazah para Fir’aun di Mesir.

Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa di antara komoditas perdagangan yang paling disukai oleh orang Arab adalah kamper (“kafūrā”). Disebutkan bahwa kamper ini kalau diekstrak (disulin sedemikan rupa), lalu dicampurkan pada minuman akan membuat minuman itu menjadi yang sangat enak dan menyegarkan. Untuk itu, al-Qur’an mempergunakan kata “kāfūrā”yang diperuntukkan kepada orang-orang Arab agar senatiasa terdorong berbuat kebaikan sebagai balasan setelah kehidupan di dunia ini, di surga nantinya (Q.s. al-Insān [76]: 5).

Abdullah Yusuf Ali memberikan penjelasan “kāfūrā” berikut ini: “Kāfūr is literally Camphor. It is fountain in the Realms of Bliss. It is a seasoning added to the Cup of pure, beatific Wine, which cause no intoxication (lvi.18-19) but stands for all that wholesome, agreeable, and refreshing. Comphor is cool and refreshing, and is given as a sooting tonic in Eastern medicine. In minute doses its odour and flavour are also agreeable.” (Lihat, Abdullah Yusuf Ali, The Meaning of the Holy Qur’an, Maryland: Amana Publications, 2004, 1571-1572, catatan kaki no. 5835).

Dengan iman kepada Allah dan hari akhirat serta beramal ṣaleh, manusia berhak mendapat kedamaian dan kebahagian hidup di akhirat kelak (Q.S. al-Baqarah [2]: 62). Bagi penghuni surga, menurut Raja Ali Haji, akan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan “biologis” berupa makanan dan minuman serta seks, seperti tulisnya dalam Kitab Pengetahuan Bahasa: “Demikianlah halnya mereka yang di dalam surga itu. Maka apabila sampai ia ke pintu surga, maka disambutlah oleh segala malaikat, dibawanya kepada istrinya “bidadari” di dalam mahligai itu. Maka apabila sampai ia ke dalam mahligainya bersuka-sukaanlah ia dengan segala istrinya “khawaral ‘ain” itu dan “khadam-khadamnya”, “wadan-wadan” namanya. Maka makan minumlah yang lezat-lezat serta berpeluk dan bercium dan berbelai dan berjimak dengan sepuas-puasanya hawa nafsu. Pada hal kekal senantiasa dengan demikian itu ada.” (Raja Ali Haji, Kitab Pengetahuan Bahasa: 33).

Dari kutipan di atas tampak jelas bahwa Raja Ali Haji memberikan gambaran kehidupan surga bagi lelaki yang “full sex” (“berjimak dengan sepuas-puas hawa nafsu”) bersama istri-istrinya dan para bidadari yang konon jumlahnya sampai sembilan puluh sembilan. Selain itu, kehidupan di surga digambarkan bergelimang dengan kelezatan materi. Karenanya, untuk tetap memberikan vitalitas bagi lelaki abrār (pelaku kebajikan di dunia), Allah mengiming-imingi makanan-makanan enak dan lezat dan beraneka buah-buahan dan minuman yang sangat menyegarkan dari berbagai aliran sungai atau telaga yang berbeda-beda warna dan cita rasanya, termasuk minuman yang dicampur dengan “kafūrā”.

Penjelasan Raja Ali Haji di atas tentang kehidupan surga digambarkannya “dengan beberapa makan-makanan yang lezat-lezat dan minum-minuman dan beberapa istri daripada hurul ‘ain dengan beberapa kesukaan dan permainan yang tiada pernah dilihat oleh mata dan tiada didengar oleh telinga.” (Raja Ali Haji, Muqaddimah fī al-Intiẓām, 2-3). Bahkan hati sekalipun tidak akan pernah mampu membayangkan tentang gambaran surga yang sedemikian baik dan indahnya. Pernyataan Raja Ali Haji ini didasarkan pada hadis Rasul Allah: “Dari Abi Hurayrah ra. berkata: Rasul Allah saw. bersabda: “Aku janjikan kepada hamba-Ku sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga, bahkan tidak pernah terbetik dalam hati. Apabila kamu menginginkan maka bacalah: ‘Tiada seorang pun tahu cendera mata apa yang masih tersembunyi bagi mereka.’” (HR. al-Bukhāry, Muslīm, al-Tirmidhy, al-Nasā’i dan Ibn Mājah).

Mengingat kehidupan di surga itu sukar sekali untuk memahaminya, maka di akhir hadis di atas, Rasul Allah menyarakan agar membaca ayat: “Falāta‘lamu nafsun mā ikhfiya lahum min qurrati a‘yunin jazā’u bimākānū ya‘lamūn” (Tidak seorangpun mengetahui berbagai nikmat yang menanti, indah dipandang sebagai balasan bagi mereka atas apa yang mereka kerjakan. (Q.s. al-Sajadah [32]: 17). Artinya, karena surga termasuk “realitas tinggi” (higt reality) yang tidak seorangpun dapat memahami secara hakiki, maka al-Qur’an menggambarkan dengan cara “perumpamaan”.

Allah menjelasakan kehidupan di surga dengan mengawalinya kata “perumpaan”, sebagaimana firman-Nya: “Perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tidak berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka. (Q.s. Muḥammad [47]: 15).

Al-Qur’an memang memberikan gambaran yang sangat “meterial” (sangat visual) tentang kenikmatan surga yang berupa makanan dan minuman dari kebun-kebun dan sungai-sungai beserta pada bidadarinya. Akan tetapi, akhirnya Allah menegaskan bahwa riḍa Allah jauh lebih besar keindahnnya, wa riḍwān min Allāh akbar dari semua yang disebutkan sebelumnya. Firman Allah, “Allah menjanjikan kepada orang-orang mukmin, lelaki dan perempuan, surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, kekal mereka di dalamnya, dan (mendapat) tempat-tempat yang bagus di surga ‘Adn. Dan keridhaan Allah adalah lebih besar, itu adalah keberuntungan yang besar.” (Q.s. al-Tawbah [9]: 72).

Meskipun demikian, dari ayat di atas tidak boleh dipahami dengan mengambi kesimpulan bahwa kehidupan eskatologis di surga atau di neraka itu bersifat non-fisik. Paham semacam ini adalah konsekwesi langusung dari paham filosuf bahwa tidak ada kebangkitan jasmani. Dengan kata lain, bagi filosuf yang ada adalah hanya kebangkitan rohani (spiritual), sehingga balasan surga dan neraka juga bersifat rohani (spiritual).

Betapun, Allah tentu tidak akan mengecewakan, dan bahkan tidak akan pernah mengingkari janji-Nya terhadap orang-orang abrar (senantiasa berbuakan kebajikan). Untuk itu, Allah menyediakan kehidupan surga, sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an secara “material”, termasuk “kāfūrā” sebagai minimuan yang menyegarkan dan membangkitkan vitalitias dalam melakukan hubungan seksual dengan bidadari-bidadari. Bukankah tujuan sebagai dari mereka terdorong melakukan amal-amal kebajikan lantaran ingin masuk surga yang demikian ini?

Akan lain hal bagi orang-orang tertentu yang beribadah tidak berhasrat pada kehidupan surga yang bersifat material dan visual tersebut. Bagi orang semacam ini ia tidak menginginkan kebun (jannah)nya. Namun, ia lebih mendambakan Sang Pemilik kebun (jannah)-Nya. Yang lebih dirindukannya adalah kehidupaan surgawi yang sejati dan hakiki, yaitu rida Allah yang lebih besar (wa riḍwān min Allāh akbar). Wa Allāh a’lam bi al-Ṣawāb.

 

Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.

Mātawfīq wa al-Hidāyah illa bi Allāh.

Alimuddin Hassan Palawa, (Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies] UIN Suska Riau).